Minggu, 13 Desember 2015

LAMPUNG TUMBAI



Lampung Post | Minggu, 13 Desember 2015

Catatan Perjalanan Lampung-Belanda
Arman Az
Cerpenis, penyuka sejarah dan budaya Lampung

Catatan Frieda Amran:
Selama ini, Lampung Tumbai menyajikan artikel-artikel yang ditulis oleh penjelajah dan orang Belanda yang mampir dan bekerja di Lampung di abad ke-19. Untuk menutup tahun 2016, sebagai selingan menarik, rubrik akan mengetengahkan beberapa artikel yang ditulis oleh Arman AZ mengenai pengalamannya menjelajah meramu pengetahuan mengenai Lampung di negeri Belanda. Selamat menikmati.

Rubrik Lampung Tumbai yang rutin hadir setiap minggu di Lampung Post setahun belakangan adalah salah satu pintu masuk melihat Lampung masa silam dari perspektif penulis-penulis Belanda. Banyak respons positif terhadap Lampung Tumbai. Peminat dan pencari sejarah Lampung dapat mengetahui atau menerka kondisi sosial (juga politik) di Lampung pada era tulisan itu dibuat. Banyak pula yang skeptis atau antipati karena beranggapan bahwa tulisan itu bersumber dari bangsa penjajah sehingga tidak harus diyakini validitasnya. Barangkali ada benarnya. Namun, sebagai bahan kajian sejarah, sebaiknya kita menggunakan filter nalar dan logika menyikapi tulisan yang dihidangkan.

Dalam seminar, simposium, diskusi, atau apa pun namanya; dalam obrolan di bawah atap seng kedai-kedai kopi hingga berbalas komentar di media sosial, yang mengulik ihwal sejarah, acap kita dengar kalimat yang garis besarnya seperti ini: “Barang-barang dari negeri ini (manuskrip, artefak, beragam peralatan, dan sebagainya), ada di Belanda!” Sayangnya, pernyataan itu selesai begitu saja.

Pertanyaan yang kerap abai dikejar adalah; barang atau manuskrip saja yang tersimpan di sana? Berapa jumlahnya? Di mana persisnya benda-benda itu tersimpan? Apa hanya Belanda yang “membawa” barang-barang dan manuskrip-manuskrip itu, mengingat sebelum Belanda ada negara lain yang menduduki daerah-daerah di Indonesia? Pertanyaan ini seolah keburu menguap mengingat “ikatan historis-emosional” antara Indonesia dan Belanda di masa silam.

Medio Juli 2015, Universitas Leiden mengirimkan undangan kepada kami untuk melihat langsung naskah-naskah (manuskrip dan buku) dari Lampung yang tersimpan di perpustakaan mereka. Kami diberi waktu sepanjang November 2015 untuk melihat manuskrip-manuskrip yang tersimpan di sana. Undangan bertanggal 6 Juli 2015 itu bukan datang ujug-ujug atawa tiba-tiba jatuh dari langit. Ada proses panjang yang ditempuh. Upaya mendapatkan repro kamus atau daftar kata bahasa Lampung karya HN Van der Tuuk yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden adalah titik awal dari proses tersebut.

Undangan kedua dari Universitas Leiden (setelah undangan sebelumnya gagal direspons), tidak ingin kami sia-siakan lagi. Selain menginventarisasi naskah-naskah Lampung yang tersimpan di sana, kami juga hendak melacak banyak ihwal yang berkaitan dengan Lampung, misalnya menyambangi sejumlah museum di Belanda yang dalam website-nya memajang beberapa benda peninggalan Lampung dari abad-abad silam, seperti perkakas rumah tangga, perangkat kegiatan adat, kain, senjata tradisional, dan foto-foto tempo dulu dari berbagai daerah di Nusantara, termasuk Lampung.

Dari penelusuran internet, dapat diketahui di museum mana saja barang-barang khas Lampung tersimpan. Dan ternyata bukan cuma di Belanda dan Eropa, tapi tersebar dari Afrika sampai Amerika Serikat. Bahkan, medio tahun ini, ada pihak pribadi di Inggris yang sekian lama memiliki naskah beraksara Lampung dari bambu, mendonasikannya ke museum di sana. Ini info menarik bahwa peninggalan Lampung masih “bergerak” di luar sana.

Museum
Belanda tergolong “negeri museum”. Ratusan museum tersebar di negeri ini. Dari ihwal sejarah hingga hal-hal yang mungkin saja dianggap remeh di Indonesia, seperti museum klompen dan museum minuman. Museum bukan sekadar tempat menyimpan berbagai ihwal masa silam, tapi juga bagaimana menatap masa depan.

Di Amsterdam banyak terdapat museum. Sejumlah museum ada di daftar wajib-kunjung kami, terutama museum-museum yang menyimpan berbagai barang dari Lampung, seperti naskah, kain, dan tempat perhiasan.

Di Netherland Photomuseum, koleksi arsip foto-toto Dutch Indies yang berkaitan dengan Lampung tidak bisa dilihat. Foto-foto itu disimpan di tempat penyimpanan khusus, alasannya karena pengaruh temperatur dan sebagainya. Untuk dapat melihat itu, perlu mengajukan surat dan diagendakan.

Di Tropen Museum, ada pinggan berbentuk ayam. Tempat menaruh seserahan pada prosesi pernikahan. Kami tidak menemukan koleksi tekstil dipajang dalam museum. Menurut petugas, tidak semua barang yang ada di website dipajang di museum. Mengingat faktor kerentanan usia, barang-barang itu disimpan dalam ruang penyimpanan khusus (storage). Ada pula yang dialihkan ke museum lain yang dianggap lebih tepat.

Di Amsterdam Museum, kami berharap menemukan sesuatu yang berkaitan dengan Lampung. Ada semacam tagline menarik saat kami memasuki museum ini: Amsterdam DNA. Lalu, terpikir: bagaimana “DNA Lampung”? Jika sebagian kalangan masih berargumen mana pihak paling tua, mengapa tidak pernah diupayakan tes DNA? Itu upaya ilmiah dan sulit dibantah. Silakan cari sendiri via internet apa manfaat tes DNA dan daerah atau suku mana saja di Indonesia yang sudah pernah mengupayakan tes DNA untuk menentukan usia; DNA siapa yang memengaruhi siapa dan dari mana leluhur mereka berasal.

Pertanyaannya, mau atau tidak? Dianggap penting atau tidak? Persoalan yang sama akan terus terdengar, terus berulang, serupa lagu lama di kaset baru.
Press Museum atau Museum Pers yang berdiri sejak 1902 menyimpan banyak hal tentang jurnalistik Belanda dan dunia. Yang membuat kami tergetar adalah dua video, tentang Soekarno dan Hatta, yang diputar di tempat berdekatan. Slide foto Hatta selama berada di Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia belum lahir masa itu).

Lampung di Belanda

Tidak banyak yang mengetahui bahwa di beberapa kota di Belanda, nama-nama jalannya berasal dari nama daerah atau pulau di Indonesia. Hampir setiap kota, seperti Amsterdam, memiliki daerah yang disebut kawasan Indische Buurt atau kawasan Hindia. Jalan-jalan di kawasan ini diberi nama daerah-daerah di Indonesia.

Nama-nama itu masih bertahan hingga sekarang. Namun, apakah orang yang tinggal di jalan-jalan itu tahu persis letak daerah yang menjadi “tempat” rumahnya, adalah hal lain lagi.

Di Amsterdam, Lampongstraat atau Jalan Lampung, termasuk seruas jalan. Jika disusuri, panjang jalan itu hanya sekitar 130 langkah orang dewasa. Ruas jalan itu kompleks perumahan. Lampongstraat bersebelahan dengan Djambistraat dan Padangstraat. Siapa pun dapat berjalan kaki dari Lampung ke Jambi atau Padang! n
 Sumber : Udo Z Karzi
 

Senin, 23 November 2015

Raden Intan Berjaya


Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


LAMA-KELAMAAN, para pemberontak yang selama ini mengungsi dan bersembunyi mulai menunjukkan diri. Beberapa di antaranya membegal perahu-perahu dagang di gugusan kepulauan Zutphen di lepas pantai Samangka. Mereka juga mulai membangun pondokan-pondokan di tempat-tempat yang dulunya dikenal sebagai Kampung Rogoh, Soemoer, dan Pegantongan.
Ketika pemimpin Belanda di Lampung mendengar kabar ini, ia memerintahkan Pangeran Mangkoe Boemi—kepala marga Way Orang—untuk membawa warganya dengan senjata lengkap ke Rogoh, melewati Soemoer dan Pegantongan. Ini terjadi pada Februari 1852. Pangeran Mangkoe Boemi ditugaskan untuk melacak orang-orang dari kapal-kapal dagang yang dibegal dan ditangkap oleh para pemberontak.
Pada Juni 1852, Pangeran Singabranta, kepala marga Radja Bassa, menarik perhatian Belanda. Pada waktu itu terdengar kabar burung bahwa Pangeran Singabranta telah menyerang iparnya, Tingie Bezar—yang juga merupakan petinggi di Radja Bassa. Tingie Besar terluka. Belanda memerintahkan Tommongoeng Regent untuk membawa Pangeran Singabranta, Tingie Bezar dan dua orang yang melakukan serangan itu ke Telok Betong.

Jumat, 30 Oktober 2015

"Moehammadijah", Statuten, Algemeen Huishoudeljk Regelemen, 1924.


Dibawah ini adalah sebuah buku berukuran 9.5 x 14.5 cm, terbit 90 tahun yang lalu, 49 halaman lengkap, sayangnya saat didapatkan oleh 'rare book', buku langka ini sudah tidak ada covernya. 
Walaupun begitu kecil dan sederhana tapi mengandung sejarah yang sangat menarik, khususnya bagi organisasi besar gerakan Islam, Muhammadiyah.
Judul buku langka ini "Statuten dan Algemeen Huishoudelijk Reglement dari pada Moehammadijah", jadi judulnya kombinasi bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia.
"Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari pada Muhammadiyah", demikian barangkali judul yang dimaksud (maaf kalau keliru). Jadi betapa penting isi buku ini bagi sebuah organisasi.
Pada halaman pertama berbentuk daftar isian nama, nomer anggota (sekoetoe), alamat dan lainnya, pasti buku ini untuk dibagikan dan disimpan para anggota (lihat gambar atas kanan).
Judul buku, lokasi dan tahun penerbitannya yaitu Djokjakarta, cetakan III, th. 1924 terlihat pada gambar atas kiri.
Halaman 2, 3 dan 4 adalah gambar salinan SK pemerintah Belanda untuk Muhammadiyah. 
Halaman 5 berisi 'Statuten "Moehammadijah"' awal sampai akhir halaman 15, menggunakan dwi bahasa, bhs Belanda dan bhs Indonesia (gambar-gambar atas).
'Algemeen Huishoudelijk Reglement "Moehammadijah"', pada halaman 16 dan berakhir pada halaman 42, tampak pada gambar-gambar diatas.
Halaman selanjutnya ada 'Peringatan Bagi Sekalian Moeslimin, Moehammadijin'
Saat buku ini diterbitkan belum dilaksanakan 'Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928', namun buku ini juga sudah menggunakan tulisan dan bahasa Indonesia sesuai dengan jamannya, 90 tahun yang lalu.
Sumber : Buku Langka Blog

Kamis, 29 Oktober 2015

Sastra Melawa Stagnasi Bahasa



BANDARLAMPUNG, FS – Fungsi sastra adalah untuk menghidupkan kata-kata yang dalam keseharian terancam stagnan karena banalisasi kehidupan sosial politik. Bahasa Indonesia yang di tangan politisi dan birokrat terasa kehilangan makna menjadi segar dan hidup dalam olahan penyair atau sastrawan.


Penyair Joko Pinurbo mengatakan hal itu dalam Wisata Seni Baca Sastra 2015 di Taman Budaya Lampung (TBL), Bandarlampung, Kamis (29/10). Selain Joko Pinurbo, tampil juga dalam kegiatan yang diisi baca puisi dan cerpen ini sastrawan AS Laksana, Ahda Imran, Ari Pahala Hutabarat, Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan  Wicaksono Adi.

Menurut Joko Pinurbo, sastra adalah seni bermain kata. “Menulis itu bukan sesuatu yang berat. Bahasa Indonesia itu luar biasa. Tadi saya bacakan puisi yang menunjukkan betapa kata-kata dalam bahasa Indonesia itu bisa menjelma untaian syair yang asyik,” ujar penyair yang biasa disapa Jokpin ini.

Meskipun demikian, kata Jokpin, untuk menulis puisi tidak bisa mengandalkan ilham dari langit. “Kata kuncinya persiapkan bahan yang hendak ditulis. Lakukan riset kecil-kecilan, misalnya tentang persamaan bunyi, lawan kata, sinonim, dan lain-lain untuk menghasilkan tulisan yang baik.”

Riset yang paling mungkin, menurut Jokpin, adalah dengan banyak-banyak membaca. Ia menganjurkan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari bacaan, yang kelak bisa menjadi bahan untuk menulis.

Cerpenis AS Laksana mengaku berkali-kali membuat puisi, tetapi berkali-kali pula ia gagal melahirkan puisi. Ia lalu memutuskan untuk fokus pada penulisan prosa dan esai.

Namun, diam-diam ia selalu mencari kalimat-kalimat yang menarik dari penyair. “Meski tidak menulis puisi, saya suka puisi. Saya selalu banyak membaca puisi untuk mengasah pena saya. Membaca itu kan seperti bercakap-cakap dengan penulisnya,” kata dia.

Penyair Wicaksono Adi yang bertindak sebagai kurator acara ini menambahkan, sastra membawa fakta lain dari sebuah peristiwa atau hal tertentu. Ia mengibaratkan peneliti biologi yang membawa ikan ke laboratorium, sementara sastrawan menghadirkan angin, ombak, pasir dalam karya mereka. (UZK)
Sumber : Fajar Sumatera

Sabtu, 24 Oktober 2015

Transmigrasi Dan Bahasa Daerah Lampung

Aktivitas transmigrasi dari Jawa ke Lampung terjadi sejak lama, 1905, dan berlangsung dalam jangka waktu yang demikian panjang baik resmi Pemerintah maupun spontanitas, sehingga Lampung menjadi nyaris identik dengan Jawa. Lampung tentu mendapatkan sekian banyak keuntungan dari program resmi Pemerintah dan berlanjut dengan transmigrasi spontan ini tetapi ada juga sisi ruginya. Jumlah yang mulai kurang seimbang antara enduduk asli dan pendatang antara lain berimbas dalam penggunaan bahasa daerah. Jumlah penutur bahasa Jawa lebih banyak dibanding penutur bahasa Lampung. Akhirnya belakangan baru disadari bahwa bahasa daerah Lampung kini termasuk salah satu bahasa daerah yang sedang terancam kepunahan, menyusul ratusan bahasa daerah yang telah punah sebelumnya, sementara hingga sekarang belum diketemukan antisipasinya. Dengan demikian maka berarti bangsa ini akan mengalami kerugian karena kehilangan kekayaan yang tak ternilai harganya.



Transmigrasi Lampung yang dimulai sejak zaman Kolonial Belanda ini

Kamis, 20 Agustus 2015

Melampungkan Bahasa Lampung


Oleh Erzal Syahreza Aswir


SETIAP daerah memiliki ciri khas tersendiri yang tak bisa disamakan dengan daerah yang lain. Ciri-ciri tersebut pun beraneka ragam mulai dari warna kulit, jenis rambut, pakaian adat, tradisi warisan leluhur, juga bahasa daerah. Ciri yang berbeda menjadikan hal tersebut sebagai sebuah identitas yang patut dijunjung tinggi.

Di bumi Nusantara ini terdapat berbagai macam identitas daerah yang beranekaragam lantaran negeri ini merupakan sebuah kepulauan, dengan tingkat multikulturalitas yang tinggi. Sebuah kekayaan yang patut dijadikan kebanggan setiap putera-puteri bangsa ini, yang juga berpotensi menjadi sumber kekayaan nasional selain sebagai sebuah identitas nasional.

Berbagai macam kebhinekaan ini tentunya harus dijaga kelestariannya. Baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, selain itu seluruh komponen masyarakat pun berkewajiban untuk menjaga kekayaan yang tidak dapat ditemui di Negara lain. Jika tidak ada upaya untuk bersama-sama menjaga, maka hanya tinggal menunggu waktulah kekayaan ini akan musnah atau bisa jadi direbut oleh bangsa lain.

Di Lampung yang merupakan bagian dari bumi pertiwi juga memiliki berbagai macam kekayaan daerah. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Lampung merupakan ikon dari Gajah Sumatera, yang terdapat di wilayah bagian timur Lampung, yakni Taman Nasional Way Kambas. Lain lagi di Lampung Barat, potensi pariwisata berpeluang besar untuk mengangkat nama Lampung menjulang tinggi, bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi perbincangan tingkat Internasional. Sumber daya alam yang dimiliki oleh tanah bagian Sumatera ini pun sudah menasional, kita ketahui bahwa Lampung merupakan salah satu penghasil kopi serta lada terbesar di Indonesia.