Sabtu, 27 Juli 2013

Naskah Kuno Bukti Peradaban Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Keberadaan naskah kuno berupa naskah buku kulit kayu pada masyarakat Lampung Pesisir maupun Pepadun menjadi bukti kuat adanya peradaban aksara Lampung.

"Pemaknaan aksara Lampung tak lekang oleh waktu setidaknya dapat ditunjukkan melalui keberadaan buku kulit kayu ini," ujar Kepala Seksi Pelayanan dan Program Publikasi Museum Lampung Budi Supriyanto, di Museum Lampung, Selasa (23-7).

Budi mengatakan aksara Lampung merupakan salah satu keistimewaan budaya yang dimiliki Indonesia karena aksara Lampung salah satu dari sembilan aksara yang ada di Indonesia.

Menyingkap Makna Filosofis "HAHIWANG"


Oleh Fauzi Fattah

PADA masyarakat Lampung terdapat seni budaya yang dikategorikan sastra lisan. Termasuk dalam sastra lisan itu ialah hahiwang, bandung, pepaccukh, pantun, wakhahan, muwayak, segata, adi-adi, butangguh, dan lainnya.

Hahiwang adalah salah satu jenis sastra lisan Lampung berbentuk puisi (pantun). Berdasar isinya, hahiwang itu terbagi dua macam. Pertama, berisikan penderitaan hidup seseorang dan yang kedua berisikan hubungan muda-mudi (kegagalan percintaan). Penderitaan hidup atau kegagalan hubungan muda-mudi tersebut ditulis dalam bahasa yang indah dan dibacakan dengan lagu yang menyayat oleh seseorang. Si pendengar akan seolah-olah ikut merasakan penderitaan tersebut.

Dalam pertemuan kita sekarang ini, saya ingin menyajikan sebuah teks hahiwang agar kita dapat menyikap makna filosofis yang terkadung di dalamnya. Hahiwang berikut ini berisikan kekecewaan seorang bujang karena kegagalan cinta, yaitu ditinggal kekasihnya menikah dengan orang lain. Kekecewaannya tersebut dituangkan dalam sebuah tulisan kemudian dikirimkan kepada mantan kekasihnya tersebut. Berikut petikan hahiwang-nya.

Janji Sebudi

Assalamulaikum, munyayan unyin kutti
ajo surat bitian, jama niku pakkalni
ajo hiwangni badan, tanno haga kubiti
hijjo radu bagian, hurik ku pissan sinji
tabik do jama tian, parwatin sai ngedengi
kittu ratong Pangeran, ampun di bawah kaki

Kamis, 25 Juli 2013

(pustaka) SAAT SEJARAH DAN ROMANSA PERCINTAAN BERKELINDAN

Dodiek Adyttiya Dwiwanto


Judul buku: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2012
Tebal: 494 halaman
AMBA adalah putri seorang guru di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dia memiliki dua adik, Ambika dan Ambalika. Melalui ayahnya, Amba belajar serat centhini, wedhatama, dan sederetan puisi-puisi Jawa lainnya. Amba yang berjiwa pemberontak memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya untuk melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada.

Sebenarnya, dia telah ditunangkan dengan lelaki pilihan orangtuanya, Salwa Munir. Namun kemudian dia malah hamil di luar nikah dengan Bhisma Rashad, seorang dokter lulusan Jerman yang bekerja di Kediri, Jawa Timur. Bhisma memiliki simpati terhadap golongan kiri.

Bhisma ditangkap di Yogyakarta dan dibuang ke Pulau Buru. Saat para semua tahanan politik dipulangkan, Bhisma memilih menetap. Amba yang telah tua terus mencari Bhisma yang telah memberi dia satu putri. Akhirnya, dia pun mengetahui alasan kenapa Bhisma tidak kembali.

Salwa, Bhisma, dan Amba adalah tokoh-tokoh pewayangan. Bhisma adalah putra Prabu Santanu dan Dewi Gangga. Dia memiliki saudara lain yaitu Chitrangada dan Wicitrawirya. Bhisma memutuskan tidak menikah sehingga Chitrangada menjadi raja, tetapi kemudian dia tewas.

Saat Wicitrawirya naik takhta dan membutuhkan kehadiran permaisuri,

(pustaka) RINDU TANAH AIR, KANGEN KAMPUNG HALAMAN

Dodiek Adyttiya Dwiwanto


Sekali lagi, novel berbalut kisah peristiwa kelam 1965. Satu lagi karya terbaik Leila S. Chudori setelah 9 dari Nadira.

Judul buku: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan: pertama, Desember 2012
Tebal: 464 halaman
“Rumah adalah tempat keluargamu menetap,‘ aku menyusul Dimas ke teras. Mencoba mempertahankan pendirianku tanpa menyinggungnya.

“Rumah adalah tempat di mana aku bisa merasa bisa pulang,‘ jawab Dimas. Dingin. Datar. (halaman 201).

Dimas Suryo adalah eksil. Dia tidak bisa pulang setelah pecahnya Tragedi 30 September 1965. Dia adalah jurnalis yang menghadiri sebuah pertemuan jurnalis beraliran kiri di luar negeri. Dimas Suryo pun harus berpindah negara, berganti pekerjaan, dan lainnya hingga akhirnya tiba di Prancis.

Bersama sejumlah rekannya yang juga tidak bisa pulang lantaran bakal ditangkap oleh rezim Orde Baru, Dimas mendirikan restoran di Paris. Kisah hidupnya pun berlanjut dengan berjumpa perempuan Prancis, Vivienne Deveraux. Tidak lama berselang, dia ikut menyaksikan peristiwa besar lainnnya pada Mei 1968 di Prancis.

Kelak, putri Dimas dengan Vivienne, Lintang Utara juga menjadi saksi peristiwa besar lainnya, Mei 1998 saat Indonesia dilanda kerusuhan besar tidak lama setelah lengsernya Presiden Soeharto. Lintang berjumpa dengan Segara Alam, putra dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari. Hananto adalah senior Dimas, sementara Surti pernah dicintai oleh Dimas, namun kemudian dinikahi oleh Hananto.

Dimas dan sejumlah eksil lainnya tidak dapat pulang meskipun banyak

PUJANGGA SEPANJANG MASA

Data buku
Baju Bulan
Joko Pinurbo
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2013
82 hlm
JOKO Pinurbo (Jokpin) mengakui bahwa penerbitan buku puisi Celana (1999) menandai masa belajar menulis puisi selama 20 tahun. Pujangga memang hidup bersama kata, berperistiwa dan mengolah makna. Jokpin tak jemu, enggan minggat dari “rumah kata”. Masa belajar menulis puisi pun bertambah, terbukti dengan penerbitan buku puisi berjudul Baju Bulan (2013). Pujangga bertubuh kurus itu tak mengenal tamat. Berpuisi adalah peribadatan sepanjang masa, sampai tubuh menjadi fana.
Kegandrungan berpuisi pernah dijelaskan Jokpin melalui puisi pendek, berjudul Puisi Telah Memilihku (2007). Pujangga itu mengakui: Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi/ di antara baris-barisnya yang terang./ Dimintanya aku tetap redup dan remang. Puisi ini cuma ingatan, keterpilihan Joko Pinurbo sebagai penggembala kata. Jokpin tak melulu “redup” dan “remang”. Ketelatenan menulis puisi, mempersembahkan pada pembaca telah memberi “terang” etos kapujanggan. Jokpin  membuktikan diri, berjalan tanpa lelah, menggembala puisi melintasi waktu demi waktu sampai diri menua.

Buku Baju Bulan merupakan kumpulan 60 puisi, terpilih di rentang waktu 1991-2012. Pembatasan waktu penulisan-publikasi dan jumlah puisi seolah mengandung nalar-selektif. Pembaca dipersilakan menikmati puisi tanpa keutuhan mengacu episode-episode di masa silam. Kita tak bakal menemukan puisi-puisi wagu dan lugu dari masa 1980-an, episode Jokpin menempatkan diri di deretan pujangga Indonesia dan “merumuskan” bentuk-greget berpuisi. Pembatasan waktu lumrah dijadikan dalil jika berkaitan kepatutan dan keterikatan.

Penerbit memberi penjelasan bahwa

MENGHIDUPKAN TRADISI MENDONGENG ITU PENTING

Musa Ismail.


PADA mulanya, dongeng merupakan kisah lisan yang mendunia. Semua negara, memiliki dongeng yang menggambarkan kekhasan dan kejeniusan lokal mereka. Akhir-akhir ini, kisah lisan itu dapat dengan mudah kita peroleh melalui media cetak dan media elektronik. Untuk wilayah nusantara, dongeng bukanlah sesuatu yang asing. Semua daerah di nusantara ini, mempunyai dongeng masing-masing. Bahkan, beberapa buku dongeng nusantara dengan mudah kita temukan di toko-toko buku.

Ketika mendengar kata dongeng, orang akan mengaitkannya dengan kisah bual, kisah bohong, atau kisah khayal semata.  Bahkan, sangat disayangkan, masih banyak yang menganggap bahwa dongeng sekaligus mendongeng itu tidak penting. Pemikiran seperti ini ada benarnya karena muatan peristiwa dalam dongeng didominasi oleh kisah-kisah imajinatif. Akan tetapi, ada benarnya pula kalau dikatakan bahwa tidak semata muatan peristiwa dalam dongeng merupakan rangkaian peristiwa khayalan. Peristiwa-peristiwa sejarah, misalnya, masih bisa kita sampaikan dengan cara mendongeng. Hal ini serupa dengan novel yang berpijak dari peristiwa sejarah.

Untuk Indonesia, kita tidak asing lagi dengan beberapa  nama seperti Kak

(Alinea) MERINDUKAN SASTRA RURAL.

FARIZ ALNEIZAR

DUNIA sastra merupakan dunia yang penuh dengan rasa, sarat akan makna. Ahmad Tohari menyebutkan bahwa dengan sastralah kita akan menemukan empati, simpati, bahkan ideologi. Lebih jauh, D. Zawawi Imron pun pernah mengatakan bahwa dengan bersastra manusia akan terasah jiwanya, akan sensitif mata batinnya, serta peka radar kemanusiaannya.

Banyak sastrawan muda bermunculan akhir-akhir ini, tidak hanya di ibukota, tetapi juga di daerah-daerah (desa). Ada yang memang menghabiskan hidupnya berpindah-pindah dari kota ke kota, tetapi ada juga yang memang memilih menetap tinggal di kota atau di desa. Alasannya pun berbeda-beda: ada yang karena tuntutan hidup, ada pula yang karena alasan lain. Yang pasti, dalam kaitannya dengan tulisan ini, persoalan tempat tinggal dan gaya hidup cenderung berpengaruh pada hasil kreativitas mereka.

Persoalan tempat tinggal sastrawan sempat menarik perhatian Agus R. Sarjono.