Kamis, 26 Desember 2013

Puisi Lampung Pepaccur, A. Efendy Sanusi

Puisi Lampung: Pepaccur


Pepaccur adalah salah satu jenis sastra lisan Lampung berbentuk puisi yang lazim digunakan untuk menyampaikan pesan atau nasihat dalam upacara pemberian gelar adat. Istilah pepaccur dikenal di lingkungan masyarakat Lampung dialek O. Di lingkungan masyarakat Lampung dialek A dikenal dengan istilah pepaccogh (di lingkungan masyarakat Lampung dialek A Sebatin dikenal dengan istilah wawancan).

Sudah menjadi adat masyarakat Lampung bahwa pada saat bujang atau gadis meninggalkan masa remajanya atau pada saat mereka memasuki kehidupan berumah tangga, pasangan pengantin itu diberi gelar adat sebagai penghormatan dan tanda bahwa mereka sudah berumah tangga. Gelar adat ini diterima dari klan bapak dan dari klan ibu, dilakukan di tempat mempelai pria maupun di tempat mempelai wanita. Pemberian gelar dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah ngamai adek/ngamai adok (jika dilakukan di tempat mempelai wanita), nandekken adek dan inai adek/nandokkon adok ghik ini adok (jika dilakukan di tempat mempelai pria), dan butetah/kebaghan adok/nguwaghkon adok (istilah di lingkungan masyarakat Lampung Sebatin). Setelah gelar diberikan, si penerima gelar diberi nasihat atau pesan-pesan. Nasihat atau pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk puisi yang dikenal dengan istilah pepaccur.

Sekh Abdusshamad al-Palimbani

Syekh Abdusshamad Al Palimbani


Ini Makam Syekh Abdusshamad Al Palimbani Bin Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani di Thailand Selatan tepatnya di daerah Pattani

Beliau Sahabat Datuk kalampayan dan sesama murid Syekh Samman Al Madani yg dikenal dengan 4 Serangkai dari Tanah Jawi bersama Syekh Abdul Wahab Bugis(Menantu datuk kalampayan suami Syarifah) dan Syekh Abdurrahman Al Masri (kakeknya Habib utsman Betawe Pengarang Kitab sifat 20) yang hidup antara 1700-1800 M
Makam beliau di tengah hutan karena beliau dulu ikut serta dalam perjuangan melawan kerajaan Siam Budha Thailand yg ingin merebut tanah Melayu Pattani yg sekarang menjadi bagian negara Thailand.

As-Sheikh Abdul Samad Al-Palembangi mati syahid ketika berjuang bersama tentera Melayu Kedah melawan Tentara Kerajaan Siam Budha Thailand.

(Jejak) Syeikh Abdul al-Falimbani, Pengarang Produktif

SYEIKH Abdul Samad al-Falimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang, meninggal di Pattani, Thailand pada 1832. Nama lengkapnya ialah Abdul Samad bin Abdullah al-Jawi al-Falimbani. Sementara itu, sumber Arab pula menamakannya sebagai Sayyid Abdul al-Samad bin Abdul Rahman al-Jawi. Abdul Samad adalah panglima perang Pattani dan Kedah melawan tentara Siam (1828-1832).

Karya-karya dan al-Falimbani dalam bidang penulisan amat banyak, di antara karyanya ialah: Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, Hidayah al-Salikin Fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mukminin, Al-’Urwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, Ratib ‘Abdal-Samad, Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin.

Selasa, 24 Desember 2013

[Buku] Ketika Anak Nagari Bersuara



Data Buku:
Suara Anak Nagari
Yohanes Wempi
Smart Writing Nusantara Institute
I, Oktober 2013
142 hlm.
MELIHAT sampul depan buku ini, terpampanglah foto penulisnya. Mengenakan baju putih seraya tersenyum disanding penggalan rumah gadang dan tabuik. Ini terlepas dari anggapan masyarakat yang beragam seputar tabuik dengan segala sudut pandangnya yang berbeda pula. Dalam konteks ini, khalayak lebih diarahkan dan diajak untuk melihat sisi baiknya, yakni kentalnya unsur budaya dan dinamika sosial serta gejolak politik yang terjadi di daerah Padang Pariaman itu?tergambar pada kover ini.

Deskripsi pemikiran yang tertuang dalam bentuk kumpulan esai-esai ini sudah bisa diterka pembaca, bahwa esai yang ditulis tak akan jauh berbeda dari pembicaraan seputar gagasan dan pengalaman penulis bergaul dengan masyarakat di tanah kelahirannya.

Manusia memiliki perspektif masing-masing dalam menyikapi suatu peristiwa. Pemikiran-pemikiran yang beragam itu menuai khasanah yang dapat dituangkan pada bentuk tulisan-tulisan yang dapat dibukukan pula. Demikian pula pada buku ini, sebuah pemikiran tentang kebangsaan yang dimulai dari ruang terkecil seperti nagari-nagari di Padang Pariaman.

[Buku] Kebangkitan Budaya Lisan dan Tulisan

Data Buku:Kelisanan dan Keaksaraan
Walter J. Ong
Penerjemah: Rika Iffati
Gading Publishing
September 2013
xxvi + 314 hlm.
BUDAYA lisan bahkan menghasilkan performa verbal yang kuat dan indah serta bernilai artistik dan kemanusiaan tinggi, yang tak mungkin ada lagi begitu tulisan telah menguasai psike. Meski demikian, tanpa tulisan, kesadaran manusia tak dapat mencapai potensinya yang lebih penuh, tak bisa menghasilkan karya-karya indah dan kuat lainnya. Dalam pengertian ini, kelisanan perlu menghasilkan dan ditakdirkan untuk menghasilkan tulisan.

Hal tersebut diungkap oleh Walter J. Ong dalam buku ini bahwa dalam budaya lisan, begitu diperoleh, pengetahuan harus terus-menerus diulang, kalau tidak ia akan hilang: pola pikiran yang baku dan berdasar formula sangat penting bagi pengetahuan dan administrasi yang efektif. Akan tetapi, pada era Plato (427-347 SM) muncul sebuah perubahan: masyarakat Yunani pada akhirnya menginternalisasi tulisan secara efektif–suatu proses yang memakan waktu beberapa abad setelah perkembangan aksara Yunani sekitar tahun 720-700 SM (Havelock, 1963:49, mengutip Rhys Carpenter).