Kamis, 25 Oktober 2012

BUKU SEJARAH LAMPUNG


FACHRUDDIN

Judul Buku : Sumbangan Untuk Mengenal Sejarah daerah Lampung.
Terjemahan dari Tijdschrift Voor Nederlandch Indie 1874, Deel II
Dengan Judul Asli Bijdrage Tot De Kennis Der Geschiedenis Van De
Lampongs.
Penulis : JEH. Kohler.
Penerjemah : Firdaus Burhan.
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun : 1979/1980

Penerbitan buku yang berjudul “Sumbangan Untuk mengenal Sejarah Lampung” ini merupakan hasil terjemahan dari buku sejarah yang ditulis oleh pihak penjajah dalam Tijdaschrift Voor Nederland Indie, 1874, deel II, te Zalt – Bommel bij Joh. Noman en Zoon, dengan judul asli “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van de Lampongs. Firdaus Burhan berhasil menterjemahkannya ke bahasa Indonesia tahun 1997, ini dilakukan terkait upaya Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Lampung.

Ketika JEH. Kohler menulis buku ini Ia menjabat sebagai Kapitein Civiele en Militaire Gezaghebber der Lampongsche Districten. Kelak Ia berpangkat Mayor Jendral yang tewas dalam penyerangan Kesultanan Aceh. Dan dalam karya penulisan sejarah ini penyajiannya menggunakan kacamata kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah.

Penulisan buku ini sangat dipengaruhi kepentingan Belanda, Belanda menjajah Indonesia dengan alasan untuk menciptakan ketengan dan ketertiban (rust en orde) dalam rangka pembentukan Pax Neorlandica : dimana Pemerintah belanda mengaku mengemban tugas suci (mission sacree) untuk membawa suku suku di Nusantara kea rah peradaban sesuai dengan keinginan pihak Belanda sebagai penjajah.

Olehkarenanya dalam membaca buku ini kita harus pandai pandai memilah milah, mana yang bermanfaat dan memiliki nilai nilai prospektif yang baik, dan manapula yang harus kita taruh ditempat sampah. Nanti akan kita dapatkan uraian dalam buku ini, aktivitas para pejuang Kemerdekaan kita yang dianggap oleh Belanda sebagai tindakan yang anti social, disejajarkan dengan tindakan pengacauan, keonaran, pemerasan, pembajakan, main hakim sendiri dan lain sebagainya. Sementara apapun yang dilakukan oleh belanda adalah sebagai sesuatu yang sangat terpuji adanya.

Namun walaupun demikian fakta fakta yang disajikan dalam buku ini akan bermanfaat bagi kita semua untuk mengenal jatidiri kita sebagai bangsa. Oleh karenanya kita tidak ingin menutup nutupinya, dan penterjemah telah melaksanakan tugasnya untuk mentransliterasi tulisan ini dengan apa adanya. Tentu saja dengan perubahan redaksi disesuaikan dengan tata bahasa Indonesia, agar lebih mudan untuk dapat dimengerti oleh pembaca.

Tulisan yang sejatinya merupakan catatan seorang pejabat pemerintahan penjajah Belanda, sebenarnya isinya lebih banyak berisikan keadaan kampung, lingkungan, transportasi, siapa penduduk, bagaimana kepatuhannya kepada pemerintahan penjajah. Dan tentunya teristimewa mengenai catatan tentang perniagaan. Karena kecenderungan masyarakat untuk berniaga langsung ke Lingga dan Singapura, karena inilah perjuangan Belanda, yaitu mengarahkan perniagaan ini ke Batavia. Dalam artian bahwa hasil perkebunan dan hutan di Lampung agar pada akhirnya jatuh ke Belanda melalui Batavia itu.

Catatan JEH Kohler tentang politik menjadi istimewa, di awal abad ke 19 Belanda banyak mendapat perlawanan dari masyarakat Lampung. Belnda masuk Lampung sebenarnya sejak abad 17. keberhasilan masuk Lampung tidak terlepas dari adanya perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa selaku Sultan Banten dengan putranya sendiri yang bernama Sultan Haji. Tetapi pada abad ke 17 hingga 18 Belanda hanya mampu mendirikan dua buah post untuk mengurus perdagangan lada Lampung, tetapi masyarakat setempat tidak merasakan adanya gangguan dari pihak Belanda.

Awal abad 19 di bawah kepemeruintahan Daendels dan kemudian Hindia Belanda, maka Batavia mulai merencanakan meningkatkan aktivitas politik pemerintahannya di Lampung. Sejak saat itu muncullah reaksi dan perlawanan masyarakat Lampung secara pasang surut dan silih berganti. Sehingga melahirkan rentetan perlawanan panjang yang sangat merepotkan bagi penjajah Belanda. JEH Kohler mencatat beberapa nama yang sering melakukan perlawanan antara lain Raden Intan I, Raden Mengunang, Raden Imbakusuma, Kyai Aria Natabraja, Dalem Sangunratu, Minak Suku Ratu, Minak Binawa Aling, Radin Bangsa Ratu, Dalem Pubangasesa, Raden Intan (cucu Radin Intan 1), putra Raden Imba Kusuna dan lain lain.

Hubungan Lampung Banten.

Berdasarkan catatan JEH Kohler antara Lampung adalah dua dalam satu, satu dalam dua. Apapun yang terjadi di Banten dipastikan akan menggema di Lampung, dan apa yang terjadi di Lampung dipastikan akan berdampak di Banten. Belanda tidak boleh menganggap ringan hubungan Lampung – Banten ini, karena ternyata banyak pemimpin di Banten yang secara diam diam ternyata telah berada di Lampung, mereka memata matai kegiatan belanda, dan bahkan telah menyusun kekuatan guna melakukan perlawanan. Beberapa tokoh penting Banten yang telah siap di Lampung antara lain adalah Haji Wahid, Luru Satu, Wah Nass dan lain lain.

JEH. Kohler mencatat adanya tokoh tokoh Banten yang berkhianat dan melakukan kerjasama dengan Belanda untuk melakukan keonaran dengan mengganggu kemanan di Lampung khususnya dalam arus lalu lintas. Ada juga pihak pihak yang memiliki peran ganda, yaitu dekat dengan Belanda dan sekaligus berhasil dekat dengan pejuang pejuang Lampung, tokoh yang mendua ini dipimpin oleh Sleman.

Yang paling menarik adalah keberhasilan para pejuang Lampung memobilisasi para saudagar, juragan kapal dan petani untuk dipersenjatai, sekalipun sederhana, untuk melakukan perlawanan dengan Belanda. Kelompok ini kelak dibubarkan manakala perjuangan telah dianggap selesai. JEH. Kohler menuliskan betapa banyaknya para pejuang Lampung yang ditangkap Belanda, diasingkan ke Timor dan akhirnya dihukum mati.

Sekali lagi sejarah Lampung ini ditulis berdasarkan kacamata dan kepentingan Belanda sebagai pemerintahan penjajah, sehingga dalam membaca buku ini kita membutuhkan kelincahan dan memilih dan memilah.


Judul Buku : Sumbangan Untuk Mengenal Sejarah daerah Lampung.
Terjemahan dari Tijdschrift Voor Nederlandch Indie 1874, Deel II
Dengan Judul Asli Bijdrage Tot De Kennis Der Geschiedenis Van De
Lampongs.
Penulis : JEH. Kohler.
Penerjemah : Firdaus Burhan.
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun : 1979/1980

Penerbitan buku yang berjudul “Sumbangan Untuk mengenal Sejarah Lampung” ini merupakan hasil terjemahan dari buku sejarah yang ditulis oleh pihak penjajah dalam Tijdaschrift Voor Nederland Indie, 1874, deel II, te Zalt – Bommel bij Joh. Noman en Zoon, dengan judul asli “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van de Lampongs. Firdaus Burhan berhasil menterjemahkannya ke bahasa Indonesia tahun 1997, ini dilakukan terkait upaya Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Lampung.

Ketika JEH. Kohler menulis buku ini Ia menjabat sebagai Kapitein Civiele en Militaire Gezaghebber der Lampongsche Districten. Kelak Ia berpangkat Mayor Jendral yang tewas dalam penyerangan Kesultanan Aceh. Dan dalam karya penulisan sejarah ini penyajiannya menggunakan kacamata kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah.

Penulisan buku ini sangat dipengaruhi kepentingan Belanda, Belanda menjajah Indonesia dengan alasan untuk menciptakan ketengan dan ketertiban (rust en orde) dalam rangka pembentukan Pax Neorlandica : dimana Pemerintah belanda mengaku mengemban tugas suci (mission sacree) untuk membawa suku suku di Nusantara kea rah peradaban sesuai dengan keinginan pihak Belanda sebagai penjajah.

Olehkarenanya dalam membaca buku ini kita harus pandai pandai memilah milah, mana yang bermanfaat dan memiliki nilai nilai prospektif yang baik, dan manapula yang harus kita taruh ditempat sampah. Nanti akan kita dapatkan uraian dalam buku ini, aktivitas para pejuang Kemerdekaan kita yang dianggap oleh Belanda sebagai tindakan yang anti social, disejajarkan dengan tindakan pengacauan, keonaran, pemerasan, pembajakan, main hakim sendiri dan lain sebagainya. Sementara apapun yang dilakukan oleh belanda adalah sebagai sesuatu yang sangat terpuji adanya.

Namun walaupun demikian fakta fakta yang disajikan dalam buku ini akan bermanfaat bagi kita semua untuk mengenal jatidiri kita sebagai bangsa. Oleh karenanya kita tidak ingin menutup nutupinya, dan penterjemah telah melaksanakan tugasnya untuk mentransliterasi tulisan ini dengan apa adanya. Tentu saja dengan perubahan redaksi disesuaikan dengan tata bahasa Indonesia, agar lebih mudan untuk dapat dimengerti oleh pembaca.

Tulisan yang sejatinya merupakan catatan seorang pejabat pemerintahan penjajah Belanda, sebenarnya isinya lebih banyak berisikan keadaan kampung, lingkungan, transportasi, siapa penduduk, bagaimana kepatuhannya kepada pemerintahan penjajah. Dan tentunya teristimewa mengenai catatan tentang perniagaan. Karena kecenderungan masyarakat untuk berniaga langsung ke Lingga dan Singapura, karena inilah perjuangan Belanda, yaitu mengarahkan perniagaan ini ke Batavia. Dalam artian bahwa hasil perkebunan dan hutan di Lampung agar pada akhirnya jatuh ke Belanda melalui Batavia itu.

Catatan JEH Kohler tentang politik menjadi istimewa, di awal abad ke 19 Belanda banyak mendapat perlawanan dari masyarakat Lampung. Belnda masuk Lampung sebenarnya sejak abad 17. keberhasilan masuk Lampung tidak terlepas dari adanya perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa selaku Sultan Banten dengan putranya sendiri yang bernama Sultan Haji. Tetapi pada abad ke 17 hingga 18 Belanda hanya mampu mendirikan dua buah post untuk mengurus perdagangan lada Lampung, tetapi masyarakat setempat tidak merasakan adanya gangguan dari pihak Belanda.

Awal abad 19 di bawah kepemeruintahan Daendels dan kemudian Hindia Belanda, maka Batavia mulai merencanakan meningkatkan aktivitas politik pemerintahannya di Lampung. Sejak saat itu muncullah reaksi dan perlawanan masyarakat Lampung secara pasang surut dan silih berganti. Sehingga melahirkan rentetan perlawanan panjang yang sangat merepotkan bagi penjajah Belanda. JEH Kohler mencatat beberapa nama yang sering melakukan perlawanan antara lain Raden Intan I, Raden Mengunang, Raden Imbakusuma, Kyai Aria Natabraja, Dalem Sangunratu, Minak Suku Ratu, Minak Binawa Aling, Radin Bangsa Ratu, Dalem Pubangasesa, Raden Intan (cucu Radin Intan 1), putra Raden Imba Kusuna dan lain lain.

Hubungan Lampung Banten.

Berdasarkan catatan JEH Kohler antara Lampung adalah dua dalam satu, satu dalam dua. Apapun yang terjadi di Banten dipastikan akan menggema di Lampung, dan apa yang terjadi di Lampung dipastikan akan berdampak di Banten. Belanda tidak boleh menganggap ringan hubungan Lampung – Banten ini, karena ternyata banyak pemimpin di Banten yang secara diam diam ternyata telah berada di Lampung, mereka memata matai kegiatan belanda, dan bahkan telah menyusun kekuatan guna melakukan perlawanan. Beberapa tokoh penting Banten yang telah siap di Lampung antara lain adalah Haji Wahid, Luru Satu, Wah Nass dan lain lain.

JEH. Kohler mencatat adanya tokoh tokoh Banten yang berkhianat dan melakukan kerjasama dengan Belanda untuk melakukan keonaran dengan mengganggu kemanan di Lampung khususnya dalam arus lalu lintas. Ada juga pihak pihak yang memiliki peran ganda, yaitu dekat dengan Belanda dan sekaligus berhasil dekat dengan pejuang pejuang Lampung, tokoh yang mendua ini dipimpin oleh Sleman.

Yang paling menarik adalah keberhasilan para pejuang Lampung memobilisasi para saudagar, juragan kapal dan petani untuk dipersenjatai, sekalipun sederhana, untuk melakukan perlawanan dengan Belanda. Kelompok ini kelak dibubarkan manakala perjuangan telah dianggap selesai. JEH. Kohler menuliskan betapa banyaknya para pejuang Lampung yang ditangkap Belanda, diasingkan ke Timor dan akhirnya dihukum mati.

Sekali lagi sejarah Lampung ini ditulis berdasarkan kacamata dan kepentingan Belanda sebagai pemerintahan penjajah, sehingga dalam membaca buku ini kita membutuhkan kelincahan dan memilih dan memilah. Tetapi buku yang dicetak secara terbatas ini perlu juga untuk dibaca baca. Tulisan ini dan beberapa tulisan berikutnya, saya sajikan dengan gaya populer.

Daftar Bibliografi Kuno Tentang Lampung



Drs. Bintang Wirawan

A. Th. van Ginkel, 1917, De Emigratie en kolonisatieproeven der Indische Regeering.

A.J. Koens, 1915, Over Kolonisatiepreven in de Residentie Benkoelen.

A.M. Djuliati Suroyo, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, kerja wajib di Karesidenan Kedu Verslag van der Centraal.

Ahmad Dt.Batuah/A.Dt.Madjoindo, 1956. Tambo Minangkabau, Balai Pustaka, Djakarta,

Anonim, Afs. No. 4405/20, 10 October 1905

Anonim, Besluit no. 18 tanggal 31 Mei 1939

Anonim, Besluit no. 30 tanggal 29 Januari 1937

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1913

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1915

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1916

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1917

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1918

Anonim, Koloniaal Verslag tahun 1919

Bernet Kempers, A. J. 1959, Ancient Indonesian Art. Cambridge.

BHATTA,, J.N. , 1957, Soal2 transmigrasi di Indonesia (Istimewa Sumatra Selatan) / Regarding
International Migration in Indonesia (with special reference to S. Sumatra). Djakarta, Balai Geografi, Direktorat Topografi Angkatan Darat, Kementerian Pertahanan. [VIII], 64, 76 pp. + 25 (partly folding) maps and graphs. Monograph on transmigration in Indonesia, especially with regards to the migration of people from Java to South Sumatra since 1905. With many statistical data. Texts in Indonesian and English.

BROERSMA, DR. R. 1916, De Lampongsche Districten. Batavia, Javasche Boekhandel en Drukkerij. Illustrated with 24 b/w photo plates and a folding map.VIII, 325 pp. Orig. gilt-lettered brown cloth. Sm. 4to. A very good copy. Encyclopaedic work on the Lampung-district of South Sumatra investigating the possibilities of the economic development of the region together with extensive notes on the history, ethnography, geography, legal system, trade, agriculture, colonization by Javanese immigrants, railroad systems etc. of the area. (B).

BRUININK-DARLANG, CHRISTIEN, , 1993, Hervormingen in de koloniale periode. Verbeteringen in het Nederlands-Indisch strafstelsel in de periode 1905-1940. . Arnhem, Gouda Quint BV. Illustrated, maps. XVI, 425 pp.; bibliography; index. Sewn, orig. decorated wrs. Study on the penitentiary system and connected reforms in the Netherlands East Indies in the period from 1905 and 1940, Trade edition of a thesis. With a summary in English.

Burger, Prof. Dr. D.H, ,1957, terj. Prajudi Atmosudirdjo, Prof.Dr.Mr., Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, J.B. Wolters, Djakarta, jilid I.

C.C.J. Maassen, 1937, "De Javaansche Landbouwkolonisatie in de Buitengewes.

C.J. Hasselman, 1914, Algemeen overzicht van de uitkomsten van het eivaartonderzoek, gehouden op Java en Madura in 1904-1905. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

CANNE, H. D., 1862, Bijdrage tot de geschiedenis der Lampongs. Batavia-'s Hage, Lange & Co.-

M. Nijhoff. 18p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 11, Vierde Serie Deel 2.

Chijs, J. A. van der, 1877, Catalogus der Ethnologische Afdeeling van het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia.

CORNETS DE GROOT, H. F. W., 1882. Nota over de slavernij en het pandelingschap in de residentie Lampongsche Districten. Batavia-'s Hage, W.Bruining & Co.-M. Nijhoff 35p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 27.

D.C. Hooyer, 1912, Emigratie naar de residentie Benkoelen.
Dalom paksi (Buwai Menyata) -S.Yusputra, 1975, Kuntara Raja Niti Tanjungan Ketibung (terj. b. Indonesia).

DEPARTEMEN P dan K, 1979/1980, Sumbangan untuk mengenal sejarah daerah Lampung, terjemahan dari Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1874 Deel II, judul asli: Bijdrage tot de kennis der Geschiedenis van de Lampongs, (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya - Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, terjemahan Firdaus Burhan).
Departemen P dan K, 1980, Adat istiadat daerah Lampung, Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah tahun 1977/1978.

DREWES, G. W. J. 1961. De Biografie van een Minangkabausen peperhandelaar in de Lampongs naar een Maleis handschrift in de Marsden-Collection te London uitgegeven, vertaald en ingeleid. 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, (4),159 p., index, 8vo wrs. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel XXXI.

DU BOIS, J. A., 1852, De Lampongsche distrikten op het eiland Sumatra. Zalt-Bommel, Joh. Noman en Zoon. 31,25p., 8vo wrs. Original extract from the periodical : Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 14de Jaargang.

EEKHOUT, R.A. , 1891, Aanleg van staatsspoorwegen in Nederlandsch Borneo en Zuid-Sumatra. Leiden, Brill. With 2 large folding maps. 31 pp. Sewn, orig. wrs.

Encyclopaedie Van Nederlands Indie, 1896, 'sGravenhage, Martinus Nijhoff, E.J. Brill, Leiden

Encyclopaedie van Ned.Indie, 2e deel, 1918. ‘sGravenhage, Martinus Nijhoff, E.J. Brill, Leiden

ESCHER, Dr. B.G. 1928. Krakatau in 1883 en in 1928. Amsterdam, K.N.A.G., 29 p., 11 figs., 2 folding maps (1 large), 2 tables, bibliography, 8vo wrs. Original extract from the periodical

K.N.A.G. (Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap)., Vol. XLV.

Galis, K. W. 1949, "Een en ander over de sociale structuur in Kaur", Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land-, en Volkenkunde, LXXXIII: 27-58, 247-285.

Gittinger, Mattiebelle, 1972, "A Study of the Ship Cloths of South Sumatra: Their Design and Usage". Ph.D. dissertation, Columbia University, New York.

H.J. Heeren, 1979, Transmigrasi di Indonesia, Hubungan antara transmigrasi dan penduduk asli dengan titik berat Sumatra Selatan dan Tengah,

H.R. Rookmaker, 1937, De Javanen kolonisatie in de Lampongsche Districten,

HARREBOMÉE, G. J. 1885.Eene bijdrage over den feitelijken toestand der bevolking in de Lampongsche Districten. Rangen en waardigheden, uitspanningen en kleeding, godsdienst, huwelijk en de positie der vrouw. 's Gravenhage, Martinus Nijhoff, 24p., 8vo modern wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 34. Reprint.

HAZEU, G. A. J. 1905. Een beschreven koperen plaat uit de Lampongs. Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.,-M. Nijhoff, 12p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 48.

HELFRICH, O. L. 1891. Lampongsche raadsels, spreekwoorden en spreekwijzen. 'sGravenhage, Martinus Nijhoff, 8p., 8vo wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Vijfde volgreeks, Deel 6.

Hilman Hadikusuma SH, Persekutuan Hukum Adat Pubiyan Telu Suku dan fungsinya bagi
hukum adat lampung pada masa sekarang, Bunga Rampai Adat Budaya I, FH.Unila, 1973.

Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Lampung Pepadun, Fajar Agung, 1988.

Hilman Hadikusuma, S.H Kuntara Raja Niti Pubiyan Telu Suku. 1986

Hilman Hadikusuma, S.H. Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung. 1984

HISSINK, J. H. 1904. Het Pepadonwezen en zijne attributen in verband met de oude staatkundige indeeling in Marga's en het huwelijks- en erfrecht in de afdeeling Toelang Bawang der Lampongsche districten. Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.,-M. Nijhoff, 99p, 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 47.

HOËVELL, W. R. van., 1862. Blik op de Lampongsche distrikten en hunne bevolking. Zalt-Bommel, Joh. Noman en Zoon, 11p., 8vo wrs. Original extract from the periodical : Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 24ste Jaargang.

HOËVELL, W. R. van. 1856-1857. De Lampong's. Zalt-Bommel, Joh. Noman en Zoon, 28,49,29p., 8vo wrs. Original extract from the periodical : Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 18de & 19de Jaargang.

HOËVELL, W. R. van. 1862. Over de landbouw-produkten der Lampongs. Zalt-Bommel, Joh. Noman en Zoon, 17p., 8vo wrs. Original extract from the periodical : Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 24ste Jaargang.

Hoop, A. N. J. Th. a Th. van der, 1949, Indonesian Ornamental Design. Bandoeng.
Indsich Verslag, Indisch Verslag 1941

J. van der Zwaal, 1936, De Javanen Kolonie's Gedong Tataan en Wonosobo in de Lampongsche Disricten,

J. van. Breda de Haan, 1915, Kolonisatie op de Buitenbezittingen,

J.W.J Wellan. 1932, Zuid Sumatra
Kampto Utomo, 1975, Masyarakat Transmigrasi Spontan di daerah Wai Sekampung (Lampung).
Karl J. Pelzer, 1948, Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics, Studies in Land Utilization and Agricultural Colonization

KEMP. P.H. VAN DER, 1899. Raffles' bezetting van de Lampongs in 1818 . 's-Gravenhage, M. Nijhoff, 58 pp. - Extract BKI, Vol. 50, 1899 (pp. 1-58). Sewn, modern blind wrs. Fine, unopened copy. (C).

KIT 202, Memorie van Overgave Residentie Benkolen

KIT 203, Memorie van Overgave Residentie Benkoelen

KIT 930, Memorie Betreffende de Javanen Kolonisatie

KIT 936, Memorie van Overgave onderafdeeling Recijang 1928

Koentjaraningrat, 1975, Kebudayaan Jawa,

Kroef, J. M. van der, 1954, "Dualism and Symbolic Antithesis in Indonesian Society", American Anthropologist, 56 :847-862.

KÜHR, C. A. H. 1879. Eene proclamatie van Sir Thomas Stamford Raffles aan de Margahoofden der Lampongsche Distrikten. 's Gravenhage, Martinus Nijhoff, 7p, 8vo wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 26.

KÖHLER, J. C. 1854. Verslag eener reis in de Lampongsche Distrikten. Batavia, Lange & Co., 21p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 3.

KÖHLER, J. C. 1856. Verslag eener reis door een gedeelte der Lampongsche Distrikten. Batavia,

Lange & Co., 18p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 5.

Langewis, L., and Frits Wagner, 1964, Decorative Art in Indonesian Textiles. Amsterdam.

LEUPE, P. A. 1875. Bijdrage tot de geschiedenis van den zeeroof in den Oost-Indischen Archipel 1800-1802. Batavia-'s Hage, Bruining & Wijt-M.Nijhoff, 66p., with 2 folding maps (De nieuw Nigori van de Zeeroversmet hun fortres, Rivier van Lampong en Bagedange & vernielde Campong gelegen in den Rivier Lampong Poeti), 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 22.

Loeber, J. A. 1903, "Het weven in Nederlandsch-Indie", Bulletin, Koloniaal Instituut (Haarlem) No. 29.

OPHUIJSEN, C. A. van. 1896. Lampongsche dwerghertverhalen. 's Gravenhage, Martinus Nijhoff, 34p., 8vo wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 46).

Op't Land, C. 1968-69 "Een merkwaardige 'Tampan Pengantar' van Zuid-Sumatra", Kultuurpatronen, 10-11: 100-117.

Patrice.Levang, 2003, Ayo Ke Tanah Sabrang, Transmigrasi di Indonesia (terjemahan),

Purwanta Iskandar, 1976, "Desa Transmigrasi Sidomulyo 1937,

Roos, K. H. F. 1890, "Aanteekeningen over de afdeeling Kaoer in de residentie Benkoelen",
Tijdschrift van het Binnenlandsch Bestuur. IV: 14-33, 92-112, 145-160.

ROVERE van BREUGEL, Jonkhr. J. de. 1856. Beschrijving van Bantam en de Lampongs. Amsterdam, Batavia, Frederik Muller, van Haren, Noman en Kolff, 54p., 8vo wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 5. - Reprint.

Scharer, Hans, 1963, Ngaju Religion, The Conception of God Among a South Borneo People. The Hague. Translation of Die Gottesidee der Ngadju Dajak in Su'd-Borneo. 1946. Leiden.

STECK, F. G. 1862. Topographische en geographische beschrijving der Lampongsche distrikten. Amsterdam, Batavia, Frederik Muller,G. Kolff, 45,4p., 8vo wrs. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Nieuwe volgreeks, Deel 4.

Steinmann, Alfred, 1937, "Les 'tissus a. jonques' de sud de Sumatra", Revue des Arts Asiatiques, XI: 131-143.

Steinmann, Alfred, 1938-39, "Uber die sogenannte Schiffstiicher von Sudsumatra", Bulletin der

Schweizenschen Gesellschaft fur Anthropologie und Ethnologie, 15: 5-6.

Steinmann, Alfred, 1946, "The Ship of the Dead in the Textile Art of Indonesia", Ciba Review, 52: 1885-1896.

Steinmann, Alfred, 1965, "Das Seelenschiff in der Textilkunst Indonesiens", Kultuurpatronen, 7:23-39.

Suhartono, 1955, Bandir-bandit Pedesaan di Jawa, Studi Historis 1850-1942,

Tillman, G. 1938a, "lets over de weefsels van de Kroe" Districten in Zuid-Sumatra", Maandblad voor Beeldende Kunsten, XV: 10-16.

Tillman, G. 1938b, "lets over de weefsels van de Lampong'sche Districten in Zuid-Sumatra", Maandblad voor Beeldende Kunsten.: 131-143.

Tobing, Ph. O. L. 1956, The Structure of the Toba Batak Belief in the High God. Amsterdam.

Turner, Victor, 1967. The Forest of Symbols. Ithaca.

TUUK, H. N. van der. 1869. Brieven van H. N. van der Tuuk, betreffende het Lampongsch. Batavia-'s Hage, Lange & Co.-M. Nijhoff, 49p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 19.

TUUK, H. N. van der. 1883. Lampongsche Pijagems. Batavia-'s Hage, Bruinung & Co.-M. Nijhoff, 17p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 29.
TUUK, H. N. van der. 1869. Proeve van een vergelijkende woordenlijst van Lampongsche tongvallen. Batavia-'s Hage, Lange & Co.-M. Nijhoff, 7p., 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 17.

VETH, Prof. P. J. 1877. -1979, Het landschap Aboeng en de Aboengers op Sumatra. Met nalezingen en verbeteringen: Een en ander over de Lampongsche districten op Sumatra. Amsterdam-Utrecht, K.N.A.G./ C.L.Brinkman, J.J.Beijers, , 14 p., in 2 columns, large folding map, textmap, 4to wrs.

ZOLLINGER, B. 1847, De Lampongsche Districten en hun tegenwoordige toestand. Batavia,. 41,22,72p., 3 folding tables, 8vo wrs. Original extract from the periodical : Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 9de Jaargang.

Sumber : Institut Lampungologi

Senin, 22 Oktober 2012

Hermeneutika Sebagai Alat Tafsir Naskah.


Membaca naskah kuno tidak tertutup dari perbedaan penafsiran, apalagi sebuah naskah yang ditulis oleh seseorang akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan, pristiwa yang mempengaruhi seorang penulis atau pencatat sesuatu yang kini dianggap sebagai naskah kuno. Ada naskah yang merupakan gejolak protes seseorang atau kelompok atas sesuatu ketidak adilan, atau sebaliknya naskah yang ditulis untuk kepentingan penguasa dalam mempertahankan dan bahkan mengembangkan atau melebarkan (ekspansi) kekuasaannya itu. Kesimpangsiuran itu harus dijernihkan dengan memanfaatkan berbagai ilmu bantu.

Mempelajari naskah kuno memang membutuhkan beberapa ilmu bantu, antara lain “Hermeneutika" Walaupun masih simpangsiur dalam pendefinisiannya, namun dapat kita tarik persamaanya, bahwa bahasan hermeneutika ada diseputar pentakwilan atau penafsiran sebuah teks. Namun ilmu ini tidak disukai oleh para mufassir Al-Quran, karena ada kekhawatiran akan terjebak dalam subjektivitas, yang sering dialami oleh pengguna hermeneutika dalam menakwilkan sesuatu. Karena untuk memberikan keharmonian atas sebuah tafsir, lalu kehilangan abjektifitas. Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi."

Pengertian .
Akar kata hermeneutik dalam fi'il Yunani "hermeneuein" bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir). Dalam karya Aristoteles dijumpai kata peri hermeneids yang menyangkut pembahasan proposisi-proposisi dan kemudian dihubungkan dengan takwil.

Kata ini dalam bentuk isim juga dijumpai dalam teodhisi udipus di kulunus dan juga dalam karya-karya Plato. Kedua kata "hermeneuein" dan "hermeneid" ini di nisbahkan pada Tuhan pembawa pesan yunani bernama "Hermes" dan secara lahiriah kata tersebut diambil darinya, dan mungkin juga sebaliknya.Nama Hermes berhubungan dengan tugas mengganti apa yang di atas pemahaman manusia ke dalam suatu bentuk di mana fikiran dan akal manusia dapat memahaminya.

Hermes, menggagas ilmu untuk memindahkan pemikiran kepada orang lain dengan kata kata bahasa dan tulisan. Perkembangan lebih lanjut adalah bagaimana memahami gagasan orang lain dengan memanfaatkan kata kata dan tulisan yang ditinggalkannya. Oleh sebab itu, asas dan sumber kata hermeneutik mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini. Aktivitas perantara dan pemahaman "pesan" atau "berita" sudah mencitrakan nama Hermes, dan ini mempunya tiga aspek penting:

1.Menjelaskan kalimat-kalimat dengan suara keras yakni berkata atau berucap.

2.Menjelaskan dan menguraikan agar dapat terpahami dan disertai dengan argumen-argumen.

3. Menjelaskan seperti penerjemahan dari bahasa asing.

Ketiga aspek di atas bisa diartikan dalam bahasa inggris dengan fi'il "to interpret". Oleh karena itu, kata hermeneutic atau takwil mempunyai tiga aspek yang berbeda:

-Berkata

-Menjelaskan agar dapat dipahami

-Menerjemahkan

Dan ketiga tugas di atas oleh orang-orang Yunani dihubungkan dengan Hermes.

"Berkata lebih kuat daripada tulisan, sebab di dalam berkata terdapat kekuatan hidup makna-makna, yang dalam tulisan kekuatan tersebut bisa menjadi hilang."



Definisi Hermeneutik

Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.

1. Paul Richor mendefinisikan hermeneutik: "Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks."
2. Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan.
3. Andrew Bovy, hermeneutik adalah keahlian interpretasi.
4. Richard Polmer berpendapat bahwa defenisi-defenisi hermeneutik dapat disatukan meskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan ini diutarakannya setelah ia mengungkap enam macam definisi hermeneutik.

Simpulan.

1. Hermeneutik adalah teori penafsiran kitab suci (definisi yang paling tua);
2. Hermeneutik adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa (zaman renaisains);
3. Hermeneutik adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa (Schleiermacher);
4. Hermeneutik adalah dasar epistemologi untuk ilmu-ilmu humaniora (Wilhelm Dilthey);
5. Hermeneutik adalah fenomena eksistensi dan fenomena pemahaman eksistensi (Martin Heidegger);
6. Hermeneutik adalah sistem-sistem interpretasi (Paul Richoer).

Dan pada akhirnya Richard Polmer juga mendefinisikan hermeneutik sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemehaman teks.

Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu-ilmu Lainnya

1. Hermeneutik dan Epistemologi

Hermeneutik dan epistemologi ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia, keduanya mempunyai hubungan yang dekat. Tapi kedua ilmu ini juga tidak bisa dikatakan satu, atau salah satu dari keduanya dikembalikan pada lainnya (dasar yang lainnya). Sebab hermeneutik adalah menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, syarat-syarat serta kaidah-kaidahnya; sedangkan epistemologi mempunyai permasalahan lain seperti:

a. Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori, atau hissi (panca indra), empirik dan aposteriori, dan atau kedua-duanya dari itu?

b. Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?

c. Hubungan apa yang terjadi antara subyek dan obyek?

d. Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia? Akal, hissi atau wijdân ( hati nurani) atau semuanya?

Permasalahan-permasalahan di atas tidaklah dibahas dalam hermeneutik. Memang terkadang dalam epistemologi masalah syarat dan penghalang mendapatkan pengetahuan juga dibahas, pembahasan seperti ini juga bisa dikembangkan dalam hermeneutik, sebab itu pada dasarnya pembahasan ini mempunyai warna hermeneutik.

2. Hermeneutik dan Logika

Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berfikir dan memahami adalah satu. Tetapi ilmu logika dengan berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat, merupakan persiapan ilmu, di mana di seluruh metode-metode pemikiran dan ilmiah menjadi tolok ukur. Dan hal ini tidak terlepas (berlaku juga) pada seluruh metode-metode hermeneutik yang beraneka ragam, sebab dalam posisi mengambil konklusi dan berargumen, hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutik yang berdasar (berfokus) penyusun, berdasar teks, atau berdasar penafsir.

Dengan kata lain dalam ilmu hermeneutik terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis, dan tafsiran suatu karya seni, atau bahkan dalam suatu fenomena natural berlaku syarat-syarat atau kaidah-kaidah, dimana hal itu berhubungan dengan pandangan dunia penyusun, dan atau syarat-syarat natural serta sosiologi dimana karya tersebut dihasilkan, dan atau keadaan, ruh serta syarat-syarat pemikiran dan kebudayaan si penafsir. Pengaruh apa yang diberikan (positif atau negatif) terhadap penafsiran dan pemahaman manusia? Tapi adapun bagaimana karya-karya manusia mendapatkan sistem keteraturan dan bagaimana dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) dihasilkan konklusi tidaklah dijelaskan dalam ilmu hermeneutik, dan ini merupakan tanggungjawab ilmu logika shuri (formal).

3.Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu Bahasa (linguistik)

Dari satu sisi hermeneutik mempunyai hubungan dengan teks, sedangkan di sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Maka, kedua ilmu ini memiliki hubungan yang kuat. Masalah ini juga dalam hermeneutik klasik dan juga dalam hermeneutik modern, lebih khusus pada hermeneutik Gadamer sampai Gadamer memandang bahwa bahasa tidak hanya sebagai wasilah pindahnya pemahaman tetapi juga pemberi keberadaan pemahaman, dengan kata lain dia memandang esensi pemahaman adalah bahasa.

Oleh sebab itu, ilmu hermeneutik dan ilmu bahasa mempunyai hubungan kuat, tetapi tetap keduanya merupakan ilmu yang berbeda sebab masing-masing mempunyai subyek, metode dan tujuan khusus. Pada hakikatnya ilmu hermeneutik mengambil pendapat dari ilmu bahasa, dengan kata lain ilmu bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa mempunyai hubungan dengan ilmu hermeneutik sebagaimana hubungan ilmu logika dengan ilmu hermeneutik.

4.Hermeneutik dan Ilmu Tafsir

Tidak diragukan bahwa di dunia Islam pandangan hermeneutik juga mewarnai pikiran-pikiran para ulama Islam. Sebab jika kita melihat bahwa Nabi Saw. beliau juga bertugas dan berperan sebagai penjelas dan penafsir al-Qur'an itu sendiri.

Allamah Thaba-thabai dalam menghubungkan ayat ini:

"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr (al-Qur'an) kepadamu, supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah Kami turunkan kepada mereka. Dan semoga mereka menjadi orang-orang yang berpikir" (Q.S: an-Nahl :44)

kepada ayat:"Sebagaimana Kami telah mengutus pada kamu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah"

Berdalil dan berkata : sejarah penafsiran dimulai pada zaman turunnya al-Qur'an.

Jadi sesudah turunnya al-Qur'an, kaum Muslimin dengan seksama memperhatikan pemahaman dan penafsirannya dan para sahabat Nabi Saw. menjadi penafsir dan orang yang mengetahui pada pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dimana Imam Ali As. merupakan yang terbaik di antara mereka.

Setelah berlalu zaman dan semakin jauh dari masa turunnya wahyu maka kebutuhan kaum Muslimin terhadap penafsiran, pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dirasakan lebih besar lagi. Dan ini menyebabkan perhatian ulama islam terhadap ilmu tafsir semakin tinggi sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang banyak di dunia Islam.

Dalam sejarah Ilmu tafsir di dunia Islam terdapat tiga metode tafsir umum:

1. Tafsir al-Qur'an dengan riwayat.

2. Tafsir al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan manusia

3. Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.

Kaidah Hermeneutik

1. Prinsip Makna dalam Teks

Para pemikir Islam (Penafsir, Ahli Fiqh, Teolog) mempunyai keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan makna-makna khusus. Makna-makna di mana maksud Allah Swt yang Mahatahu dan Mahabijaksana tertuang dalam bentuk bahasa Arab yang fasih dan baligh (elokuen) dalam ikhtiar manusia untuk memberi hidayah pada manusia.

Dan tugas para ilmuan agama serta ahli tafsir adalah menggunakan metode benar dan menjaga kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari makna-makna ayat suci al-Qur'an.

Prinsip tersebut tidak terkhususkan pada al-Qur'an tetapi juga untuk hadits-hadits maksum As dan juga setiap teks yang dipilih oleh setiap penyusun berakal dalam perkataan-perkataan dan tulisan-tulisannya.

Konstruksi kaidah ini berasal dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana mereka berkehendak memindahkan hasil pikiran dan konsepsinya, mereka pindahkan dengan jalan bahasa. Pada hakikatnya Sistem percakapan dan pemahaman manusia berdiri atas ini.

Di antara orang-orang berakal baik itu ilmuan maupun masyarakat biasa semuanya menerima asas ini, bahwa sipembicara dalam menjelaskan maksudnya dengan jalan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan atau tulisan-tulisan mereka lakukan. Berdasarkan ini maka setiap teks mempunyai makna khusus dimana si penulis menuangkan maksudnya.

Di dunia Barat berlaku juga teori ini pada abad-abad sebelumnya, dan itu tidak hanya berlaku untuk konteks percakapan biasa tapi juga pada pembahasan filsafat dan pembahasan ilmiah. Para ilmuan dan teoritis ilmu hermeneutik seperti Schleier Macher dan Wilhelm Dilthey masih perpijak pada teori ini sampai kemudian muncul fase postmoderisme yang meragukan prinsip dan asas rasional ini. Di antara yang menolak pandangan tersebut datang dari pengikut hermeneutik filsafat Gadamer dan pengikut dekonstruksi Derrida.

Derida melakukan kritik terhadap pandangan bahwa makna dalam perkataan mempunyai kehadiran sedangkan dalam tulisan adalah tersembunyi, tetapi ia juga tidak menerima kebalikan dari itu bahwa tulisan lebih baik dari pada perkataan dan makna hadir di dalamnya. Dia berpendapat bentuk keyakinan ini adalah fokus penulis namanya, dan ia berkeyakinan dalam teks tulisan makna juga adalah gaib. Darida tidak menerima "pemahaman makna akhir teks", sebab dalam pembacaan akan tecipta makna-makna yang tidak terhitung jumlahnya. Darida tidak bermaksud meruntuhkan teks, tetapi ia meruntuhkan dalil-dalil makna teks. Menurut pandangannya makna bukanlah suatu perkara yang tetap dan dahulu atas petunjuk atau tujuan, tetapi makna bahkan bergantung pada petunjuk yang secara esensial adalah tidak tetap dan tidak permanen. Dalam dekonstruksi dengan mengacak hubungan kata satu sama lain, dan dengan mendekonstruksi teks, memungkinkan perluasan nisbah makna-makna dan petunjuk-petujuk yang bermacam-macam, dan pada akhirnya tidak menerima adanya satu dalil dan makna khusus sebagai wajah akhir teks dan sebagai petunjuk akhir teks.

Dalam hermeneutik filsafat Gadamer, juga berpandangan kalau makna teks bukanlah sesuatu yang menjadi maksud penyusun, tetapi hasil persinggungan antara horizon makna penyusun dan horizon penafsir teks. Dan dalam hal ini asumsi-asumsi penafsir mempunyai dampak kunci, dan secara otomatis mengingkari makna sentral dan makna akhir teks. Gadamer juga tidak meyakini realitas makna dalm teks, tetapi ia berpandangan bahwa makna teks adalah menifestasi yang dihasilkan oleh pembaca atau si penafsir teks. Dan penampakan ini juga lebih dari segala sesuatunya yang mengikut pada alam rasional dan ruh si penafsir teks, hatta penyusun teks itu sendiri.

Dalam hermeneutik Gadamer titik penting bukan hasrat atau meksud penyusun dan bukan karya atau teks sebagai sesuatu fi nafsihi di luar dari sejarah, tetapi yang urgen adalah sesuatu yang menjadi arah berulang-ulang sejarah dalam memanifestasi. Menurut Gadamer dzihniyyat (alam pikiran) penyusun atau pembaca tidak ada satu pun menjadi rujukan realitas, tetapi makna sejarah itu sendiri dimana pengaruhnya dalam zaman sekarang untuk kita, yang menjadi rujukan realitas.



2. Penyusun sebagai Sentral dalam Tafsir (sentralisasi penyusun).

Untuk memahami makna teks yang menjadi perhatian dari si penyusun maka si pembaca berusaha memahami dan memahamkan hasrat dan maksud si penulis atau si penyusun. Kaidah hermeneutik ini berlaku secara mapan sebelumnya, yakni teks secara realitas dan nafsul amr menerangkan makna khusus yang meupakan niat , tujuan dan hasrat si penyusun, dan kaidah ini berhubungan dengan maqam penerapan dan pemahaman, yakni pemahaman fokus makna dalam teks harus memperhatikan maksud dan niat penyusun. Di sini pengikut hermeneutik filsafat juga melakukan penentangan, dari sudut pandang mereka pemahaman teks mengenyampingkan niat dan maksud penyusun atau dihasilkan dengan memadukan horizon makna penyusun dan pembaca teks.

Emilio Betty (Italia) dalam hal ini mengembalikan pada pandangan hermeneutik realistis. Sementara Eric (Amerika) pewaris pandangan Betty mengembalikan pada pandangan hermeneutik klasik, dan berkata: Jika makna tidak tetap dan permanen maka tidak akan ada realitas penafsiran.

Dalam hermeneutik fokus penyusun terdapat dua pandangan:

1. Pandangan fokus niat penyusun.

2. Pandangan fokus pribadi penyusun (penyusun secara kepribadian)

Yang pertama penafsir berusaha mendapatkan maksud dan niat penyusun dari karya dan ucapan ia dan jalan untuk memperoleh itu menjaga dan memelihara kaidah nahwu dan bahasa (Martin Kladinius). Yang kedua penafsir harus berusaha dengan jalan mengenal pribadi penyusun, sehingga mendapat makna yang menjadi perhatian ia (Schleier Macher). Yang pertama tidak bisa mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun, maksimalnya menyamai penyusun dalam pemahaman sedangkan yang kedua memungkinkan mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun.

Seputar Hermeneutik Tafsir Quran.

Alquran adalah simbol dari Tuhan untuk manusia. Manusia adalah animal symbolicum. Atas dasar ini maka hermeneutika, sebagai ilmu tentang simbol, mutlak diaplikasikan dalam Alquran.

Selama ini kita keberatan bila Alquran “di-hermeneutik-an.” Karena Alquran itu ciptaan Tuhan, sedang hermeneutika adalah ilmu tafsir untuk kitab-kitab buatan manusia. Anggapan ini jelas salah, justru hermeneutika itu pada dasarnya ilmu spesial untuk kitab suci. Jauh sebelum eksegesis bibel, ilmu hermeneutika sudah jamak dipakai pada masyarakat Yunani untuk menterjemahkan pesan dewa-dewa kepada manusia.

Bahkan ilmu tafsir Alquran itu sendiri, baik bil ma’tsur atau pun bil ra’yi, adalah satu bentuk hermeneutika. Yaitu hermeneutika yang sudah ketinggalan zaman !

Kesimpulannya, hermeneutika itu wajib demi kemajuan ummat !

A. Tiga Pertanyaan Hermeneutika Alquran

Sesungguhnya seorang mufasir (ahli tafsir) saat berhadapan dengan teks Alquran, selalu dihadapkan pada tiga pertanyaan dasar.

Pertanyaan pertama berkaitan dengan konten teks Alquran. “Apa isi teks ini ?” Peran mufasir di sini adalah menerjemahkan teks Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan sekadar terjemah kata-perkata, tapi transfer “makna” teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Pertanyaan kedua berkaitan dengan konteks teks Alquran. “Situasi-kondisi seperti apa yang mendorong lahirnya teks ini ?” Peran mufasir di sini adalah memberi konteks sejarah dan kultural pada Alquran. Bukan semata kajian asbab an nuzul dan asbab al wurud, lebih dari itu menempatkan Alquran sebagai produk masyarakat dan budaya tertentu.

Pertanyaan ketiga berkaitan dengan kontekstualisasi Alquran. “Apa arti teks ini untuk saya ?” Tugas mufasir di sini adalah sebagai “kontekstor” yaitu menggabungkan konteks dan teks (konten) Alquran dengan konteks kekinian (situatedness). Untuk itu seorang “kontekstor” mesti memahami situasi-kondisi “dunia” yang ditempatinya.

B. Kontekstor Alquran

Jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua (pertanyaan konten dan konteks Alquran) bersifat obyektif. Sedang jawaban atas pertanyaan ketiga (pertanyaan kontekstualisasi Alquran) bersifat relatif.

Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua seorang mufasir mesti memiliki kemampuan linguistik, filologi dan sejarah yang mumpuni. Untuk itu pendidikan tafsir Alquran tradisional sudah pada arahnya (walau belum maksimal). Namun untuk menjawab pertanyaan ketiga, seorang mufasir juga mesti memenuhi kualifikasi sebagai kontekstor, yaitu ahli kontekstualisasi Alquran.

Lebih jauh, seorang kontekstor tidak mesti menguasai bahasa Arab, ilmu filologi, dan sejarah yang mumpuni. Cukup dengan memiliki terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta pemahaman sejarah Alquran secara garis besar. Syarat terpenting seorang kontekstor adalah pengetahuan dan pemahaman tentang situasi dan kondisi “dunia” yang ditempatinya (dunia kontemporer).

Kesimpulan akhirnya, siapapun bisa dan boleh menafsirkan Alquran. Tanpa pandang latar belakang pendidikan, negara dan agamanya. Dalam artian memberi “arti” pada Alquran untuk hidupnya sendiri. Dan dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Tuhan Nya.

Wallahu alam bi showab.

Sumber : Kompasiana.

Kamis, 11 Oktober 2012

MEMAHAMI ETIKA DALAM KITAB KUNTARA RAJANITI DALAM RANGKA MENGENAL IDENTITAS BUDAYA LAMPUNG.


Oleh Fachruddin

Begitu banyak orang yang mengaku menyimpan kitab Kuntara Rananiti, tetapi sedikit sekali yang telah mengkaji akan isinya. A.Shobir Thoyib adalah salah satu diantara dari yang sedikit itu. Beliau berkesempatan mengkaji prihal etika dalam kitab ini ketika menyusun thesis yang berjudul : “Nilai Nilai Etis dalam Kitab Kuntara Rajaniti” pada program Study Ilmu Filsafat Jurusan Ilmu Ilmu Humaniora, Pascasarjana Universitas Gajahmada Yogyakarta tahun 2002, sehingga beliau berhak menggunakan gelar M.Hum. Setelah membolak balik kitab Kuntara Rajaniti baik dalam versi Beraksara Pegon maupun Aksara Kaganga Lampung Kuno. Sekalipun cukup mengasyikkan, tetapi jelas membaca kitab dalam dua versi ini adalah pekerjaan yang sangat melelahkan, terlebih beliau bekerja sangat dibatasi oleh waktu dan juga dana. Apalagi dalam kitab beda bahasa itu ternyata berbeda pula sistematika dan kontennya. Walaupun A. Shobir Thoyib dalam penelitian ini lebih banyak dipengaruhi versi akasara pegon ternyata penelitian ini besar andilnya bagi analisa terhadap naskah kuno Lampung. Ternyata apa yang beliau simpulkan akan sangat berarti, terutama bagi mahasiswa dan pihak lainnya yang memberikan perhatian terhadap kebudayaan umumnya, dan kebudayaan Lampung khususnya.

Dalam kitab Kuntara Rajaniti ada tiga yang mempengaruhinya, yaitu Kitab Kuntara Majapahit, kitab Rajaniti Pasundan dan Kitab Jugul Muda Lampung. Dari ketiga unsure itulah Kitab Kuntara Rajaniti tersusun menjadi Kitab hukum yang berlaku di Lampung sekitar abad 16/17. Dengan menyandar kepada Kitab Kuntara Majapahit maka dimasukkan unsure unsure ajaran agama dan kepercayaan lainnya, dengan mengacu kepada Kitab Rajanitin yaitu Purbawasisa untuk mengembangkan logika kata hati, dan mengadob logika yang berkembang di Lampung yaitu hukum sebab akibat yang disebut karinah dalam kitab Jugul Muda.

Dalam thesisnya A.Shobir Thoyib membagi tiga kesimpulan yaitu : 1). Sebagai etika peraturan dan etika situasi yang melahirkan bentuk budaya lokal yang tidak terlepas dari pengaruh mitologi dan kepercayaan sinkritis. 2). Sebagai nilai moral Kitab Kuntara Rajaniti lebih mengambil bentuk etika peraturan dan etika situasi. Disebut etika peraturan karena di dalamnya berisi kode etik bagi masyarakat. Sedang etika situasi disebutkan karena berlaku pada masyarakat tertentu untuk waktu waktu tertentu. Etika situasi juga disebut etika deontologi. 3). Landasan filosofis nilai nilai etis adalah dimaksudkan sebagai landasan rasionalisasi terhadap konsep pengetahuan yang terdapat dalam Kitab Kuntara Rajaniti. Rasionalisasi yang dimaksud bahwa konsep etika yang ada tersebut tidaklah mustahil dan dapat diterima akal sehat terlebih lebih karena rujukan konsep etika tersebut sebagian besar berasal dari moralitas agama yang dianut pendukungnya.

Yang paling istimewa dari Kitab Kuntara Rajaniti menurut A.Shobier Thoyib adalah bahwa kitab ini sebenarnya walaupun kecil tetapi masih memberikan ruang public untuk dapat memberikan tafsir ulang terhadap beberapa hal, sehingga menarik dikaji lebih dalam lagi. Walaupun sebagian besar diantaranya sulit untuk dicarikan prospektifnya.
Namun walaupun demikian ini masih akan sangat tergantung kepada kita semua untuk melihat dari aspek mana, karena kalaupun untuk penerapan hukum umpamanya tidak lagi memiliki prospek namun dari segi kesejarahan tentunya akan memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua akan perkembangan pemikiran pemikiran etika masyarakat, apatah lagi pada saat itu penyusun kitab ini telah memiliki wawasan untuk meramu undang undang yang sebelumnya telah dimiliki oleh Majapahit dan Pasundan. Kekurangberhailan kita memajukan budaya Lampung antara lain juga disebabkan kita kurangnya pemahaman kita tentang etika dan identitas budaya lampung itu sendiri.

Kekeliruan kita dalam memahami etika dan identitas budaya dan masyarakat Lampung, melahirkan ketidakmampuan dan bahkan kegagalan kita membangun budaya Lampung. Mudahnya kita memfonis sesuatu yang lalu kita klassifikasi sebagai sesuatu yang tak lagi memiliki prospek, membuat kita kehilangan dasar pijak. Menjadikan sesuatu yang kita gembor gemborkan sebagai upaya membangun budaya Lampung itu justeru sebenarnya kita telah memberangus budaya Lampung itu sendiri, karena kita telah membangu sebuah budaya dengan berpijak pada pijakan yang kita ambil dari budaya lain.

Demikian juga bagi pihak pihak selalu menginginkan adanya suatu yang murni Lampung, tampa ada pengaruh sedikitpun dari luar, barangkali itu sesuatu yang mustahil, karena ternyata sejak semula Lampung sudah terlanjur berhubungan dengan masyarakat luar. Lampung yang tidak dipimpin oleh raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas, Yang mengakibatkan masyarakatnya mampu menembus keberbagai wilayah. Lihat saja fenomena kain tapis Lampung dan batik Lampung ‘sebagi’ yang ternyata juga mendapatkan pengaruh luar yang tidak kecil, tafsirkanlah lambang lambang dari kedua produk tenun asli Lampung itu, kita pasti akan menemukan kesamaan dengan daerah daerah dan wilayah tertentu. Tetapi sebenarnya pengaruh pengaruh luar itu telah membangun identitas Lampung secara spesifik. Jangan lantaran karena Lampung pada masa itu terpengaruh oleh budaya lain, dan dalam aspek asepek tertentu, lalu kita bangun Lampung atas dasar budaya yang pernah mempengaruhinya, maka kita akan gagal dan kehilangan nuansa kelampungan itu sendiri.

Kita ambil missal, bahwa budaya Singapura sangat terpengaruh budaya Cina dan India, tetapi tidaklah tepat manakala Singapur beranggapan bahwa budaya Cina dan India adalah mutlak sebagai identitasnya. Karena Singapura adalah Singapura, bukan Cina dan bukan pula India. Demikian juga Lampung adalah Lampung, bukan Majapahit dan bukan juga Pasundan. Sekalipun dalam menyusun Kitab Kuntara Rajaniti yang dipengaruhi oleh Kitab Kuntara Majapahit dan Rajaniti Pasundan, selain Jugul Muda milik Lampung sendiri . M.Shobier Thoyib mengajak kita semua melihatnya secara jernih, sehingga kita kenali Lampung yang sebenanya. Mengapa tidak.

Minggu, 07 Oktober 2012

Contoh Pantun Canggot.


Seri Pubian.


SENI BUDAYA PATUT TEBINA
Artinya: Seni Budaya patut dibina

Bulan Purnama tekhang cuaca
Nyinakhi bumi kak tigoh pagi
Seni budaya patut tebina
Lampung asli supa lestakhi

Anjak Yogya kham khisok tungga
Khatong cakak bis ngebeli tapis
Cendera mata ngeba kham bangga
Diusung turis tigoh Prancis

Khamji kak nyata tinggal segala
Jukhak hun udi kukhuk tivi
Cuma sai tuha kak khena-khena
Mawat ia lagi haga peduli

Bong ngenah hingga naka remaja
Salahsa baji sanak demukhi
Sangun khena hun cuci muka
Ngilakko dikhi khabai tiwanti


HM.YUSUF JAIZ, SE
Hi. M. Yusuf Djaiz, SE.
Pusat Yapura nyumbanko cawa
Haji M. Yusuf disan sai sanggup
Lamon khencana kak cucuk dia
Teka maqtuf ia hulup

Sebab tianna menjong dimuka
Khamji nyambut bagian buntut
Kemak cewasa kheti jejama
Dang munih luput mawat tisangkut

Mantan ketua lain nyak suya
Ma’af nyakji di unyin kuti
Kheti pekhcuma nayah khecana
Lamon mak bukti denah unyinni

Kitab Handra tileca-leca
Dipoto cofy tibagi-bagi
Niat kehaga nekham jejama
Dikekh makjadi sanak pengaji

diambil dari BUKU HANDAK II “Mengenal Adat Pubian”
(YAYASAN PUSAT PUBIAN RAGOM (YAPURA) Tahun 1995)
Yang disusun oleh SAYUTI IBRAHIM KIAY PAKSI

Teks Pidato Bahasa Sunda

Assalamu’alaikum w. w.

Ibu guru anu ku simkuring dipihormat. Teu kalangkung rerencangan sadayana. Langkung ti payun, mangga urang sami-sami muji syukur ka Gusti Nu Mahaangung, margi mung barokah sareng rohmat mantenna urang tiasa ruing mumpulung dina kasempatan ieu.

Hadirin sadayana, dina danget ieu sim kuring bade nepikeun pidato ngenaan watek budaya Sunda. Ari sunda teh asalna tina kecap su anu hartina alus anu ngabogaan unsur kana kasaean. Watek sunda anu ku simkuring dipimaksad nyaeta cageur, bageur, singer, jeung pinter.
Harti kecap sunda teh luhur pisan nyaeta gumilang. Harti kecap eta heuteu ngan dilarapkeun dina panampilan , tapi aya dina manah urang sunda sadayana. Dina kahirupan urang sunda seueur pisan kabeungharan seni jeung budayana. Salah sahijina nyaeta Tarling. Tarling singketan tina gitar suling, mimiti munculna di wewengkon Cirebon jeung Pantura iawa barat jaman Balanda, taun 1935-an.
Tarling pepek ku sarupaning kamonesan. Aya seni sarimpi, jeung tari topeng minangka bubuka acara. Pareng nincak bulan hajatan teu di desa teu di kota, masarakat rea nu nanggap tarling. Harita tarling kaitung anu pangpayuna diogan ku nu boga hajat. Mung pangaruh dangdut anu diwanohkeun dina taun 70-an ngajadikeun tarling direformasi jadi Tarling dangdut. Beuki dieu tarling klasik kadeseh ku organ tarling anu teu merlukeun modal gede. Beuki dieu kasenian tarling beuki kadesek ku kasenian modern pangaruh tina globalisasi, jiga music pop jeung rock. Seni gitar suling atawa tarling cirebonan anu kungsi dopikaresep kiwari ukur waasna . lagu-lagu taling ngan ukur kadenge dina kaset . komo sangeus ditinggalkeun ku maestro-maestrona.
Para hadirin sadayana, urang teh keudah ngiring ngamumule kasenian urang. Kasenian anu jadi kabeungharan urang tong neupi kageugeus ku kasenian luar anu ngajadikeun urang poho kana kasenian jeung kakayaan budaya sorangan.
Sakitu wae ti simkuring , pamungkasna mugi-mugi taopek sareng hidayah gubrag ka urang sadaya.
Wassalamualaikum w. w.
Ditulis Oleh : Syacom ~ Information Sharing

PANTUN KEHANGGUMAN


Pantun Kehangguman


Puhaguk Pengikhan..
Puniakan Dalom Beliau..

Di unggak pepadun sai agung,
Hejonganni gagah perkasa
Lapahan nyancan kuasa,
Kekhis payan jadi pusaka,
Tanoh bumi wakhis Umpu Sai Tuha,
Lamon Rakyat sai kedau ya
...Pemanohan ni di ipa ipa,

Datas tungkus mid disai kuasa
Dibah ti ilik jambat mas titi kuya
kenyin khalis hadat budaya,
Sai batin hinno simbul na,

khamik ngambujakh di unggak dunia,
pagun sai dilom cicca,
cumbung pak kelima sia,
unyin lampung hinno asalna,
Sang Bumi Jukhaini Khua,

Tabik pai Sekindua,,,
Sai Batin turunan raja
Sai kedau harkat, derajat
Sai kedau rakyat khik hadat.
butitah kenyin mupakat,
kalam suci jadi syarat,
Tuha Sai Kuasa hinno makripat,
Kehangguman sunyinni rakyat

dudungan mulia, sekindua,
nekham khumpok khik sunyinna,

PAKSI BEJALAN DI WAY

SILSILAH PAKSI BUAY BEJALAN DIWAY
Pangeran Puspanegara.


1.Umpu Bejalan Diway, Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Bejalan Diway memerintah dan dimakamkan di Puncak, Sukarami Liwa
2.Ratu Tunggal, memiliki tiga orang anak
3.Kun Tunggal Simbang Negara, bersaudara dengan Menang Pemuka yang bergelar Ratu Dipuncak yang kemudian pindah ke Bukit Kemuning dan menurunkan jurai Abung. Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing dan Nuban yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga lainnya yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan keturunan dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego.
4.Ratu Mengkuda Pahawang, memiliki tiga orang anak
5.Puyang Rakian, dua orang saudaranya yaitu Puyang Naga Brisang menurunkan jurai Pakuan Ratu Way Kanan dan Puyang Rakyan Sakti yang menurunkan Marga Ngambur
6.Puyang Raja Paksi, memiliki dua orang saudara
7.Dalom Sangun Raja,
8.Raja Junjungan, beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Puncak Sukarami Liwa ke Negeri Ratu Kembahang. Raja Junjungan memiliki empat orang anak.
9.Ratu Menjengau, memerintah dan dimakamkan di Negeri Ratu Kembahang. Tiga saudaranya yaitu Muda Pusaba Razil tinggal di Padang Dalom, Batin Pikulan Sanusi tinggal di Kesugihan Liwa, Pangeran Singa Juru menurunkan Marga Batang Ribu Ranau dan menjadi Pesirah di Jepara Ranau
10.Pangeran Siralaga, memiliki tiga orang anak
11.Dalom Suluh Irung, Istrinya dari Lamban Gedung Kenali Paksi Buay Belunguh anak dari Pangeran Jaya di Lampung. Dua Saudaranya yang lain yaitu Radin Bangsawan tinggal dan menjadi Dalom di Merpas Bengkulu Selatan, Adipati Raja Ngandum terus ke Kubang Brak dan menurunkan Jurai Sanggi Semaka.
12.Pangeran Nata Marga, pernah mengadakan perjanjian dengan Inggris pada13 Maret 1799. Saudaranya Raja Alam Tegi Bunak tinggal dan menjadi Dalom di Kalianda.
13.Pangeran Raja di Lampung, tidak pernah jadi pasirah. Saudaranya yaitu Raja Petani adalah Jurai Lamban Balak Negeri Ratu Kembahang.
14.Raden Intan Gelar Pangeran Jaya Kesuma I, menjadi Pesirah dengan Besluit Tertanggal 21 Des 1834. Pangeran Jaya Kesuma memiliki tiga orang Putera.
15.Kasim Gelar Pangeran Paku Alam, menjadi Pesirah dengan Besluit tertanggal 1 Agustus 1871. Dua Saudaranya yaitu Radin Mulya yang merupakan Jurai Lamban Bandung, Negeri Ratu Kembahang dan Zanurin Raja Syah yang tinggal di Kesugihan Baru.
16.Dalom Raja Kalipah Gelar Pangeran Puspa Negara I, menjadi Pesirah dengan Besluit tertanggal 5 Mei 1881. Saudara dari Pangeran Puspa Negara I adalah Radin Ngambapang, Radin Nurjati, Maulana Bahuan, Harmain Gedung Tukas dan Narsyiah yang menjadi Ratu Marga Ngambur. Istri Pangeran Puspa Negara I dari Pedada Krui dan memiliki enam orang anak.
17.Ahmad Siradj Gelar Pangeran Jaya Kesuma II, menjadi Pesirah dengan Besluit tertanggal 27 Oktober 1914. Istri dari Pangeran Jaya Kesuma II adalah anak dari Pangeran Haji Habiburrahman, Paksi Buay Pernong.
18.Siti Asma Dewi Gelar Ratu Kemala Jagat, karena Ratu Kemala Jagat adalah seorang Wanita maka yang memerintah sebagai Suntan Paksi dan Pesirah adalah Suaminya yaitu Abdul Madjid Gelar Suntan Jaya Indra yang menjadi Pesirah dengan Besluit tertanggal 12 Juli 1939. Suntan Jaya Indra merupakan anak dari Pangeran Indra Natadisukau, Paksi Buay Nyerupa.
19.Azrim Puspa Negara Gelar Pangeran Jaya Kesuma III.
20.Selayar Akbar

Kembahang, Agustus 1984 oleh: Darwis H.A.
Sumber artikel dari: paksibuaybejalandiway.blogspot.com / diandra natakembahang

Teks Lomba Pidato Bahasa Lampung SMP 2 Lambar

Assalamualaikum warohmarullah hiwabarokatuh

Sai ku hormati panitia pelaksanaan Lomba Pidato Bahasa Lampung. Sai ku hormati dewan juri sunyinni puji khik syukur kham sanjungko kehadirat allah SWT, andah ni taufik hidayah, jama inayah ni kham dapok berkumpul di ruangan hijo.

Mak lupa munih kham panjatko solawat sakhta salam kehadirat nabi besar Muhammad SAW Andah ni kham nanti – nanti ko safaat di yaumul kiamah amin yarobbal alamin.

Bapak – bapak, Ibu – ibu seunyinni senang khasani kham seunyin dapok berkumpul di ruangan hijo dilom rangka Lomba Pidato Bahasa Lampung, sikendua tanno haga nyappaiko pidato cutik tentang perkembangan Budaya Lampung, kham sunyinni patut berbahagia mana ampai nihan kham ngekhayako khani jadini Propinsi Lampung sai ke- 46 Tepat na Kamis 18 Maret 2010.Sai khadu – khadu Propinsi Lampung mekhupako salah satu Propinsi sai wat di Indonesia. Lampung munih salah satu Propinsi sai pekhenah Berjaya di Zaman tumbai.

Menapi sikendua ngucak ko bahwa Propinsi Lampung pekhennah Berjaya ? mana ulih kham mekhupako salah satu suku sai ngedok aksara peninggalan ulun tuha kham.

Beberapa suku sai ngedok aksara kham termasuk salah satuna anjak peninggalan ulun Tuha kham. Aksara – aksara sinno tigekhali kham ka ga nga.

Lampung tibagi jadi 2, sai pekhtama bahasa Lampung dialek api ( A ) sai kedua Bahasa Lampung dialek nyo ( O ). Bahasa Lampung dialek api ( A ) tipakai di daerah peminggir, melinting, pubiyan, komring, teluk semangka, krui, sekhta kecamatan Belalau. Sedangko Bahasa Lampung dialek Nyo ( O ) tipakai haguk masyarakat buadat pepadun.

Pekhallu tipandai kham bahasa Lampung tanno khadu kisikh lebon ulih perkembangan zaman. Contohni gawoh kham di Lampung jo di lom ngedidik sanak anjak melunik mawat lagi ngegunako Bahasa Lampung kittu makai Bahasa Indonesia lu gua ulih gengsi jama tetangga mekhabai tiucakko kuno. Kham tanno injuk mak nghargai Bahasa Lampung. Contohni di pekon – pekon, Injuk di pekon Sikendua tenggalan tepatna di pekon kenali kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat. Ibu na Jama Lampung Bapakna Jama Lampung kidang dilom ngedidik sanak makai bahasa Indonesia.

Kham generasi muda dang khanno menyikapi perkembangan Budaya Lampung, kittu kham jejama ngelestariko budaya Lampung khususna bahasa Lampung. Payu kham jejama bangkit khik berusaha ngelestraiko adat Lampung. Khususna sikendua sebagai penekhus bangsa khik minak muakhi sunyinna.

Jadi khannolah minak muakhi sunyinni pidato singkatku. Kittu ya wat sai salah nyak kilu tawwai bang na ya benokh hinno sai dapok ku cekhitako. Akhir kata sikendua ngilu mahap jama kham sunyinni terutama jama panitia pelaksana lomba pidato Bahasa Lampung jama dewan juri sunyinni.jama Tuhan nyak kilu ampun

Mak tano kapan lagi

Mak kham sapa lagi

Billahi taufiq walhidayah

Wassalamualaikum wr.wb.

Sabtu, 06 Oktober 2012

PIDATO BAHASA JAWA TENTANG PERPISAHAN SEKOLAH





السلا م عليكم ورحمة الله وبر كا ته
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى عَلَى مَا خَتَمْنَاهُ مِنَ الدِّرَاسَةِ. وَنَسْئَلُ نَفْعَهَا لِنُنْذِرَ بِهَا اَهْلَ الْقَرْ يَةِ. وَنَدْ عُهُمْ إِلَلا سَبِيْلِ رَبِّنَا بِالْحِكْمَةِ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ إِبْنِ عَبْدِ اللهِ, وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَا بِهِ وَمَنْ وَالاَهْ وَعَلَى مَنْ أَقَا مَ هَذِهِ الْمَدْرَسَةِ. وَمَنْ عَلَّمَ وَتَعَلَّمَ فِيْهَا لاِعْلاَءِ كَلِمَةِ اللهِ. اَمَّا بَعْدُ


Hadratul mukarromin, poro Ulama’ul amilin poro Bapak guru dan bu guru ingkang kulo taati, poro Bapak wali murid ingkang kulo hormati, poro konco-konco sedoyo siswa-siswi madrasah……… ingkang kulo sayangi. Poro hadirin sekalian ingkang kulo hormati.

Sa’derengipun kulo ngaturaken nopo ingkang dados beban kawulo, langkung rumiyin kulo muji syukur dateng Alloh SWT ingkang sampun paring Rohmat Nikmat dumateng kulo lan panjenengan sedoyo sehinggo kito sami saged karoyo-royo, saget bertemu, berpadu lan bersatu wonten ing majelis puniko kanthi keadaan ingkang sehat wal afiat.

Ingkang kaping kalehipun mugi-mugi tambahipun Rahmat Ta’dzim Alloh tetep dipun limpahaken dateng junjungan kito Nabi Besar Muhammad SAW, soho dumateng poro ahli keluarga lan sohabatipun.

Ingkang kaping tigonipun kulo ngaturaken matur nuwun dumateng sederek pembagi acara ingkang sampun mempercayakan penuh dumateng kawulo, sa’perlu nyampeaken sambutan atas nama wakil sedoyo siswa-siswi, khususipun siswa-siswi kelas tiga tsanawiyah, ingkang sekedap maleh bade ninggalaken bangku sekolah wonten ing Madrasah puniko.

Poro Rawuh ingkang kulo hormati !

Sesuai kalian fungsi sangking tugas kawulo inggih puniko mewakili sangking sedoyo siswa-siswi khususipun siswa-siswi kelas tigo Tsanawiyah wonten ing madrasah puniko. Wonteng ing mriki kawulo ngaturaken matur nuwun ingkang sa’agungipun dumateng Poro Bapak Kyai, soho sedoyo dewan Asyatid ingkang sampun jerih payah ngorbanaken jiwa raga, tenaga, lan fikiran. Boten pandang wekdal, siang utawi dalu, panas utawi jawah sak perlu mendidik soho membina dumateng kawulo sa’konco awit milahi mlebet wonten ing madrasah mriki sehingga wekdal puniko saget dipun wastani Tamat tingkat tsanawiyah. Wonten ing mriki kulo sa’konco, boten saget bales punopo-punopo atas jerih payahipun, utawi jasa-jasanipun Poro Bapak Kyai, lan Bapak Guru, kejawi kulo namung saget ngaturaken….

جَزَا كُمُ اللهُ أَحْسَنَ الْجَزَاء كَثِيْرًا

Mugi-mugi Allah SWT ingkang bales jasa-jasa utawa jerih payahipun Poro Bapak Kiyai, Bapak Guru lan Ibu Guru kanti balesa ingkang sa’sahe-sahenipun, soho ingkang katah. Amien yaa Robbal Aalamien.

Poro Bapak poro Ibu soho Hadiri sedoyo, selajengipun kulo sa’konco ngaturaken sedoyo kalepatan dumateng poro Bapak Kiyai soho Bapak Guru wonten ing madrasah puniko, sebab kulo sa’konco sering damel susah payahipun poro Bapak Kiyai soho poro Bapak Guru sami ugi wonten ing sa’lebetipun Madrasah utwai wonteng ing jawinipun madrasah. Pramilo sepindah kulo nyuwun dipun aliraken samudra kemaafan lahir lan batin.

Ingkang terakhir kulo nyuwun barokah do’a restu dumateng Poro Bapak Kiyai soho Bapak Guru, mugi-mugiu sedoyo ilmu ingkang sampun kulo pelajari sangking madrasah puniko, sageto manfaat maslahah lan barokah saget manfaati lan barokahi dumateng pribadi kulo, masyarakat agami, lan negari ingkang akhiripun saget dados lantaran kangge taqorrub dumateng Alloh, soho ndadosaken sababiyahipun khusnul khotimah. Amieen.

Lan mugi-mugi sak sampunipun kito tamat sangking tingkat tsanawiyah puniko sageto nerusaken dateng tingkat sa’terusipun sehinggo saget hasil lan tercapai nopo ingkang kito cita-citaaken. Amien.

Kintenipun cekap semanten atur sangking kawulo awal ngantos akhir sedoyo kelepatan kulo, kulo nyuwun agengipun pangapunten.


و بالله التو فيق و الهداية




Pidato Perpisahan Sekolah Bahasa Jawa

Ingkang dahad kinormatan Bapak Kepala Sekolah SMPN 1 Taman, Bapak ugi ibu guru, staf TU, Lan konco-konco ugi adek-adek sedaya kemawon ingkang kula tresnani.
Sapisan, monggo kita sedaya sesarengan ngaturaken puji syukur dumateng Gusti ingkang Maha Agung, Ingkang sampun maringaken nikmat kewarasan dumateng kita sedaya. Dados kita sedaya saget sesarengan kempal dhateng adicara perpisahan siswa kelas 9 sapunika. Kula siswa kelas 9E ingkang tinanggenah guru kagem mewakili konco-konco kelas 9 kagem ngaturaken matur sembah suwun kula sakonco namung saget ngaturaken ucapan matur sembah nuwun kagem sedaya bapak ibu guru ingkang sampun mbulawantah kula sakonco dangunipun tigang warsa dateng pawiyatan menika. Kula sakonco inggih badhe nyuwun pangestunipun supados kula sakonco saget nglebeti pawiyatan enggal ingkang sae ingkang sampun dhados tujuan kula sakonco. Ugi supados kula sakonco saget dados tiyang ingkang migunani kagem keluarga, masyarakat, ugi bahasa lan negara. Sejatosipun kula sakonco kraos awrat sanget kagem nilaraken pawiyatan menika. Kula inggih gadhah sekedik pesen kagem adek-adek kelas 7 kaliyan 8 supados sinal ingkang sregep sinau supados saget wujudaken cita-cita nipun ugi dados lare ingkang lanthip.
Cekap semanten saking kula, manawi anggen kula sakonco kagungan sisip sembering. Ingakang klenthu, kula nyuwun agunge panga puten dumateng sedaya kanawon. Kula aturaken matur sembah suwun

Pidato bahasa jawa krama

Ass. Wr.wb.
Kulo aturaken matur suwun kagem Ibu Ummu semono ugi kagem Saderek-saderek sedanten ingkang sudi nyisih aken wedalipun ngrawuhi pidato meniko.
Saderek-saderek sedanten……..
Minurut pengamatan kalian kulo raosaken akhir-akhir meniko kathah wargo ingkang kirang menghargai negeri nasionalipun inggih puniko negeri “tercinta” Indonesia. Hal meniko sanget ngrisauaken yen diterus-terusaken saget dados masalah ingkang serius……..
Saderek-saderek, kawulo mudho sedanten……..
Wonten jaman sakniki sampun kathah “pengikisan” kebangsaan nasionalisme! Meniko disebabaken kathah kawulo mudho ingkang ngelalekaken jatidirinipun dados wargo Indonesia sebabipun poro kawulo mudho luwih condong marang pergaulan utawi budoyo-budoyo Barat ingkang ndugi saking media cetak, elektronik, ingkang rupo: acara-acara televisi, majalah, surat kabar, utawi kathah wargo luwih seneng mundhut produk-produk luar negeri disebabaken regoipun luwih mirah lan kualitasipun luwih sae……..
Saderek-saderek sebongso lan setanah air……….
Masalah-masalah meniko saget diicalaken lan saget mbangsulaken raos cinta tanah air negeri “tercinta” Indonesia meniko kalian salah sawijine coro inggih puniko mundhut barang-barang produksi Indonesia, menghormati jasanipun poro Pahlawan lan poro Pejuang, tindak dhateng Museum-museum Nasional utawi monumen-monumen perjuangan
Kulo raos meniko ingkang saget kulo sampekaken……. mugi- mugi saget ndhatengaken perubahan lan saget mbangsulaken utawi nguataken roso Nasionalisme kito sedanten.
Matur suwun kulo sampekaken………
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

TAG: Contoh Naskah pidato perpisahan sekolah dalam bahasa jawa pidato perpisahan sekolah contoh pidato perpisahan sekolah dasar pidato perpisahan sekolah dasar pidato perpisahan sekolah kristen pidato perpisahan sekolah kelas 9 pidato perpisahan sekolah kelas 6 pidato perpisahan sekolah smp contoh pidato perpisahan sekolah smp Puisi Perpishan Sekolah Smp

Jumat, 05 Oktober 2012

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (2)

MAMAN S MAHAYANA
Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia

MARI kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah//. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling -tombak pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan dengan seorang bocah -dan tidak anak-anak atau anak kecil- sehabis sekolah. Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para pelajar -anak-anak sekolah- pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah) selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling?

Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu. Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga sebagai lapangan tempat bermain mereka.

Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat bermain dan menghabiskan waktu luang. Lihatlah para bocah yang menjadikan dermaga Merak -Bakauheni atau Gilimanuk-Ketapang-Banyuwangi, sekadar menyebut beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan teks buku di sekolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata: asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang dicecap.

Nah, si bocah, boleh jadi menemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Jadi, frasa sehabis sekolah mengisyaratkan dua makna: dalam pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis.

Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/ sehabis badai// adalah realitas kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan keganasannya sebagai sekolah alam; dunia nyata yang sesungguhnya selalu menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru. Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja.

Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia nyata (badai) yang ganas penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu, juga tidak dapat menghindar dari tarikan sekolah alam -laut- yang sudah menjadi bagian dari lapangan permainannya. Oleh karena itu, penemuannya tentang tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah menyerah? Tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa?

Pertanyaan -siapa- sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah atau sesiapapun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak menangkap isyarat apapun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya, sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri.

Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si bocah -yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong. Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai- sebuah berita kematian! Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak menghendaki peristiwa tragisitu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang//.

Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi. Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran tak ada tanda-tanda atau isyarat apapun: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// maka bait berikutnya: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca dan karang adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga? Itulah misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah kini yang telah menyerah?/telah kalah?/

Pada bagian ini, segera muncul pertanyaan: mengapa dia �menyerah�, �kalah� Meski bagi saya kata �menyerah� dan �kalah� kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai, pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/kalah?// Mengapa harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda?

Di sinilah uniknya puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran adverbia -telah- yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi, bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu pilihan pada kata itu bukan perkara -meminjam pernyataan Sutardji Calzoum Bachri- salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi. Dia pulang ditelan alam.

Oh, rupanya tanda-tanda tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang// Apa pula maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: ��Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,�� dua larik itu, Pindahkan pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi segala apapun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan, persiapan, kalkulasi dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat, sebelum datang penyesalan.

Lalu, apa pula maknanya dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran -menangkap ikan- selalu di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah! Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai.
***

Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap

Bait ini -dengan kemunculan aku lirik- seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan, bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita. Si bocah berada pada posisi yang -terpaksa- harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada usia yang tidak perlu memikirkan apapun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya.

Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru-gugur, lesap-lewat-tingkap, tersuruk-tungku-menunggu, di antara-gelap. Penyair tampaknya sadar betul pada kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh sebagai analogi kematian seseorang.
***

Berbeda dengan kisah bocah yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga, tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak diketahui entah berada di mana.

Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah

Kini segalanya sudah terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang nelayan sejati! Dan tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut, tentang kepahlawanan seorang nelayan!

Perhatikan larik-larik di bawah ini:

Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.

Bait akhir ini makin memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan, bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di mana akan kutuliskan/rinduku// boleh jadi, puisi ini merupakan representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa lalu. Dan puisi ��Tempuling�� telah memancarkan mukjizatnya!
***

Tafsir puisi ��Tempuling�� ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di luar teks. Puisi ��Tempuling�� adalah kisah kepahlawanan nelayan dan Rida K Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak basi.

��Tempuling�� sebagai pengalaman individual penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan sejati. Maka, puisi ��Tempuling�� makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair (: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya. Semoga begitu! n

Seoul, 17 September 2012


Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 September 2012

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (1)

MAMAN S MAHAYANA


PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.

Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).

Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana... yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.

Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***

Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.

Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.

Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?

Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.

Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.

Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.

Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***

Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!

***

Tempuling

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang

Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap

Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.

Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?

Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).

Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!

Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.

Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!

Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.

Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.

Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai

Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)

Seoul, 17 September 2012

Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2012