Minggu, 22 September 2013

KERAJAAN SKALA BRAK PADA ZAMAN ISLAM (masa kepaksian)



Seperti yang diriwayatkan dalam tambo, masuknya Islam ke Skala Brak dibawa oleh empat putra Sultan Maulana Umpu Ngegalang Paksi, Raja Pagaruyung. Para pangeran itu dibantu oleh seorang pemudi berjuluk Si Bulan (Putri Bulan), diperkirakan bernama asli Indarwati, dan merupakan leluhur Orang Tulangbawang (Karzi, 2007). Berikut nama empat pangeran dari Minangkabau yang bermaksud menyiarkan agama Islam di Skala Brak tersebut:

1. Umpu Bejalan Di Way, bernama asli Inder Gajah, menurunkan Orang Abung.
2. Umpu Belunguh, nama aslinya diperkirakan sama dengan nama gelarnya, yakni Belunguh, menurunkan Orang Peminggir.
3. Umpu Nyerupa, bernama asli Sikin, menurunkan Orang Jelma Daya.
4. Umpu Pernong, bernama asli Pak Lang, menurunkan Orang Pubian.

Kata “Umpu” berasal dari kata “Ampu”, sebutan bagi anak raja Kerajaan Pagaruyung-Minangkabau. Kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 itu merupakan kerajaan Hindu sebelum beralih ke Islam sejak pertengahan abad ke-16. Kisaran waktu tersebut merujuk pada data yang menyebutkan, Sultan Alif Khalifatullah dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Pagaruyung pada sekitar tahun 1560 (Mardjamni Martamin, et.al., 2002:122). Setelah menganut Islam, nama kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Dengan demikian, masuknya Islam ke Skala Brak yang dibawa keempat pangeran dari Pagaruyung terjadi pada tahun-tahun setelah Sultan Alif Khalifatullah berkuasa.

Naskah kuno Kuntara Raja Niti menyebut Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong dengan nama yang berbeda, yakni masing-masing Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang (Ali Imron, 1991). Oleh keempat penguasa baru tersebut, wilayah Skala Brak dibagi rata dan masing-masing memiliki wilayah, rakyat, dan adat-istiadatnya sendiri, serta mempunyai kedudukan yang sama.

Penguasa terakhir Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu adalah seorang perempuan bernama Umpu Sekekhummong (Ratu Sekerumong). Meskipun sempat melakukan perlawanan, namun Skala Brak tidak mampu menahan serangan dari Pagaruyung yang lebih kuat. Segera setelah berhasil menguasai Skala Brak, keempat pangeran Pagaruyung mendirikan suatu perserikatan bernama Paksi Pak, yang berarti “Empat Serangkai” atau “Empat Sepakat”. Dimulailah babak baru dengan hadirnya Islam di Skala Brak yang mewujud menjadi Paksi Pak atau Kepaksian Skala Brak.

Berkuasanya Kepaksian Skala Brak, berarti juga berakhirnya kekuasaan Suku Tumi. Orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan banyak yang menyeberang ke Jawa. Sebagian yang lain mengungsi ke Palembang untuk mencari perlindungan. Belakangan diketahui bahwa ada seorang keturunan Kerajaan Skala Brak Hindu, bernama Kekuk Suik, yang masih mengibarkan sisa-sisa eksistensi Kerajaan Skala Brak di Pesisir Selatan Krui – Tanjung Cina.

Suku Tumi yang menyelamatkan diri ke Pesisir Krui menempati beberapa wilayah atau marga, meliputi Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai, dan Marga Way Sindi. Namun, di tempat yang baru ini, pelarian Suku Tumi tidak luput dari kejaran Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan mendapat bantuan dari lima orang punggawa Kepaksian Skala Brak. Setelah upaya penaklukkan berhasil, daerah tersebut dikenal dengan nama Marga Punggawa Lima karena kelima punggawa dari Kepaksian Skala Brak kemudian menetap di wilayah tersebut.

Sebagian warga Skala Brak yang lain, dipimpin Pangeran Tongkok Podang, mengikuti aliran Way Komring dan mendirikan pekon (negeri). Kesatuan dari beberapa pekon ini kemudian menjadi marga atau buay yang diperintah oleh seorang raja atau saibatin di daerah Komering, Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi ke arah Muara Dua, kemudian ke selatan menyusuri aliran Way Umpu hingga di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan dikenal sebagai Lampung Daya atau Lampung Komering yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komering Ulu, serta Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komering Ilir.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Suku Tumi sangat menghormati pohon Belasa Kepampang. Ketika Kerajaan Skala Brak berganti rupa menjadi Kepaksian Skala Brak, pohon keramat ini ditebang dan kayunya digunakan untuk membuat pepadun, yakni singgasana yang hanya boleh diduduki pada hari ketika Sultan Kepaksian Skala Brak dinobatkan. Terdapat dua makna filosofis yang terkandung dalam kata pepadun, yaitu:

1. Pepadun dimaknai sebagai papadun, yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan sebagai legitimasi bahwa yang duduk di atasnya adalah resmi menjadi seorang raja.
2. Pepadun dimaknai sebagai paaduan, yang berarti tempat mengadukan segala persoalan, maka orang yang duduk di atas pepadun adalah orang yang berhak memberikan keputusan atas perkara-perkara yang diadukan.

Dengan demikian, pepadun menempati posisi tertinggi dalam tradisi Kepaksian Skala Brak. Untuk menghindari perselisihan di antara keturunan keempat Kepaksian yang berkuasa, maka atas kesepakatan keempat Paksi, pepadun dititipkan kepada orang kepercayaan, yakni Buay Benyata yang berkedudukan di Pekon Luas. Ketika salah seorang dari keempat pemimpin Kepaksian membutuhkan pepadun untuk keperluan penobatan, maka pepadun itu dapat diambil namun harus dikembalikan lagi kepada Buay Benyata setelah digunakan.

Perselisihan yang muncul justru terjadi di antara keturunan Benyata. Pada 1939, sejumlah keturunan Benyata memperebutkan siapa yang berhak menyimpan pepadun. Sebelumnya memang belum ada kesepakatan tentang hal itu. Atas keputusan Kerapatan Adat dengan persetujuan Kepaksian Skala Brak dan Karesidenan (wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda), diputuskan bahwa pepadun disimpan di kediaman keturunan langsung dari Umpu Belunguh (salah seorang dari keempat pemimpin Kepaksian Skala Brak), hingga sekarang.

Di bawah pemerintahan empat Kepaksian, peradaban Skala Brak berkembang cukup pesat, baik kemajuan eksternal maupun internal. Skala Brak menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara, bahkan dengan India dan Cina. Pada abad ke-5 dan ke-6, terdapat dua kerajaan di nusantara yang bekerjasama dengan Kekaisaran Cina, yaitu Kerajaan Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa (Olivier W. Wolters, 1967:160).

Kerajaan Kendali di Andalas yang dimaksud kemungkinan besar adalah Skala Brak karena dalam catatan Dinasti Liang (502-556 M) disebutkan letak Kerajaan Skala Brak berada di selatan Andalas dan menghadap ke arah Samudera Hindia. Adat-istiadatnya kerajaan itu, menurut catatan yang sama, hampir serupa dengan Bangsa Kamboja dan Siam (Thailand), serta menjadi negeri penghasil pakaian berbunga, kapas, pinang, kapur barus, dan damar.

Selain itu, dalam Kitab Tiongkok kuno yang disalin ulang Groenevelt disebutkan bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi terdapat kisah Kerajaan Kendali yang terletak di antara Jawa dan Kamboja. Sementara menurut L.C. Westenenk, nama Kendali ini dapat dihubungkan dengan Kenali, ibu negeri Paksi Buay Belunguh, salah satu dari empat Kepaksian Skala Brak (Diandra Taurussiawan Putra Natakembahang [a], 2009).

Kemajuan juga diperoleh dalam lingkup internal Skala Brak. Pada awal abad ke-9 Masehi, para pemuka Kepaksian Skala Brak sudah menciptakan aksara dan angka tersendiri yang dikenal sebagai Had Lampung. Bentuk tulisan Had Lampung dipengaruhi aksara Pallawa dari India Selatan dan huruf Arab (Diandra Taurussiawan Putra Natakembahang [b], 2009).

Kepaksian Skala Brak mengalami kemunduran pada era penjajahan Belanda. Pada tahun 1810 dan 1820, Istana Skala Brak hancur oleh serangan Belanda. Pada tahun 1830, dibangunlah Gedung Dalom sebagai pengganti istana. Luas lahan Gedung Dalom yang sekarang adalah 3.000 meter persegi, dikelilingi rumah kepala suku. Sementara Belalau kini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi (Shanty Sibarani, 2008).

SKALA BRAK PADA ZAMAN HINDU (masa kerajaan)


Skala Brak pada Zaman Hindu (Masa Kerajaan)



Riwayat leluhur bangsa Lampung dan Skala Brak dapat ditelusuri, antara lain dari warahan (cerita turun-temurun), warisan adat, serta peninggalan lainnya. Salah satu benda peninggalan Skala Brak adalah menhir yang merupakan peninggalan masa Megalitikum dan ini menjadi bukti bahwa leluhur orang Lampung telah memiliki peradaban sejak masa pra-sejarah.

Riwayat Kerajaan Skala Brak juga dapat diketahui dari tambo-tambo yang di masyarakat. Tambo adalah salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran masyarakat terhadap masa lalu yang berisi seluk-beluk kebudayaan, adat, dan asal-usul masyarakat. Di dalam tambo terkandung narasi kesejarahan yang ditujukan untuk berbagai kepentingan sebagai ekspresi atas kondisi sosial pada waktu di mana tambo itu dibuat (Irhash A. Shamad, 2009). Tambo-tambo tentang Skala Brak yang ditemukan sebagian besar ditulis pada kulit kayu atau kulit kerbau.

Di lereng Gunung Pesagi, ditemukan sejumlah peninggalan lainnya, seperti batu-batu bekas kuno, tapak bekas kaki, altar, dan tempat eksekusi. Menurut penafsiran Prof. Dr. Louis-Charles Damais, prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) yang ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa, merupakan bukti peninggalan Skala Brak pada zaman Suku Tumi. Dalam prasasti bertarikh 9 Margasira 919 Saka itu terpahat nama seorang raja yang diduga pernah berkuasa di Skala Brak, bernama Baginda Sri Haridewa (Louis-Charles Damais, 1995).

Sedangkan dari sebuah batu berangka tahun 966 Saka atau 1074 Masehi yang juga ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa diperoleh keterangan bahwa Lampung telah dihuni sekelompok masyarakat beragama Hindu. Diperkirakan, batu yang bertuliskan huruf Pallawa ini merupakan perangkat untuk mengeksekusi orang yang melanggar hukum kerajaan. Unsur Hindu dalam kebudayaan Kerajaan Skala Brak semakin kuat dengan ditemukannya parit-parit, jalan-jalan setapak, batu persegi, batuan berukir, serta puing-puing candi khas Hindu.

Sejumlah sejarawan Belanda, seperti Dr. Fn. Fune, Groenevelt, Rampanggilay, Van Vollenhoven, L.C Westenenk, dan Hellfich, menyimpulkan, warga Skala Brak pernah melakukan perpindahan bertahap dari waktu ke waktu. Migrasi itu terjadi karena beberapa peristiwa penting. Pertama adalah ketika Suku Tumi terusir dari kampung halamannya akibat masuknya agama Islam. Kedua, adanya perselisihan internal di antara keluarga kerajaan sehingga pihak yang tidak menerima keadaan memutuskan untuk pindah ke daerah lain. Ketiga, adanya gempa bumi yang menyebabkan sebagian besar penduduk Skala Brak mencari perlindungan ke daerah lain. Keempat, adanya aturan adat yang menetapkan bahwa yang paling berhak memperoleh hak waris keluarga adalah anak tertua sehingga banyak anak-anak muda Skala Brak memilih pindah ke daerah lain dengan harapan akan mendapat kedudukan dan status sosial yang lebih baik.

Akibat gelombang migrasi itu, terjadilah penyebaran kebudayaan Suku Tumi. Sebagian besar dari mereka mengikuti aliran way (sungai) untuk bermukim dan mempertahankan hidup. Beberapa aliran sungai yang menjadi tempat tujuan migrasi Suku Tumi antara lain Way Koming, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Tulang Bawang, beserta anak-anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung, Palembang (Sungai Komering), bahkan hingga ke Pantai Banten (Ahmad Yani, 2007).

Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu juga diindikasikan sebagai peradaban yang kelak berpengaruh terhadap berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang karena terdapat sebagian Suku Tumi yang menuju Palembang. Selain itu, ada keturunan dari Kerajaan Skala Brak Hindu yang diduga menjadi pendiri Dinasti Sriwijaya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Dapunta Hyang Sri Jayanaga inilah yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri di Minanga Komering (Arlan Ismail, 2003).

Menhir, Peninggalan Suku Tumi di Skala Brak
http://buaypernong.blogspot.com/

KESEPAKATAN HIMPUN SAIBATIN PAKSI



PEWARIS KERAJAAN SEKALA BRAK

 
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Kekinian adalah sejarah yang berjalan. 

Berkat rahmat Allah SWT serta didorong oleh rasa tanggung jawab  sebagai pewaris Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak yang diyakini sebagai asal usul suku bangsa Lampung serta cikal bakal peradaban di tanah Lampung, oleh sebab itu kami para “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak terpanggil untuk memelihara, dan menjaga kearifan lokal serta melestarikan adat dan budaya “Sai Batin” khususnya tradisi Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak sejak dahulu kala sebagai bagian dari khasanah adat dan budaya yang tergabung dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hari ini Sabtu tanggal delapan Desember tahun Dua ribu dua belas (8-12-2012) bertempat di ruang Margasana “Gedung Dalom”  Kepaksian Pernong kami “Sai Batin” Raja Adat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak Lampung melakukan “HIPPUN SAI BATIN PAKSI” (Musyawarah Agung para Sultan Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak) yang masing-masing kami hadir secara fisik yaitu
1. “Sai Batin” Kepaksian Pernong, Drs. Pangeran Edward Syah Pernong, SH.MH. gelar Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan Ke-XXIII
2. “Sai Batin” Kepaksian Nyerupa,  Drs. Salman Parsi gelar Sultan Piekulun Jayadiningrat
3. “Sai Batin” Kepaksian Belunguh, Yanuar Firmansyah gelar Sultan Junjungan Sakti.
4. “Sai Batin” Kepaksian Bejalan Diway,  Selayar Akbar, SE.Akt gelar Sultan Jayakesuma ke-IV.

Adapun keputusan yang dapat kami sepakati pada “Hippun Sai Batin Paksi” tersebut kami tuangkan dalam tujuh butir kesepakatan yang kami beri nama : “Kesepakatan Hippun Sai Batin Paksi” sebagai berikut :


I.    Bahwa Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak menganut sistim “BERSATU TIDAK BERSEKUTU dan BERPISAH TIDAK BERCERAI” yang mana Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak merupakan satu Kerajaan yang diperintah oleh keturunan empat orang bersaudara yaitu :

1.1.     Kepaksian PERNONG dengan ibu negeri Batu Brak
1.2.     Kepaksian NYERUPA dengan ibu negeri Sukau
1.3.     Kepaksian BELUNGUH dengan ibu negeri Kenali
1.4.   Kepaksian BEJALAN DIWAY dengan ibu negeri Kembahang

Masing-masing Kepaksian mempunyai kekuasaan, wilayah dan masyarakat adatnya sendiri-sendiri dan mempunyai kedudukan kebangsawanan yang sederajat tidak ada lebih antara satu  Kepaksian dengan Kepaksian lain.
Adapun sebutan untuk struktur Kerajaan Paksi masing-masing disebut Kepaksian, sedangkan Buay atau Kebuayan adalah sebutan untuk menunjukkan garis keturunan.
Bahwa kami “Sai Batin” Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak menyatakan terlarang dan melanggar adat bagi salah satu Paksi yang menyatakan dirinya lebih tua karena keturunan Paksi Pak Sekala Brak ini adalah keturunan penakluk suku tumi yang setelah merebut Sekala Brak meneruskan dengan Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak yang antar Paksi satu sama lain mempunyai kedudukan dan derajat yang sama.
II.   Bahwa kami para “Sai Batin” senantiasa akan mengeluarkan Statement yang sama tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya baik dalam menyikapi tentang tata-titi keadatan maupun dalam menyikapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
III. Bahwa kami para “Sai Batin” tidak boleh mengklaim terhadap Marga yang telah berdiri dan diakui keberadaannya oleh seluruh Paksi Pak secara turun temurun, contoh seperti Marga Liwa yang keberadaannya telah diakui oleh seluruh Paksi dalam Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak.
IV. Bahwa kami para “Sai Batin” berkomitment untuk mempertahankan tujuh jenjang Kebangsawanan dalam adat “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak yaitu :
4.1.     Sultan/Pangeran/Dalom
4.2.     Raja/Depati
4.3.     Batin
4.4.     Radin
4.5.     Minak
4.6.     Kimas
4.7.     Mas
Hanya Saibatin Paksi lah yang bergelar Sultan, Pangeran dan Dalom melekat pada diri “Sai Batin” dan tidak dapat dilimpahkan kepada siapapun juga kecuali kepada “Sai Batin” Marga yang telah mempunyai wilayah dan Masyarakat Adat tersendiri dan telah diakui oleh “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak.
V.    Bahwa kami para “Sai Batin” akan saling mengagungkan dan saling membesarkan antara satu Kepaksian dengan Kepaksian lainnya dan tidak akan saling mengecilkan atau saling menjatuhkan, dan untuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan diluar Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak oleh salah satu Kepaksian maka wajib membawa nama Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak.
VI. Bahwa kami para “Sai Batin” akan menjaga hal-hal yang menurut Adat menjadi hak mutlak “Sai Batin” Paksi  (“Sai mak dapok nitimbang Paksi”) antara lain :
6.1.“Petutukhan” (Panggilan adat) Peniakan Dalom Beliau tidak boleh dipakai oleh siapapun selain dari “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak
6.2.“Kawik Buttokh” (bentuk atap/bubungan) seperti contoh yang terpasang pada “pemugungan Gedung Dalom” Kepaksian Pernong.

6.3. Lambang Paksi Pak Sekala Brak “Cambai Mak Bejunjungan” sebagai Lambang milik daripada 4 Paksi tersebut yang mempunyai falsafah bahwa kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak dapat berdiri tegak kokoh dan kuat walaupun tidak dibantu oleh unsur-unsur lain, pihak lain ataupun komunitas lain karena karakter nilai dasar dari empat Kepaksian : Kekayaan dipegang oleh keturunan Umpu Belunguh, keberanian dipegang oleh keturunan Umpu Bejalan Diway, Kelihaian dan Kecerdikan dipegang oleh Umpu Pernong dan Hamba Rakyat yang banyak yang tersebar menjadi simbol kebesaran Kepaksian Nyerupa, itulah makna daripada “Cambai Mak Bejunjungan”
6.4. Gelar/Adok Sultan hanya milik Sai Batin Paksi Pak Sekala Brak sedangkan untuk Sai Batin Marga dan Saibatin Kebandakhan menggunakan gelar Suntan/Suttan atau Pangeran atau Dalom.


VII. Bahwa kami para “Sai Batin” sepakat menyeragamkan pakaian yang melekat di badan sebagai pakaian Keagungan “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak, baik dipakai secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri oleh kami para “Sai Batin” Paksi Pak Sekala Brak antara lain :
7.1.     Tukkus berbelalai tidak berekor
7.2.     Kain serong gantung disebelah kiri
7.3.     Pusaka/”Pemanohan” Paksi
7.4.  Lencana Paksi Pak Sekala Brak dan lencana Kesultanan


Kami menyepakati bahwa Ratu Ngegalang Paksi adalah Ayah dari Paksi Pak Sekala Brak, Ratu Mamelar Paksi adalah Kakek dari Paksi Pak Sekala Brak dan Paksi Pak menyatakan merupakan keturunan yang dulu lurus dari Sultan Zulkarnain yang berasal dari Kerajaan Pasai.
Pepadun Melasa Kepappang adalah hak milik Paksi Pak secara bersama dan bukan milik salah satu Paksi yang pada kesepakatan dan persetujuan empat Paksi selama ini dititipkan di Gedung Dalom Kepaksian Belunguh
Selanjutnya kami para Sai Batin Paksi Pak Sekala Brak menyepakati pula lambang-lambang keagungan dan kebersamaan Perdana Menteri dan Para Pemapah Dalom di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak.
Kesepakatan ini dibuat, untuk disosialisasikan kepada seluruh komunitas Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak dimanapun berada guna dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
======================================================= 
Sumber : Blog resmi Kerajaan Adat Paksipak Sekala Brak Lampung.

Sabtu, 21 September 2013

PERLUNYA PENELITIAN NASKAH WARISAN KERAJAAN SEKALA BRAK

CATATAN HASIL PENELITIAN TIM DOSEN IAIN RD.INTAN TENTANG KERAJAAN SEKALA BRAK

Tim Peneliti Dosen IAIN Raden Intan tentang Kerajaan Sekala Brak dengan tema : "Hystoriografi Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak Lampung Masa Islam dan Kolonial". Judul tema tersebut adalah sebuah penelitian yang sangat berat selain keterbatasan data juga para peneliti sangat membutuhkan ilmu bantu untuk memahami berbagai data yang sekarang ini masih terserak.

Kesulitan tersebut akan tergambar dari kesimpulan yang disimpulkan oleh para peneliti yang dilaksanakan tahun 2011 yang lalu itu. Saya yakin para peneliti telah bekerja keras, tetapi tentu saja sangat dibatasi oleh waktu dan dana tentunya. 

Rabu, 11 September 2013

AKSARA LAMPUNG: DIBANGGAKAN TAPI DILUPAKAN


Syafnijal Datuk S

Bahasa Lampung masuk dalam kurikulum sekolah, tapi generasi muda enggan menggunakan dalam keseharian.

Aksara Lampung. (SH/Syafnijal Datuk S)
Dibanding suku lain di Nusantara, nenek moyang orang Lampung termasuk yang memahami pentingnya aksara bagi kehidupan bermasyarakat.

Nenek moyang orang Lampung merupakan salah satu dari sedikit suku yang sejak awal memiliki aksara sebagai  simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya, seperti batu, kayu, kain untuk mengekspresikan unsur-unsur ke dalam suatu bahasa. Sayang, kekayaan khazanah budaya ini kurang terpelihara hingga nyaris terlupakan. Kenapa?

Menurut sejarahnya, aksara Lampung atau biasa disebut Had Lampung berasal dari perkembangan aksara Devanagari yang lengkapnya dinamakan Dewdatt Deva Nagari atau aksara Palawa dari India Selatan. Aksara ini berbentuk suku kata seperti halnya aksara Jawa ca-ra-ka atau bahasa Arab alif-ba-ta.

Kepunahan bahasa Lampung Tinggal menunggu Waktu

Kekhawatiran kita bahwa bahasa Lampung akan punah dalam tempo beberapa dekade yang akan datang tampaknya cukup beralasan. Bukannya tidak mungkin nanti penduduk Lampung ini tidak ada lagi yang bisa berbahasa Lampung. Dan betapa ironisnya bila ini terjadi; Lampung hanya tinggal sebuah nama; tidak lagi tercermin dari bahasanya. Sedangkan adat istiadat Lampung, yang merupakan sisi lain dari budaya Lampung, selain bahasa Lampung, sudah pula duluan punah dan hanya tinggal kenangan.
Hal ini mungkin terjadi karena tanda-tanda ke arah kepunahan itu sudah tampak. Belakangan jumlah penutur bahasa Lampung semakin sedikit. Di mana-mana, di kota-kota dan di desa-desa di provinsi ini, orang sudah beralih menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kabupaten Lampung Barat yang penduduknya paling banyak menggunakan bahasa Lampung pun kini mulai beralih pula menggunakan bahasa Indonesia.

Revitalisasi Bahasa Lampung

 KRISTIAN ADIPUTRA
Mahasiswa Pascasarjana English Language and Linguistics Program, the University of Arizona, Amerika Serikat.

Argumentasi tentang kepunahan Bahasa Lampung dimulai tahun 1994 oleh Asim Gunarwan, Guru Besar Linguistik dari Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pilihan penggunaan bahasa dalam keluarga bersuku Lampung yang tinggal di Bandar Lampung. Dari anggota keluarga dalam rentang usia di atas 41 tahun, ditemukan bahawa Bahasa Lampung masih digunakan secara konsisten. Tetapi, ketika melihat rentang usia 21-40 tahun, terlihat bahwa penggunaan Bahasa Lampung dan Bahasa Indonesia berimbang di tingkat rumah. Sementara pada rentang usia di bawah 20 tahun, Bahasa Indonesia tampak lebih mendominasi. Dengan hasil temuan ini, maka Asim Gunarwan memprediksi bahwa dalam 75-100 tahun semenjak penelitiannya dilakukan, Bahasa Lampung terancam punah.