Rabu, 21 Desember 2011

BERDAKWAH DENGAN BERNYANYI & MENDONGENG


De yayi sorahing Hadis,

sing sapa bendu wong ika,

mring wong alim sawijine

aprasasat bendu marang

Jeng Nabi Rasulullah,

sing sapa bendu mring Rasul,

sasat bendu maring Allah.

Sing sapa bendu ing Widdhi,

nggone pesti neng neraka,

sing sapa ngujung maring,

wong alim sawiji,

prasasat ngujung Jeng Rasulullah,

sing sapa ngujung mring Rasul

sasat ngujung maring Allah.

Dua bait di atas adalah bait atau ayat ke 70 dan 71 dari Serat Centhini Surat 362, yang menguraikan sikap dan akhlak pergaulan seorang muslim terhadap sesama muslim, terutama terhadap ulama, Kanjeng Nabi dan Gusti Allah. Ajaran tersebut sesuai dengan kitab Ihya ‘Ulumiddin karya ulama dan pujangga besar Al-Ghazali, yang menjadi salah satu bacaan wajib di pesantren-pesantren salaf di pulau Jawa.

Serat Centini adalah judul sebuah kitab “ensiklopedi Jawa” yang disusun oleh tim yang diprakarsai serta dipimpin sendiri oleh Raja Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono V, dan selesai ditulis pada tahun 1823.

Centini konon berasal dari kata Cantik yang kemudian diubah lafalnya menjadi Centini agar terasa lebih indah dan enak di telinga. Centini bisa juga disebut sebuah kitab dakwah tentang syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat yang merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah satu sama lain, yang disusun dalam bentuk novel roman percintaan antara seorang da’i muda dengan isterinya, yang dikemas dalam bentuk berbagai tembang nan indah, lembut, merdu mendayu-dayu.

Sang Da’i yaitu Syeh Amongraga, mengajarkan pokok-pokok peribadatan dan akhlak mulia terlebih dahulu sebelum menggauli isterinya, agar hubungan suami isterinya diridhoi, diberkahi dan dirahmati Gusti Allah. Agar hubungan suami-isterinya dapat dijalaninya sebagai ibadah.

Terjemahan bebas kedua bait tembang tersebut adalah sebagai berikut:

Begitulah dinda petunjuk Hadis,

barang siapa membenci seorang alim

maka sama dengan membenci Kanjeng Nabi (Muhammad Saw)

dan barang siapa membenci Rasulullah

sama juga dengan membenci Gusti Allah.

Barang siapa membenci Gusti Allah

tempatnya di neraka

barang siapa menghormati seorang alim

maka sama dengan memuliakan Kanjeng Rasul

dan siapa yang memuliakan Rasulullah

maka sama dengan memuliakan Gusti Allah

Begitu indah dan halus perangai serta budi pekerti orang-orang zaman dulu. Pelajaran tentang akhlak pergaulan, tentang nilai penghormatan terhadap orang serta dzat yang dimuliakan, ditanamkan melalui nyanyian-nyanyian merdu yang menembus kalbu. Bukan semata-mata dengan pidato atau ceramah yang bernada menggurui, apalagi secara paksa. Semoga kita, generasi-generasi sekarang dan di masa mendatang, bisa mengambil hikmah yang positif dari pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut. Amin.

Dunia Jawa dalam Serat Centhini

Andi Nur Aminah

Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai pengetahuan dan kehidupan masyakat Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat.


SEBUAH tempat makan sederhana menyajikan menu yang unik. Tongseng bajing mlumpat atau tongseng bajing melompat. Biasanya, jenis masakan ini, umumnya menggunakan daging kambing yang dimasak menggunakan kuah berwarna kuning kecokelatan. Rasanya cukup bisa menghangatkan badan dengan perpaduan rempah, seperti kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan merica.

Tapi, Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang ada di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta, menyajikannya lain. Seperti namanya, masakan ini terbuat dari bajing atau tupai. “Saya pernah mencobanya, disarankan oleh teman ke sana karena makanan ini sebagai obat,” ujar Ika Saraswati, seorang ibu asal Bandung. Ibu dua anak ini memiliki penyakit asma yang cukup berat. Menurut Ika, informasi tentang hidangan tongseng tupai ini diperolehnya dari rekannya. “Katanya bagus untuk mengurangi sesak dan bisa menyembuhkan asma,” ujar dia.

Menu masakan tongseng tupai adalah salah satu racikan makanan yang diambil dari naskah kuno Serat Chentini. Sewaktu mengetahui informasi tersebut, Ika pun makin bersemangat berburu kuliner unik itu. “Kalau memang racikan masakannya diambil dari Serat Centhini, saya yakin ampuh.

Orang-orang dulu kan kuat-kuat dan ini pasti resep turun temurun,” ujarnya. Entah karena keyakinannya yang begitu besar dengan efek memakan tongseng tupai itu, sesak napas yang langganan menyerang Ika perlahan berkurang. Dan, setiap ada kesempatan, Ika yang bermukim di Solo, kerap datang ke Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk makan tongseng tupai.

Serat Centhini atau lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia yang berisikan berbagai hal tentang dunia masyarakat Jawa. Dalam berbagai literatur disebutkan, Serat Centhini mulai ditulis pada 1814 hingga 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V). Ini merupakan sebuah karya sastra besar di dunia.

Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.

Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai macam pengetahuan dan kehidupan masyarakat Jawa. Di antaranya, tentang agama, sastra, situs, primbon, keris, obat-obatan, resep masakan, juga seks. Kitab ini bahkan lebih banyak dikenali khalayak sebagai kitab ‘kamasutra Jawa’. Salinan kitab Serat Centhini, yang pasti ditulis menggunakan huruf Jawa kuno, merupakan kesusastraan Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat.

Yang dimaksud macapat adalah tembang Jawa yang diiringi irama tertentu. Jumlah suku katanya pun tertentu, memiliki akhir kata tertentu dalam satu bait tembang. Tembang macapat ini sangat popular merefleksikan suatu peristiwa melalui tembang.

Di beberapa daerah, macapat dikenali pula namun dengan istilah yang lain. Tembang berisikan puisi berirama ini bisa ditemukan pada masyarakat di Bali, Sa sak, Madura, Sunda, dan beberapa wila yah di Sumatra, seperti di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya, diartikan sebagai membaca empat-empat karena untuk membacanya terjalin tiap suku empat-empat. Kisah inti dari kitab ini menceritakan tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga, putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia.

Jayengresmi adalah tokoh yang penuh dengan sisi kekhawatiran, kecemasan, dan keingintahuan. Di sisi lain, saat menjadi Amongraga, ia memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.

Dalam salah satu bagian kitab tersebut dikisahkan dalam pelariannya mencari adik-adiknya, Jayengresmi yang telah berubah nama menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Pada bagian lainnya, Amongraga pun bertemu dan jatuh cinta pada perempuan cantik bernama Tembangraras, putri seorang Kyai. Setelah menikahi Tembangraras, Amongraga banyak memberikan wejangan pada istrinya yang selalu diikuti oleh Centhini, pembantu setianya.

Adalah Elizabeth D Inandiak, penyair Prancis yang juga mantan wartawan yang cukup berjasa menerjemahkan Serat Centhini. Pada 1999, Elizabeth mulai menerjemahkan Centhini dengan bantuan murid rekannya, PJ Zoetmulder, yakni Sunaryati Sutarto, yang piawai berbahasa Jawa klasik.

Ia kemudian menyadur naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis yang diberi judul Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini. Buku tersebut terbit pada 2002. Setelah memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada 2003, Elizabeth kemudian mengalihbahasakan karyanya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi yang diterbitkan pada Juli 2008.

Saat ini, naskah Serat Centhini sudah mulai diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Indonesia. Sunardian Wirodono termasuk salah satu yang menggeluti naskah-naskah Centhini yang kemudian disadurnya dalam bentuk buku. Sunardian, pada April lalu, telah meluncurkan terjemahan Serat Centhini yang dikemasnya dalam judul Serat Centhini Dwi Lingua.

Tak ada yang menyangsikan tingginya peradaban Jawa kuno di zaman terciptanya karya sastra nan indah dalam Serat Centhini. Lantas, pada sebuah pameran buku yang digelar baru-baru ini, seorang kurator dan kolektor buku-buku kuno, Daud, mengaku memiliki salinan naskah kuno Serat Centhini. Naskah kuno tersebut ditemukannya pada 2006 dari seorang purnawirawan yang bermukim di kawasan Menteng. Setelah menyimpan dan merawatnya selama lima tahun, kini Daud berniat menjual naskah tersebut dengan harga Rp 5 miliar.

Mahal? Beragam pendapat bermunculan. Menurut kolektor buku, Andriani Primardiana, jika ditinjau dari segi keilmuwan dan tingginya nilai budaya dari karya pujangga yang telah menulisnya sejak berabad-abad silam, harga Rp 5 miliar adalah wajar. Tidak terlalu mahal untuk sebuah karya yang sangat luar biasa seperti Serat Centhini yang mengandung pengetahuan dan karya seni, Rp 5 miliar itu sangat murah, ujarnya.

Sementara itu, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Joe Marbun mengigatkan, terkait naskah Serta Centhini sebagai salah satu warisan budaya, merupakan warisan yang dilindungi UU No 11/2010 tentang cagar budaya. Sesuai dengan UU tersebut, maka warisan budaya melalui proses penetapan bisa dimiliki individu atau kelompok.

Sesuai UU tersebut, memang dimungkinkan terjadi proses jual beli selama hal itu dilakukan untuk kelestarian warisan budaya tersebut dan tidak dibawa keluar wilayah NKRI. Artinya, negara sebagai regulator terciptanya proses jual beli tersebut, ujarnya.

Dalam UU Cagar budaya, kata Joe, juga disebutkan bahwa proses jual-beli, diprioritaskan pertama kali kepada pihak pemerintah. Apalagi, yang berkaitan dengan warisan budaya yang sangat penting.

Kepala Balai Bahasa, Sugiyono, mengatakan, upaya penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, kata Sugiyono, uang negara terbatas untuk membeli naskah kuno, contohnya Serat Centhini yang dibandrol Daud dengan harga Rp 5 miliar.

Sugiyono pun mengatakan, salinan naskah Serat Centhini saat ini ada tersimpan di Solo dan Yogyakarta. Balai Bahasa sendiri, kata dia, hanya memiliki sadurannya.

Sebagai naskah kuno yang kerap dipakai sebagai referensi sejarah oleh akademisi untuk mengungkap banyak pengetahuan dari berbagai perspektif, Joe mengatakan, adanya patokan harga yang diberikan oleh kolektor terhadap naskah kuno Serat Centhini, merupakan ujian sekaligus kritik kepada berbagai pihak. Terutama kepada pemerintah agar lebih proaktif melihat permasalahan seputar warisan budaya yang sangat kompleks.



Cerita di Balik Rp 5 M Serat Centhini

Terobsesi membangun museum pribadi berisi literatur Tionghoa. Itulah keinginan Daud, kurator dan kolektor buku-buku langka, yang kini me mi liki naskah Serat Centhini. Di tengah hiruk pikuk pameran buku 2011 di Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu, stan Samudra miliknya cukup menarik minat pengunjung.

Stan Samudra menyediakan cukup banyak buku-buku langka. Warna-warna kertasnya sudah mulai menguning dan aroma khas buku tua cukup menggelitik hidung. Beberapa buku diberi sampul plastik lagi. Tapi, di antara buku-buku yang mulai menguning itu ada juga terselip buku-buku baru terbitan medio 2000-an.

Di salah satu pojok ruangan, ada lagi tulisan yang cukup mencolok. Di atas kertas berwarna kuning, tertera : Tan Malaka, Bapak Republika Indonesia, Rp 150 juta; di atas kertas berwarna merah, tertera: Album Foto Orisinil Kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang 1968, Rp 200 juta. Dan, di atas kertas berwarna hitam tertera: gSerat Centhini, Rp 5 Miliar!

Harga fantastis untuk sebuah buku. Daud memiliki alasan tersendiri, membandrol buku Serat Centhini ini seharga dengan mobil sedan supersport keluaran Inggris, Bentley Continental GT, keluaran terbaru. Demi membangun museum pribadi, itulah alasannya. Menurut Daud, koleksi literatur Tionghoa miliknya sudah cukup banyak. Beragam jenis buku, majalah, surat kabar, atau cetakan lainnya yang berbau Tionghoa sudah dikumpulkannya lebih dari 10 tahun lalu. Koleksi-koleksi ini tidak saya jual, justru saya yang membelinya, kata Daud.

Diakuinya, butuh anggaran tak sedikit untuk memenuhi obsesinya itu. Karena itu, jika Serat Centhini yang disimpannya itu akhirnya berpindah tangan dengan harga Rp 5 miliar, hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun museum pribadi, melengkapi koleksi-koleksi literatur Tionghoanya dan tentu saja pemeliharaannya.

Ayah tiga putra ini memilih literatur Tionghoa karena menilai belum banyak orang yang fokus menyimpan dan mengumpulkan literatur Tionghoa. gSaya tidak muluk-muluk, hanya ingin suatu hari kelak, anak-anak kita jika ingin tahu banyak tentang Tionghoa dengan mudah mendapatkannya. Banyak hal yang bisa kita pelajari tentang Tionghoa ini, bahkan sejarah keberadaan kita di Indonesia pun masih terkait ke sana. Apalagi, kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujar Daud.

Menurutnya, pada 2010 lalu, ia pernah dihubungi oleh perwakilan dari Dinas Purbakala Jakarta yang ingin membeli Serat Centhini. Ketika itu, naskah tersebut masih dijual dengan harga Rp 3 miliar. Namun, karena kendala pendanaan, transaksi antara Daud dan pihak resmi negara yang bertugas menyelamatkan naskah-naskah kuno itu tidak terjadi.

Sejumlah Balai Lelang juga pernah mendatangi Daud untuk melihat Serat Centhini miliknya. Namun, semuanya mundur teratur mendengar penawaran harga yang dipatok Daud.

Naskah kuno salinan Serat Centhini diperoleh Daud pada 2006 lalu. Ia mengaku membelinya dari seorang yang tinggal di kawasan Menteng. Awalnya, Daud sendiri tak tahu apa itu Centhini. Dia hanya melihat naskahyang sudah sedikit lusuh tersebut bertuliskan bahasa Jawa kuno. Ia lantas menunjukkan buku itu pada seorang kawan yang mengerti bahasa Jawa. Saat diberi tahu bahwa itu adalah Serat Centhini, Daud pun terkejut bercampur senang.

Naskah yang diperoleh itu diyakini Daud sebagai salah satu dari tiga salinan naskah kuno Serat Centhiniyang ada di dunia. Di dunia ini hanya ada tiga, satu di Keraton Solo, satu di Keraton Yogyakarta, dan satunya ada pada saya, ujar lelaki jebolan teknik sipil ini.

Semakin ke depan, naskah ini akan semakin tinggi nilainya. Soal harga, Daud mengaku mematok harga berdasarkan survei nilai sebuah buku yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun lebih. Menurutnya, di Indonesia tak ada lembaga yang memiliki otoritas menentukan harga buku, maka ia menentukannya sendiri.

Daud yakin, harga yang dipasangnya untuk naskah sekelas Serat Centhini, sudah selayaknya. Kolektor filatelis saja, kata Daud, harganya bisa lebih mahal daripada harga buku yang dibandrolnya. Kalau tidak laku dengan harga itu, ya tidak apa-apa. Saya simpan saja, ujarnya enteng.

Jika tahun lalu dia memasang harga Rp 3 miliar dan tak laku, tahun ini mematok harga Rp 5 miliar dan juga belum laku, maka tahun depan dan seterusnya, nilai naskah ini akan semakin mahal. Karena sebagai sebuah naskah kuno, semakin tua usia nya, semakin tinggi pula nilainya.

Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011

[Teraju] Dari Centhini, Cendana, Hingga Flash Gordon

ANDI NUR AMINAH

Dana terbesar yang dikeluarkan sang kolektor pernah nyaris mencapai Rp 100 juta untuk sebuah komik!


SECARIK kertas berwarna kuning sedikit lusuh terpajang di dalam etalase kaca. Tulisan tangan di atasnya terlihat begitu halus. Jumlahnya ada beberapa lembar. Lembaran-lembaran surat yang ditulis dengan tinta cina berwarna hitam tersebut adalah tulisan tangan Husein Djajadiningrat.

Husein adalah doktor dan profesor pertama di Indonesia. Dia merupakan keturunan puun Cibeo, Kanekes, Ba duy. Putra Raden Wirasuta ini yang pernah diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) menjadi puna ka wan dan prajurit ini lahir pada 8 Desember 1886 di Kramat Watu, Serang.

Husein cukup beruntung memiliki ayah yang berpikiran maju. Ia bisa berseko lah dan mengecap pendidikan Barat yang hanya bisa dinikmati segelintir anak pembesar pribumi di awal abad 20. Selain Husein, sekolah terbatas itu juga dinikmati kakak dan adiknya, Ahmad Djajadiningrat dan Hasan Djajadiningrat.

Namun di antara semua saudaranya, hanya Huseinlah yang berhasil mencapai gelar doktor di Leiden, Belan da. Husein menulis disertasi berjudul Critische Beschouwning van de Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten).

Sementara kakak Husein, Ahmad, kemudian menjadi seorang bupati di Serang. Sedangkan adiknya, Hasan, cukup dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa Barat di awal masa pergerakan nasional.

Surat-surat Husein tersebut, menurut Daud, diperolehnya dari seorang fila telis. Ternyata, saat amplop dibuka di dalamnya masih terdapat surat-surat tulisan tangan Husein. Surat tersebut ada yang ditulis Husein di usia 15 ta hun. Surat-surat tersebut berisi korespondensi Husein kepada orang tuanya. Selain itu ada pula surat yang dibuatnya saat ia kuliah di Leiden. Beberapa surat juga berasal dari kolega Husein di Prancis dan Inggris.

Album Soeharto
Koleksi cukup unik lainnya yang dimiliki Daud adalah sebuah album foto yang berisi foto-foto kunjungan Presiden ke Jepang pada 1968. Dalam album berisi puluhan foto tersebut meng gambarkan keramahtamahan yang terjalin antara Kaisar Hirohito dan Soeharto saat melakukan kunjungan kenegaraan.

Dalam foto tersebut terlihat jelas wajah Soeharto masih sangat muda dan didampingi Tien Soearto, istrinya. Beberapa foto terlihat suasana saat Soeharto dan Tien Soeharto turun dari tangga pesawat kepresidenan, suasana makan malam, suasana kunjungan ke beberapa lokasi startegis di Jepang, hingga suasana saat Soeharto dan istri melambaikan tangan dan akan naik ke pesawat yang akan membawa rombongan kepresidenan ke Indonesia.

Album yang menyimpan foto-foto tersebut terlihat unik, dibungkus semacam kain bermotif bunga-bunga kecil berwarna keemasan. Albumnya ini juga orisinal, sangat unik, ujar Daud.

Dari mana Daud memperoleh album tersebut? Percaya atau tidak, ternyata dia mendapatkannya hanya dari seorang anak pendorong gerobak. Ini koleksi yang sangat berharga tentu saja buat keluarga Cendana, ujarnya.

Lawatan Soeharto ke Jepang ini juga akan dijual Daud. Harganya Rp 200 juta. Saat menemukan album ter sebut, Daud cukup kaget. Sementara anak pendorong gerobak yang menyerahkan album itu sama sekali tidak mengetahui siapa yang ada di foto-foto itu.

Album yang baru sekitar tiga bulan melengkapi koleksi Daud itu didapatnya di kawasan Menteng. Dia pun tak tahu dari mana album itu berasal. Namun yang pasti, album tersebut akan bernilai sejarah, minimal bagi keluarga Cendana.

Komik termahal

Seorang kolektor atau hobbies kadang suka melakukan hal-hal yang sulit diterima oleh masyarakat umum. Berapa pun nilai yang dipatok untuk sebuah barang yang menjadi buruan, itu bisa diupayakan.

Sebagai pemburu buku-buku, Daud pun melakukan hal serupa. Menurutnya, ia pernah menghabiskan uang ham pir Rp 100 juta untuk memburu sebuah komik. Komik? Ya, itulah benda termahal yang harus dibayar Daud dari sederet koleksi yang kini dimilikinya.

Komik yang dibayarnya seharga hampir Rp 100 juta itu merupakan kum pulan komik Indonesia. Salah satunya berjudul Mentjari Poetri Hidjau oleh komikus Nasroen AS. Komik-komik itu terbitan periode 1930 hingga 1980-an.

Di Indonesia, komik baru mulai dikenal pada 1930-an, yang bisa ditemukan dalam media-media Belanda, di antaranya De Java Bode dan D'orient. Tokoh komik yang tercipta adalah Flippie Flink atau Flash Gordon.

Kehadiran komik di Indonesia bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yak ni komik strip dan buku komik. Komik strip merupakan rangkaian gambar yang berisi cerita dan penerbitannya secara berkala dan teratur. Biasanya muncul di koran-koran dan terbit harian atau mingguan. Kisah yang dihadirkan biasanya bersambung hingga tiga halaman atau lebih. Sedangkan buku komik adalah gambar yang bercerita dan ceritanya bersambung hingga tuntas dalam satu buku.

Daud memiliki kedua jenis koleksi komik itu. Komik Flash Gordon, salah satu komik strip yang dipunyainya. Lembar demi lembar komik tersebut dikumpul menjadi satu dengan bantuan biasanya berupa benang hingga menyerupai buku. Setelah komik ter kumpul lengkap, Daud mulai mengalihkan perhatiannya pada komik-komik asing.

Salah satu koleksi komik itu adalah Flash Gordon. Komik yang belakangan kita kenal setelah dianimasikan ke film kartun dengan judul sama itu berbahasa Belanda dan ditulis oleh Alex Raymond. Selain komik yang hitam putih, beberapa komik terbitan luar negeri juga dimiliki Daud, dan cukup mena rik terlihat karena sudah berwarna.

Koleksi lain yang dibanggakan Daud adalah kumpulan jurnal Parin dra. Jurnal ini adalah media yang didirikan khusus untuk menyuarakan Partai Indonesia Raya pada 1935. Sejumlah nama-nama tokoh yang ikut ber gabung dengan Parindra, antara lain, Woeryaningrat, Panji Soeroso, dan Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Nama yang terakhir tak lain adalah kakek Prabowo Subianto, yang kini mendirikan partai Gerindra.

Beberapa majalah mode tahun 1930-an, iklan-iklan koran, termasuk koran Suluh Indonesia edisi perdana pun dimilikinya. Tentu saja, dengan kertas yang semuanya hampir menguning termakan usia. Daud mengaku cukup tersita perhatiannya untuk menjaga koleksinya terutama perawatan. Dan perawatan naskah-naskah lama inilah biaya termahal yang harus ditebusnya.

Berburu Buku-Buku Langka

Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan Daud saat berhasil memboyong naskah kuno atau buku-buku langka. Tak jarang, pria berkulit agak gelap ini berburu ke daerah hingga keluar negeri. Daud bisa mengeluar kan dana berpuluh-puluh juta hingga ratusan juta.

Selain berburu berbagai literatur, sehari-hari sarjana teknik sipil ini juga kerap bergelut di proyek-proyek pembangunan perumahan. Ketertarikannya pada naskah kuno dilakoninya sejak sepuluh tahun yang lalu. Menurutnya, perhatian negara terhadap naskah-naskah kuno yang bernilai sejarah tinggi memang kurang. Namun, dia tak ingin menyalahkan negara atau siapa pun. Saya ingin mengapresiasi saja. Kalau saya bisa, saya saja yang mengapresiasikannya, kata Daud.

Untuk berburu berbagai literatur langka dan kuno, Daud mengaku memang menganggarkan bujet khusus. Meski tak mau menyebutkan jumlahnya, yang pasti bujet utamanya adalah untuk membeli buku.

Menemukan naskah-naskah yang kini melengkapi koleksinya bisa di mana saja. Selain berburu ke berbagai wilayah, kaki lima, pasar-pasar loak, pemulung yang menggunakan gerobak, atau ajang pameran, tak jarang Daud dipanggil ke rumah-rumah untuk mengambil buku. Paling sering ka lau ada orang yang mau pindah rumah. Semua per abotan sudah diangkut, buku-buku kadang disisakan. Nah, saya bagian yang mem bersihkannya, ujar Daud.

Pada saat menyortir buku-buku, di situlah biasa Daud mendapatkan koleksi yang kadang dia pun tidak tahu apa itu. Nama Daud agaknya sudah mulai dikenal sebagai kolektor buku-buku langka. Ia mengaku pernah mendapat hibah buku dari keluarga pakar hukum internasional, Sidargo Gautama atau Gouw Giok Siong.

Koleksi dari pakar hukum UI tersebut baru diperolehnya sekitar dua bulan lalu. Daud datang ke rumah Gouw yang akan dijual, yang berlokasi tak jauh dari RS Pertamina Pusat. Dari situ, Daud mendapatkan berbagai buku-buku tentang hokum yang kebanyakan berbahasa Belanda. Ada satu buku yang panjangnya satu meter. Wah, mungkin di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi pun tidak punya buku itu, ujarnya.

Koleksi buku-buku militer juga pernah dia dapatkan dari rumah seorang mantan pangdam Mulawarman di bilangan Kuningan. Buku-buku militer tersebut diborong Daud dengan harga miring, tentu saja.

Kini, ribuan koleksi hasil buruan Daud disimpan di dua perpustakaan pribadi miliknya di kawasan Serpong, Tanggerang. Sebuah ruko berlantai tiga dan bangunan rumahnya sudah menjadi perpustakaan. Salah satu kamar miliknya dikhususkan menyimpan koleksi literatur Tionghoa. Dari semua buku yang dicarinya, Daud memang mengumpulkan dan menjualnya kembali, kecuali beragam literatur Tionghoa. Karena khusus yang satu ini, Daud memiliki obsesi untuk membuat museum sendiri. andi nur aminah

Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

Sastra Tulis Lampung Berkembang sejak Lama


KOTABUMI (Lampost.com): Tradisi kepenulisan dalam dunia sastra Lampung telah berkembang sejak lama. Beberapa karya sastra yang kemudian diterbitkan seperti Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu adalah sastra tulis, bukan sekadar sastra lisan.

Pandangan ini mengemuka dalam peluncuran dan bedah tiga buku sastra Lampung di STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Sabtu (19-11). Tampil sebagai pembicara dalam acara ini budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dan sastrawan Udo Z. Karzi dengan moderator penyair yang juga dosen STKIP Muhammadiyah Kotabumi Djuhardi Basri.

Ketiga buku tersebut adalah Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung), Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya La-Uddin dkk dan diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar (Ilagaligo Publisher), dan Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (BE Press).

"Warahan Radin Jambat adalah cerita rakyat yang ditulis dengan huruf Lampung dengan bahasa Lampung Sungkai dan Way Kanan. Karena itu dia bukan sastra lisan, melainkan sastra tulis," kata budayawan Iwan Nurdaya-Djafar.

Mengutip pendapat A. Teeuw, Iwan menyebutkan jumlaah masyarakat (suku) yang menggunakan tulisan untuk membuat sastranya lestari relatif sedikit. "Di antaranya di Sumatera, tradisi tulisan sebelum Islam, utamanya diwakili orang Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing memperlihatkan ciri khasnya dalam sastra."

Orang Lampung, menurut Iwan yang juga Asisten II Pemkab Lampung Timur ini, sejak lama mengenal tiga aksara (transliterasi), yaitu huruf Kaganga, huruf Arab Melayu, dan huruf Latin. "Maka sudah sewajarnya jika kita meneruskan tradisi kepenulisan ini, termasuk menulis sastra dengan bahasa Lampung," kata dia.

Udo Z. Karzi menambahkan, di tengah arus globalisasi, ternyata kekuatan lokal menjadi kata kunci untuk memenangkan persaingan bangsa-bangsa. "Bahasa dan sastra Lampung boleh dibilang sebagai petensi lokal yang menjadi modal penting dalam pergaulan antarbangsa," kata peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 ini.


Udo berharap pelestarian sastra tradisi lisan Lampung harus sejalan dengan pengembangan sastra Lampung tulis. "Saya kira ini bukan hal baru. Hikayat Nakhoda Muda yang ditulis La-Uddin dkk tahun 1778 atau Warahan Radin Jambat yang ditulis jauh sebelum itu menunjukkan kepada kita bahwa tradisi tulis kita sudah berlangsung lama. Kita hanya meneruskan tradisi ini," kata dia.

Sedangkan Djuhardi Basri mengatakan, pengembangan bahasa dan sastra Lampung harus didukung dengan kebijakan pemerintah (daerah). "Tanpa itu hanya akan ada individu-individu yang bekerja. Tapi tidak menjadi gerakan yang lebih besar dan masif," ujarnya. (MG1/D-2)
Lampost Minggu 20 Nov 2011