Sabtu, 25 Juni 2011

Dr. O. Hashem: Semangat Hidup, Rasionalitas dan Buku




ohashem

“A hero is born among a hundred, a wise man is found among a thousand, but an accomplished one might not be found even among a hundred thousand men.” (seorang pahlawan lahir di antara ratusan orang, seorang bijak ditemukan di antara ribuan orang, tetapi seorang yang sempurna malah mungkin tidak bisa dijumpai di tengah-tengah ratusan ribu manusia) (Plato, 428-348 SM)



Pepatah mengatakan, kita baru akan merasakan kehilangan sesuatu setelah kepergiannya. Begitulah gambaran umum tentang Omar Hashem Assegaf, nama lengkap dr. O. Hashem, seorang dokter umum yang lebih dikenal sebagai penulis buku-buku keislaman. Setelah menderita sakit cukup lama, ia wafat pada Sabtu 24 Januari 2009 di Rumah Sakit MMC Jakarta. Masyarakat Islam Indonesia baru menyadari, mereka tidak hanya kehilangan seorang ulama yang tidak jaga gengsi, sahabat yang tidak pernah sedih, dan seorang kawan yang selalu menghibur, tentu juga suami yang romantis dan ayah yang tidak pernah marah.

Dalam beberapa kasus, kita sering temukan tokoh-tokoh yang secara publik dikenal luas sebagai seorang yang relijius, humanis dan demokratis. Namun ketika di rumahnya sendiri ia adalah monster yang menakutkan bagi orang-orang di sekitarnya karena perilaku buruknya. Tapi fenonema tersebut tidak berlaku pada sosok Omar Hashem, yang akrab dipanggil Ami (paman, Arab). Apa yang ia tampilkan di luar adalah cermin nyata dari kesehariannya di rumah.



Keluarga

Apabila kata ‘sempurna’ itu terlalu mewah dilekatkan kepadanya, maka cukuplah seluruh keluarganya bersaksi bahwa ia selalu sederhana, berbuat baik kepada siapa pun dan tidak pernah marah. Mereka masih ingat wejangannya untuk selalu bisa menyukuri apa yang ada. Kata Ami, “Menikmati sesuatu tidak harus dengan yang mahal.”

Ami memang tampil apa adanya. Sebagai seorang suami, beliau adalah orang yang setia dan cukup romantis. Seringkali beliau berkata kepada Dijah, panggilan sayang untuk istrinya Khadijah al-Kubra, “Jangan tinggalkan aku. Aku tidak kuat hidup tanpamu.” Dalam beberapa kesempatan, ia seing mengungkapkan kekagumannya kepada istrinya. Ia berkata bahwa amal jariyah yang akan ia tunjukkan ke hadapan Allah adalah kecintaannya yang sangat kepada istrinya. Secara tidak langsung Ami memberitahu, laki-laki yang tidak menghormati istrinya adalah seorang pengecut.

Sebagai orang dari belahan timur Nusantara, Ami familiar dengan hidangan ikan laut. Begitu pun, beliau akan memakan apa saja yang terhidang di meja meskipun mungkin tidak terlalu disukainya. Hingga akhir hayatnya, Ami selalu memuji dan memakan setiap masakan istrinya.

Ami memang dikenal tidak cerewet dalam hal makanan. Tepatnya, tidak merasa punya pantangan. Padahal kondisi tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Ia hanya menghindari makanan-makanan manis karena menderita diabetes. Ia baru berhenti mencecap makanan-makanan kegemarannya bila lambungnya sudah sakit. Dalam kondisi sakit, lima suapan sudah terbilang lahap. Ami tidak suka bubur. Tapi demi menghormati yang menghidangkannya, maka bubur itu ia kunyah juga.

Seandainya sudah mulai bosan dengan menu yang ada, ia akan mengutarakannya dengan guyon yang tidak akan menyinggung perasaan yang mendengarnya. Misalnya “Kita ini kan golongan macan ya, masak makan ayam terus?”

Kesusahan hidup yang menyelimutinya dilawan dengan senantiasa bersalawat dan mengingat Rasulullah. Ami sering mengutip ungkapan Thomas Carlyle, “Kalau singkatnya waktu yang ada, sederhananya alat yg dipakai, dan besarnya hasil yang dicapai adalah ukuran kebesaran seorang anak manusia, maka di muka bumi ini tidak ada orang yang sebesar Nabi Muhammad.” Kemudian beliau menambahkan, “Inilah Muhammad Rasulullah yang menambal sendiri pakaiannya yang robek, memperbaiki sandalnya yang koyak, dan membantu istrinya dengan sepenuh hati. Tapi kewibawaannya lebih besar dari kaisar mana pun.” Waktu yang singkat merujuk pada 23 tahun masa kenabian, alat sederhana itu kuda dan onta, dan hasilnya adalah umat dan peradaban Islam.



Aktivitas

Ami juga dikenal tidak suka diam. Tidak suka melamun. Muhammad Hashem, kakak kandung Ami, bercerita bahwa suatu hari Ami menjelaskan mengapa ia tidak pernah mau diam. Katanya, “Manusia itu adalah makhluk mulia. Keberadaannya harus bermanfaat bagi lingkungan dan rahmat bagi semesta. Sehingga nilai seorang manusia terletak pada aktivitasnya, bergerak. Jadi, ‘Aku bergerak karena itu aku ada!” Nampaknya Ami sangat terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Iqbal, cendekiawan Muslim dari Lahore dan salah seorang pendiri Pakistan.

Tiap pagi Ami, pernah jadi kepala sekolah SMP Muhammadiyah di Manado saat usia 17 tahun, suka minum kopi sambil membaca koran atau buku. Setelahnya ia mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan. Setidaknya, bila tidak membaca buku, ia mengetik. “Abah hanya diam saat tidur.” Tutur Husein, anaknya.

Karena itulah secara alamiah, tugas pembantu di rumahnya sedikit berkurang karena Ami selalu mencuci piringnya sendiri. Meskipun keluarganya sudah melarangnya berkali-kali tidak perlu karena sudah ada pembantu. “Agak norak,” kata Husein sambil tersenyum. Maksudnya, gara-gara majikannya doyan bekerja, pembantu rumah tangga sampai tidak bisa bekerja.

Sikap kuriositasnya sangat getol. Bila ada sesuatu yang ingin diketahuinya akan dicarinya hingga dapat. Contohnya, beliau bisa memindahkan seisi rumah saat mencari buku catur.

Tentang hobinya, siapa sangka bahwa dokter penulis ini jago main catur, bridge, dan domino (gaple). Lawan tandingnya sekualitas grandmaster. Untuk domino, ia mampu mengetahui isi kartu di tangan lawannya. Dan hitungannya selalu tepat. Begitu juga dengan bridge yang suka dimainkannya bersama ibu. Sayangnya Ami tidak suka hingar bingar turnamen.

Bagaimana dengan pembantunya di rumah?

Ami pernah punya pekerja rumah tangga yang beragama Kristen. Wanti-wantinya: “Jangan sekali-sekali coba Islamkan dia.” Bukannya agresif menerangkan ajaran Islam hingga berbusa-busa, Ami malah rutin mengantarkannya ke gereja. Seisi rumah memanggilnya ‘Mbak’, dilarang keras memanggilnya dengan sebutan yang menghina dan merendahkan.

Kebanyakan orang memandang rendah pekerja rumah tangganya (baca: pembantu), lengkap dengan perlakuan khususnya: hanya boleh berkeliaran di dapur, waktu makan dan menunya berbeda dengan majikan, tidak boleh berkumpul dengan majikan dan lain-lain. Pekerja rumah tangga tak ubahnya setengah manusia. Di beberapa ‘tradisi’ keluarga kaya, memanggil pembantu juga tanpa mulut, tapi cukup dengan lonceng. Tidak ada bedanya dengan memanggil anjing.

Tapi Ami memperlakukannya sungguh berbeda. Pembantunya makan satu meja dengan keluarga Ami dengan menu yang sama. Mbak itu dikursuskan dan disekolahkan. Ami ingin ia maju. Karena itulah Mbak itu hanya bekerja selama dua tahun karena ingin sekolah kesusteran di Padang. Tidak selesai sampai di sana, Ami pun rutin mengirimi ia buku-buku kebutuhan sekolahnya. Dari semua hal ini, Ami menasehati keluarganya, “Kita boleh saja tidak mampu secara ekonomi tapi kita mesti urusi semampu kita.”



Orang Kecil

Kehangatannya terhadap sesama tidak hanya dirasakan oleh keluarganya. Semua orang mengakui bahwa Ami sangat peduli kepada masyarakat, terutama orang kecil. Padahal kehidupan beliau pun cukup memprihatinkan. Sangat tidak sebanding dengan titel dokternya yang biasanya sudah hidup mapan sejahtera.

Ami sempat tinggal di Depok 1 tahun, di Condet 2 tahun, di Sukabumi 1 tahun (niat awalnya mau bertani cabe), di Pondok Gede 4 tahun dan terakhir di Jatibening sejak 4 tahun lalu. Sebelum mendiami rumah permanennya di Jatibening, beliau selalu mengontrak rumah.

Ami banyak mengail kebijakan hidup dari orang-orang kecil di sekitarnya. Misalnya dengan tukang sampah di kompleks perumahannya. “Dia orang hebat, masih mau mengurusi kotoran dan sisa makanan kita. Kita yang konon lebih dari segala-galanya darinya belum tentu mau melakukan hal itu.” Kata Ami suatu hari.

Karena kepeduliannya itulah kadang orang rumah jadi kerepotan. “Salah satu barang yang sering hilang dari rumah adalah tang. Setelah dicari-cari, ternyata sudah Abah berikan kepada tukang sampah. Kadang-kadang kita sampai punya cadangan 3 buah tang, untuk jaga-jaga siapa tahu Abah memberikannya lagi kepada orang lain,” tutur Husein Hashem, salah seorang anaknya.

Pernah suatu saat tukang sampah itu tidak kelihatan selama beberapa hari. Setelah dijenguk, ternyata ia sedang sakit. Setelah didiagnosa, Ami segera memberi obat gratis kepada tukang sampah itu.

Di pihak lain, Ami tidak suka mendatangi pejabat atau orang-orang kaya, meskipun masih ada kaitan keluarga dengannya. “Jangan sampai kita disangka datang untuk meminta-minta.” Katanya. Namun hubungan personal tetap dijaga harmonis.

Kedekatan dengan orang-orang miskin sudah dilakoninya sejak kecil. Setidaknya sejak menjadi mahasiswa kedokteran, ia sudah berkomitmen, “Saya tidak akan menolak ditempatkan di mana pun, karena saya sudah mengambil keputusan untuk mengabdi kepada rakyat,” kata ayah empat anak ini.

Pernah suatu kali ada pasien yang membayar biaya berobat rumah sakit. Oleh petugas rumah sakit, uang recehannya yang tidak seberapa itu tidak dikembalikan. Melihat hal itu, ia segera menyuruh uang itu dikembalikan.

Ada seorang pasien miskin datang mengaku sakit karena disantet. Setelah diperiksa diketahui bahwa itu hanya penyakit maag dan demam. Karena tidak punya uang, pasien itu bermaksud membayarnya dengan seekor ayam. Ami menolak. Bahkan pasien itu diberinya obat-obatan dan uang. “Penderita maag biasanya tidak bisa makan karena tidak punya uang. Saya tidak tega untuk mengambil uang mereka,” katanya. Ia sangat prihatin dengan biaya kesehatan yang mahal.

Pada suatu hari pegawai rumah sakitnya dipukul seorang tentara koramil. Dia segera datangi koramil itu dan menuntut pelakunya. Meskipun diteror hingga ancaman bunuh, ia tetap membela karyawannya. Akhirnya orang koramil itu dimutasi.

Ami bersikap keras terhadap pelaku kezaliman. Tapi ia tidak pernah marah kepada pemabuk. Baginya, pemabuk adalah orang baik yang akalnya pendek yang ingin cepat mendapat solusi. Sehingga pemabuk tidak dijauhinya, melainkan didekati dengan persuatif. Banyak pemabuk yang sadar karenanya.

Abdullah al-Jufri berkomentar, kehidupan Ami memang dekat dengan kaum tertindas. Sebagaimana sabda Imam Ali as, “Manusia tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu dizalimi atau zalim terhadap suami/istri, anak dan pegawai/masyarakat.” Dan beliau memilih bergabung dengan orang-orang yang tertindas.

Pulang praktik dari Lampung, ia kembali ke Jakarta dengan uang yang hanya cukup untuk tiket. Meski demikian, uang pensiunannya yang hanya Rp 620 ribu selalu disisihkan 10 kg beras tiap Senin untuk tukang sampah yang mempunyai anak banyak. Padahal ia sering kesulitan untuk membeli obat dan biaya rumah sakit untuk dirinya sendiri.



Tamu

”Efek bicara ngobrol dengan dr. O. Hashem: Pengetahuan bertambah dan semangat meningkat.” (Hassan Daliel al-Idrus)



Sebuah kajian psikologi mengatakan, kepribadian seseorang bisa dilihat dari bagaimana caranya menerima tamu. Dan semua kalangan tahu betapa Ami sangat menghormati orang, apalagi yang bertamu ke rumahnya. Tidak pernah sedikitpun ada rasa kesal atau perasaan terganggu. Bahkan beliau akan mengondisikan tamunya senyaman mungkin.

Ami dikenal sangat memegang etika dan tidak suka bergunjing, selama tidak menyangkut prinsip. Kebiasaannya menerima banyak tamu juga menandakan pertemuannya dengan banyak tipe orang. Sikap orang-orang yang berbeda itu selalu dikondisikannya agar tidak menjadi persoalan. Katanya, “Kita ini tuan rumah. Menghargai tamu adalah kewajiban utama di atas segala-galanya. Mungkin saja kita tidak menyukainya, tapi carilah kesukaannya supaya kita pun turut senang.”

Haidar Yahya, seorang produser musik, yang mengenal Ami sejak 40 tahun lalu, juga punya kesan mendalam tentang sikap ini. Selama ini ia menyaksikan bahwa Ami suka menerima tamu dari berbagai golongan, agama, dan etnik tanpa pilih-pilih. Ami selalu membesarkan hati orang yang datang kepadanya. Semua diperlakukan sama. Beliau hanya tidak suka terhadap orang yang sombong.

Siapa pun orang yang datang ke rumahnya dengan perasaan sempit akan pulang dengan besar hati. Sebodoh apapun ucapan orang akan ditanggapi dulu dengan positif, baru kemudian diluruskan dan dicarikan solusinya. Haidar belum pernah melihat Ami mengusir tamu yang datang, baik secara halus, apalagi secara kasar.

Musa Kazhim, salah seorang penulis buku laris Ahmadinejad, bercerita bahwa Ami sangat menghargai anak-anak muda. Katanya, “Bukan sekali dua kali Almarhum menuturkan kekagumannya pada anak-anak muda yang beraktivitas di bidang keilmuan dan kebudayaan. Kekaguman yang sebenarnya bersumber dari keinginan Almarhum untuk memotivasi mereka.”

Nampaknya Ami Omar dikaruniakan Allah sesuatu yang khas. Penderitaan Ami akan berkurang bila ia bertemu banyak orang. Bicara adalah obat utamanya, baru kemudian obat medis. Semakin ia bertemu banyak orang, semakin semangat dan senanglah ia. Hal ini cukup membingungkan. Di mana-mana orang sakit butuh istirahat yang cukup tapi Ami Omar justru semakin fit saat bertemu orang. Tentu tinggal bagaimana kearifan tamunya.

Ami Omar memang selalu menghormati tamu, namun itu tidak berarti dirinya menjadi hak tamu tersebut sepenuhnya. Tanpa kepekaan sosial yang cukup, tanpa sadar tamu-tamunya menzalimi Ami Omar karena membuatnya tidak punya waktu istirahat yang cukup. Yang tamunya hanya lihat, Ami selalu ceria dan punya rasa humor yang besar, bahkan dalam kondisi sakit berat.

Keluarganya pernah komplain agar beliau membatasi diri dalam menerima tamu. Namun himbauan itu tidak digubris. Tetap saja wajah cerianya muncul ketika ada orang yang datang bertamu. Demi berkhidmat kepada orang lain, beliau merelakan waktu istirahatnya berkurang.

Kata Ami, “Biarkanlah. Tamu ini adalah kewajiban saya untuk menghormatinya. Tidak ada yang bisa intervensi.” Tidak heran, Emha Ainun Nadjib bekata, “O Hashem itu begawan keilmuan dan kemanusiaan.”

Setelah tamu pulang, tugas berat menanti istrinya karena Ami akhirnya menjadi susah tidur sampai pagi karena penyakitnya sering kambuh. Tiap jam ia harus disemprot obat asma untuk mengurangi sakit dada.



Dakwah

Pengetahuannya tentang agama diperolehnya dari membaca buku secara otodididak. “Saya tidak ada pendidikan khusus untuk agama,” ujar pria kelahiran Gorontalo, 28 Januari 1935 ini.

Ketertarikannya dengan dunia dakwah dimulai ketika Ami kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Di sana beliau tinggal di asrama bersama beberapa orang Kristiani. Suatu hari partner main caturnya yang non-Muslim berkata bahwa sebutan Tuhan Bapa itu ada juga di Islam.

Sejak itulah ia intens belajar agama. Lalu belajar bahasa Arab kepada Ahmad al-Idrus dari Lampung, membeli kamus, meminjam buku tata bahasa Arab, kemudian menulis buku yang bersumber dari bahasa Arab. Enam bulan kemudian Ami sudah bisa membaca buku-buku berbahasa Arab.

Bersama-sama dengan lima temannya: Hadi A. Hadi, Hasan Assegaf, Muhammad Suherman (Muhammadiyah), Saad Nabhan (Al-Irsyad), dan Husain al-Habsyi, Ami mendirikan YAPI (Yayasan Penyiaran Islam) pada tahun1961. Tahun 60-an ia berceramah sebulan sekali di ITB dan Unpad. Tahun 1965 ia mulai berdakwah tentang Islam ke orang-orang Tionghoa.

Pada tahun 1960-an, ketika Muhammad Natsir keluar dari penjara, Ami diundang secara rutin untuk ceramah di Dewan Dakwah. Sosok Natsir dikenalnya dengan baik. Bahkan waktu itu Natsir mengirim surat untuk O, Hashem beserta buku Prof. Dr. Verkuyl yang berjudul “Intepretasi Iman Kristen kepada Orang Islam”. Buku itu dijawab oleh Ami dengan buku lagi “Jawaban Lengkap kepada Pendeta Prof. Dr. J. Verkuyl” (1967). Kemudian Natsir mengirimkan lagi surat terima kasihnya. Prof. DR. HM. Rasyidi pernah mengatakan dalam sebuah seminar, “Di depan saya ada anak muda yang menjadi guru saya,” seraya menunjuk kepada Ami.

Setelah lulus Fakultas Kedokteran di Universitas Padjajaran (di Unair sampai sarjana kedokteran), ia ditempatkan di Lampung sebagai dokter puskesmas. Di sana ia masih sering diminta ceramah. Meski ia berencana untuk tidak aktif berceramah, tapi panggilan hatinya melihat minimnya dakwah di sana membuatnya terpanggil.

Baginya, problem dakwah itu kemiskinan. Dulu, kata dokter dari keluarga petani ini, banyak ulama turun ke masyarakat miskin sehingga jarang muncul agama sempalan, karena orang-orang miskin juga mendapat penerangan Islam. “Sekarang ini yang bisa memanggil ulama itu orang kaya, yang bisa bayar. Orang miskin tidak bisa, karena tidak mampu bayar. Ulama sekarang banyak pertimbangan bila diminta berceramah di daerah kumuh, sebaliknya spontan menyanggupi bila yang mengundangnya pengajian orang-orang kaya.”

Demi orang-orang miskin, Ami rela mengabdi tanpa dibayar. Bukan saja pengetahuan agama dan kesehatan yang ia berikan, bahkan obat dan uang pun ia berikan kepada kaum lemah itu.



Rasional

“Kita tidak perlu meminjam mata orang lain untuk melihat berbagai problem dunia. Kita punya mata sendiri untuk lihat segala persoalan.” (kata-kata Iqbal yang sering dikutip O. Hashem)



Berpikir ilmiah sudah menjadi tradisi keluarga bermarga Assegaf ini turun temurun. Berulangkali Ami mengatakan dalam berbagai kesempatan betapa rasionalisme itu sangat vital dalam kehidupan ini. Sesuatu yang kita yakini harus masuk akal dan rasional. Suatu kali beliau berkata, “Gunakanlah otak kita meskipun hanya untuk sekali seumur hidup. Karena rasionalitaslah yang membuat manusia itu dicipta.”

Sikap rasional inilah yang menjadi watak utama beliau dalam menyikapi segala sesuatu. Muhsin Labib, doktor filsafat Islam jebolan UIN Jakarta menuturkan. Pada suatu kesempatan, ia ingin menguji seberapa pintar Ami Omar. Ia bertanya tentang mimpi buruk secara saintifik. Karena selama ini Labib hanya mendapat jawaban-jawaban horor karena selalu dikaitkan dengan dosa, akhirat, dan semacamnya.

Jawaban Ami sungguh menarik. Katanya, syaraf manusia mampu menyimpan milyaran gambar yang tersimpan rapi dalam folder-folder di otak. Gambar-gambar tersebut akan keluar apabila diperlukan, baik disadari maupun tidak. Allah Swt, melalui mekanisme yang sudah ada di dalam tubuh manusia sering memberikan peringatan dini kepada hamba-Nya dalam situasi yang terjepit. Syaraf itulah yang bekerja saat tidak sadar.

Misalnya saja dalam kondisi tidur. Manusia saat tidur seringkali tidak dalam kondisi fisik sehat atau posisi tidur yang benar. Akibatnya, darah tidak mengalir dengan lancar dan asupan ke otak macet. Kondisi ini bisa menyebabkan orang meninggal mendadak.

Nah, dalam upaya menyelamatkannya dalam bahaya kematian, syaraf mengirimkan gambar-gambar yang bisa memberikan rangsangan kesadaran, yang biasanya menakutkan. Dengan hal itulah dia terbangun dan mengubah posisi tidurnya agar darahnya mengalir kembali dengan lancar dan dia selamat dari kematian.

Kota Agung, sebuah kecamatan di Kabupaten Tanggamus, Lampung, turut merasakan efek rasionalitasnya. Saat beliau masih dinas di RSUD setempat, beredar isu tentang harimau jadi-jadian yang sudah membunuh banyak orang. Konon harimau siluman tersebut berasal dari Gunung Kawi, di Jawa Timur.

Yang membuat Ami kesal, berita tersebut tidak disikapi secara proporsional. Malah isu tersebut menjadi bahan obrolan pejabat pemerintah setempat. Pemburu-pemburu yang didatangkan dari Jakarta juga tidak berhasil menangkapnya. Info ini semakin menambah kemistikan harimau tersebut.

Dengan nada protes Ami bercerita, “Mengapa masalah ini menjadi pergunjingan di lembaga pemerintahan? Ketika mereka tidak mampu menjawab masalahnya, mereka larikan ke wilayah mistik yang tidak ada kaitannya sama sekali. Bila harimau itu benar dari Gunung Kawi, kenapa tidak turun di Surabaya saja yang lebih dekat? Apalagi penduduk Kota Agung lebih sedikit dari Surabaya.”

Bersama dua orang keluarga dekatnya, Ami menempuh perjalanan laut selama delapan jam menuju tempat harimau tersebut diduga berkeliaran. Tujuannya jelas, membunuh harimau pemangsa manusia itu dan sekaligus menegaskan bahwa semua isu itu tidak benar. Saat itu belum ada jalan yang bagus untuk kendaraan darat. Banyak pihak yang melarangnya tapi tidak digubrisnya. Katanya, “Hanya macan yang berani melawan macan!” Setelah menunggu beberapa hari dengan umpan terpasang, harimau itu berhasil ditangkap dan dibunuh.

Ami juga dikenal tidak suka mendengar kisah berbau klenik. Hassan Daliel al-Idrus bercerita, pada suatu hari ia dan Ami bertemu dengan seorang mubalig muda kondang yang suka mengajak zikir berjamaah di bandara. Setelah basa basi sejenak, mubalig itu bercerita: ia baru saja mendapat infomasi bahwa dari satelit tertangkap sinar dari arah bumi. Setelah diteropong dengan seksama ternyata berasal dari Indonesia. Dilihat lebih dekat lagi tanah Jawa. Semakin didekati lagi ternyata Depok, dan sinar itu terpusat dari majlis taklimnya. Setelah berpisah, Ami berkata kepada Hassan, “Kenapa anda kenalkan saya dengan orang seperti itu? Saya serasa mau mati mendengar ocehannya!”

Dengan melihat caranya berkhidmat kepada masyarakat, sebenarnya Ami juga percaya dengan efek spiritualitas yang mengaktual di alam material. Namun nampaknya Ami ingin menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman subjektif semacam itu tidak perlu diumbar, apalagi kepada seorang rasionalis semacamnya. Karena orang yang diam atau biasa-biasa saja bisa jadi punya pengalaman mistik yang jauh lebih dahsyat.



Objektif

Omar Hashem selalu berusaha menilai orang seadil mungkin. Anwar Aris, penulis buku ‘Israel is not Real’ (Rajut, 2009) mengungkapkan kesan personalnya. Katanya, kepeduliannya pada ilmu pengetahuan ditunjukkan pada apresiasi objektifnya atas setiap tokoh. Ami Omar suka memuji tokoh yang memang layak dipuji.

Dalam sebuah percakapan, Ami pernah berkata, “Indonesia punya banyak guru bangsa. Seperti Agus Salim, Tan Malaka, Soekarno, DN Aidit. Mereka, dengan berbagai latar belakang ideologinya, mempunyai sumbangsih tak ternilai untuk kemerdekaan bangsa ini.

“Sayangnya, karena setting politik imperialis membuat bangsa ini terhambat kedewasaannya. Bahkan sering kali bangsa ini mengorbankan anak-anaknya sendiri. Sebut saja Aidit. Orangnya itu cerdas. Penguasaannya terhadap literatur barat tidak diragukan. Harus diakui, pada awal-awal kemerdekaan, Aidit turut mencerdaskan bangsa ini. Bahkan Bung Karno tidak berani banyak ngomong jika ada di depan Aidit. Tentu saya tidak menyinggung ideologi komunismenya yang jelas-jelas saya kritik dalam buku saya, ‘Marxisme dan Agama’.” katanya.



Buku

“Setiap orang yang membaca karya beliau bisa disebut sebagai murid beliau. Tidak terkecuali saya. Beberapa kali berbincang dengannya seperti berbicara dengan komputer dengan memori besar. Beliau hampir bisa menyebutkan setiap kisah dan sejarah dengan lengkap. Meski demikan, tema obrolannya tidak selalu tentang agama. Terakhir ke rumahnya, beliau menceritakan tentang sejarah kopi dan jenis-jenisnya. Jenius!” (Ali Reza al-Jufri, mahasiswa UIN Jakarta).



O Hashem adalah dokter kemanusiaan. Tapi aktivitasnya yang paling terkenal adalah penulisan buku. Karya-karyanya yang mencerahkan beredar luas di masyarakat sejak tahun 60-an.

Prof. DR. Abdul Hadi WM, budayawan, mengenang, “Saya sangat berduka atas wafat Ustadz Omar Hashem. Saya sangat menyukai percikan pemikirannya, walaupun disampaikan secara populer. Saya sering membaca buku-bukunya sejak akhir 1960an. Ketika itu saya masih kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Kampus masih fobia untuk mengajarkan pemikiran, kearifan dan hikmah yang berasal dari sumber Islam atau dari khazanah intelektual Islam.

“Saya juga berbahagia karena pada tahun 1971 bertemu dengan adik almarhum Fuad Hashem yang berpulang ke rahmatulllah terlebih dulu. Kami bersahabat sampai tahun 1973 dengan Fuad Hashem karena sama-sama menjadi redaktur mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung.”

Triksi alias Damar Triadi, aktivis Voice of Palestina ini punya kisah sendiri tentang buku ‘Saqifah’. Katanya, meski ia sudah lama memakai fikih Ja’fary, buku Saqifah jelas-jelas paling mengubah wawasannya. Dengan metode yang unik, buku tersebut menjungkirbalikkan pemahamannya yang dulu masih lugu. Semua tokoh diperlakukan apa adanya. Ami Omar memakai analisa studi kritis tanpa mengunggulkan satu tokoh dengan yang lain. Terbukti cara ini menarik minat banyak kalangan dalam melihat sejarah umat Islam. Triksi sendiri mengaku menjadi pengikut Ahlulbait karena melihat sosok Imam Ali, bukan melihat kelakuan sahabat.

Boleh dikata, buku Saqifah adalah garis pembatas dua golongan pembaca, yang objektif dan subjektif. Pembaca moderat akan berpihak rasionalitas. Artinya, data-data masyhur sejarah bisa mentah apabila tidak ketemu logika historis. Bagi mereka, sistem masyarakat yang dibangun Nabi masih mungkin terinlfiltrasi musuh-musuh Islam yang berkedok sebagai pembela Islam. Sedangkan pembaca konservatif tidak akan melihat kompleksitas sejarah umat Islam karena memakai ukuran teologis. Hanya karena hidup semasa dengan Nabi maka mustahil ada ‘sahabat’ yang salah.

Eja Assegaf, seorang desainer buku dan masih keponakan Ami, bercerita: Pernah suatu saat Ami Omar dituduh Syi’ah karena tulisan-tulisannya yang sangat keras. Saat itu, beberapa ulama membuat seminar di Istiqlal yang mendiskreditkan Syi’ah pada tahun 1997. Tidak lama kemudian Ami segera menyusun Syi’ah Ditolak, Syi’ah Dicari, sebagai reaksi akibat kezaliman, penghakiman, fitnah, disinformasi dan miskonsepsi atas ketidakhadiran sumber Syi’ah di seminar tersebut.

Kepada pengecam buku tersebut, Ami menantang, “Silakan Anda ke rumah saya, nanti Anda akan ketemu buku-buku Sunni yg banyak, buku kedokteran dan buku-buku berbahasa Inggris. Justru riwayat-riwayat yang ada di dalam buku saya didominasi riwayat-riwayat Ahlusunah.”

Kata Hassan Daliel (yang bertemu pertama kali dengan Ami pada akhir 1997 setelah 25 tahun mengabdi di Lampung), Ami selalu menulis buku karena reaksi atas fitnah yang ditujukan kepada umat Islam. Buku Saqifah ditulis karena fitnah tentang keluarga Nabi, Keesaan Tuhan adalah reaksi atas Kristenisasi yang marak di Lampung, Marxisme dan Agama dibuat setelah PKI gencar mendeskritikan Tuhan.

Meski bukunya terhitung laris, Ami tidak terlalu peduli. Bila orang lain suka mengabadikan karya-karyanya dengan tujuan ekonomis, Ami justru tidak pusing dengan kondisi penjualan bukunya, apakah berbuah royalti dan hadiah. Ia selalu berharap buku-bukunya bisa diakses oleh umat seluas mungkin.

Ami selalu menjaga nilai-nilai perkawanan dan persahabatan. Tapi tidak setiap orang bisa mendudukkan setiap masalah dengan porsi yang benar. setelah Saqifah keluar, ia banyak menerima cercaan dan ancaman dari berbagai kalangan. Termasuk dari kalangan dekatnya sendiri. Banyak dari mereka yang menjauh. Inilah yang membuatnya sampai menangis. Menurutnya, bila memang tidak suka dengan bukunya, jawablah dengan buku pula supaya tercipta sebuah dialog. Jangan sampai persahabatan hancur.



Agama Lain

“Buktikan saja keyakinan anda. Bila benar maka saya dan keluarga saya akan ikuti agama anda.” (O. Hashem)



Ami Omar akrab dengan kehidupan majemuk, sesuatu yang jarang dirasakan oleh kebanyakan orangnya. Pergaulannya dengan lingkungan Kristen dan agama lain bukan sekadar kenal, melainkan akrab dan bersahabat.

Suatu saat Husein anaknya satu kamar dengan orang Kristen. Seisi rumah ribut mengkhwatirkannya. Ami malah tenang-tenang saja.

Ketika Kristenisasi sedang marak-maraknya di Lampung, beliau mendatangi masyarakat. Ami memberitahu bahwa agama Islam memang tidak memberikan kekayaan instan. Nabi Muhammad saja miskin. Kita hanya punya modal cinta kepada Rasulullah. Itu saja yang kita punya. Apa artinya diri kita bila rasa cinta hanya berbuah Indomie? Biasanya, setelah mendengar omongan Ami yang tanpa menggurui, mereka kembali ke pangkuan Islam.

Pembawaannya yang ramah membuat lawan bicaranya yang beragama non-Islam tidak sungkan untuk berdialog tentang agamanya. Sampai-sampai ada seorang pendeta bergelar doktor yang mempunyai jamaah yang banyak masuk islam gara-gara baca buku tahun 60-an. Sebelumnya pendeta itu mempunyai banyak pertanyaan tentang ketuhanan yang tidak memuaskannya.

Abdullah al-Jufri, pejabat dari Bank Syariah DKI menuturkan, “Saya merasakan kehilangan dengan orang yang begitu jenius dalam hal sejarah Islam dan Kristolog. Meskipun pendidikan formalnya dokter umum, Almarhum hafal banyak ayat di dalam Injil.”

Abdullah mengenal Ami pertama kali ketika Ami bertugas sebagai Kepala UGD RSUD Lampung. Hobinya ngobrol sampai pagi. Yang lebih mengasyikkan Almarhum pandai melucu. Hingga saat ini. Waktu Abdullah menunaikan ibadah haji bersamanya dan Muhsin Labib, Ami menjelaskan tiap tempat yang dikunjungi dengan gamblang.

“Tidak rugi belajar menghargai orang lain.” Omongan ini selalu diulang-ulang kepada Hassan. Tidak heran, Ami akrab dengan berbagai kalangan. “Saya ini anak Betawi yang pergaulannya sempit. Tapi Ami membuat saya belajar banyak tentang pluralisme.” katanya mengenang. Usia Hassan dan Ami terpaut 28 tahun. Tapi Ami memperlakukan dirinya layaknya teman sebaya. “Saya kagum dengan keilmuan dan seni bercandanya.” katanya. Sampai sekarang Hassan mengaku tidak menemukan orang seperti Ami.

Peter, seorang Kristen tetangga di Jatibening, memanggil Ami “Pak Haji” dan selalu mencium tangan Ami dengan sukarela. Hal ini tidak akan terjadi bila Peter tidak merasakan sentuhan nilai-nilai dan kemanusiaan sampai melintas sekat-sekat agama dari O Hashem.



Nasionalisme

Ami Omar bukan sekadar penulis buku-buku keislaman. Beliau punya semangat nasionalisme yang tinggi yang selalu ditunjukkan dalam berbagai kesempatan.

Saat di Lampung, Ami sangat kesal dengan beberapa rekan dokternya yang memanipulasi dana sarana rumah sakit daerah ke anggaran pemerintah melalui Departemen Kesehatan. Ia melakukan teguran dan protes keras sehingga nyaris menamatkan karirnya. Baginya, manipulasi anggaran sama saja dengan mencuri harta rakyat Indonesia.

Pernah ada rombongan dari Majma Ahlulbait Dunia silaturahmi ke Indonesia. Hampir semua ustad Ahlulbait di Jakarta datang. Ami membawa keponakannya, Hasan, yang jago teknologi informasi bahkan pernah diwawancara oleh media televisi di Amerika Serikat. Alih-alih dialog, para tamu itu menceramahi pentingnya dakwah dan segala macamnya.

Ami berkomentar sinis, “Mereka tidak tahu Indonesia sama sekali. Baru datang langsung ingin menceramahi kita, seolah-olah kita ini bodoh. Seharusnya mereka tahu etika, tampung saja masukan dari bangsa Indonesia tentang peran apa yang diharapkan oleh lembaga Ahlulbait internasional. Bila begini terus, mereka merasa jumawa dan tidak akan pernah mau mengerti orang lain. Saya bawa Hasan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa orang Indonesia sudah go international tanpa bantuan mereka sedikitpun.”

Dalam kondisi apa pun, Ami selalu berusaha berobat di puskesmas. Bila tidak bisa ditangani, barulah ia pindah ke rumah sakit pemerintah lainnya. Katanya, “Kalau orang-orang seperti kita tidak mau menghargai puskesmas, lalu siapa lagi?” Ami sering berkata bahwa kemajuan bangsa terletak kepada kecintaan terhadap produk dalam negeri, betapa pun sederhananya.



Gelisah

Menjelang wafat, Ami mengaku gelisah karena dua hal: Adanya orang kaya yang seenaknya saja memanfaatkan ketidakberdayaan orang miskin. Ini merujuk kasus Syeh Puji yang memperistri seorang anak kecil miskin dengan imbalan uang.

Karena itulah, dengan kondisi leher ditopang oleh tangan istrinya, ia berusaha menulis tentang ‘pernikahan dini’ Rasulullah dan Aisyah yang menjadi dalih Syeh Puji. Menurut penelitian Ami, Aisyah bukan berumur 9 tahun sebagaimana yang diyakini banyak kalangan, melainkan sudah dewasa. Demikian kuat rasa keadilan dan pembelaannya terhadap perempuan.

Kegelisahan kedua berkenaan dengan sepak terjang kaum Wahabi, yang suka mengafirkan umat Islam lain yang berbeda paham dengannya. Ami sering berkata, “Nabi Muhammad itu begitu agung, Kitab suci Islam begitu indah. Tapi mengapa umatnya kok galak dan puritan begitu?”

Dari pengalaman-pengalaman hidup seperti itu, Ami Omar terbilang orang yang berani. Tapi ia sesungguhnya anti kekerasan dan klaim merasa benar sendiri. Katanya, “Aksi kekerasan dan merasa benar sendiri hanya akan membawa kerusakan dan kemunduran bagi umat Islam, tidak akan menambah apa pun bagi pelakunya.”



Penutup

Beberapa hari sebelum Ami masuk RS MMC, beliau menelpon Abdullah tentang penyakitnya. Bukannya mengeluh, semuanya diceritakan dengan penuh humor tentang rokok, dokter, dan yang berhubungan dengan kesehatan.

Sejak dulu beliau memang tidak suka bicara tentang penyakitnya. Apalagi mendramatisir penderitaannya. Kalau ditanya sakit apa, ia segera merespon balik dengan jenaka, “Antum butuh penyakit apa dari tubuh ana?”

Di rumah sakit, Almarhum bilang masih punya hutang ingin ziarah ke Karbala, tempat terbantainya Husain bin Ali, cucu Nabi. Beliau juga mengutarakan keinginannya ke Gaza (ketika itu Gaza diserbu oleh Zionis, membunuh 1300 orang), menolong mereka yang tertindas.

Bagi Ami, peristiwa Asyura selalu membuat pipinya yang sudah keriput menjadi basah oleh air mata. Asyura menggambarkan betapa kejamnya manusia terhadap manusia lain. Apalagi sebenarnya Husain tidak berbuat apa-apa, ia hanya tidak ingin berbaiat. Andaikata ia membaiat seorang pemimpin zalim (Yazid bin Muawiyah), berarti ia menyalahi risalah kakeknya, Rasulullah, dan mengakui kezaliman.

Sabtu, 24 Januari 2009, pukul 09:40 WIB, Omar Hashem Assegaf wafat dalam usia 74 tahun akibat komplikasi penyakit kanker, paru-paru, asma, dan diabetes yang dideritanya sejak lama. Jenazahnya dimakamkan sore harinya di Tanah Kusir.

Omar Hashem tidak meninggalkan harta berlimpah. Namun semangat hidupnya yang tak kunjung padam, sikap rendah hati dan rasionalnya dalam menapaki tangga-tangga kehidupan, kecintaannya kepada ilmu pengetahuan sebagaimana yang dibuktikan dalam buku-bukunya akan selalu bersemayam dalam setiap dada pencinta Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Sungguh, bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam telah kehilangan guru dan cendekiawan serba bisa.

Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Selamat jalan guruku, ayahku, sahabatku… [andito]



Karya-karya dr. O. Hashem yang sudah terbit:

1. Rohani, Jasmani dan Kesehatan (1957)

2. Keesaan Tuhan (1962)

3. Marxisme dan Agama (1963)

4. Jawaban lengkap kepada Prof. Dr. Verkuyl (1967)

5. Menaklukkan Dunia Islam (1968)

6. Saqifah: Awal Perselisihan Umat (YAPI Lampung, 1983)

7. Muhammad dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

8. Wanita dalam Islam dan Kristen

9. Sembahyang dalam Islam dan Kristen

10. Nahjul Balaghah

11. Syi’ah ditolak, Syi’ah Dicari (Al-Huda, 2000)

12. Darah dan Air Mata (Al-Huda, 2002)

13. Berhaji Mengikuti Jalur Para Nabi (Mizan, 2004)

14. Muhammad Sang Nabi (Ufuk, 2005)

15. Benarkah A’isyah Menikah dengan Rasulullah saw di Usia Dini? (Mizan, 2009)

Siapa Sudi Berburu Kitab Kuno dan Kitab karya Ulama Nusantara.



Ada seonggok kitab kitab kuno yang disusun secara acak di perpustakaan masjid Al-Anwar kampung Palembang Telukbetung. Konon masjid itu adalah masjid tertua di bandar Lampung, kitab kitab kuno sebagian memang wakaf tetapi sebagiannya lagi kurang jelas dari mana asalnya, karena pewaris buku itu tidak banyak memberikan keterangan, kecuali sebuah pesan agar dijaga.

Sebagian besar kitab itu dalam bahasa Arab, nampaknya buku itu asli terbitan Timur tengah, melihat bahasan dan materinya, besar kemungkinan kitab kitab itu adalah bacaan wajib dalam mengikuti study di Timur tengah. Konon kitab kitab itu tinggal lagi sebagian, sedang sebagian yang lain hancur disusak rayap, bahkan ada yang dihanyut tsunami ketika Lampung dilanda tsunami dahulu AL-.

Dari sekitar dua puluhan buku yang saya buka buka ada diantaranya sebuah buku yang berjudul "HAYAATU AL-HAYAAWAAN AL-QUBRO" (Kehidupan Binatang Binatang Bertubuh Besar). Buku ini sebenarnya sangat menarik, tetapi sayang buku ini tidak dilengkapi dengan gambar-gambar. Buku buku era kini bicara tentang binatang tidak boleh lepas dari gambar gambar binatang yang dibahas. Tetapi saya yakin pada suatu saat juga akan dibutuhkan bahasan bahasan binatang dan alam lainnya berbasis Al-Quran.






Sudah barang tentu pemeliharaan kitab kitab itu jauh dari profesional, dan tidak banyak pihak yang memanfaatkan. Menurut pengurus masjid orang yang sering datang membuka buka Kitab Kuno di situ adalah dr. Oemar Hashem, dia dokter umum tetapi memiliki perhatian yang luar biasa terhadap agama. Satu persatu kitab kitab itu dibuka buka olehnya. dan dr. Oemar Hashem cukup piawai membaca kitab terbitan Timur tengah.

Kemungkinan besar dr.Oemar Hasehem datang ke masjid itu adalah ketika ia dan kawan kawannya sedang memopersiapkan buku Sakifah Bani Sa'idah. Kakak kandungnya yang bernama M.hashem dan seorang sahabat mereka yang bernama Zainal Abidin, ada sekitar tiga bulan mereka mempersiapkan buku itu hingga benar benar terbit.

Sebetulnya dr. O.hashem telah saya minta untuk menjadi Narasumber tetap bersama Prof. Hilman Hadikusuma (pada saat itu belum Profesor) pada group diskusi yang saya bentuk tahun 1981 . Group itu saya namai Study for Islamical Affairs (SIA). Anggota group pun saya batasi hanya 15 orang. Dengan harapan semuanya berkesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. Kedua narasumber itu bersedia melaksanakan tugasnya dengan catatan. Diskusi hanya dilaksanakan di rumah Prof.Hilman dan di rumah O.Hashem, tergantung siapa narasumbernya.

Kedua narasumber itu bersedia untuk menjadi narasumber tetap secara bergantian dengan catatan para peserta benar benar berpartisipasi aktif, dan tidak idem ditto. O Hashem pernah kecewa kepada saya ketika beliau meminta saya mempertemukannya dengan Dosen IAIN Rd.Intan yang pernah menammatkan buku "Ihyaa Ulumuddin", tapi tak seorangpun dinataranya yang berkenan brdialog dengan O.Hashem. Pada saay itu Buku itu belum diterjemahkan.

Ada beberapa buah kitab yang sudah benar benar lusuh diletakkan diatas meja kerja O.Hashem, demikian asyiknya ia membalik balik buku itu, sehingga pembicaraan kami terhambat karenanya. Alhasil untuk beberapa lama beliau tidak bersedia menjadi nara sumber pada group diskusi yang saya bentuk karena beliau fokus pada persiapan penulisan bukunya.

Celakanya Bapak Prof. Hilman Hadikusuma juga memiliki kesibukan yang sama. Sehingga diskusi yang baru kami laksanakan 6 kali itu menjadi terhambat. Demikian asyiknya Prof. Hilman membolak balik Kitab Kuntara rajaniti, kopi cepalo, keterem dan banyak sekali naskah kuno tulis tangan yang hampis setiap hari dibuka bukanya. "Saya ingin menterjemahkan naskah naskah kuno ini ke dalam berbagai buku" katanya.

Namun saya senang, karena diskusi terhambat justeru disebabkan karena kesibukan untuk berkarya yang dilakukan oleh O.Hasem dan Prof. Hilman Hadikusuma. Yaitu karya yang sangat berarti bagi masa depan bangsa. Selama ini barua dua orang itu yang saya tahu persis bahwa keduanya demikian berhajat dengan naskah naskah kuno, walaupun dengan berbeda gaya, dan berbeda sasaran.

Tetapi ketika kita bicara masalah karya Ulama Nusantara, hingga kini saya belum tahu siapa yang yang menggandrunginya. Padahal kabarnya sebagian dari naskah Ulama Nusantara Tempo doeloe itu banyak juga yang di bawa ke Lampung oleh para da;i yang sekaligus saudagar.