Jumat, 31 Desember 2010

MENGAGAS KAMUS BESAR BAHASA LAMPUNG

Opini Lampost : Jum'at, 31 Desember 2010


IVAN NURDAYA DJAFAR

Budayawan

Kamus merupakan khazanah yang memuat perbendaharaan kata suatu bahasa, yang secara ideal tidak terbatas jumlahnya. Hal ini sesuai dengan arti kata kamus yang diserap dari bahasa Arab qamus (jamak: qawamis), yang berasal dari kata Yunani okeanos yang berarti "lautan". Sejarah kata itu jelas memperlihatkan makna dasar yang terkandung dalam kata kamus, yaitu wadah pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa, yang tidak terhingga dalam dan luasnya.

Setiap kebudayaan besar di dunia bangga akan kamus bahasanya. Dalam kenyataannya kamus itu tidak hanya menjadi lambang kebanggaan suatu (suku) bangsa, tetapi juga mempunyai fungsi dan manfaat praktis. Kamus merupakan khazanah perbendaharaan kata suatu bahasa yang menggambarkan tingkat peradaban (suku) bangsa pemiliknya.

Setakat ini, kita memang sudah memiliki kamus bahasa Lampung. Upaya pertama penyusunan kamus tersebut dilakukan oleh M. Noeh dengan judul Kamus Bahasa Lampung. Kemudian menyusul Hilman Hadikusuma (HH) yang menyusun Kamus Bahasa Lampung (Mandar Maju, Bandung, 1994, 153 halaman); tetapi dalam bentuk diktat fotokopi sudah ada sejak 1984. Selanjutnya Fauzi Fattah (FF) dkk. menerbitkan Kamus Bahasa Lampung (Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 2002, 80 halaman). Terakhir, Admi Syarif (AS) menyusun Kamus Lengkap Indonesia-Lampung, Lampung-Indonesia (Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2008, 379 halaman).

Dari keempat kamus tadi, tiga kamus disusun oleh perorangan, kecuali yang disusun oleh FF dkk. Kamus susunan HH dan FF dkk. meliputi dialek O dan A, bahkan pada kamus HH dilengkapi juga dengan 9 logat seturut 9 logat pada peta lingkungan bahasa Lampung yang diperkenalkan JW van Royen. Secara demikian, kamus HH adalah kamus umum. Sedangkan susunan AS hanya dialek O, secara demikian bukan kamus umum. Dari segi jumlah entri (lema), yang terbanyak adalah susunan HH karena merupakan kamus Lampung-Indonesia, sementara susunan AS meskipun lebih tebal tetapi jumlah lemanya lebih sedikit karena merupakan kamus Indonesia-Lampung sekaligus Lampung Indonesia. Kelebihan kamus susunan AS adalah karena dilengkapi dengan aksara Lampung (had Lampung). Bahkan AS yang dosen ilmu komputer juga menyusun kamus elektronik yang mampu menerjemah kata-kata atau kalimat dalam bahasa Lampung dialek O menjadi kata-kata atau kalimat bahasa Indonesia, dan sebaliknya.

Namun, saya memergoki kecerobohan. Pada halaman 24, misalnya, terdapat lema "bordil kain (kb), bordil kawai". Mungkin maksudnya "bordir", yang berarti sulaman; tekat; hiasan dari benang yang dijahitkan pada kain. Sedangkan “bordil” memiliki dua arti (1) rumah panjang terbagi oleh sekat-sekat yang membentuk banyak kamar; (2) rumah pelacuran. Juga pada halaman akhir terdapat Akko Lappung (Angka Lampung) yang masih menggunakan angka Arab, yaitu 1, 2, 3 dst. Perlu diingatkan, bahwa Lampung memiliki angka sendiri yang ditemukan oleh Yahya Ganda sebagaimana dimuat pada bagian lampiran (halaman 43) buku yang disusun oleh Yahya Ganda berjudul Aksara Lampung (penerbit CV Satya Dwi Wibawa, Tangerang, 1995).

Keempat kamus di atas adalah kamus dwibahasa, yang disusun dalam bahasa Lampung dan Indonesia. Dari keempat kamus tadi tentu saja tidak ada yang lengkap, meskipun AS mengklaim kamusnya sebagai kamus lengkap. Sejatinya, memang tidak pernah ada kamus lengkap karena kosakata dan istilah bahasa pada dasarnya terus tumbuh dan berkembang. Istilah kamus besar, misalnya, merujuk kepada makna yang bertalian dengan banyaknya informasi yang terkandung di dalamnya. Bahkan untuk mendaftar kosakata yang sudah ada saja, penyusun kamus masih sering luput.

Saya pernah memanfaatkan kamus-kamus tersebut untuk menerjemahkan sebuah reringget (salah satu bentuk puisi Lampung) dalam dialek O, tetapi tidak tuntas karena tidak menemukan kata suno, ngatemei, betatei, papak, senajin, ngerujung, dilekeu. Bagaimanapun juga, ini bukti bahwa kamus memang tidak pernah lengkap. Dalam ilmu perkamusan (leksikografi) tidak dikenal istilah kamus lengkap. Boleh jadi sebutan itu merupakan propaganda alias siasat dagang, seperti juga muncul pada kamus-kamus kecil yang berjudul raksasa semisal kamus satu miliar!

Para penyusun kamus di atas agaknya juga bukan linguis (ahli bahasa) atau pekamus (leksikograf). Hilman Hadikusuma adalah pakar hukum adat. Meskipun beliau menyusun kamus bahasa Lampung atau mengajar sastra Lampung, sejatinya hal itu merupakan kegiatan sampingan saja karena di dalam penjelajahan hukum adat yang ditekuninya beliau menemukan bahan-bahan itu dan pada zamannya memang belum ada pakar yang mengkhususkan diri pada ranah itu. Demikian pun Admi Syarif, beliau adalah seorang doktor engineering (teknik), bukan linguis.

Dengan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa bahasa Lampung melulu menjadi urusan para sarjana bahasa Lampung. Tegasnya, bahasa Lampung bukan hanya diurus sarjana bahasa Lampung, tetapi juga oleh munsyi. Dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita mengenal Abdullah bin Abdulkadir dan Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan munsyi. Sementara J.S. Badudu dan Anton M. Moeliono adalah sarjana bahasa.

Munsyi adalah suatu kata yang lebih tepat dipahami pada komprehensi ganda antara seseorang dan inklanasi kesukacitaan berbahasa Lampung, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seseorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam idealitas kepujangaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “munsyi” sebagai guru bahasa; ahli bahasa; pujangga.

Maka, para penyusun kamus bahasa Lampung tadi dapatlah kita sebut sebagai munsyi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penyusun keempat kamus di atas, saya menilai bahwa kamus-kamus tadi belumlah memadai. Bak kata pepatah Lampung "bacak nenakan jak melasa; lebih baik cempedak daripada nangka", maka "daripada tidak lebih baik ada". Lain ungkapan, kamus-kamus tadi disusun—mengutip pepatah kembali—“seraya menunggu tukang tiba".

Tetapi, siapakah para "tukang" itu? Di sini saya ingin menyebut Junariah, dosen Universitas Indonesia asal Lampung. Beliau adalah sarjana bahasa Indonesia yang juga menekuni bahasa Lampung dan pernah menyusun kamus bahasa Lampung. Demikian untuk menyebut sebuah nama. Nama lain yang ingin saya sebut adalah Hermanus Neubronner van der Tuuk (1824-94), yang karena tulisannya memiliki suatu kecemerlangan yang sangat tajam bisa menjadikan dirinya voltaire dari Hindia Belanda.

Van der Tuuk bertugas di Indonesia (Hindia Belanda) sebagai perwakilan dari Bible Society, (Nederlands Bijbelgenootschap), suatu organisasi misionaris yang justru dibencinya. Selama seperempat abad dia bekerja untuk Bible Society. Tugas pertamanya adalah di wilayah Batak Sumatra dan menghasilkan kamus Batak-Belanda, tata bahasa Batak Toba, dan menerjemahkan Injil dalam bahasa Batak. Pada tugasnya yang kedua dia ditugaskan di Bali.

Namun karena di Bali saat itu sedang terjadi epidemi, mustahil dia pergi ke sana. Itu baru terjadi pada April 1870, sampai kematiannya di sana pada 1894 dalam usia 70 tahun. Maka untuk sementara dia tinggal di Jawa. Selama tinggal di Jawa secara terpaksa ini dia menerima suatu tugas pemerintah untuk mempelajari bahasa yang dituturkan di distrik Lampung di Sumatra bagian selatan. Dia melakukan perjalanan menjelajah daerah itu selama hampir satu tahun.

Van der Tuuk menerima tugas itu, tanpa ragu, karena rasa ingin tahu alamiahnya terhadap bahasa-bahasa, tetapi juga karena dia ingin melarikan diri dari masyarakat Eropa. Dia tinggal di Lehan, Tarabanggi (Terbanggi) pada sebuah bangunan terbuka, tepat di seberang sungai Seputik (Seputih), dikelilingi oleh hutan.

Maka pada 24 Maret 1869 dia melakukan perjalanan menjelajahi distrik Lampung. Kemudian dia menerbitkan sejumlah manuskrip Lampung dan menulis banyak artikel tentang aspek-aspek bahasanya. Van der Tuuk memandang bahasa itu penting karena dia percaya bahwa bahasa Lampung mewakili suatu tingkat transisional antara bahasa-bahasa Sumatera dan jawa, dan merasakan bahwa studinya akan meningkatkan pengetahuan akan bahasa Jawa kuno atau Kawi.

Linguis lapangan ini melakukan penelitian bahasa dan sastra Lampung selama satu tahun pada 1869. Van der Tuuk membagi bahasa Lampung dalam dua dialek, yaitu dialek Abung dan dialek Pubian. Pembagian ini hanya melihat pada masyarakat beradat pepadun. Sementara itu, Van Royen membagi bahasa Lampung dalam dialek nyow (O) dan dialek api (A) dan membuat peta bahasa Lampung yang memuat 9 lingkungan bahasa (logat).

Pada akhir abad ke-19, perintis linguistik modern di Nusantara ini, setelah menjalani kajian lapangan di Sumatera Selatan pada 1862, sempat menyusun sebuah kamus bahasa Lampung setebal 600 halaman, yang dengan bantuan penutur lokal ditulisnya dalam aksara Lampung, yakni sejenis tulisan Indik. Ini berarti bahwa HN van der Tuuk adalah Bapak Leksikografi Lampung. Dalam buku suntingan Kees Groenceboer bertajuk Een vorst onder de taalgeleerden. Hermann Neubronner van der Tuuk, taalafgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1847-1873 (Leiden: KITLV Uitgeverij) halaman 23, Groenceboer melaporkan bahwa, "Onderweg werkte hij aan een Lampongs woordenboek. Dit woordenboek van circa zeshonderd dichtbeschreven pagina's is echte nooit gepubliceerd, wellicht omdat er geen geschickte Lampongs drukletters beschikbaar waren (Sementara itu, dia menghasilkan sebuah kamus bahasa Lampung. Kamus ini, yang mengandung lebih kurang 600 halaman yang ditulis dengan padat sekali, belum diterbitkan, mungkin karena tiada cara untuk menerbitkan aksara (huruf) Lampung)."

Dalam tulisannya Van der Tuuk as Lexicografer (Archipel 51:113-34) Andreas Teuuw menyebutkan bahwa kamus tersebut dibawanya ke Bali ketika dia bertugas di sana pada 1870-1894. Dia berusaha menyuntingnya tetapi amun rupanya tak punya waktu karena kesibukannya menyusun kamus Kawi-Bali-Belanda, dan karena itu tidak pernah disuntingnya. Kamus Van der Tuuk ini perlu dilacak keberadaannya, semoga saja masih tersimpan di arsip KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall-, Land- en Volkenkunde) Negeri Belanda. Selain Van der Tuuk, peneliti Belanda lain juga melakukan pencatatan bahasa Lampung tetapi bukan dalam bentuk kamus melainkan daftar kata (woorden lijst) semisal O.L. Helfrich dalam bukunya Proeve van eene Lampongsch-Hollandsche woorden lijst bepaaldelijk voor het dialect van Kroe (1891), Daftar kata Lampung-Belanda ini dalam dialek Krui.

Pemerintah Provinsi Lampung perlu menghubungi lembaga tersebut secara resmi dan meminta salinannya. Langkah berikutnya adalah menerjemahkannya ke dalam bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, kamus Van der Tuuk adalah bahan yang amat berharga untuk menyusun kamus besar Bahasa Lampung. Kesulitan menerbitkan kamus tersebut pada zaman Van der Tuuk karena tidak ada cara untuk menerbitkan aksara Lampung kiranya sudah teratasi oleh temuan Admi Syarif yang telah berhasil membuat kamus elektronik bahasa Lampung dan juga membuat aksara Lampung dalam bentuk cetakan. Temuan Admi Syarif ini merupakan jawaban cerdas atas kesulitan yang dihadapi oleh Van der Tuuk.

Selanjutnya, perlu dibentuk tim penyusun kamus besar Bahasa Lampung dengan memanfaatkan kamus-kamus Lampung yang sudah ada khususnya kamus Van der Tuuk. Langkah raksasa ini perlu diambil agar kita memiliki kamus baku (standar). Upaya ini menjadi bernilai strategis mengingat bahasa Lampung diramalkan akan lenyap dalam tempo 75—100 tahun mendatang, seperti diteriakkan oleh pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan pada suatu seminar tahun 1999. Kisah punahnya bahasa ini sungguh bukan dongeng pelanduk atau kancil. Saat ini, bahasa Lampung adalah satu di antara 289 bahasa daerah yang masih hidup. Kalau dulu, jumlah bahasa daerah se-Nusantara tidak kurang daripada 350-an, maka berarti sudah ada bahasa daerah yang lebih dulu lenyap. Malahan, dalam esainya bertajuk Para Teroris adalah Kita (Terorists R Us) yang dimuat dalam Adbuster vol. 13 No. 1 Januari/Februari 2004, Ziauddin Sardar menyatakan sepuluh bahasa mati setiap tahun. Ini berarti seluruh kebudayaan, gaya hidup, dan cara-cara hidup yang berbeda dari manusia lenyap dari muka bumi sebagai suatu akibat langsung dari terorisme kebudayaan yang kita hidupkan terus menerus terhadap dunia.

Oleh karena itu, Pemprov Lampung bersama Universitas Lampung perlu mengambil prakarasa untuk penyusunan dan penerbitan kamus besar Bahasa Lampung atau kamus balak Bahasa Lampung (KBBL) tersebut. Kamus besar adalah kamus yang memuat khazanah secara lengkap, termasuk kosakata istilah dari berbagai bidang ilmu yang bersifat umum. Paling tidak, dalam bentuk kamus umum, yaitu kamus yang memuat kata-kata yang digunakan dalam pelbagai ragam bahasa dengan keterangan makna dan penggunaannya, dengan menghindarkan istilah teknis atau kata yang digunakan di lingkungan terbatas.

Jika KBBL itu berhasil diterbitkan, dapatlah kita menyatakan bahwa kamus Lampung merupakan khazanah perbendaharaan kata bahasa Lampung yang menggambarkan tingkat peradaban suku-bangsa Lampung.

Betapa pun, kekayaan bahasa beserta aksara dan angka Lampung mesti diselamatkan, agar "mak lebon Lampung di bumi"; takkan hilang Lampung dari bumi. Upaya itu mesti kita lakukan mulai sekarang juga. Penyusunan kamus merupakan proses yang panjang. Setiap tahap dalam proses itu merupakan kumulasi dari penelitian dan analisis bahasa serta kegunaan praktis hasil proses sebelumnya. Setiap penerbitan kamus diarahkan kepada kecermatan pencatatan bahasa dan kesempurnaan penyusunan yang setinggi-tingginya, walaupun setiap terbitan tidak dapat dilepaskan dari "ideologi bahasa".

Dalam hal yang terakhir ini, fungsi KBBL di atas kiranya bukanlah untuk memelihara kemurnian bahasa, melainkan berusaha mencatat dan menafsirkan pemakaian bahasa secara cermat, tanpa mendikte mana yang betul dan mana yang salah. Penyusunan KBBL itu adalah kerja besar dan perjalanan panjang. Perjalanan panjang selalu diawali dengan langkah pertama, kata Mao Zedong. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi, Tuan? Ki mak ganta kapan moneh, ki mak gham sapa moneh, pun? n

Senin, 27 Desember 2010

SASTRA LAMPUNG BUKAN SASTRA LISAN

Apresiasi Lampost : Minggu, 19 Desember 2010

IWAN NURDAYA JAFAR

Tajuk tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis.

PANDANGAN yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.

Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.

Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.

Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.

Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.

Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.

Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.

Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.

Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).

Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.

Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.

Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.

Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).

Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).

Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.

Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.

Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan

Senin, 20 Desember 2010

PRASASTI "DALUNG KURIPAN"

FACHRUDDIN.


Penganrar.
Prasasti ini disebut Dalung Kuripan karena ditulis di media dalung, tembaga pipih persegi empat, yang diketemukan di Desa Kuripan. Prasasti ini ditulis dalam huruf pegon, berbahasa Banten. Nama yang tercantum dalam prasasti itu adalah Pangeran Sabakingking dan ratu darah Putih, ini berarti bahwa prasasti tersebut ditulis pada masa itu. Keratuan Darah Putih pada saat itu diduga sebenarnya telah menjadi pusat penyiaran agama Islam di daerah lampung, karena Putri Sinar Alam dari keratuan Pugung ini, karena latar belakang perkawinan itu tidak lepas dari dua hal, pertama dalam rangka penyiaran agama Islam, kedua dalam rangka mengantisipasi masuknya bangsa penjajah di daerah lampung. Dalam artian bahwa sebenarnya persaudaraan secara agama telah terjalin. Dan keduanya merupakan turunan Pangeran Cirebon.

Naskah isi Prasasti.

Ratu darah putih linggih dating lampung, maka dating Pangeran Sabangkingking, maka mupakat, maka Wiraos sapa kang tua sapa kanga nom kita iki.
Maka pepatutan angadu wong anyata kakak tua kelayan anom. Maka mati wong Lampung dingin. Maka mati malih wong Banten ing buring ngongkon ning ngadu dateng pugung ini dijeroluang. Maka nyata anom ratu darah putih, Andika kang tua kaula kanga nom, andika ing Banten kaula ing Lampung.
Maka lami-lami ratu-ratu darah putih iku ing Banten malya kul Lampung. Anjeneng aken Pangeran Sebangkingking ngadekaken Ratu. Maka djaneningpun Susunan Sebangkingking. Maka ratu darah putih angaturaken Sawung galling. Maka mulih ing Lampung……

Selanjutnya Dalung Kuripan itu mengatakan:

Wadon Banten lamun dipaksa dening wong Lampung daring sukane, salerane, Lampung kena upat-upat wadon Lampung lamun dipaksa wong Banten daring sukane, salerane, atawa saenake bapakne, Banten kena upat-upat
Wong Banten ngangkon Lampung keduk susuk ngatawa mikul Banten kena upat-upat
Lampung ngangkon Banten keduk susuk, Lampung kenang upat-upat. Lamen ana musuh Banten, Banten pangerowa Lampung, tutburi. Lamen ana musuh Lampung, Lampung manyerowa Banten Tutwuri. Sawossi Djandji Lampung ngalak kak Padjadjaran, Dajuh Kekuningan, Kandang besi, Kedawung, Kang uba haruan, Parunkudjang. Kang anulis kang panji Pangeran Sebakingking wasta ratu mas lelan raji sengaji guling, wasta minak bay Taluk kang denpangan ati ning kebo. Serat tetelu, ing Banten Dalung, Ing Lampung saksi Dalung, Ing maningting serat kentjana.

Pokok Perselisihan.

Walaupun telah sama sama menganut agama Islam tetapi masih ada hal mengganjal antara keduanya, yaitu dalam menentukan siapa yang tuan diantara mereka. Siapa yang tua dan siapa yang muda akan menjadi hal yang sangat penting bagi keluarga besar sebuah Kerajaan atau kesultanan. Bisa diduga bahwa penentuan siapa yang tua dan siapa diantara mereka yang lebih muda akan menentukan corak struktur kekeluatgaan, dan bahkan dapat meluas kepada hak dan kewajiban.

Tentu saja dalam permasalahan ini upaya perundingan telah diupayakan oleh kedua belah pihak, namun ternyata kesepakatan kepsespakatan itu belum juga tercapai. Oleh karenanya maka perundingan terpaksa mednempuh jalur hukum. Yang pada saat itu nampaknya segara persoalan urusan keluarga yang tak dapat diselesaikan maka harus menempuh upaya hukum demi keadilan bersama. Akhirnya mengadu dua satria pilihan tidak dapat dihindarkan.

Keadilan dalam Perselisihan.

Jika ada masalah internal dan kekerabatan dan kenegaraan yang sulit diselesaikan oleh warga pada saat itu rupanya harus merujuk kepada sistem hukum lama, yaitu hukum sebelum islam. Untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah dahulunya memang ditempuh dengan mengadu dua orang kesatria pilihan, artinya masing msing pihak yang bertikaj boleh memilih seorang kesatria untuk mengadu ilmu denga kesatria pilihan oleh pihak yang lainnya. Nampaknya dalam kasus ini terpaksa hukum lama itu masih digunakan.

Kedua satria itu diharuskan berlaku jujur. mengghindari segala macam bentk kecurangan, sehingga keadilan dapat dicapai. Itulah sebabnya maka kedua satria hanya dibenarkan duduk mengadu punggung, namun walaupun demikian keduanya akan gugur, tetapi tidak dalam waktu yang bersamaan. Siapa yang satrianya gugiur lebih dahulu maka berarti ia mengalami kekel;iruan dalam berpendapat dan bersikap. Dalam naskah itu maka kesatria pilihan Keratuan darah Putih gugur lebih awal, dan kesatria satunya gugur kemudian. Cara ini pada masa sebelum islam adalah cara yang dianggap oaling adil.

Kehormata.

Penyelesaian hukun secara demikian pada saat itu diterima oleh kedua belah pihak dan masing masing tidak akan kehilangan kehormatannya. Struktur dalam kekerabatan adalah mutlak harus dihormati oleh pihak manapun. Sehingga kenyataan setelah ditempu cara hukum seperti itu tidak perlu disesalkan.

Itulah sebabnya maka setelah terjadinya upaya hukum dengan cara mengadu dua kesatria, dapat ditindaklanjuti dengan membuat kesepakatan kesepakatan, seperti termaktub dalam prasasti itu bahwa kedua belah pihak antara Lampung banten memiliki hak dan kewajiban yang sama antara dua bersaudara dalam suatu keluarga yang utuh.

Hubungan Bilateral.

Sebagai dua kesultanan yang bersaudara ternyata keduanya merasa perlu untuk meningkatkan perjanjian billateral, yang lebih ditandai dengan dengan kerjasama invantri, masing masing akan ikut berperang bila ada diantara mereka yang berurusan dengan kesultana taupun kerajaan lain. Itulah sebabnya maka banyak lasykar invantri dari lampung yang berpartisipasi dalam peperangan yang harus dihadapi oleh Banten pada saat itu. kerjasama ini invantri ini adalah sebagai perwujudan akan pengakuan terhadap kedaulatan masing masing.

berlambang Kerbau.

perjanjian ini ditandai dengan kebersamaan mengkonsumsi hati kerbau, untuk menunjukkan keteguhan hati masing masing, kerbau adalah lambang keteguhan dan kejujuran, lihat saja kerbau adalah binatang yang tidak senang mencari musuh, namun demikian kerbau adalah binatang perkasa dalam mempertahankan hak.

Minggu, 19 Desember 2010

SIGER dan ANYER

Selasa, 9 November 2010 | 06:12 WIB


Cerpen: Hilal Ahmad

Aku masih di sini. Di tepi pantai Kampung Bojong, di sudut utara Banten. Mercusuar berdiri kukuh menantang matahari mulai tergelincir di ufuk barat.

Dua jam sudah aku ditemani debur pantai pesisir Anyer, yang katanya sebagai Bali kedua. Tapi eksotisme pantai Anyer yang dikenal sejak puluhan tahun lalu dan diabadikan dalam lagu, tak kunjung menjadikan Banten sebagai lokasi favorit yang pantainya menjaid prioritas wisatawan.

Seperti Diandra. Mungkin dia enggan menemuiku di sini. Padahal lelaki bermata sayu itu berjanji akan kembali menemuiku di pantai ini setelah tiga purnama. Namun ini purnama keempat. Namun sosoknya tak kunjung tiba.
***
Debur ombak terus bergemuruh, mengantar senja menuju pergantian hari. Aku melangkahkan kaki menuju pulang. Rumahku di Cikoneng, tidak jauh dari Mercusuar peninggalan Belanda itu.

Konon, dari petikan Dalung Kuripan atau Prasasti Kuripan yang masih teronggok di sudut kampungku, kampung tempatku tinggal salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih ini melahirkan perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng.

Aku memang generasi ketiga dari leluhurku yang hijrah ke pesisir Anyer. Namun aku sama sekali tak mengenal budaya nenek moyangku yang hanya terpisah selat Sunda. Padahal perjalanan menuju tepi selatan pulau Sumatera itu sangat singkat, hanya tiga jam menggunakan kapal roro.

Emak dan Ayah pun tidak pernah mengajak ke tempat di mana aku berasal. Wajar jika aku tak mengenal tempat leluhurku lahir. Menurut Kakek, kampungku satu dari empat kampung yang disebut kampung empa’ pekon. Tiga kampung lainn adalah Bojong Tegal, dan Salatuhur.

”Ini ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan atau Prasasti Kuripan yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten,” ujarku pada Diandra di suatu senja.

Mahasiswa semester akhir Universitas Lampung itu nampak termangu. Sepertinya ia serius menyimak penjelasanku. ”Kamu sangat cakap menerahkan silsilah kampung ini, sepertinya kamu sangta hafal dan mengerti. Beruntung aku bertemu dirimu dalam penelitianku ini,” ujar Diandra sambil terus menghujamkan matanya padaku.

Aku tersipu, dan memandang ke lain arah tepat pada seorang nelayan yang melempar sauh di dekat tepian pantai.

”Kampung ini sudah menjadi darah dagingku, mengurat akar dalam benak. Kakek mengajarkan ini padaku,” ujarku sambil menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya tanpa suara.

Itu minggu kedua aku mengenal Diandra Prasetya. Lelaki berkulit kuning langsat dan bermata sipit ini sekilas memang mirip warga Tionghoa. Tapi begitulah garis wajah yang tergambar pada suku asli Lampung yang tersebar di pesisir pantai maupun pedalaman. Aku sudah tidak asing. Aku banyak menemukan garis ajah itu di beberapa sanak keluargaku. Kakek pun banyak bercerita tentang hal ini.
Mungkin inilah yang membuatku langsung merasa nyaman dengan Diandra sejak Ayah memperkenalkanku dengannya sejak hari pertama.

Ayahku memang kepala suku yang dituakan di Cikoneng. Tak heran jika Diandra langsung menyasar rumahku untuk objek penelitiannya seputar keturunan Lampung di Banten. Jika saja Kakek masih ada, mungkin aku tidak akan pernah menemani Diandra ke berbagai lokasi peninggalan sejarah dan terlibat konflik hati yang membuatku sakit di kemudian hari.
***
Kedekatanku dengan Diandra kian hari kian intim. Pun saat aku mengantarkannya ke Prasasti Kuripan yang berbunyi, “Lamun ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri.”

Ini memang bukan bahasa Lampung, apalagi Lampung dengan dialek pesisir tempat Diandra berasal. Ini merupakan bahasa Jawa Banten yang dialek serupa banyak ditmukan di Serang tepatnya di kawasa peziarahan Banten Lama tempat Sultan Maulana Hasanudin disemayamkan.

”Ini berarti, jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan Lampung mengikuti,” begitu penjelasanku mengenai makna prasasti itu pada Diandra.

Ia menatapku lekat. ”Aku akan melakukan ini untukmu Raya,” ujarnya lirih.

Aku terkesiap. Segera kusembunyikan wajahku dengan menundukkan ke tanah, aku tak ingin rona merahku terbaca olehnya. Aku pun tak ingin degup jantung yan berdetak lima puluh kali lebih cepat sejak hari pertama meihatnya, terdengar oleh Diandra, lelaki dengan wajah yang selalu mengunjungi beragam kisah dalam tidurku.

”Aku serius Raya, apapun yang terjadi, aku akan melakukan semuanya untukmu. Aku rela mengadapi sejuta prajurit berpistol tanpa meriam Kiamuk yang sekarang hanya tersimpan di musium Banten Lama,” ujar Diandra. Nada suaranya terdengar menggebu, mengalahkan deru angin yang terasa semakin dingin menusuk kulit.

Aku tertunduk. ”Serius Diandra. Tapi aku hanya gadis lulusan SMA, sedang kamu sebentar lagi arjana,” ujarku yang mengenang masa manis putih abu-abu saat di SMAN 1 Anyer dua tahun lalu.
Saat di bangku SMA, belum pernah ada lelaki yang berkata begitu manis padaku. Dan Diandra adalah pengecualian dalam hidupku saat ini. Ia begitu terbuka. Kata-katanya begitu mengena di hati, dan meninggalkan jejak hingga di atas peraduan, membuatku tak bisa terlelap hingga pagi.

Aku tak menjawab apa-apa saat itu. Namun para pria mengartikan lain. Menurut mereka yang mengutamakan logika daripada rasa, tingkah diam seseorang wanita dalam menyikapi sesuatu, berarti tanda setuju. Sedangkan aku, hanya menikmati apa yang menjadi seharusnya kualami dalam hidupku. Aku sudah mendamba sejak lama masa-masa seperti ini. Pun saat duduk di bangku SMA.

Entahlah, pepatah bijak mengatakan, kadang Tuhan tidak menjawab doa kita pada saat itu juga tapi menyimpannya untuk nanti. ”Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi yang kita butuhkan.” Itu kalimat Ayah yang selalu kuingat tentang memaknai hidup.
***
Setelah kejadian itu, aku tak lagi canggung menceritakan segala cerita kehidupanku. Sebaliknya, aku pun tak malu menanyakan tentang latar belakang kehidupannya.

Ini bukan cerita Cinderella, karena aku yakin Diandra bukan pangeran dan aku pun bukan putri miskin yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan terlunta-lunta karena hidup dengan ibu dan saudara tirinya. Aku adalah aku, Raya Meriska, generasi ketiga suku Lampung yang tinggal di pesisir Anyer.
Sedikitnya aku mengerti tradiis Lampung yang mengutamakan pernikahan dengan sesama suku. Tapi aku yakin, Diandra dapat memaklumi itu. Meskipun aku lahir dan dibesarkan di Anyer, leluhurku berasal dari Lampung. Meskipun dialek Lampung kami berbeda karena menyesuaikan dengan masyarakat setempat, tapi tetap saja kami adalah berasal dari Lampung. Bukankah ayam tetap akan dinamai ayam meskipun dipelihara seekor elang.

Leluhurku datang ke daerah yang sekarang dipanggil Cikoneng pada abad ke-18. berawal dari peristiwa penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang yang sekarang Kabupaten Sukabumi pada abad ke-17.

Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang yakni Menggala. Tapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.

”Mungkin aku adalah salah satu reinkarnasi dari empat prajurit kakak beradik itu Raya. Aku datang ekamri untuk menjemputmu kembali ke tanah leluhurmu dan kita menikah di sana dan membesarkan anak kita,” ujar Diandra di suatu siang.

Seperti biasa, setelah berkelilng ke bebera situs peninggalan sejarah, aku dan Diandra beristirahat di saung dekat Mercusuar yang menghadap pantai. Di sana, Diandra asyik mencatat berbagai keterangan dengan detil dan memeriksanya kembali di saung itu. Diandra tipe lelaki yang ulet. Berebeda dari cerita kakekku. Sebelum ia meninggal, ia mengatakan, tak perlu menikahi lelaki satu suku jika memang merepotkan.

”Tak banyak yang bisa diandalkan dengan mempertahankan adat pernikahan satu suku selain melebarkan jarak persatuan kebangsaan Raya,” ujar Kakek setelah mengatakan perangai mekhanai atau pemuda Lampung lebih suka bersantai daripada bekerja keras. ”Tapi mereka terbuka menerima pendatang, seperti slogan sang bumi ruwa jurai yang berarti satu bumi dua jenis penduduk, maksudnya pribumi dan pendatang. Mereka hidup berdampingan satu sama lain,” jelasnya.

Entahlah, aku begitu terpesona pada Diandra. Sorot matanya yang sayu yang terpancar drai mata sipitnya, justru membuatku semakin rindu. Rasanya tak sedetikpun ingin kulewatkan tanpanya. Ini benar-benar gila, tapi ini cinta.

”Kau tau Diandra, keempat utusan itu saat datang ke Kesultanan Banten dan melapor, sempat membuat Sultan Agung kecewa. Bagaimana bisa empat orang mengalahkan ratusan praurit musuh. Tapi itu ditepis setelah keempatnya membuktikan kelihaian taktik tipu muslihat yang berhasil mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng,” ujarku.
”Wao, aku sungguh luar biasa. Aku berani bertaruh, kau akan menjadi sejarawan terkenal abad ini jika kau melanjutkan studimu ke jenjang lebih tinggi,” Diandra berkata spontan. Kemudian meminta maaf setelah kurasakan wajahku merona seperti ditampar dengan rotan.
”Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu dengan kata-kataku tadi,” suara Diandra melunak.
Ia tahu, aku sangat ingin kuliah. Tapi ia juga tahu, keluargaku yang hanya menggantungkan hidup dari laut hanya bisa menyekolahkanku hingga bangku SMA.
”Bisa kau lanjutkan lagi ceritamu mengani empat prajurit utusan Keratuan Lampung tadi?” Diandra mengalihkan pembicaraan. Aku menyeruput es kelapa muda yang menurutku sudah tidak lagi asing. Lain halnya dengan Diandra yang nampak sangat menikmati dengan minuman yang disajikan langsung dengan batok kelapa yang masih ranum.

”Karena keberhasilan mereka, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah setahun menjabat, Menak Gede meninggal dunia. Jabatan Adipati diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini,” ujarku memberi jeda.

”Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung,” imbuhku sambil melempar pandang ke lautan, menatap pulau kecil yang kadang terselimuti kabut.

”Lalu,” Diandra penasaran.

Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang,” aku menujuk pulau yang ada di depan kami. ”Dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut atau Merak sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan atau Mancak dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon. Itulah tanah kekuasaannya,” ujarku.

”Karena itulah kau ada di sini. Diboyong Menak Sengaji bersama 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi itu,” Diandra bersemngat. Tak jauh dari tempat ia duduk, Blackberry Curve miliknya menyala, aku tahu ia sedang merekam pembicaraan kami.

Tapi aku menghargainya sebagai kegigihan. Ia begitu ulet dalam mengumpulkan informasi. Kadang aku malu menjadi informan yang paling sering ia rekam. Aku bukanlah tetua adat, bukan pula aksi lakon sejarah. Aku hanyalah orang kedua bahkan ketiga yang mendapat cerita lelhuruku dari Kakek juga Ayah.

Aku memandangi wajah Diandra yang berseri. Tanpa diulas dalam kata, aku sangat tahu ia menginginkanku terus bercerita. Karena itulah aku terus bersuara. Kadang, untuk seseorang yang kita cintai dengan sepenuh hati, kita rela melakukan apa saja.

”Pertama kali rombongan itu datang kemari, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten. Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong,” ujarku patah-patah.

Aku tak sanggup lagi menceritakannya. Aku teringat wajah Kakek yang tirus di atas pembaringan. Namun ia tetap gigih menceritakannya untukku.

”Berputarnya roda waktu, jumlah 40 kepala keluarga itru itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur,” aku berhenti sejenak. Ada satu kalimat yang tak kuberitahu pada Diandra.

”Tapi kudengar ada cerita menarik ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur. Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur,” ujar Diandra dengan nada bercanda.

Akupun tersenyum, llau tertawa kecil. Begitulah cara Diandra mengiburku. Ia sangat tahu dan pandai membaca air mukaku.

”Masih ada cerita lucu lagi, di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air. yang hingga saat ini mata air itu masih utuh dan dipakai untuk umumt. Sumur itu dikenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter,” ujarku yang langsung ditanggapi decak kagum Diandra.

”Dahsyat kau Raya, andai saja besok aku diwisuda, maka aku akan melamarmu malam ini juga,” Diandra menatapku tajam. Tatapannya kali ini lain dari biasanya. Ia terus menatapku lekat. Sampai-sampai aku tak menyadari tangannya merayap di bagian paling sensitif di tubuhku. Aku terbuai, pun saat Diandra mengajakku ke saung paling ujung yang jarang dipilih pengunjung. Obak terus berdebur. Namun hatiku lebih berdebur.
***

Aku termenung di depan makam Menak Sangaji yang tepat berada di samping kantor pos Anyer. Sejak tadi aku hanya begini. Dalam benakku bukan lagi seputar kedatangan 40 kepala keluarga yang doboyong Menak Sangaji ke Kampung Bojong, aku hanya memikirkan empat purnama yang kulewati tak sama dengan empat puluh hari yang kulalui bersama Diandra.

Di tempat ini aku leluasa mengucurkan air mata. Tempat ini jarang dikunjungi masyarakat. Masyarakat Anyer memang tidak terlalu mengenal Menak Sangaji. Kecuali para keturunananya seperti aku.

Aku terisak. Aku merasa sangat berdosa. Ini hampir purnama kelima, dan apa yang harus kusampaikan pada masyarakat tentang ruh yang menempel di rahimku. Aku bukanlah Maria yang memiliki anak-anak secara tiba-tiba karena kedatangan sebuah cahaya.

Aku pun masih memiliki akal sehat bahwa anakku adalah pewaris dunia yang mengajarkan kebaikan.

”Kemana aku harus mencari kamu Diandra,” aku mendesah lirih.

Aku tak kuat lagi menerima cercaan orang sekampung perihal perutku yang semakin menggelembung. Aku pun tak ingin membuat beban Emak dan Ayah semakin payah.

“Dan kau adalah keturunan leluhur yang ditakdirkan sebagai kepala suku di kampung ini, kau adalah ratu Raya. Kau berhak mengenakan siger seperti yang banyak para gadis keratuan Lampung kenakan. Kenakanlah kain songket nenekmu yang tersimpan rapi di dalam lemari Kakek,” itu kalimat terakhir Kakek yang tak kukatakan pada Diandra.

Hari semakin sore. Matahari siap menggelincir ke ufuk barat. Aku berjalan perlahan ke arah langit yang memantulkan jingga yang semakin merona. Kain songket yang kukenakan serta siger yang bertengger di atas kepala membuatku harus perlahan dalam berjalan. Tak kupedulikan tatapan orang sekitar yang berpapasan denganku. Aku terus menuju laut, mencoba menyelami dasar selat sunda, berharap sampai ke pulau Sumatera untuk menemui Diandra.

Air laut yang dingin dan asin langsung teras merembesi pori-pori. Deru ombak semakin santer terdengar di telinga. Buih laut terasa semakin perih menusuk mata. Namun aku tak akan menghentikan langkahku. Ini adalah cara terbaik untuk menebus noda yang kutoreh.

Sampai seluruh tubuhku tak nampak lagi dari permukaan, aku terasa melayang. Sayup-saup terdengar suara orang yang kukenal. Ingin rasanya aku berbalik, tapi arus laut menggulung tubuhku. Hari semakin gelap. Rona merah siapo memudar berganti kelam.

Samar-samar kulihat sosok Diandra berteriak-teriak sambil menerjang ombak menggapai siger yang tercecer di atas ombak kecil yang mengantarnya ke tepi pantai.

Aku ingin berlari, namun seakan sangat berat. Sosok Diandra semakin mengecil. Tapi masih kulihat ia bersimpuh memeluk siger. Tak jauh dari sana seonggok ransel, dan orang-orang berlarian menuju laut mencari sesuatu.

Aku hanya berdesis. ”Ini purnama kelima Diandra, dan aku lelah menunggumu untuk waktu yang lebih lama lagi.” (*)

Kompas.com

Minggu, 12 Desember 2010

PRIHAL "KITAB KUNTARA RAJANITI"


Mengingat Lampung memiliki aksara, yaitu surat Lampung yang disebut kelompok ka-ga-nga maka seyogyanya aktivitas baca tulis di Lampung tinggi dan banyak meninggalkan naskah naskah penting sebagai bukti aktivitas baca tlis tersebut di atas. Tetapi kenyataannya tidak, naskah tulis di Lampung menjadi langka, bagaikan hilang ditelan bumi, yang bila ditilik dari jumlah yang dapat diketemukan bagaikan hanya barang barang sisa belaka.
Naskah kuno di lampung lazim ditulis di media batu sebagai prasasti, media kulit kayu, bambu dan ada juga dalam media kertas. Naskah kuno Lampung ada yang dikenal dengan sebutan “Keterem” , “Cepalo” dan “Tambo” Keterem banyak berisikan petunjuk petunjuk, cepalo banyak berisikan larangan dan ancaman hukuman, sedang tambo banyak berisikan silsilah, serta catatan tentang keluarga besar.
Sebagian besar naskah kuno Lampung yang sempat diketemukan oleh Tim pengadaan koleksi Museum negeri Lampung “Ruwa Jurai” berisikan petunjuk pengobatan, petunjuk petunjuk pengobatan itu ada yang berdasarkan rempah rempah yang ada di lampung, daging binatang (ternak), dan ada juga berdasarkan kepercayaan penggunaan tenaga gaib. Dan bahkan ada juga petunjuk untuk melakukan pembunuhan dalam jarak jauh. Karena ada petunjuk seperti itulah maka nenek moyang dahulu mewanti wanti kepada anak keturunannya agar tidak membuka kitab kitab kuno itu.
Tetapi ada diantara kitab kitab itu satu kitab yang disebut ‘Kitab Kuntara Rajaniti’ masih banyak yang mengaku menyimpan dengan baik kitab ini. Kitab ini berisikan berbagai petunjuk hidup bagi pendukung budaya Lampung. Sayang kitab kitab ini tersimpan secara rapi ditangan pemiliknya. Padehal sebagai kitab kuno Kitab Kuntara rajaniti seharusnya disentuh oleh ahli filologi untuk diidentifikasi, dikaji dan disebar luaskan.

Lebih celakanya lagi banyak para punyimbang adat sekarang ternyata belum pernah melihat (membaca) secara langsung Kitab Kuntara Raja Niti yang menjadi pegangan mereka. Aturan adat yang mengacu kepada kitab tersebut mereka terima secara lisan, turun temurun. namun demikian anehnya, adat istiadat tersebut masih terjaga dengan baik. Hal ini disebabkan masih seringnya diselenggarakan upacara upacara daur hidup dan didalam upacara itu selalu didengungkan prihal aturan aturan adat, sehingga aturan adat itu menjadi sangat familiar.

Dan juga ternyata Kitab Kuntara Raja Niti yang beredar di masyarakat sedikitnya ada dua fersi, ada yang berbahasa Lampung dan menggunakan aksara Lampung dan ada juga yang menggunakan huruf pegon, menggunakan aksara Arab dan berbahasa Banten. Dengan demikian kitapun akan beralasan kalau nantinya diketemukan ada Kitab Kuntara Raja Niti yang dipengaruhi Hindu atau Animisme dan ada pula yang dipengaruhi Islam.

Berdasarkan pengamatan aya baru ada satu tulisan yang mengidentifikasi Kitab Kuntara Raja Niti, yaitu naskah yang ditulis oleh Susilowati, yang dimuat oleh Lampost edisi tanggal 27 Januari 2010. Naskah tersebut adalah sebagai berikut :

TRANSKRIP KITAB KUNTARA RAJA NITI

KHAZANAH kebudayaan Lampung bagaikan mutiara terpendam di kampung halamannya. Setiap menggali, makin tertantang untuk menemukan mutiara terindah yang masih tersembunyi. Mulai dari adat istiadat, kesenian, sejarah, sampai kitab adat yang sangat banyak jumlahnya. Salah satunya adalah kitab Kuntara Raja Niti.

Kitab Kuntara Raja Niti merupakan kitab adat yang menjadi rujukan bagi adat istiadat orang Lampung. Kitab ini digunakan hampir tiap-tiap subsuku Lampung, baik Pepadun maupun Pesisir. Di masing-masing kebuaian (keturunan) dari subsuku tersebut pun mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab rujukan adat Lampung.

Sayangnya, tidak semua punyimbang (pemangku adat) menyimpan manuskrip kitab tersebut. Apalagi masyarakat Lampung kebanyakan. Karena kekayaan peninggalan adat, baik yang berupa benda maupun tulisan biasanya berada di kediaman pemangku adat dari setiap kebuaian. Jika di tempat pemangku adat tidak ada, kecil kemungkinan akan didapat di tempat lain.

Sebagian para punyimbang di daerah Kotaagung mengakui kalau yang dijadikan rujukan adat istiadat mereka adalah kitab Kuntara Raja Niti, tapi mereka tidak memiliki manuskripnya. Konon manuskrip kitab tersebut telah terbakar di daerah muasal mereka, yaitu Liwa. Mereka menerima peraturan adat istiadat secara turun temurun dari pemangku adat dan tua-tua sebelumnya. Mereka menurunkan kepada generasi berikutnya pun secara lisan pula.

Sedangkan untuk daerah Kurungan Nyawa, adat istiadat mereka, baik tata cara kehidupan sehari-hari maupun acara seremonial merujuk pada kitab Kuntara Raja Niti yang sudah mengalami banyak revisi sesuai dengan tuntutan zaman. Revisi ini dilakukan oleh para pemangku adat demi keberlangsungan adat itu sendiri. Sehingga tidak menyusahkan masyarakat adat sebagai para pelaku adat. Kitab Kuntara Raja Niti yang ada di sana sudah berupa draf peraturan adat yang di ketik dan difotokopi yang sudah mengalami perubahan dan penyesuaian melalui musyawarah-musyawarah adat. Sedangkan manuskripnya tidak ada lagi.

Untuk daerah Krui yang mempunyai 16 marga, para punyimbang juga mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab adat yang berlaku di sana. Tapi hingga kini para punyimbang pun tidak tahu keberadaannya. Adat istiadat yang dipakai selama ini ditularkan melalui lisan secara turun-temurun pula. Selain Kuntara Raja Niti, di Pesisir Krui juga adat istiadatnya berdasarkan Kitab Simbur Cahya yang dipakai masyarakat adat Sumatera bagian Selatan. Para punyimbang di Krui juga tidak tahu keberadaan kitab Simbur Cahya.

Lalu, daerah Pubian Telusuku, menggunakan kitab Ketaro Berajo Sako. Kitab tersebut dialihaksarakan sekaligus diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H.A. Rifai Wahid (almarhum). Semasa hidupnya, penerjemah mengatakan kitab tersebut juga merujuk kepada Kuntara Raja Niti. Sedang manuskrip Kuntara Raja Niti bisa didapat di kediaman Hasan Basri (alm.), yang bergelar Raden Imba atau secara adat disebut Dalom Kusuma Ratu. Ia merupakan keturunan Ratu Darah Putih, asal muasal dari Raden Intan II. Kediamannya di Desa Kuripan, Penengahan, Lampung Selatan. Manuskrip tersebut bernama lengkap kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda. Ditulis sekitar abad ke-17--18. Ini bisa dilihat dari jenis tulisan yang digunakan.

Meski menjadi kitab rujukan adat, manuskrip ini sekarang lebih mirip dengan benda kuno yang dikeramatkan. Karena lebih banyak disimpan daripada di buka untuk dikaji. Kitab yang bersampul cokelat lusuh, tersimpan pada sebuah kotak khusus yang tidak sembarang orang bisa membukanya. Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain.

Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab tersebut memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditulis dengan sistematis.

Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga persoalan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung.

Bab II memuat sejarah Raja Majapahit dan keagungannya. Dari bab ini bisa simpulkan kitab ini sangat terpengaruh dengan kebesaran Kerajaan Majapahit.

Bab III menyebutkan penjelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasatmata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan ketentuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab akibat suatu perbuatan disebut jugul muda.

Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III.
Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII.
Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri.
Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah.
Bab XI membahas tentang utang.
Bab XII tentang gadai dan upah.
Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap.
Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit persoalan.
Bab XV membicarakan tentang perjanjian.

Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII membahas tentang utang piutang.

Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berperahu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga hukuman yang melanggar peraturan tersebut.

Dari isi Kitab Kuntara Raja Niti dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lampung, sebelum adanya undang-undang Belanda, telah memiliki undang-undang yang secara lengkap mengatur kemasyarakat. Dan kitab Kuntara Raja Niti bukan hanya kitab yang mengatur acara seremonial seperti dipahami sebagian orang, melainkan kitab yang mengatur segala segi kehidupan. http://ulun.lampunggech.com/2008/10/manuskrip-kitab-kuntara-raja-niti.html

Sumber : Beguwai Jejama Blog

(sosok) MUSTAFA SALEH ENGGAE : Ahli Waris Aksara Lota Ende

09 Des 2010

Samuel Oktora dan Khaerul Anwar

SUATUbangsa dikenal dari bahasa dan aksaranya. Salah satu kriteria tingginya budaya suatu bangsa dapat dilihat dari peninggalan budaya tulisnya. Masyarakat Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki aksara Lota. Sayangnya, kini, aksara Lota itu terkesan dibiarkan mati.

Mustafa Saleh Nggae (KOMPAS/KHAERUL ANWAR)

Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk Ende sekitar awal abad ke-16. Aksara Bugis ini kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende. Pada masa lampau, aksara Lota ini ditulis pada daun lontar.

Pada 1990-an, aksara Lota semakin kehilangan penggunanya. Saat itu hanya kalangan tua yang menguasai aksara ini. Salah satunya Rugeya (kini almarhumah), sosok yang fasih menulis-membaca Lota dan menjadi narasumber para peneliti yang pada 1993 sudah berusia 65 tahun.

Proses regenerasi amat lemah. Generasi muda kurang berminat mempelajari aksara Lota karena terbatas penggunaannya dibandingkan aksara Latin yang menjadi alat komunikasi ataupun huruf Arab yang dipelajari untuk mendalami agama Islam. Akibatnya, aksara Lota pun mati pelan-pelan. Bahkan, saat ini pun kalangan tua sudah banyak yang lupa membaca dan menulis aksara itu.

Saat bergerak ke selatan Ende, tepatnya di Kampung Puubara, Desa Borokanda, Ende, tim Ekspedisi NTT Kompas bertemu Mustafa Saleh Nggae (52), salah seorang warga Ende yang peduli dan mencoba menyelamatkan aksara Lota dari kepunahan. Mustafa juga termasuk segelintir orang yang masih lancar menulis dan membaca aksara Lota dari total penduduk Ende yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa.

Tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa Mustafa untuk menekuni aksara Lota yang bentuknya mirip huruf Hiragana itu. ”Saya mulai belajar menulis dan membaca aksara Lota saat usia 30 tahun,” katanya.

Digunakan orang tua

Waktu itu, Mustafa tergerak mempelajari aksara Lota karena masyarakat yang bisa membaca dan menulis aksara Lota yang tersisa jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kalaupun ada yang bisa, usianya sudah melewati 50 tahun. Padahal, aksara Lota selalu digunakan para orang tua yang mengkhitankan anak atau warga yang akan membangun rumah baru.

Si empunya hajat biasanya minta dibacakan riwayat hidup, asal-usul, dan keadaan keluarganya yang tertulis dalam aksara Lota dan disampaikan dalam bentuk wo’i (nyanyian ratapan, prosa naratif tentang kejadian alam, riwayat hidup seseorang, dan lainnya).

Wo’i biasanya disampaikan di hadapan undangan di acara hajatan. Karena pendendang membaca dalam irama sedih, tidak sedikit undangan meneteskan air mata karenanya. Realitas itu yang membuat Mustafa bertekad mempelajari Lota. Ia tidak ingin sepeninggal generasi tua itu, aksara Lota hilang ditelan zaman.

Mustafa tidak berhenti di cita-cita. Dia juga mempelajari huruf Lota kepada kakeknya, Abdul Fatah (almarhum), yang tinggal di Pulau Ende. Kakeknya itu memang menguasai aksara Lota dan sering diminta menjadi pendendang wo’i beraksara Lota.

Niatnya yang bulat menyebabkan Mustafa kemudian tinggal sementara di Pulau Ende yang kalau ditempuh dengan perahu motor dari Kota Ende perlu waktu sekitar 45 menit. Ia belajar Lota rata-rata dua kali sehari setelah makan siang dan seusai shalat magrib. Keseriusannya menampakkan hasil. Dalam waktu tiga bulan, Mustafa lancar membaca dan menulis aksara Lota serta menguasai cengkok wo’i dengan baik.

Saking melekatnya wo’i dalam benaknya, Mustafa selalu dipanggil untuk mengekspresikan perasaannya pada banyak acara adat. Saat ini Mustafa sering diundang untuk membaca wo’i dalam acara resmi yang digelar Pemerintah Kabupaten Ende.

Tak ada regenerasi

Cita-cita Mustafa untuk meneruskan warisan leluhurnya kini mulai tercapai. Warga yang mengadakan hajatan hampir pasti meminta jasa Mustafa membaca wo’i. ”Mau dibayar berapa, terserah keikhlasan pengundang saja,” ucapnya soal upah dari jasa yang diberikannya. Dia lebih peduli jika aksara Lota itu semakin dikenal dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat ataupun generasi mendatang.

Meski demikian, ia tetap saja risau aksara Lota ini akan hilang. Gelagat itu terindikasi dalam tiga tahun terakhir. Hampir tidak pernah lagi ada hajatan pernikahan dan sunatan yang diramaikan acara wo’i.

Kerisauan Mustafa ini bukan karena pendapatannya atau mata pencariannya terancam ikut hilang. Selama ini, sumber penghasilan utama Mustafa adalah dari menenun sarung tradisional Ende. Benangnya menggunakan pewarna alami. Selembar kain tenun buatan Mustafa dihargai tak kurang dari Rp 1,5 juta.

Mustafa lebih mengkhawatirkan hilangnya generasi masa depan Ende yang mengenal aksara Lota. ”Sebenarnya tidak sulit belajar Lota. Asalkan serius, tiga bulan pasti bisa baca-tulis Lota. Tapi, anak-anak muda sekarang tampaknya tidak suka belajar tulisan ini. Padahal, saya bersedia mengajar anak-anak di kampung ini,” katanya.

Strategi belajar Lota dimulai dari menghafal bentuk huruf, suku kata, dan konsonannya. ”Untuk lancar membaca aksara itu diperlukan waktu paling lama seminggu,” kata anak sulung dari empat bersaudara pasangan Muhamad Saleh-Jaenab itu.

Ketiadaan regenerasi diperparah lagi dengan sangat sedikitnya naskah Lota. ”Saya menyesal karena beberapa tulisan aksara Lota tidak saya simpan,” katanya.

Aksara Lota yang dibaca dalam bentuk wo’i biasanya dipegang si empunya hajat, dijadikan ”pusaka” karena isinya menyangkut silsilah keluarga, sejarah pemilikan tanah, dan lainnya. Bahkan, ada naskah Lota yang disimpan warga yang untuk melihat dan membacanya saja harus didahului acara khusus.

Penelitian lapangan selama dua bulan yang dilakukan Maria Matildis Banda di Ende tahun 1993 menunjukkan, setidaknya ada 20 naskah Lota. Jumlah itu amat sedikit dibandingkan naskah Sunda (789 naskah) yang dikoleksi di perpustakaan dalam dan luar negeri serta 554 naskah Sunda yang disimpan masyarakat.

”Saya baru sadar kalau penting sekali mempunyai catatan Lota. Mulai sekarang, saya menyempatkan waktu luang membuat catatan harian khusus dengan tulisan Lota, sekaligus untuk selalu mengasah membaca dan menulis,” ungkap Mustafa yang dengan upayanya sendiri mengonservasi aksara Lota di ambang kepunahannya.

Sumber: Kompas, Kamis, 9 Desember 2010

Jumat, 03 Desember 2010

JUMLAH BAHASA DAERAH INDONESIA

jumlah bahasa daerah indonesia

Sebenarnya ada sekitar 726 bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, hanya yang ini saya bisa uraikan

Bali :
Bahasa Bali
Bahasa Sasak

Jawa
Bahasa Jawa
Bahasa Madura

Bahasa Sunda

Kalimantan
Bahasa Bahau
Bahasa Bajau
Bahasa Banjar
Bahasa Iban
Bahasa Kayan
Bahasa Kenya
Bahasa Klemautan
Bahasa Melayu
Bahasa Milano
Bahasa Ot-Danum

Maluku Daerah Sekitar Ambon Timur
Bahasa Alor
Bahasa Ambelan
Bahasa Aru
Bahasa Banda
Bahasa Belu
Bahasa Buru
Bahasa Geloli
Bahasa Goram
Bahasa Helo
Bahasa Kadang
Bahasa Kai
Bahasa Kaisar
Bahasa Kroe
Bahasa Lain
Bahasa Leti
Bahasa Pantar
Bahasa Roma
Bahasa Rote
Bahasa Solor
Bahasa Tanibar
Bahasa Tetun
Bahasa Timor
Bahasa Wetar

Wilayah Maluku Daerah Sekitar Halmahera Selatan
Bahasa Windesi

Wilayah Maluku Daerah Sekitar Halmahera Utara Menggunakan
Bahasa Ternate
Bahasa Tidore

Wilayah Maluku Daerah Sekitar Sula Bacan Menggunakan Bahasa Bacan
Bahasa Sula
Bahasa Taliabo

Wilayah Nusa Tenggara Barat Menggunakan
Bahasa Sasak
Bahasa Sumba

Wilayah Nusa Tenggara Timur Menggunakan
Bahasa Sasak
Bahasa Sumbawa
Bahasa Tetun
Bahasa Timor

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Bungku Langku Menggunakan
Bahasa Bungkumori
Bahasa Laki
Bahasa Landawe
Bahasa Mapute

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Gate Menggunakan Bahasa Buol
Bahasa Gorontalo
Bahasa Kaidipan

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Gorontalo Menggunakan Bahasa Bulanga
Bahasa Balantak

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Loinan Menggunakan
Bahasa Banggai
Bahasa Bobongko
Bahasa Loinan

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Muna Butung Menggunakan
Bahasa Bonerate
Bahasa Butung
Bahasa Kalaotoa
Bahasa Karompa
Bahasa Layolo
Bahasa Walio

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Sulsel Menggunakan
Bahasa Bugis
Bahasa Luwu
Bahasa Makassar
Bahasa Mandar
Bahasa Pitu
Bahasa Sa'dan
Bahasa Salu
Bahasa Seko
Bahasa Uluna

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Sulut Menggunakan
Bahasa Bantik
Bahasa Mongondow
Bahasa Sangir
Bahasa Talaud
Bahasa Tambulu
Bahasa Tombatu
Bahasa Tompakewa
Bahasa Tondano
Bahasa Tontembun

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Tomoni Menggunakan Bahasa Tomini

Wilayah Sulawesi Daerah Sekitar Toraja Menggunakan Bahasa Bada' Besona
Bahasa Kail
Bahasa Leboni
Bahasa Napu
Bahasa Pilpikoro
Bahasa Toraja
Bahasa Wotu

Wilayah Sumatera Menggunakan
Bahasa Aceh
Bahasa Alas
Bahasa Angkola
Bahasa Batak
Bahasa Enggano
Bahasa Gayo
Bahasa Karo
Bahasa Kubu
Bahasa Lampung
Bahasa Lom
Bahasa Mandailing
Bahasa Melayu
Bahasa Mentawai
Bahasa Minangkabau
Bahasa Nias
Bahasa Orang Laut
Bahasa Pak-Pak
Bahasa Rejang Lebong
Bahasa Riau
Bahasa Sikule
Bahasa Simulur

BAIT TERKHIR RAMALAN JAYABAYA

bedah telisik spiritual wasiat nenek moyang
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya

140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati

tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal

141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti

banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya

142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu

raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur

144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong

yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah

145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara

orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara

146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe

orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman

bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing

148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci

banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci

149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale

banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya

150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi

hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu

151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe

wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri

Bait 152 sampai dengan 156 tidak ada (hilang dan rusak)

157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati

tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati

158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman

cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang

selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu

160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa

sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa

161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha

asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda

162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji

banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang

bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan

164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong

putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta

tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta

166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa

ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman

pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda

oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat

pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga

170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang

di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang

171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu

jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa

inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti

menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi
Telah Terbit on Juni 10, 2007 at 4:43 pm Komentar Dimatikan

Minggu, 28 November 2010

LAKONET JAWA

Konsep Estetik Lakonet

Bubuka

Murwa wonten inggil punika dipuncatet saking situs http://wayangcitra.blogspot.com, satunggil situs wayang wontening duniamaya ingkang dipunasuh dening Ki Harsono Siswocarito, wiwit November 2007. Situs punika anggelaraken genre-genre wayang gagrak enggal, yaiku lakonet, wayang visual, wayang digital, wayang grafis, wayang animasi, kaliyan wayang interaktif. Nanging wontening seratan punika genre ingkang badhe dipunwedar namung lakonet kemawon, utaminipun ingkang magepokan kaliyan konsep estetikanipun.

Maksadipun konsep estetik lakonet wontening judul seratan pinika yaiku gagasan-gagasan babagan kaendahan wontening lakonet. Ewondene maksadipun tegangan antara tradisi kaliyan inovasi yaiku konsep estetik ingkang adhedhasar saking gagasan-gagasan kaendahan tradisional kaliyan gagasan-gagasan kaendahan modern.

Hartosipun Lakonet

Lakonet awujud gabungan saking tembung "lakon" (crita wayang) kaliyan tembung "net" (Internet). Sebatan punika dipundamel dening Ki Harsono Siswocarito kangge jejuluk lahiripun satunggil genre wayang gagrak enggal ingkang dipunpublikasiaken wontening Internet. Lakon awujud genre sastra wayang lampahan kangge pakeliran, kaliyan internet awujud mediamaya online ingkang sinambungan secara global. Dados, lakonet hartosipun lakon ingkang dipunpakeliraken wontening mediamaya internet.

Konsep Estetik Lakonet

Konsep estetik lakonet awujud tegangan antara tradisi kaliyan inovasi. Inggih punika, lakonet adhedhasar saking konsep estetika tradisional kaliyan estetika inovatif. Secara tradisional, konsep estetik lakonet selaku satunggil genre wayang gagrak enggal adhedhasar sastra padalangan. Nanging secara inovatif, konsep estetik lakonet gadhah tegangan kaliyan tradisi punika kangge mujudaken inovasi-inovasi enggal. Tegangan antara tradisi kaliyan inovasi punika dados dhedhasar konsep estetik lakonet.

Sastra Pedhalangan

Sastra pedhalangan awujud rekabasa dalang wontening seni pakeliran wayang. Sastra pedhalangan awujud murwa utawi pelungan (suluk bebuka pedhalangan), nyandra janturan (deskripsi jejer adhegan wiwitan) kaliyan pocapan (narasi adhegan), suluk (puisi pedhalangan), antawacana (dialog wayang), sabetan (basa wiraga wayang), swara (swara, celotehan, kaliyan onomatopi), tembang (lalagon), mantra (puisi magis), kaliyan lakon (crita wayang).

A. Murwa

Murwa awujud suluk bebuka wontening pakelirran wayang. Pedhalangan Jawa Timur ngangge jeneng pelungan; pedhalangan Jawa Tengah ngangge jeneng ilahengan; kaliyan pedhalangan Jawa Barat ngangge jeneng murwa. Ing andhap punika conto murwa cekak saking pedhalangan Jawa Barat.

Kembang sungsang binang kunang

Cahaya nira kadya gilang gumilang

Murwa panjang ing andhap punika saking pedhalangan Jawa Timur.

Sun miwiti andhalang
Wayang ingsun minangka bambang paesan,
Kelire jagad dumadi,
Larapan naga pepasehan,
Pracik tapeling jagad gumelar,
Yana drojog sangga bawana.
Ligan rajeg wesi, blencong kencana,
Urube luber kadya Hyang Bathara Surya.
Kothaking wayang kayu cendhana sari,
Tutuping dhuwur kadya kusuma,
Kepyake gelap angampar.

Wontening lakonet Ki Harsono Siswocarito, murwa ingkang aslinipun saking sastra pedhalangan dipunmodifikasi dados bentuk enggal. Ing andhap punika conto-conto murwa wontening lakonet-lakonetipun.

Langit kelir tabir Gusti
Tabire ya wong ngawayang
Wayang manut maring dalang
Dalange murba ing wayang
Kelire ayon sabita Gusti

Kaliyan

Kembang sungsang cahya kunang
Kadia soca lintang gilang gumilang
Tembang hyang pangreka dalang
Dadia piwulang wong ngawayang

Kaliyan ugi

Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Dene utamaning praja
Adilmakmur paramarta

B. Nyandra


Nyandra awujud deskripsi adhegan ingkang ngangge basa prosa (gancaran) wintening pakeliran wayang. Wonten kalih jenis nyandra: janturan kaliyan pocapan. Janturan awujud deskripsi adhegan ingkang dipuniringi gamelan; kaliyan pocapan awujud narasi adhegan tanpa iringan gamelan. Adhedhasar saking pedhalangan Jawa Barat, Ki Harsono Siswocarito amodifikasi janturan ingkang dipuncatet saking lakon Jaya Renyuan garapan ki dhalang Dede Amung Sutarya.

Suh rep data pitana! anenggih wau kocapa negara ing pundi ingkang kaeka adi dasa nama purwa, eka sawiji adi linuwih dasa sapuluh nama iku panjenengan purwa nami wiwitan. Sandyan katah titahing dewa kasongan ing akasa, sinangga ing pertiwi, kaideng ing samudra, tebih ing parang muka, dasar negara Dwarawati silokane jero tancebe, jembar laladane, gede obore, duwur kukuse, padang jagate, adoh kakoncarane. Sigeg ingkang murweng kawi paparab kang dadi nalendra, inggih kang ngarenggani pura, jejeneng Sri Maha Batara Kresna ya Prabu Jenggalamanik, Prabu Harimurti, Prabu Padmanaba, Prabu Basudewaputra, saweg dipunadep dening ingkang rayi Arya Setiyaki lan ingkang raka Patih Udawa. Sreg tumeluk kaya kuncim pertala mukanipun sarta kadiya tata malih krama paningalipun Padmanegara lan Udawa saking ajrih dateng pangkonan. Samya prapta ngabiyantara, jajar denira pinara.

Nyandra wontening lakonet dipunmodifikasi dados bentuk ingkang cekak sapertos conto ing andhap punika.

MERCUKUNDA, SURALAYA.—Maharaja Tribuwana Sang Hyang Otipati Pramesti Guru Jagatgirinata ya Sang Hyang Manikmaya maharaja diraja jagat pramudita lingih ing singgasana Dampar Kencana lemek babut permadani sutra rerenda permata tinaretes ing sosoca dipunadhep dening para dewa pemuka triloka samiya padha jajar denira pinara.

Kaliyan ing andhap punika satunggil conto ingkang luwih cekak malih.

ASTINA.—Para Kurawa nuju imbal wacana sareng Jendral Baladewa, Presiden Mandura, ngarembag masalah musibah negara.

2. Conto Pocapan

Pocapan awujud nyandra tanpa iringan gamelan kangge nyariosaken kahanan wontening adhegan. Ing andhap punika satunggil conto pocapan wontening lakon Jaya Renyuan garapan ki dhalang Dede Amung Sutarya.

Padmanegara nyandak dua hulusapu bade dicipta ku Kresna. Atuh Kresna rep sidakep ana sinuku tunggal babakane caturdriya--catur papat, driya angen-angen, sir budi cipta kalawan rasa. Pangambung teu diangge ngangse; soca teu diangge ningal; cepil teu diangge ngarungu; baham teu diangge ngucap lir ibarat anu paeh ngadeg, nanging bentena pedah ngangge ambegan.

Wontening lakonet, pocapan ugi dipunmodifikasi dados bentuk ingkang cekak awujud baris-baris puisi. Ing andhap punika conto-contonipun.

Siapsiaga para dewa
Basmi mala Triloka!

Kaliyan ing andhap punika conto pocapan ingkang puitis.

Berang! Garang!
Buta menyerang!

C. Suluk

Suluk awujud citra ingkang dipuntembangaken dening ki dhalang wontening pakeliran wayang. Ing andhap punika conto suluk saking pedhalangan Jawa Barat.

Conto 1

Saur nira tandana panjang
Sinenggih sabda ya uninga lawan
Sabda ya uninga lawan
Sauri nira tandana panjang sinengih
Sabda uninga wis mama
Ulun layu dening sekti ala bakti dening asih
Ya ding asih
Wong asih ora katara

Conto 2

Betet ijo Kepodang ulese kuning
Abang manuke wulung kadya wowor
Sandang rawit puter gemeke ya lurik-lurik
Dadanira kinuwungan ya kinuwungan
Kadya bocah ngangge kakalung
Ningsor waringin wulung

Conto 3

Sri tinon ing pasewakan
Busana manekawarna
Murub mubyar cahayanira
Kadya kunang-kunangan
Sri tinon ing pasewakan
Busana manekawarna
Murub mubyar socanira
Kadya parada tinabur
Kadya kunang-kunangan
Sekar wijaya kusuma lawan

Wontening lakonet, suluk dipunmodifikasi dados sajak couplet. Ing andhap punika conto suluk saking lakonet Ki Harsono Siswocarito.

Siaptegap sang Dursasana
Panglima pasukan Astina!

Kurawa menyerbu kampus
Mahasiswa bikin mampus

D. Antawacana

Antawacana awujud dialog antartokoh wayang. Ewondene antawacana antara tokoh wayang kaliyan nayaga, wirasuara, utawi waranggana dipunsebat dialog samping (aside). Antawacana biasanipun dipunbabar sasampunipun pocapan. Ing andhap punika conto dialog saking lakon Jaya Renyuan garapan ki dhalang Dede Amung Sutarya.

KRESNA: Eladalah, Yayi, Yayi Setiaki.

SETIAKI: Kaula nun.

KRESNA: Kakang Patih Udawa.

UDAWA: Lo, lo, lo, Hahahah… pun kakang Patih Udawa.

KRESNA: Marajeng ka payun calikna.

SETIAKI: Ti payun anu kapihatur pun rayi nyanggakeun sembah pangabakti mugiya ditampi.

KRESNA: Sembah Rayi ditampi kudua panangan kiwa kalawan tengen, disimpen di luhur dina embun-embunan, di handap dina pang-konan, dicatet dina tungtung emutan anu teu keuna kuowah gingsir.

SETIAKI: Ngahaturkeun nuhun. Kalih perkawisna—

KRESNA: Kumaha, Yayi?

SETIAKI: Bilih aya kalepatan ageng sumawanten alit, agung cukup lumur, neda jembar hapunten anu diteda.

KRESNA: Perkawis kalepatan sok bujeng ku aya basana menta dihampura, sanaos teu aya basana akang parantos jadi lautan hampura kana kalepatan sampean, Yayi.

SETIAKI: Ngahaturkeun nuhun.

Ing andhap punika conto antawacana wontening lakonet.

BIMA: Para Profesor sing dakurmati! Apa para sedulur kabeh padha kuciwa marang tumindake bala Kurawa?

KANETRA: Temtu! Nanging dianggep dagelan kemawon. Toh saged beladiri.

PULASIA: Huahaha… bener! Gempuran menika boten wonten hartosipun kangge biomacrobot karyarekayasa kula.

ESTIBANDA: Ugi monsterobot samangke saged mbedahbubrah memala menika.

MANINGRAT: Dasar Kurawa! Wayang mbeling kados menika kumawani adol bagus. Nggaya! Khhkcuah!

MARUTA: Prelu diajar, Prof! Ben nyaho!

BARUNA: Bener! Anggite ngelmu kawruh namung wontening Universitas Negeri Soka-lima, teknologi namung wontening Universitas Talkanda? Kemaki-kemlinthi! Gemagus mbagusi!

BIMA: Iyo! Tumindake militer Astina perlu dituntut. Siapke balayuda biomacrobot lan monsterobot kanggo ngajurmumur balamala Astina.

PULASIA: Sendika!

ESTIBANDA: OK!

E. Sabetan


Sabetan awujud wiraga wayang sapertos tarian, lakuan, kaliyan lagaan. Tarian yaiku wiraga wayang ingkang dipuniringi tembang kaliyan gamelan. Lakuan yaiku wiraga wayang ingkan dipuniringi kecrek utawi kendhang kemawon. Ewondene lagaan yaiku wiraga wayang wontening pabaratan ingkang dipun iringi gamelan utawi kecrek kaliyan kendhang. Wontening lakonet, sabetan dipungarap ngangge adhegan action.

RIMBAMALA.—Mintaraga aduyuda sareng bala Manimantaka.

“M-mandeg! S-sapa s-sira?”

“Truk, sikat yu!”

“Siplah!”—(Duk! Bugh!) Ambruktakluk (Blug! Gludug!)—“Iki rasakna! Hih!”—(Jplak! Gdubrak!)—“Aaawww!”

“Bah! Keparat! Kaladurga, Kaladurjana, Kaladuraksa, Kaladurmala, Kalastuwila, Kala-daksa, Kaladarba, Kalagarba, Kaladuskerta, Kaladusta, Kaladursila—majuserbu!”

“Reng, embat granat!” + “Okelah!”—(Plas!)

(BLAARR!)

F. Swara


Swara awujud mbengokan, jeritan, aduhan, tobatan, utawi swara tiron ingkang dipunsebat onomatopia. Swara awujud palengkap sabetan lagaan. Ing andhap punika conto swara saking lakonet Ki Harsono Siswocarito.

“E-e-babo-babo… Gog—ana p-pangalasan Pring-gadingacala. S-sapa, Gog?

“Sst! Jendral Arjuna!”

“E-e-babo-babo… s-serbu!”—(Clap!)—“C-ciaat!”—(Dez! Zplak! Deb! Bugh!)—“Hugk-khoeekh uhuooo… m-mati a-aku, Gog!”—(Bruk!)

“Cakil mati, Lung!”

“Ben ae, Gog!”

“Grr-babo-babo, keparat! Adhapi aku Dityakala Badaisegara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat iki!”

“C’mon!” + “OK!” + “Move!”

“Siji, loro, telu! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk! Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)

“Zuilah! Mampuz zedaya!” “Benal! Mlayu, Mas!”

(Jleg!)—“Mandheg!”

“Zapa kon? O yez! Kenalin—aku Mr George! Yez, Mr Joz!”

“Busyet! Lumayan keren juga ki Buto—nganggo nama beken segala! Kowe kalah, Reng.”

“Em… kowe sapa, Pelo?”

“Mistel Gabliel! Ayo minggat ah! Usah ngulusin cah ola kaluan!”—(Bugh! Bugh!)—“Adow! Main pelmak lagi! Blantem-blantem, tapi spoltif! Ngawul ngoe!”

(Dor-dor!)—“Beres, Gong!”

G. Tembang


Tembang awujud lelagon ingkang dipuntembangaken dening waranggana, wiraswara, utawi dhalang. Tembang wiwitan pakeliran wayang dipuntembangaken dening waranggana. Tembang iringan pakeliran wayang dipuntembangaken dening waranggana kaliyan wiraswara. Tembang wontening adhegan Limbukan kaliyan Gara-gara dipuntembangaken dening dhalang ingkang sesarengan kaliyan waranggana utawi bintang tamu. Ing andhap punika conto tembang bebuka wontening pedhalangan Jawa Barat.

Sampurasun dulur-dulur
Nu aya di pilemburan
Wilujeng patepang dangu
Ti abdi saparakanca
Ti abdi saparakanca
Gamelan Munggul Pawenang
Nyanggakeun hiburanana, Juragan
La mugiya janten panglipur
Pangbeberah duh kana manah

Tembang ing andhap punika dipuntembangaken dening si Cepot wontening lakon Jaya Renyuan anggitanipun ki dhalang Dede Amung Sutarya.

"Lagu Nu Ngusep"

Barung herang liar mijah
Clom kiriwil ari anclom ngagiriwil
Mawa epan rupa-rupa
Clom kurunyud lamun anclom sok ngurunyud
Plung kecemplung plung kecemplung
Empan teuleum kukumbul ambul-ambulan
Kenur manteng jeujeur jeceng
Leungeun lempeng panon mah naksir nu mandi
Kop tah lauk mere dahareun
Mangga mangga mangga geura tuang
Geura raos ditanggung deudeuieun
Mangga mangga ulah isin-isin
Empan cangkilu ungkul dilangkung
Empan papatong kalah dipelong
Ku epan colek kalah ngadelek
Lekcom lekcom panon belek nyambel oncom

Ing lakonet Ki Harsono Siswocarito wonten tembang ingkang dipuntemangaken dening Panakawan saking tembang Asmarandana Sunda.

Gandasari buah ati
Pujaan urang sadaya
Buku pinuh kupapaes
Alus jadi patamanan

Ugi wonten tembang ingkang dipunmodifikasi saking kalih baris lirik lagu Rolling Stones.

Yu yus tu bi mai parti dol
Bat now yu sey de parti’s oper

Lirik aslinipun yaiku:

You used to be my party doll
But now you say the party's over

H. Mantra


Mantra utawi sastra mantra pedhalangan wonten kalih kategori. satunggalipuni, mantra ingkang awujud doa ki dhalang wontening pakeliran wayang. Kalihipun, mantra ingkang awujud rapalan tokoh wayang kangge medalken kasaktenipun.


Contonipun mantra bebuka pakeliran saking Mpu Tan Akung:

Ingsun Angidhepa Sang Hyang Guru Reka,

Kamatantra: swaranku manikastagina.

Contonipun rapalan mantra penyirepan dening tokoh wayang Indrajit:

Rep sirep si Megananda

Wong sarewu padha tumut

Salaksa wong serah nyawa

I. Lakon


Lakon wontening lakonet asalipun saking crita-crita wayang ingkang saged dipunklasifikasiaken dados crita pakem, carangan, gubahan, kaliyan sempalan. Crita pakem asalipun saking Mahabarata, Ramayana, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Rajapurwa, Serat Purwakandha, kaliyan sanesipun. Crita carangan awujud versi crita pakem ingkang sampun dipunmodifikasi dening ki dhalang. Crita gubahan awujud versi crita ingkang dipunadaptasi. Crita sempalan awujud crita wayang kreasi enggal.


Unsur tambihan


Kejabi unsur-unsur sastra pedhalangan ing inggil punika, lakonet gadhah unsur-unsur dukungan ingkang awujud citra, hiperteks, sareng cyberteks.


Citra awujud gambar ingkang dipunangge ilustrasi selaku unsur tambihan lakonet. Citra kangge ilustrasi lakonet ngangge wayang digital, yaiku gambar wayang ingkang dipundamel ngangge teknik seni lukis digital. Adhedhasar saking konsep estetika layarmaya, wayang digital dipundamel wewalikan saking wayang cetak. Layarmaya ngangge latar ireng, kosokwalikipun wayang cetak ngangge latar putih. Pramila wayang digital wontening lakonet awujud bayangan putih wontening latar ireng. Punika benten kaliyan wayang cetak ingkang anggambarken wewayangan ireng wontening latar putih. Ewosemana bayangan ireng wontening pakeliran wayang kulit ingkang gangge kelir putih.


Hiperteks wontening lakonet awujud link internal kaliyan link eksternal. Wontenipun link punika mbentenaken teks kaliyan hiperteks. Hipertekstualisasi awujud proses mediamorfosis saking teks tulis dados hiperteks elektronik.


Cyberteks wontening lakonet awijud wahana interaktif antara hipertekstualisasi ingkang dipundamel dening ki dhalangmaya kaliyan komunitasmaya ing duniamaya. Interaktivitas punika maringaken peluang dumateng sedaya netizen wontening komunitasmaya kangge medamel interaksi secara aktif.


Simpulan


Sastra pedhalangan gadhah anekaragam gaya. Punika mujudaken wontenipun pluralitas gaya wontening tradisi pedhalangan Indonesia, sapertos pedhalangan gaya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Banjar, kaliyan sanesipun.

Ngangge nerapaken konsep estetik ingkang awujud tegangan antara tradisi kaliyan inovasi punika lakonet dados satunggil genre wayang posmodern ingkang ngangge internet selaku media pakeliran kaliyan publikasinipun.

Semarang, 22 Juni 2008

Referensi

Harghana SW, Bondhan. 2003. Janturan Jangkep Wayang Purwo. Sukoharjo-Surakarta: Cendrawasih.

Haryanto, s. 1992. Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize.

Sukatno, Anom. 1993. Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo. Sukoharjo-Surakarta: Cendrawasih.

Sutarya, Dede Amung. 1977. Jaya Renyuan. Indonesia: Gita Record Metropolitan.

Timoer, Soenarto.1988. Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan II. Jakarta: Balai Pustaka.