Jumat, 30 Oktober 2015

"Moehammadijah", Statuten, Algemeen Huishoudeljk Regelemen, 1924.


Dibawah ini adalah sebuah buku berukuran 9.5 x 14.5 cm, terbit 90 tahun yang lalu, 49 halaman lengkap, sayangnya saat didapatkan oleh 'rare book', buku langka ini sudah tidak ada covernya. 
Walaupun begitu kecil dan sederhana tapi mengandung sejarah yang sangat menarik, khususnya bagi organisasi besar gerakan Islam, Muhammadiyah.
Judul buku langka ini "Statuten dan Algemeen Huishoudelijk Reglement dari pada Moehammadijah", jadi judulnya kombinasi bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia.
"Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari pada Muhammadiyah", demikian barangkali judul yang dimaksud (maaf kalau keliru). Jadi betapa penting isi buku ini bagi sebuah organisasi.
Pada halaman pertama berbentuk daftar isian nama, nomer anggota (sekoetoe), alamat dan lainnya, pasti buku ini untuk dibagikan dan disimpan para anggota (lihat gambar atas kanan).
Judul buku, lokasi dan tahun penerbitannya yaitu Djokjakarta, cetakan III, th. 1924 terlihat pada gambar atas kiri.
Halaman 2, 3 dan 4 adalah gambar salinan SK pemerintah Belanda untuk Muhammadiyah. 
Halaman 5 berisi 'Statuten "Moehammadijah"' awal sampai akhir halaman 15, menggunakan dwi bahasa, bhs Belanda dan bhs Indonesia (gambar-gambar atas).
'Algemeen Huishoudelijk Reglement "Moehammadijah"', pada halaman 16 dan berakhir pada halaman 42, tampak pada gambar-gambar diatas.
Halaman selanjutnya ada 'Peringatan Bagi Sekalian Moeslimin, Moehammadijin'
Saat buku ini diterbitkan belum dilaksanakan 'Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928', namun buku ini juga sudah menggunakan tulisan dan bahasa Indonesia sesuai dengan jamannya, 90 tahun yang lalu.
Sumber : Buku Langka Blog

Kamis, 29 Oktober 2015

Sastra Melawa Stagnasi Bahasa



BANDARLAMPUNG, FS – Fungsi sastra adalah untuk menghidupkan kata-kata yang dalam keseharian terancam stagnan karena banalisasi kehidupan sosial politik. Bahasa Indonesia yang di tangan politisi dan birokrat terasa kehilangan makna menjadi segar dan hidup dalam olahan penyair atau sastrawan.


Penyair Joko Pinurbo mengatakan hal itu dalam Wisata Seni Baca Sastra 2015 di Taman Budaya Lampung (TBL), Bandarlampung, Kamis (29/10). Selain Joko Pinurbo, tampil juga dalam kegiatan yang diisi baca puisi dan cerpen ini sastrawan AS Laksana, Ahda Imran, Ari Pahala Hutabarat, Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan  Wicaksono Adi.

Menurut Joko Pinurbo, sastra adalah seni bermain kata. “Menulis itu bukan sesuatu yang berat. Bahasa Indonesia itu luar biasa. Tadi saya bacakan puisi yang menunjukkan betapa kata-kata dalam bahasa Indonesia itu bisa menjelma untaian syair yang asyik,” ujar penyair yang biasa disapa Jokpin ini.

Meskipun demikian, kata Jokpin, untuk menulis puisi tidak bisa mengandalkan ilham dari langit. “Kata kuncinya persiapkan bahan yang hendak ditulis. Lakukan riset kecil-kecilan, misalnya tentang persamaan bunyi, lawan kata, sinonim, dan lain-lain untuk menghasilkan tulisan yang baik.”

Riset yang paling mungkin, menurut Jokpin, adalah dengan banyak-banyak membaca. Ia menganjurkan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari bacaan, yang kelak bisa menjadi bahan untuk menulis.

Cerpenis AS Laksana mengaku berkali-kali membuat puisi, tetapi berkali-kali pula ia gagal melahirkan puisi. Ia lalu memutuskan untuk fokus pada penulisan prosa dan esai.

Namun, diam-diam ia selalu mencari kalimat-kalimat yang menarik dari penyair. “Meski tidak menulis puisi, saya suka puisi. Saya selalu banyak membaca puisi untuk mengasah pena saya. Membaca itu kan seperti bercakap-cakap dengan penulisnya,” kata dia.

Penyair Wicaksono Adi yang bertindak sebagai kurator acara ini menambahkan, sastra membawa fakta lain dari sebuah peristiwa atau hal tertentu. Ia mengibaratkan peneliti biologi yang membawa ikan ke laboratorium, sementara sastrawan menghadirkan angin, ombak, pasir dalam karya mereka. (UZK)
Sumber : Fajar Sumatera

Sabtu, 24 Oktober 2015

Transmigrasi Dan Bahasa Daerah Lampung

Aktivitas transmigrasi dari Jawa ke Lampung terjadi sejak lama, 1905, dan berlangsung dalam jangka waktu yang demikian panjang baik resmi Pemerintah maupun spontanitas, sehingga Lampung menjadi nyaris identik dengan Jawa. Lampung tentu mendapatkan sekian banyak keuntungan dari program resmi Pemerintah dan berlanjut dengan transmigrasi spontan ini tetapi ada juga sisi ruginya. Jumlah yang mulai kurang seimbang antara enduduk asli dan pendatang antara lain berimbas dalam penggunaan bahasa daerah. Jumlah penutur bahasa Jawa lebih banyak dibanding penutur bahasa Lampung. Akhirnya belakangan baru disadari bahwa bahasa daerah Lampung kini termasuk salah satu bahasa daerah yang sedang terancam kepunahan, menyusul ratusan bahasa daerah yang telah punah sebelumnya, sementara hingga sekarang belum diketemukan antisipasinya. Dengan demikian maka berarti bangsa ini akan mengalami kerugian karena kehilangan kekayaan yang tak ternilai harganya.



Transmigrasi Lampung yang dimulai sejak zaman Kolonial Belanda ini