Rabu, 27 Juni 2012

Mahasiswa IAIN Studi Naskah Ke Kediaman Tarmizi A Hamid


BANDA ACEH – Belasan mahasiswa jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Ar Raniry Banda Aceh melakukan studi naskah ke kediaman kolektor manuskrib, Tarmizi A Hamid, Rabu, 9 Mei 2012.

Kegiatan ini dibuat agar mahasiswa lebih mengenal manuskrip secara langsung, baik dari segi fisik, karakteristik dan keunikannya, ataupun kodikologi dan kandungan isi naskahnya. Dengan adanya studi naskah ini mahasiswa dapat membaca, menyentuh dan menganalisa manuskrip secara langsung sehingga minat mereka semakin besar untuk mengkaji naskah.

Tarmizi A Hamid dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa ia sangat mengapresiasi kegiatan mahasiswa, dengan begitu koleksi naskahnya yang sudah disimpan bertahun-tahun bisa berguna untuk mahasiswa Aceh.

“Ini sangat tepat, karena naskah-naskahnya sudah direstorasi, sudah saatnya naskah tersebut dikaji kandungannya oleh generasi Aceh, bukan hanya dari luar negeri. Selama ini banyak sekali peneliti dari luar yang meminta untuk mengkaji naskah saya, padahal mahasiswa dai Aceh tidak kalah banyak, hanya kurang akses dan informasi saja,” kata Tarmizi kepada mahasiswa.

Hermansyah M. Hum, filolog sekaligus dosen dalam tim tersebut mengatakan IAIN mempunyai peluang dan peran penting dalam pengkajian naskah klasik, baik secara keilmuan, khazanah maupun kearifan masyarakat terutama yang menyangkut dengan keislaman dan ke Acehan.

“Kita berharap nantinya IAIN terdapat pusat penelitian manuskrip, dengan demikian dapat membangkitkan semangat pengkajian dan penelitian mahasiswa dan dosen di kampus. Kesempatan emas tersebut dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti Museum, lembaga swasta atau dengan koleksi pribadi masyarakat Aceh.”[]

Tarmizi A. Hamid Memelihara Warisan Indatu

42 Naskah Kuno Aceh Direstorasi

Tarmizi A. Hamid

Banda Aceh-Sebanyak 42 Naskah Kuno milik Tarmizi A. Hamid, kolektor manuskrip Aceh direstorasi oleh pihak Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh. Restorasi kitab kuno ini berlangsung selama dua hari, Minggu (22/1) dan baru selesai Senin (23/1).
42 Kitab Kuno Aceh milik pribadi Tarmizi A. Hamid direstorasi oleh PKPM

Menurut Tarmizi A. Hamid, kitab kuno miliknya sebenarnya berjumlah 482 naskah dan pihaknya telah mengajukan tawaran restorasi pada pemerintah setahun yang lalu. Namun, dikarenakan keterbatasan dana PKPM hanya bisa merestorasi manuskrip sebanyak 42 buah saja dan baru tahun ini terlaksana.

“Saya merasa senang dengan adanya perhatian dari kawan-kawan mengenai manuskrip kuno ini. Apalagi pihak terkait mau me-restorasi kitab-kitab koleksi saya meskipun pada awalnya hanya ditargetkan 30 buah manuskrip saja,” ungkap Tarmizi A. Hamid, kolektor manuskrip Aceh di dampingi Hermansyah, M.A. Hum, ahli filolog Aceh pada Aceh Corner, Senin (23/1).

“Alhamdulillah dengan adanya restorasi ini, kondisi kertas yang mulai lapuk dimakan usia akan terselamatkan dan teks-teks yang hampir hancur bisa di perbaiki dengan tisu Jepang,” terangnya, seraya mengatakan bahwa kertas untuk restorasi ini hanya bisa didapatkan dari negeri sakura mengutip penjelasan dari ahli kutikologi dari Jepang, Dr. Kazuhiro Arai.

Sebenarnya, kata Tarmizi A. Hamid, kondisi koleksi manuskrip kitab kunonya masih bagus. Namun, dengan adanya restorasi ini, Ia mengatakan akan bertambah bagus lagi sehingga para peminat manuskrip kuno Aceh akan mudah membaca dan mengkajinya kembali.

“Adapun naskah-naskah yang direstorasi oleh PKPM tersebut antaranya adalah kitab-kitab yang menyangkut fiqih, tasawuf, sejarah dan ilmu kesehatan,” tambah Tarmizi.

Sumbangan dan Membuka Pintu
Tarmizi A. Hamid

“Siapa saja boleh mendatangi koleksi pribadi ini, baik mahasiswa dari dalam negeri ataupun luar negeri untuk membaca dan mengkaji kitab warisan leluhur Aceh ini,” jelasnya.

Sang kolektor ini berharap, koleksi manuskripnya ini nanti bermanfaat bagi anak cucu Aceh. Ia juga berharap adanya donatur yang mau menyumbang dana baik itu untuk restorasi kitab kuno, memberikan catalog serta penelitian di pustaka miliknya tersebut.

“Ya, atas nama pribadi, saya berharap ada orang-orang yang mau membantu melestarikan budaya Aceh ini ke depannya,” pungkasnya.[]

Senin, 25 Juni 2012

KAMUS ANTROPOLOGI DIALEK MELAYU





Judul Buku : Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau, Penulis : UU. Hamidy, Tebal Buku : 212 Halaman, Tahun Terbit : 1415 H / 1995 M, Penerbit : Unri Press (Universitas Riau Press), Diterbitkan Untuk : Pusat Kajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Gambar Sampul : Kotuak (Nakus) Rantau Kuantan

Banyak orang memandang yang silam tidak berguna. Mereka berhujah bahwa yang silam telah berlalu. Sesuatu yang berlalu telah selesai. Tak berarti lagi untuk menatap masa depan. Tetapi Amir Hamzah - keturunan Melayu Langkat yang terkenal sebagai Raja Penyair Pujanga Baru – memandang yang silam tidak sepenuhnya pupus. Bagi Amir Hamzah yang berlutut dibwah cerpu Maulana itu, dalam beberapa hal yang silam tetap beharga. Ini lah satu diantara rahasia sukses Amir Hamzah yang telah menjadi anugerah Tuhan kepadanya. Pandangan itu amat sanggam.

Didalam buku Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau karya UU Hamidy ini adalah karya yang menganggap massa lalu tetap berharga. Buktinya memang nyata, banyak dialek melayu rantau kuantan yang terangkum didalam kamus ini namun pada saat sekarang sulit ditemukan dalam dialek anak muda melayu rantau kuantan. Begitu beharganya pembukuan dialek melayu rantau kuantan yang dilakukan oleh UU Hamidy ini. Berkat kamus Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau ini, kita masih bisa menemukan Dialek Melayu Rantau Kuantan, walau dalam bentuk kamus.
Walau telah ada dalam bentuk kamus, namun sampai hari ini belum ada cetakan terbarunya.
Article By : Datuk Bertuah

Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan

Tajam Keris Raja Tajam Lagi Pena Pujangga



UU. HAMIDY

JUDUL tulisan di atas adalah kutipan puisi penyair Malaysia Usman Awang, dengan nama pena T Tongkat Waran, yang mendapat kehormatan sebagai seniman negara. Sebagai seniman negara dia mendapat berbagai kemudahan dari negara Malaysia, terutama jaminan biaya perawatan kesehatan seumur hidup. Puisi Usman Awang, pelopor Angkatan 50 Malaysia ini memberikan apresiasi bagaimana keris lambang kekuasaan berbanding pena lambang hati nurani. Keduanya punya ketajaman, tetapi masing-masing berbeda kemampuannya.

Keris sebagai lambang kekuasaan memang telah tampil dengan tindakan yang tegas, bahkan garang lagi menakutkan. Kekuasaan lebih banyak membuat hati manusia lebih keras daripada batu. Itulah sebabnya, kekuasaan jarang dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, tapi lebih sering dipakai untuk mempertahankan kebathilan. Kekuasaan yang dipegang dengan tidak memperhatikan perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya, maka kekuasaan itu hanya menjadi perabot setan. Sebab, hanya dengan pedoman hidup yang sempurna dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, hati manusia menjadi lembut, sehingga tindakannya mengandung hikmah lagi bijaksana.

Perhatikanlah tajamnya keris raja dalam sejarah umat manusia. Fir�aun dengan kekuasaannya sampai memandang dirinya bagaikan tuhan, lalu tega memasukkan Masyitah serta anaknya ke dalam kancah di atas tungku api. Namrud raja Babilonia memberi perintah agar Nabi Ibrahim As dibakar. Nero raja Romawi dengan sesuka hatinya membakar kota Roma. Penguasa Yahudi Israil membantai rakyat Palestina sepanjang tahun tanpa pandang bulu. Dan yang terakhir yang paling hebat, Amerika Serikat dengan kekuasaan dan senjatanya membunuh umat Islam di Irak, Afganistan, Pakistan serta menyiksa umat Islam sesuka hatinya melalui agen di bawah ketiaknya dengan dalih teroris.

Sungguhpun begitu, bagaimanapun juga tajamnya kekuasaan, namun yang disentuhnya hanyalah badan wadak tubuh kasar manusia. Keris atau kekuasaan tidak mampu menyentuh atau menindas hati nurani. Inilah keterbatasan kekuasaan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Kekuasaan dengan mudah luntur dan kandas ketika tak ada kekuatan fisik yang mendukungnya, bagaikan keris yang patah menjadi majal.

Kekuasaan, bagaimanapun juga ambisi hendak mempertahankannya, namun tetap berakhir ketika ajal tiba. Selepas itu apabila mendengar atau membaca namanya, orang akan menyesalinya bahkan akan mengutuknya. Berbeda dengan pengarang yang beriman, namanya harum sepanjang masa. Tulisannya yang dapat menggetarkan hati nurani membuat sang pujangga terbayang masih hidup, sebagaimana dalam daftar pustaka terhadap namanya tidak dipakai kata almarhum.

Tidak demikian halnya dengan ketajaman pena pujangga yang punya sentuhan hati nurani. Ketajamannya tidak hanya sebatas hidup pujangga atau pengarang. Pesan yang digoreskan oleh pena pujangga telah melampaui ruang dan waktu serta mampu bergema sepanjang masa. Leon Agusta membuat rangkai sajak: Betapa batu aku betapa buta aku. Sajak itu mengetuk pintu hati kita sambil memberi pesan bahwa hati yang keras bagaikan batu, membuat mata jadi buta tidak dapat membedakan kenyataan yang dilihat.

Ibrahim Sattah penyair pucuk mali-mali menulis puisi: Sebab maut bernama maut sebab saatnya sampai. Ini juga memberi apresiasi yang benar tentang maut, yakni sesuatu yang niscaya akan datang ketika ajal sampai. Kemudian Idrus Tintin penyair rajawali hutan yang amat tajam improvisasinya, menulis dengan penanya: Banjir oh air, kemarau oh air, derita oh air mata, mengapa tak mengalir? Perhatikan nilai air yang berbeda dalam banjir dan kemarau. Tetapi air mata dari mana airnya jika derita tak pernah diatasi.

Demikianlah ketajaman pena pujangga, yang jelajahnya dapat menembus kalbu dengan hati nurani yang bergetar sepanjang hayat. Tak heran raja-raja Melayu masa silam yang taat beragama Islam, tidak hanya semata menghandalkan ketajaman kerisnya, tapi juga memperhatikan ketajaman pena ulama atau pengarang. Inilah yang berlaku di Aceh, Melaka-Johor dan Riau. Raja-raja Aceh telah memperhatikan pena Hamzah Fansuri dalam ��Syair Perahu��, bahwa kehidupan manusia menuju akhirat bagaikan perahu yang menyeberang. Maka perhatikanlah perahu diri masing-masing. Raja Melaka dan Johor memperhatikan pesan Tun Sri Lanang yang menulis ��Sejarah Melayu�� yang menjadi mutiara segala cerita dan cahaya segala perumpamaan. Maknanya, segala peristiwa yang berlaku di alam ini dengan kudrat dan iradat Allah, adalah pelajaran bagi manusia yang berakal.

Lantas di Riau, para sultan dan raja digedor habis-habisan oleh para pengarang dengan Raja Ali Haji yang paling hebat memberikan peringatan. Pena Raja Ali Haji menuliskan: Seribu pedang yang terhunus dengan segores kalam jadi tersarung. Begitulah ajaibnya kekuatan kalam, dengan rangkai kata yang diridhai Allah Swt. Betapapun hebatnya kekuasaan bahkan peperangan dengan pedangnya. Tapi dengan kehendak Allah akan menjadi reda atau berakhir, dengan pena yang menyampaikan kebenaran.

Raja Ali Haji selalu memberi amaran kepada pemegang teraju di Riau, agar jangan melupakan kematian atau akhirat, sebab mengingat akhirat itu adalah pohon segala kebajikan dan kemenangan. Karena itu tak heran jika ulama pengarang yang cemerlang ini membuat ikat gurindam: Barang siapa mengenal akhirat tahulah ia dunia melarat. Inilah ikat gurindam yang punya ketajaman dan kedalaman tentang makna kehidupan. Apalah hanya arti dunia ini berbanding akhirat. Melarat di dunia hanya dalam bilangan tahun. Tapi melarat di akhirat tidak mengenal pergantian waktu. Begitu pula nikmat dunia hanyalah apa yang bagaikan setetes air dari lautan nikmat di akhirat. Dan masih ada nikmat yang tiada tara di akhirat yang tak pernah dilihat mata, didengar telinga serta tak terlintas dalam hati. Semuanya akan berpunca pada nikmat melihat wajah Allah Yang Maha Indah, suatu nikmat yang tiada batas dan tidak pernah berakhir.

UU Hamidy, Menulis sedikitnya 50 buku tentang Melayu. Budayawan Pilihan Sagang 2007 ini juga tunak menulis esai dan kritik sastra. Kini masih aktif mengajar di Universitas Islam Riau dan bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012

TUN SRI LANANG





Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga. Sebenarnya dia seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya adalah Tun Muhammad. Dia diangkat menjadi raja Samalanga pada tahun 1615. Kisah Tun Sri Lanang ini diambil dari rangkuman beberapa penulis. Ini dia kisahnya.

Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.

Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang telah didudukinya. Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki, India, Persia, Maroko.

Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah). Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Trenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh.

Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari putri Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan tersebut akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh. Namun penunjukkan Tun Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Demi mengatasi perselisihan tersebut, atas saran masyarakat, kedua belas orang panitia tersebut kemudian menghadap sultan Iskandar Muda. Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia harus berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Berdasarkan rencana Putri Pahang, Tun Sri Lanang harus sampai duluan di Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Aceh menghadap Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Setelah meminta pendapat orang - orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking mereka. Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya. Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama Samalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung. Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan di desa Meunasah Leung Samalanga. Pada masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda. Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. MenurutWinstedt, kitab ini dikarang
mulai bulan Februari 1614 dan selesai Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar, Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu tersebut di Aceh sampai lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang -pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir.

Kalimat aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani’il - ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala Raja-Raja”. Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.

[Jejak] Pujangga Agung Tun Sri Lanang




TUN Sri Lanang merupakan seorang sastrawan Melayu. Ia dikenal sebagai penyunting dan penyusun Sulalatus Salatin. Tun Sri Lanang hanyalah gela saja dan nama sastrawan itu adalah Tun Muhammad. Pada waktu penyusunan Sulalatus Salatin ia telah berkedudukan sebagai Bendahara pada Kesultanan Johor.

Tun Sri Lanang dan keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan daerah taklukannya. Keluarganyapun diberi gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & EA Beardow, A Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm 52). Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183).

Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Nanggroe Aceh Darussalam (Pujangga Melayu Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai Februari 1614 dan tuntas Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.

Apabila dibaca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang-pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut; ��Setelah fakir allazi murakkabun �ala jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahdan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani�il - �alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi�l �anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami� tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini Sulalatus Salatin yakni Pertuturan Segala Raja-Raja. (Baca Sulatus Salatin hal 3).

Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin pasal ke 12 bab II menyebutkan: ��Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar dari pada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla �llahu �alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain��.

Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri Lanang.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012

Minggu, 17 Juni 2012

BATASAN ALIH KODE (CODE SWITCHING)



SIGIT RAIS*


ALIH kode (code switching) adalah salah satu gejala kebahasaan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul di tengah-tengah tindak tutur secara disadari dan bersebab. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang melakukan alih kode dapat terlihat dari tuturan yang dituturkannya.

Beberapa ahli telah memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode. Batasan dan pendapat tersebut diperoleh setelah mereka melakukan pengamatan terhadap objek yang melakukan alih kode dalam tindak tuturnya.

Appel (1979:79) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sebagai contoh, yaitu Rani dan Agri adalah pelaku tindak tutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda. Ketika mereka sedang bercakap-cakap di satu taman, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda. Lalu, mereka melakukan alih kode ke bahasa Indonesia setelah kawan mereka, Yudi, yang berbahasa ibu Manado, datang.

Pada awalnya, Rani dan Agri berada dalam situasi "kesundaan", kemudian situasi berubah menjadi "keindonesiaan" setelah Yudi datang. Rani dan Agri melakukan alih kode karena mereka tahu bahwa Yudi tidak mengerti bahasa Sunda. Mereka memilih bahasa Indonesia karena bahasa Indonesialah yang dipahami oleh mereka bertiga. Secara sosiologis, alih kode tersebut memang seharusnya dilakukan untuk menjaga kepantasan dan keetisan salam bertindak tutur. Alangkah tidak pantas dan etis jika Rani dan Agri tetap mempertahankan tindak tutur yang menggunakan bahasa Sunda sementara ada Yudi di situ.

Tidak lama kemudian, datang Zidam yang sebahasa ibu dengan Yudi. Mereka berempat masih menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, setelah Rani dan Agri pergi, Yudi dan Zidam mulai menggunakan bahasa Manado. Artinya, Rani dan Agri telah melakukan alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, sedangkan Yudi dan Zidam telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Manado.

Sementara itu, Hymes (1875:103) mengemukakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Contohnya adalah pergantian ragam bahasa Indonesia santai ke ragam bahasa Indonesia resmi dalam ruang kuliah. Rahmat dan Wulan berbincang-bincang sambil menunggu dosen datang menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Kemudian, dosen datang dan mengajak mereka bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Rahmat dan Wulan telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ragam santai ke bahasa Indonesia ragam resmi. Lalu, setelah dosen selesai mengajar, Rahmat dan Wulan kembali menggunakan bahasa Indonesia ragam santai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang terjadi pada pemakaian bahasa, situasi, dan ragam bahasa.

Soewito (1983) mengklasifikasikan alih kode menjadi dua macam, yaitu pertama, alih kode intern, yaitu alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, misalnya alih kode yang dilakukan oleh Rani dan Agri yang berbahasa ibu bahasa Sunda. Mereka melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda. Kedua bahasa tersebut adalah bahasa yang jadi bahasa sehari-hari mereka.

Kedua, alih kode ekstern, yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dan bahasa asing.

Penyebab alih kode

Banyak hal yang menjadi faktor penyebab seseorang melakukan alih kode. Ketika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, kita kembali mengingat pokok persoalan sosiolinguistik yang dikemukakan Fishman (1967:15), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik, secara umum penyebab alih kode adalah:

Pertama, pembicara atau penutur. Seorang penutur sering melakukan alih kode untuk mengejar suatu kepentingan. Contohnya, dalam suatu kantor pemerintah, banyak tamu yang beralih kode ke dalam bahasa daerah ketika bercakap-cakap dengan orang yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan sebagai satu masyarakat tutur. Dengan demikian, si penutur akan merasa lebih dekat dengan lawan bicaranya. Misalnya, seorang camat yang datang ke kantor wali kota. Camat tersebut ingin dianggap dekat dengan wali kota dengan cara melakukan alih kode ke dalam bahasa daerah.

Kedua, pendengar atau lawan tutur. Biasanya, seorang penutur berusaha mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tuturnya. Contohnya, seorang penjual cinderamata yang melakukan alih kode ke dalam bahasa asing untuk mengimbangi kemampuan berbahasa pembelinya (turis). Dengan demikian, terjalin komunikasi yang lancar dan barang dagangannya dibeli turis tersebut.

Ketiga, perubahan situasi karena kehadiran orang ketiga. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Rani dan Agri yang melakukan alih kode karena kedatangan Yudi yang tidak sebahasa ibu dengan mereka.

Keempat, perubahan formal ke informal atau sebaliknya. Sebagai contoh, kita dapat melihat kasus Rahmat dan Wulan yang mengganti bahasa Indonesia ragam santai sebagai ciri dari suasana informal ke bahasa Indonesia ragam resmi (baku) sebagai ciri suasana formal ketika sedang berhadapan dengan dosen dalam ruang kuliah.

Kelima, perubahan topik pembicaraan. Perubahan topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab terjadinya alih kode. Contohnya adalah percakapan antara seorang direktur dengan sekretaris di sebuah kantor seperti di bawah ini:

Direktur: Apakah surat sudah disampaikan ke PT Selasar Media?

Sekretaris: Sudah, Pak. Sudah saya lengkapi dengan berkas-berkas lampirannya.

Direktur: Ya sudah, kamu boleh pulang. Eh, gimana anakmu? Udah sehat?

Sekretaris: Alhamdulillah, Pak. Mendingan. Makasih buah-buahan yang kemarin ya, Pak.

Direktur: Ah, alakadarnya aja. Dari istri aku, kok.

Semula, mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi saat sedang membicarakan urusan pekerjaan. Tetapi, setelah pembicaraan beralih ke masalah rumah tangga, terjadi alih kode yang melumerkan kekakuan suasana formal dan menggambarkan kedekatan hubungan sekretaris dan direktur di luar hubungan pekerjaan.

Alih kode sebagai salah satu gejala kebahasaan ternyata tidak terlepas dari faktor-faktor penyebab. Faktor-faktor tersebut muncul sesuai dengan tujuan atau motif si pelaku tindak tutur. Selain itu, alih kode adalah salah satu alat yang dapat memperlancar proses komunikasi antarpelaku tutur meskipun mereka datang dari berbagai latar belakang bahasa ibu. Bagaimana dengan Anda?***

* Sigit Rais, pemerhati bahasa, penulis, dan editor buku.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat

Bahasa Daerah Menunggu Mati


ELLY AGUSTINA

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Metro

BAHASA merupakan konektor multidimensi bagi manusia. Kegunaan bahasa yang sangat khas membuatnya mengalami ritme yang juga sangat unik. Keanekaragaman bahasa khususnya di negara kita, Indonesia, dengan masyarakat multibahasa yang berdiglosia membuat bahasa memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kenyataan sosio-linguistik yang demikian berlaku di berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat.

Bahasa daerah yang merupakan satu dari simbol keanekaragaman Indonesia, ranah penggunaannya kini semakin sempit. Dengan kata lain, bahasa daerah kini semakin termarginalkan, baik dari segi penggunaan maupun pemahamannya.

Entitas Organik

Sebagai entitas organik yang dipandang hidup, bahasa dapat diibaratkan sebagai makhluk hidup pula. Makhluk yang dapat bergerak, bergeser, dan senantiasa berubah. Napas kehidupannya pun terbatas.

Berkaitan dengan hal ini, Kloss (1984) mengatakan eksistensi bahasa selalu dalam konteks kebersamaan dengan pemiliknya serta dengan para pengguna bahasa itu sendiri. Secara alami, bahasa yang digunakan dalam komunikasi keseharian selalu mengalami dinamika.

Kloss mengemukakan tiga jenis kematian bahasa. Pertama, kematian bahasa yang tidak disertai pergeseran masyarakat pemakainya. Hal ini mengacu pada bahasa yang tidak lagi digunakan di masyarakat sehingga lambat laun bahasa tersebut akan punah. Kedua, kematian bahasa yang disertai pergeseran masyarakat pemiliknya. Yakni bahasa yang punah karena pengaruh sosial masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Ketiga, kematian yang terjadi karena pergeseran peran dan fungsi bahasa. Sebagai contoh bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan. Sesuai dengan fungsinya, bahasa Indonesia berperan sebagai connecting antarsuku bangsa. Namun, ada dampak negatif lain yang ditimbulkan, yaitu kegunaan bahasa Indonesia disadari atau tidak akan memarginalkan bahasa daerah.

Bahasa Asing

Dewasa ini umumnya orang akan lebih bangga jika mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Korea, dan Arab. Hal itu karena bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa internasional. Namun, sebaliknya, masyarakat kini kurang percaya diri apabila hanya mampu berbahasa daerah, terlebih apabila bahasa daerah yang ia kuasai adalah bahasa daerah dalam tataran rendah.

Sebagai contoh, dahulu orang sudah dikatakan luar biasa (baca: hebat) ketika telah mampu menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dengan baik dan benar. Kemudian hal itu juga tetap dikaitkan dengan kasta dan tingkat pendidikan. Sampai hari ini keadaannya tak jauh berbeda, orang akan dikatakan hebat jika mampu menguasai bahasa asing secara aktif.

Dari aspek pendidikan, jelas perkembangan ini merupakan sebuah kemajuan. Namun, bila dipandang dari sudut linguistik, ada keresahan yang terselip di sana. Bila semakin lama keadaan ini berkembang tanpa penjagaan khusus terhadap eksistensi bahasa daerah, Indonesia harus bersiap membuat kubur kematian bahasa daerah.

Fenomena kebahasaan yang demikian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa, fenomena semacam ini terwakilkan sebuah bahasa yang disebut patois, yakni bahasa yang tidak terpelihara, tidak terolah, dan tidak dikembangkan. Bahasa tersebut hanya digunakan oleh masyarakat kalangan bawah. Sedangkan bahasa Inggris dan beberapa bahasa besar Eropa lainnya digunakan oleh masyarakat kalangan atas sehingga sering disebut sebagai kelompok bahasa dunia pertama.

Perlu Rehabilitasi

Dinamika bahasa daerah yang terus merosot dapat diibaratkan sebagai rumah hunian yang hampir roboh. Situasi ini harus segera diperbaiki dan direhabilitasi. Padahal, seperti yang kita ketahui bahasa daerah merupakan pilar penopang kebudayaan sebuah bangsa. Maka selayaknya kelestarian bahasa daerah harus diperhatikan.

Keberagaman bahasa daerah di Indonesia merupakan potensi unik yang tidak dimiliki bangsa lain. Negeri kepulauan ini memiliki lebih dari 700 bahasa yang tersebar di 33 provinsi. Ragam bahasa dan dialeknya pun berbeda-beda. Keunikan yang tak terbeli, tetapi bisa jadi tergadaikan. Bahkan bisa jadi lambat laun ia akan terkikis dan punah.

Fenomena ini telah terlihat dari banyaknya putra daerah yang tak lagi mampu mewariskan bahasa daerahnya. Jumlah pengguna bahasa daerah di kalangan generasi muda juga mulai berkurang. Kalaupun bisa, hanya sedikit yang mahir menggunakan dalam bahasa daerah tataran tinggi (Jawa: Kromo inggil). Di pihak lain, kita tidak memiliki filter budaya yang baik. Ragam bahasa asing mendesak masuk dan ingin diperhatikan dengan segala keunikan (baca: keanehan) dengan berdalih tren.

Secara sosio-linguistik kreativitas berbahasa selalu melahirkan fenomena kebahasaan baru. Ada fenomena kebahasaan yang wajar, tetapi tak sedikit yang justru aneh. Lazimnya justru pemakaian bentuk kebahasaan yang tidak umum, bahkan terkesan aneh, yang dapat berkembang luas secara cepat.

Seperti contoh bahasa yang sempat beredar di kalangan anak-anak muda. Lihat saja bahasa "dagadu", atau mengucapkan tiap kata dengan sisipan-sisipan baru seperti kata duri menjadi “dugurigi”, bahasa kaum artis dengan segala aksennya, bahkan sampai bahasa kaum waria pun menjadi konsumsi.

Label Indonesia sebagai negara konsumtif mungkin memang sulit untuk dihilangkan. Konsumtif dari berbagai hal termasuk kebahasaan. Begitu mudahnya pengaruh asing masuk dan merangsek keragaman budaya kita, termasuk menggerus kelestarian bahasa daerah. Namun, Indonesia harus optimistis akan potensi uniknya yang tak dimiliki oleh bangsa lain di luar sana.

Suku bangsa, budaya, adat, kuliner, bahasa, semua tertumpah ruah di bumi persada ini. Bila semakin lama keadaan ini berkembang tanpa penjagaan khusus terhadap eksistensi bahasa daerah, sekali lagi, Indonesia harus bersiap membuat kubur kematian bahasa-bahasa tersebut. (n)
Lampost Kamis 14 Juni 2012

[Jejak] Syed Sheikh Al-Hadi, Sang Reformis Melayu Islam


SYED Sheikh Al-Hadi lahir di Melaka 1867 dan meninggal dunia Februari 1934. Syed Syeikh bin Syed Ahmad Al-Hadi telah dihantar ke Riau ketika berusia empat belas tahun untuk mengaji agama dan bahasa Arab dengan seorang pengarang dan juga agamawan yaitu Raja Ali Haji. Pada penghujung abad ke-19 Syed Sheikh telah pergi ke Makkah dan juga Beirut serta Kaherah untuk menambahkan ilmu pengetahuan dalam bidang agama. Ia merupakan anak murid kepada reformis terkenal di Kaherah iaitu Sheikh Muhammad Abduh.

Sekembalinya dari Mesir, Syed Sheikh Al-Hadi telah mendirikan Madrasah Al-Iqbal pada 1907 di Singapura. Dua tahun kemudian menjadi pendakwa di mahkamah Syariah Johor Baharu sehingga 1915. Dia meninggalkan kerjanya tersebut karena minatnya dalam bidang perguruan, kewartawanan dan penulisan. Dia nampak hanya melalui penulisan dia boleh mengembangkan fikrahnya dan menaikkan semangat Islam di kalangan orang Melayu. Dia kemudiannya mendirikan dua sekolah lagi yakni Madrasah Al-Hadi (1915) di Melaka dan Madrasah Al-Mashur (1926) di Pulau Pinang. Beliau menjadi Mudir kepada dua madrasah tersebut.

Rekan seperjuangannya yang turut mempunyai aspirasi yang sama adalah Sheikh Mohd Tahir Jalaluddin Al-Azhari, Sheikh Mohammd bin Salim Al-Kalali dan Haji Abbas bin Mohd. Tahar bergabung tenang untuk mengembangkan fikrah Islam dengan menerbitkan majalah Al-Imam (1906). Di Pulau Pinang di samping menulis, Syed Sheikh menerbitkan majalah Al-Ikhwan (1927) dan Akhbar Saudara (1928). Dia menghasilkan Hikayat Setia Asyik kepada Maksyuknya atau terkenal sebagai Hikayat Faridah Hanum (1925-1926).

Julukan yang sesuai bagi Syed Sheikh Al-Hadi ialah beliau merupakan seorang ‘reformis’, ‘pemikir’, dan ‘novelis dinamis’. Syed Sheikh Al-Hadi adalah sinonim dengan Hikayat Faridah Hanum karena itulah ukuran komitmennya dalam bidang sastra. Hikayat adalah novel pertama yang diperkenalkan kepada alam sastra Melayu. Dia juga melahirkan Siri Cerita Rokamlbul (karya adaptasi), Tafsir Juz Amma (1927), Taman Cinta Berahi (1928), Tafsir Al-Fatihah (1928), Hikayat Cermin Kehidupan (1929), Hikayat Puteri Nurul Ain (1929) dan Kita Agama Islam dan Akal (1931).

Peranan yang dimainkan Syed Sheikh Al-Hadi dalam dunia kesusastraan Melayu bukan hanya setakat melahirkan Hikayat Faridah Hanum, bahkan dia turut mencernakan pemikiran dan menyadarkan bangsa Melayu kepada isu ekonomi dan pejuangan anak watan. Sebagai reformis dia mengetengahkan kepahaman Islam yang diwara-warakan oleh Sheikh Muhammad Abduh. Dia menggunakan majalah dan akhbar yang dipimpinnya untuk menyebarkan fikrah gerakan Islah. Dalam novelnya Syed Sheikh Al-Hadi menyeru agar orang Melayu bersedia untuk menghadapi ajakan perubahan kepada Islam yang mulia sifatnya. Karena kelantangannya dalam mengutarakan ide pembaharuan, tulisannya tidak disenangi oleh golongan ‘establishment’ terutamanya Jabatan Agama negeri-negeri di Tanah Melayu. Jawaban kepada kritikan terhadapnya ialah ‘’Saya menulis apa yang saya kira sebagai sesuatu yang benar’’ (Al-Ikhwan , 16 November 1929). Segala yang diluahkan oleh Syed Sheikh Al-Hadi adalah kesinambungan daripada fikrah reformis atau peng-islah-an oleh Sheikh Muhammad Abduh di bumi Mesir dan banyak tulisannya dirujuk daripada reformis Muslim yang lain dan dalam bidang sastra.

Dia berguru dengan Raja Ali Haji Kelana di Pulau Penyengat Riau yang terkenal sebagai pusat sastra Melayu pada zamannya. Novel-novel lainnya antara lain Faridah Hanum (Cetakan Asal Hikayat Setia Asyik Kepada Maksyuknya atau Hikayat Faridah Hanum (1925-1926), cetakan Pustaka Antara (1964). Hikayat Taman Cinta Berahi Mahir Affandi dengan Iqbal Hanum, Penang: Jelutong Press, 1928 dan Hikayat Pembelaan Dalam Rahsia atau Kasih Saudara Kepada Saudaranya, Penang, Jelutong Press, 1929 serta Hikayat Nurul Ain, Penang: Jelutong Press, 1929.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012

Minggu, 10 Juni 2012

PANGERAN YURIANSYAH

(*)
Pangeran, pangeran
Bangaran Raja Buana, ahli waris Karajaan
Daha

Dibuang paman,
Aria Batahta
Ka Balandean wadah pambukahannya.
Di Kampung Kuin diangkat jadi raja
Pangeran Suriansyah itu galarnya (#)

‘Mun bulan kadap sidin manyarang.
Paman Tamanggung kuat babanaran.
Sungai Kuin dipagar carucukan.
Kampung Carucuk dibari ngaran.
Patih Masih lalu pang baucap
Wan Sultan Damak batatulungan.
Sultan Manulung baparjanjian
‘Mun Banjar manang masuk Islam (#)

Kembali ke : (*)
Paman Tamanggung kalah sabakas.
Lalu dibagi tanah wan watas.
Pangeran ba-islam sabubuhan
Sultan Suriansyah bangaran.

Paman ba-islam nang panambayan.
Di Kampung Kuin ba ’ulah masigit di situ jua sidin bamakam
Damintu kisah Banjarmasin Kembali ke : (*),
ditambah

Kisah pang pagat, habis carita
Kisah Banjarmasin kota barnama.


Lirik lagu diatas menceritakan tentang riwayat hidup Pangeran Samudera atau Pangeran Suriansyah,raja Banjar yang pertama.Beliau lahir sekitar tahun 1550 Masehi.Beliau adalah cucu dari Maharaja Sukarama
yang memerintah berkedudukan di
“Negara Daha ” (sekarang : Negara berkedudukan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan).Maharaja Sukarama adalah keturunan yang
ke-7 dari kerajaan Negaradipa di
Amuntai.Asal usul keturunan raja raja di Negara Daha dan Banjarmasin adalah dari Negaradipa, yang dahulunya Rajanya dan
Ratunya bernama Pangeran Surianata dan Puteri Junjung Buih.Ayah Pangeran Samudra bernama Mantri Djaja dan ibunya Puteri Galuh (sebagian orang
menyebutnya juga Puteri Intan Sari).Sejarah hidup Pangeran Samudera dimulai dengan duka yang
memilukan hati,betapa tidak saat masih bayi Ayah-bunda beliau telah meninggal dunia.Sehingga semasa kecilnya beliau
sudah yatim piatu.Beliau di asuh oleh kakeknya“Maharaja Sukarama”.Pada saat Maharaja Sukarama mangkat terjadi perebutan tahta kekuasaan diantara anak2 beliau,yaitu antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung,bahkan mereka tidak segan2 untuk saling bunuh.Oleh karena itu Maharaja Sukarama memilih
sang cucu yang akan menjadl raja menggantikan beliau,maka sebelum jiwa anak ini terancam.Pangeran Samudera yang masih kecil dan baru berusia 7 tahun itu dihanyutkan di “Sungai Negara ” yang bermuara ke Banjarmasin.Itulah
sebabnya ia lalu disebut"Putera
Mahkota yang terbuang".Dengan sebuah biduk kecil dan sebuah jala
ikan,ia menelusuri sepanjang Hilir sungai Negara yang panjang dan sepi itu.Bertahun-tahun Pangeran Samudera.bertualang
diperairan Muara sungai Barito sebagai“Anak Nelayan Penangkap Ikan ”.Mengembara dari kampung ke kampung sepanjang sungai,seperti Sarapat,Balandean,Tamban,Muhur,Alalak dll.Dan pada akhirnya ia terdampar di Sungai Kuin.Tiada seorang yang tahu bahwa ia turunan
bangsawan Negara Daha.Penguasa
pemerintahan di Kuin waktu itu bernama Patih Masih.'Beliaulah orang yang menaruh belas kasihan memungut Pangeran Samudera dan memelihara sebagai anak kandungnya sendiri,diasuh hingga sampai
dewasa.Akhirnya pejabat di Banjarmasin (dahulunya bernama Bandar-Masih) mengetahui juga rahasia Pangeran Samudera,bahwa beliau adalah keturunan Bangsawan di
Negara Daha.beliau pun lalu diangkat menjadi kepala pemerintahan disitu dan nama Bandar-Masih diganti dengan “Banjarmasin".Karena kecakapannya memerintah/mengatur negeri,maka Banjarmasin
menjadi kota bandar yang ramai.Pedagang-pedagang asing datang berniaga dan banyak pula dari udik (Negara Daha dan Negara Dipa) yang berpindah mencari nafkah ke-bandar yang baru ini.
Akhirnya hal tsb diketahui oleh"sang paman" yaitu Pangeran Tumenggung yang telah berhasil merebut singasana kerajaan di Negara Daha.Lalu diperintahkannya Panglima kerajaan "Panglima Siparoan” dan pasukan bersenjatanya untuk menyerang Pangeran Samudera di Banjarmasin,Mendengar akan diserang,Pangeran Samudera lalu menyusun kekuatan,beliau jg meminta bantuan kepada Sultan Demak dan pada Tahun 1595.Banjarmasin diserang oleh pasukan Pangeran Tumenggung didalam sebuah Perang Besar antara Prajurit Daha dan Banjar,Prajurit Banjar saat itu didukung oleh Prajurit Kerajaan Demak yang beragama Islam.Pangeran Samudera menang dalam perang tersebut,dan
akhirnya memeluk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Pangeran
Suriansyah atau juga seringkali dikenal dengan sebutan “Panembahan Batu Habang”.Serah terima kekuasaan antara Pangeran Tumenggung dengan Pangeran Suriansyah dilakukan pada tanggal 24 Agustus, yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Jadi atau Hari Ulang Tahun Kota Banjarmasin.

Sumber : South Borneo's Mobile Blog