Jumat, 16 Juni 2017

MENGHARAP PERAN ISLAM MASA DEPAN



Untuk mejawab tantangan masa kini maka jelas bahwa yang kita harapkan adalah bukan Islam masa lalu, tetapi sebaliknya Islam masa depan. Masa lalu Islam di Indonesia yang kita kenal sebagai Islam Nusantara mencapai angka penganut menyentuh 99%, pada saat itu Islam masuk ke Nusantara dengan segala kedamaian, bukan peperangan. Tidak salah kita sedikit bernostalgia tentang masa lalu, tetapi tantangan masa depan bangsa ini jauh berbeda. Kampanye Islam Nusantara bagus bila kita gunakan untuk menghidupkan keramahtamahan. Tetapi kita tahu keramahtamahan Islam di Nusantara pada saatnya terwilayah menjadi Indonesia, dan Singapura, Malaysia, Brunai Darusslam dan sebagian Thailand yang ditandai dengan berlakunya huruf Jawi dan huruf Pegon. Huruf Jawi adalah tulisan Arab berbahasa Melayu, sedang hurup pegon adalah huruf Arab dengan bahasa daerah (umapa Jawa, Banten). Jika hanya bermodalkan senyum dan kesantunan hanpir dapat dipastikan bahwa Islam mengajarkan ramah terhadap sesama dan tegas terhadap pihak lain.

Islam itu tidak boleh patuh terhadap budaya budaya lokal tetapi justeru kita tularkan ajaran Islam ke dalam budaya di mana kita berada. Tugas besar kita justeru Islamisasibudaya, dengan memasukkan nilai niali Islam budaya yang berkembang. Kita harus bangga bahwa nilai nilai Islam sangat diterima oleh bangsa denganterpakainya bahasa bahasa Islam antara lain musyawah, mufakat, majelis dan tentunya banyak lagi yang lain,  Tetapi nampaknya dalam bidang politik, kita mengalami tekanan yang luar biasa, seperti terekam dalam polemik budaya yang dihimpun oleh Ahdiat K. Miharja, manampakkan bahwa secara normatif nilai nilai Islam memang diterima di Indonesia, tetapi secara politik kita nyaris tak bisa bergerak.

Syarikat Dagang Islam yang dahuklu nampoak direspon oleh masyarakat banyak, tetapi belakangan justeru ditunggangi oleh berbagai kepentingan yang justeru sulit dikontrol utama nilai nilai keislamannya. Penekanan Pemerintah Orde Lama yang mengharuskan Partai Masdyumi membubarkan diri adalah bukti nyata kesulitan Partai Islam akan berkembang. Gabungan Partai NU,Parmusi, PSII dan perti di zaman Orde Baru nampaknya juga hanya sempat berkembang di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, ketika gabungan Partai Islam mendapatkan perolehan suara terbesar dalam Pemilu sekaligus Pemilihan Legislatif. Dengan berbagai rong roangan baik dari dalam maupun dari luar seperti sulit terantisipasi, sehingga NU kembali ke Khittoh karena ada ancaman mematikan matakala NU masih bertahan di Partai. PPP, PKB, PKS, PBB sepertinya hanya mengenal grafik turun.

Baik organisasi massa maupun Parpol Islam namapaknya dikelola oleh para pemimpinnya sebagai lembaga yang sangat pragmatis. pada saat ini nampaknya hanya PKS yang masih sedikit bersuara dan nampak independen, sementara yang lain tidak mampu berkembang atau bertahan adalah menampakkan sikap fragmatisnya yang sulit ditutup tutupi. Dua organisasi massa Islam terbesar NU dan Muhammadiyah semula juga menampakkan sisi fragmatismenya walaupun akhir akhir ini Muhammadiyah mulai menampakkan kepemimpinan yang berani meninggalkan fragmatis yang memiliki daya racun bagi kadernya sendiri itu.

Orientasi kita jelas harus ke masa depan, tidak mengapa kita sedikit bernostalgia dengan masa lalu walaupun blum bisa disebut sebagai puncak tamaddun yang merata, tetapi tantanga masa sekarang dan masa depan tak bisa kita hadapi dengan nostalgia itu.

Tidak ada komentar: