Minggu, 30 September 2012

Tembang Dolanan Anak - Anak Berbahasa Jawa

SUMBER PEMBENTUKAN WATAK DAN BUDI PEKERTI



Yuyun Kartini, S.Pd.
Balai Bahasa Surabaya

Abstrak

Tembang dolanan anak berbahasa Jawa memiliki nilai-nilai luhur budaya nasional. Namun sayangnya, tembang dolanan anak-anak berbahasa Jawa pada saat ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah maupun instansi terkait. Pada akhirnya anak-anak sekarang kurang mengenal tembang dolanan Jawa sehingga tembang dolanan berbahasa Jawa ini kurang diminati dan tergerus oleh zaman. Makalah ini akan memaparkan beberapa aspek tentang makna teks yang tersirat dalam tembang dolanan anak berbahasa Jawa, seperti nilai religius, nilai kebersamaan, nilai kemandirian, instropeksi, dan kerendahan hati (tidak sombong) Dengan muatan beberapa aspek tersebut secara tidak langsung tembang dolanan anak berbahasa Jawa menyimpan beragam nilai luhur yang berakar pada budaya bangsa Indonesia khususnya Jawa. Dalam upaya untuk membangun jatidiri dan karakter bangsa, tembang dolanan anak berbahasa Jawa perlu dikenalkan kepada generasi muda khususnya anak-anak. Mereka adalah pemegang tongkat estafet perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka kurang pemahaman dan pengalaman pada potensi seni budaya bangsa dikhawatirkan kelak bangsa ini akan kehilangan jatidiri dan karakter yang berbudi luhur.

Kata Kunci: tembang, dolanan, nilai religius, kebersamaan, kebangasaan, estafet karakter.

1. Pengantar

Negara Indonesia merupakan negara yang terkenal kaya akanl berbagai macam budaya dan kesenian. Kekayaan budaya dan kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan suatu kebanggaan dan aset bangsa. Semua negara di dunia telah mengakui akan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia . Bahkan ada negara tetangga, seperti Malaysia berusaha merebut dan mengakui salah satu kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai kebudayaan mereka. Hal itu tidak boleh dibiarkan, jika ini terjadi maka bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu aset bangsa. Sebagai warga negara yang cinta dan peduli akan kebudayaan tersebut, maka hendaknya selalu berusaha untuk menjaga dan mempertahankannya. Oleh karena itu, warisan nenek moyang tersebut perlu dilestarikan agar tidak punah tergerus oleh perkembangan zaman.

Perubahan dan perkembangan zaman terjadi semakin pesat, hal ini ditandai dengan semakin canggihnya alat-alat elektronik yang mengakibat terkikisnya kebudayaan warisan nenek moyang yang menyimpan nilai-nilai luhur bangsa. Warisan kebudayaan tersebut meliputi bahasa, adat-istiadat, dan kesenian daerah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kesenian daerah yang pada saat ini banyak yang hilang bahkan hampir punah. Salah satu contoh kesenian daerah tersebut adalah tembang dolanan anak berbahasa Jawa.

Tembang dolanan berbahasa Jawa merupakan sarana untuk bersenang-senang dalam mengisi waktu luang dan juga sebagai sarana komunikasi yang mengandung pesan mendidik. Contoh tembang dolanan yang dimaksud adalah cublak-cublak suweng, jaranan, padang bulan, ilir-ilir, dan masih banyak lagi. Tembang dolanan anak merupakan suatu hal yang menarik karena sesuai dengan perkembangan jiwa anak yang masih suka bermain, didalamnya juga mengandung ajaran-ajaran atau nilai-nilai moral budi pekerti. Dr. Suharko Kasaran, (Ketua Komisi Nasional Budi Pekerti) mengatakan bahwa apabila anak kurang/tidak dibina pendidikan budi pekerti sedini mungkin, pada umur 14 tahun anak itu akan mengembangkan sikap destruktif (cenderung ke arah brutal). Kurangnya pembinaan atau pedidikan budi pekerti dibuktikan banyaknya kejadian di usia remaja dan dewasa atau tua seperti kenakalan remaja, tawuran massal, pelecehan seksual, dan sebagainya (wawancara Buletin Siang RCTI, 11 Mei 1999).

Menurut Riyadi (dalam Djaka Lodang, 5 Agustus 1989) memerinci sifat lagu dolanan anak-anak yaitu bersifat didaktis dan sosial. Didaktis artinya lagu dolanan itu mengandung unsur pendidikan, baik yang disampaikan secara langsung dalam lirik lagu atau disampaikan secara tersirat, dengan berbagai perumpamaan atau analogi. Salah satu keahlian orang Jawa adalah membuat berbagai ajaran dengan berbagai perumpamaan. Sosial artinya bahwa lagu dolanan memiliki potensi untuk menjalin hubungan sosial anak dan menumbuhkan sifat-sifat sosial.

Pada dasarnya lagu dolanan anak bersifat unik. Artinya, berbeda dengan bentuk lagu/tembang Jawa yang lain. Menurut Danandjaja (1985:19) lagu dolanan anak ada yang termasuk lisan Jawa, yaitu tergolong nyanyian rakyat. Sarwono dkk (1995: 5) menjelaskan bahwa lagu dolanan memiliki aturan, yaitu

bahasa sederhana,
cengkok sederhana,
jumlah baris terbatas,
berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak.

Lirik dalam lagu dolanan tersebut tersirat makna religius, kebersamaan, kebangsaan, dan nilai estetis.

Generasi muda terutama anak-anak merupakan pemegang tongkat estafet perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka kurang pemahaman dan pengalaman pada potensi seni budaya bangsa dikhawatirkan kelak bangsa ini akan kehilangan jatidiri dan karakter yang berbudi luhur. Generasi yang merupakan penerus pembangunan bangsa hendaknya memiliki rasa bangga dan jiwa kepahlawanan untuk menghadapi masalah. Sikap tersebut diawali dengan rasa bangga, ikut memiliki, dan mencintai seni budaya. Melalui seni, seseorang lebih sensitif terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya. Dengan melihat kenyataan yang ada sekarang ini, sebagai generasi muda haruslah berbuat banyak demi kelestarian budaya dan kesenian tradisional yang hampir punah. Tembang dolanan sebagai warisan nenek moyang yang mempunyai nilai-nilai luhur harus terus dilestarikan.

Namun ironis, sekarang ini generasi muda khususnya anak-anak yang tinggal di daerah yang banyak mendapat pengaruh budaya modern pada umumnya tidak mengenal tembang dolanan berbahasa Jawa tersebut meskipun mereka orang Jawa. Mereka kurang berminat mempelajari apalagi menghafal tembang dolanan berbahasa Jawa tersebut. Pada saat ini, anak-anak lebih mudah menyanyikan dan menghafal lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada tembang dolanan yang menggunakan bahasa Jawa. Hal ini terjadi karena pada umumnya orang tua zaman sekarang meskipun berasal dari etnis Jawa, tetapi mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pengantar dalam berkomunikasi sehari-hari.

Peranan orang tua dalam melestarikan warisan nenek moyang juga sangat penting karena anak ibarat kertas putih bersih yang belum ternoda. Kalau sejak dini anak-anak diperkenalkan dengan tembang dolanan yang berisi petuah, pendidikan moral, dan budi pekerti, maka kelak jika sudah dewasa akan berakhlak baik. Meskipun mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, tetapi sebagai orang tua hendaknya juga mengajari anak-anak mereka untuk menggunakan bahasa Jawa karena mereka berasal dari etnis Jawa.

Di samping orang tua yang berperan penting, pemerintah juga kurang memperhatikan bahkan mengabaikan adanya tembang dolanan anak berbahasa Jawa. Hal ini terbukti dengan tidak adanya kepedulian pemerintah untuk ikut melestarikan tembang dolanan tersebut. Ketidakpedulian pemerintah tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya sosialisasi melalui program di televisi yang menayangkan acara khusus tembang dolanan anak yang berbahasa Jawa. Kebanyakan acaranya menggunakan bahasa Indonesia. Kalaupun ada acara musik yang berbahasa Jawa tetapi musik tersebut untuk orang dewasa bukan lagu dolanan untuk anak-anak. Selain perlu diadakannya program khusus untuk tembang dolanan anak-anak, langkah untuk melestarikan kesenian tersebut adalah dengan diadakannya lomba yang khusus menyanyikan tembang dolanan berbahasa Jawa. Langkah selanjutnya adalah melalui sanggar seni dengan mengaplikasikan tembang dolanan anak-anak maupun dewasa, sehingga tembang dolanan tidak lagi dianggap sebagai tembang dolanan semata, tetapi merupakan seni sastra tradisi milik seluruh masyarakat. Kerjasama yang harmonis antara orang tua, lingkungan, pemerintah yang terkait akan mempunyai andil besar dalam upaya melestarikan seni budaya daerah yang merupakan sumber aset budaya nasional.

Gejala yang terjadi menunjukkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan tembang dolanan anak berbahasa Jawa kurang diminati generasi muda khususnya anak-anak. Meskipun dalam lirik tembang tersebut mengandung banyak nasihat, petuah, dan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Oleh sebab itu, peneliti tergerak untuk mengungkapkan fenomena yang terjadi pada saat ini. Data dalam tulisan ini diperoleh dari masyarakat tutur berbahasa Jawa yang masih mengenal tembang dolanan anak-anak.

2. Teori Pendidikan Budi Pekerti

Budi pekerti adalah watak dan perbuatan seseorang sebagai perwujudan hasil pemikiran. Budi pekerti itu merupakan sikap dan perilaku, (tingkah laku, solah bawa, muna-muni) yang dilandasi oleh olah dan kegiatan berfikir. Tentu saj proses berfikir yang sehat sehingga menghasilkan budi pekerti yang baik. manifestasi budi pekerti yang baik menurut Surya (1995: 5) disebut juga budi pekerti luhur. Budi pekerti memiliki peranan tertentu dalam kehidupan manusia, dinyatakan oleh Simuh (1995: 109) bahwa nilai-nilai budaya dan norma etik Jawa akan berhadga bagi proses keberlangsungan kehidupan. Winarni (1995:2) menyatakan batas budi pekerti identik dengan orang yang berbudi mulia dan utama atau bermoral. Mereka adalah orang yang terpuji. Hal ini diungkapkan oleh Darusuprapto dkk (1990:1) bahwa ajaran moral adalah ajaran yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti.

3. Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh, tembang dolanan berbahasa Jawa memiliki makna/nilai budi pekerti nilai religius, kebersamaan, kemandirian, kerendahan hati (tidak boleh sombong), dan instropeksi diri. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.

3.1 Tembang dolanan berbahasa Jawa yang mengandung nilai budi pekerti religius atau keagamaan

a. SLUKU-SLUKU BATOK

Sluku-sluku bathok

Bathoke ela-elo

sluku bathok

Bathoke ela-elo

Si Rama menyang Solo

Oleh-olehe payung motha

Mak jenthit lolo lobah

Wong mati ora obah

Nek obah medeni bocah

Nek urip goleka dhuwit.

Lirik tembang dolanan yang berjudul ‘Sluku-sluku Bathok’ tersebut apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

‘Ayun-ayun kepala’

‘Kepalanya geleng geleng’

‘Si bapak pergi ke Solo’

‘Oleh-olehnya payung mutha’

‘Secara tiba-tiba begerak

‘Orang mati tidak bergerak’

‘Kalau bergerak menakuti orang’

‘Kalau hidup carilah uang’

Makna yang tersirat dalam tembang dolanan “Sluku-sluku bathok” yaitu nilai religius. Dalam syair tersebut bermakna manusia hendaklah membersihkan batinnya dan senantiasa berzikir mengingat Allah dengan (ela-elo) menggelengkan kapala mengucapkan lafal laa illa ha illallah disaat susah maupun senang, di kala menerima musibah maupun kenikmatan, hidup mati manusia ditangan Allah, maka dari itu selagi masih hidup berbuat baiklah terhadap sesama, dan beribadah kepada Allah SWT karena Allah Maha segala-galanya, apabila sekali berkehendak mencabut nyawa seseorang, tak seorang pun mampu menolakkan.

b. Ilir-Ilir

Lir-ilir, lir-ilir

Tandure wus sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak sengguh temanten anyar

Cah angon, cah angon

Penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekno

Kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro, dodoiro

Kumitir bedah ing pinggir

Dondomono, jlumatono

Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo sorako, sorak iyo!!

Syair tembang dolanan Ilir-ilir tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

‘Bangunlah, bangunlah!’

‘Tanaman sudah bersemi’

‘Demikian menghijau’

‘Bagaikan pengantin baru’

‘Anak gembala, anak gembala’

‘Panjatlah (pohon) belimbing itu’!

‘Biar licin dan susah tetaplah kau panjat’

‘untuk membasuh pakaianmu’

‘Pakaianmu, pakaianmu’

‘terkoyak-koyak dibagian samping’

‘Jahitlah, Benahilah!’

‘untuk menghadap nanti sore’

‘Mumpung bulan bersinar terang’

‘Mumpung banyak waktu luang’

‘Bersoraklah dengan sorakan Iya!!’

Dalam syair tembang dolanan yang berjudul Ilir-ilir mengandung makna religius (keagamaan). Sedangkan maksud yang terkandung dalam tembang tersebut adalah kita sebagai umat manusia diminta bangun dari keterpurukan untuk lebih mempertebal iman dan berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Meminta Si anak gembala untuk memetikkan buah blimbing yang diibaratkan perintah salat lima waktu. Yang ditempuh dengan sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Meskipun ibarat pakaian kita terkoyak lubang sana sini, namun kita sebagai umat diharapkan untuk memperbaiki dan mempertebal iman dan taqwa agar kita siap memenuhi panggilan Ilahi robbi.

c. Padhang Bulan

Yo prakanca dolanan ing njaba

Padhang mbulan padhangé kaya rina

Rembulané kang ngawé-awé

Ngélikaké aja turu soré-soré

Syair dari tembang dolanan padang bulan apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi:

‘Ayo teman-teman bermain diluar’

‘Cahaya bulan yang terang benderang’

‘Rembulan yang seakan-akan melambaikan tangan’

‘Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur sore-sore’

Dalam tembang dolanan padang bulan mengandung makna religius (kagamaan). Maksud dari tembang dolanan tersebut adalah kita hendaknya bersyukur kepada yang Maha Kuasa untuk menikmati keindahan alam. Untuk menunjukkan rasa syukur itu kita diharapkan tidak tidur terlalu sore karena kita bisa melaksanakan ibadah di waktu malam.

3.2 Tembang dolanan berbahasa Jawa mengandung nilai budi pekerti. Hal itu dapat dilihat dalam data dibawah ini.

a. Jaranan

Jaranan- jaranan, jarane jaran teji

Sing numpak ndoro bei

sing ngiring para mentri

Jeg-jeg nong, jreg-jreg gung

Jeg-jeg gedebuk krincing

Gedebug jedher

Gedebug krincing

Jeg-jeg gedebuk jedher

Syair tembang dolanan yang berjudul ‘Jaranan’ ersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah:

berkuda, berkuda, kudanya teji (tinggi besar)

yang naik Tuan Bei yang mengiring para menteri

Jeg-jeg nong, jeg-jeg gung

Jeg-jeg gedebuk krincing

Gedebuk jedher

Gedebuk krincing

Gedebuk jedher

Jeg-jeg gedebuk jedher’

Tembang dolanan jaranan sebenarnya hanya terdiri atas empat larik, untuk larik berikutnya hanya diulang-ulang. Kalau dilihat dari syairnya terdapat beberapa makna budi pekerti yang tersirat dalam tembang tersebut, antara lain:

(1) Kebersamaan

Dalam syair sing numpak ndara Bei sing ngiring para menteri, di sana terdapat rasa kebersamaan antara atasan dan bawahan. Kebersamaan untuk saling membutuhkan, saling membantu, orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang berkedudukan lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Kedudukan yang tinggi tersebut diibaratkan ndara Bei yang membutuhkan pengawalan dari para menterinya yang dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah.

(2) Menghormati yang lebih tinggi kedudukannya

Budaya Jawa telah mengajarkan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Hal itu tampak pada syair sing numpak ndara Bei sing ngiring para menteri. Dalam syair tersebut ndara Bei dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari para menterinya, karena sebutan ndara Bei hanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan keturunan ningrat. Apalagi ditunjang dengan tunggangannya kuda yang tinggi besar yang harus diiringi oleh para menterinya. Oleh karena itu, tugas para menteri adalah mengawal ndara Bei tersebut. Dalam hal ini, jelaslah bahwa budi pekerti yang harus ditanamkan adalah sikap menghormati yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya.

3.3 Tembang dolanan berbahasa Jawa yang mengandung makna seperti yang terdapat pada uraian data dibawah ini.

a. MENTHOK-MENTHOK

Menthok-menthok tak kandhani

Mung solahmu angisin-isini

Bokya aja ndheprok

Ana kandhang wae

Enak-enak ngorok

Ora nyambut gawe

Methok-menthok

Mung lakumu megal-megol gawe guyu

Lirik tembang dolanan diatas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

‘Menthok-menthok saya nasehati’

‘Hanya perilakumu yang memalukan’

‘Jangan hanya diam dan duduk’

‘Di kandang saja’

‘Enak-enak mendengkur’

‘Tidak bekerja’

‘Menthok-menthok’

‘Hanya jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa’

Dalam lirik tembang dolanan ‘Menthok-menthok’ mengandung makna instropeksi diri. Sebagai umat manusia tidak boleh menyombongkan diri, karena sesungguhnya semua yang ada di dunia ini diciptakan Allah dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sebaiknya kita berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak malas, tidak suka tidur (karena orang suka tidur badannya akan lemas, otot kaku, mudah terkena penyakit, rezekinya tidak lancar dsb) , dan selalu berbuat baik terhadap sesama. Dalam syair tembang dolanan tersebut yang diibaratkan menthok, meskipun dia itu pemalas, bersifat jahat, dan suka tidur, tetapi dia masih mempunyai sifat baik dan berguna baik orang lain yaitu menghibur dan membuat orang lain tertawa.

b. GUNDUL-GUNDUL PACUL

Gundul-gundul pacul..cul, gemelelengan

Nyunggi-nyunggi wakul...kul, gemelelengan

Wakul ngglimpang, segane dadi sakratan

Wakul ngglimpang, segane dadi sakratan

Syair tembang dolanan Gundul-gundul Pacul apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

‘Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul , besar kepala (sombong, angkuh)’

‘Membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong, angkuh)’

‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat lagi’

Dari syair tembang dolanan Gundul-gundul Pacul menggambarkan seorang anak yang gundul, nakal, bandel, angkuh, dan tidak bertanggung jawab. Dia tidak dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Dia beranggapan bahwa dirinya orang yang paling benar, paling bisa, dan paling pintar, sehingga dia bersikap gembelelengan, sombong, dan tak tahu diri. Apabila dipercaya untuk memegang amanah yang menyangkut kehidupan orang banyak, dia tetap bersikap tidak peduli. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil akhirnya menjadi hancur berantakan. Dari syair tembang tersebut mengandung makna tidak boleh sombong, dalam hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan ceroboh akan membawa kehancuran dan kegagalan, maka dari itu jika engkau menjadi seorang pemimpin yang diberi amanah dan tanggung jawab hendaknya peganglah dan jalankan amanah itu sebaik-baiknya agar membawa kesejahteraan dan keadilan sesuai harapan rakyat yang dipimpinnya.

c. DHONDHONG APA SALAK

Dhondhong apa salak

Dhuku cilik-cilik

Andhong apa mbecak

Mlaku dimik-dimik

Syair tembang ‘Dhondhong apa Salak’ apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah

‘Dhondhong apa salak’

‘Dhuku kecil-kecil’

‘Naik delman apa naik becak’

‘Jalan pelan-pelan’

Dalam syair tembang dolanan ini kita dihadapkan pada dua pilihan. Ibarat buah kedondong yang bagian luarnya halus tetapi bagian dalamnya kasar dan tajam, dan sebaliknya buah salak yang bagian luarnya kasar ternyata bagian dalamnya halus. Di sini kita dihadapkan pada dua karakter, Lebih baik kita berbuat yang baik secara lahir maupun batin seperti buah duku, daripada kita berbuat yang dari luar kelihatan bagus tetapi di dalamnya kasar dan tajam seperti buah kedondon. Demikian sebaliknya, lebih baik kita berbuat terlihat kasar dari luar tetapi dalamnya halus seperti buah salak. Berbuatlah sesuatu yang baik dan tidak menyakitkan, baik itu secara lahir maupun batin. Sedangkan syair andhong apa mbecak, mlaku dimik-dimik mempunyai maksud memilih salah satu makna yang dimaksud dalam syair tersebut . Andong adalah sebuah kendaraan angkutan yang menggunakan tenaga hewan sebagai penariknya, sedangkan becak adalah kendaraan angkut yang memanfaatkan tenaga manusia sebagai pendorongnya. Dalam syair ini terdapat nilai budi pekerti kemandirian, kita tidak boleh menyusahkan orang lain atau makhluk lain, kita harus hidup mandiri, berjalan di atas kaki sendiri meskipun pelan-pelan dan tertatih-tatih.

4. Penutup

Dari analisis data yang diperoleh, tembang dolanan berbahasa Jawa mempunyai makna/nilai budi pekerti yang patut yang harus diajarkan pada generasi muda khususnya anak-anak. Beberapa nilai budi pekerti tersebut antara lain nilai religius, kebersamaan, kemandirian, tidak boleh sombong, dan instropeksi diri. Tembang dolanan berbahasa Jawa yang mengandung nilai budi pekerti religius atau keagamaan terdapat pada tembang sluku-sluku bathok, ilir-ilir, dan padhang mbulan. Tembang dolanan berbahasa Jawa jaranan mengandung nilai budi pekerti kebersamaan dan menghormati kepada yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.

Tembang dolanan berbahasa Jawa yang mengandung berbagai macam makna atau nilai budi pekerti antara lain: menthok-menthok mengandung makna budi pekerti kita tidak boleh sombong dan selalu berbuat baik terhadap sesama, gundul-gundul pacul mengandung makna kesombongan akan membawa petaka, dan dhondong apa salak mengandung nilai kemandirian bahwa manusia hidup harus hidup mandiri tidak boleh menyusahkan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Djaka Lodang, 5 Agustus 1989, GBHN 1993. Surakarta PT Pabelan.
Suwarna & Suwardi. 1996. Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dalam buku Teks ‘Tataran Wulang Basa Jawa kanggo SD. Laporan Penelitian.Yogyakarta: Lemlit,IKIP
Read more: http://setyawara.webnode.com/news/tembang-dolanan/diunduh pada tanggal 21 Oktober 2011
Dr. Suharko Kasaran, (Ketua Komisi Nasional Budi Pekerti) (wawancara Buletin Siang RCTI,11 Mei 1999).
Widyatmanta, Siman. (2002), Berbahasa Jawa : Untuk Pelayanan Gerejawi dan Masyarakat, Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen

Rabu, 26 September 2012

MAKNA SEMAR DALAM TRADISI MELAYU BETAWI



Bani Sudardi

Semiotic approach shows that actually Hikayat Agung Sakti is an icon (the description in broad sense) of leather puppet show. Semar is an index (something indicated its existence) of God power. This article tries to show that inside of simple, old, and valueless servant, there is a hidden high god power to guard the justice. The implication of it is to ask the authorities or kings to do justice rightfully to their servants or people if they want their long power. Indeed, people supports the power or the owner of power and authority. Without supporting people, the power is nothing. Semar also means that spiritual dimension (soul) is more valuable than bodily one. The Semar’s soul a glory and sacred power, although bodily Semar is just a servant. It teaches us not to see just physically, but more on the soul goodness to bring us to the truth-value. In Melayu-Betawi society, Semar is a culture hero.


1. Pendahuluan

Hikayat Agung Sakti merupakan karya sastra berbahasa Melayu yang secara nyata menokohkan Semar. Hikayat ini merupakan bentuk cerita sempalan, yakni cerita yang berdiri sendiri, hanya tokoh dan karakternya saja yang diambil dari lakon pokok (Arjunawiwaha, Bharatayuddha, dan sebagainya) (Holt, 1967:138).

Sampai saat ini, tokoh Semar masih dikenal di masyarakat Melayu-Betawi yang masih memiliki tradisi wayang kulit Betawi. Lakon-lakon tentang Semar pun beragam. Pada tahun 1989, dalam penelitiannya tentang sejarah wayang, Mutholib dkk. (1989) menemukan beberapa lakon tentang Semar yang masih digemari, yaitu

(1) Lakon Babad Alas Semar yang menceritakan Semar membangun negeri Amarta;

(2) Lakon Lahirnya Semar yang menceritakan kemunculan Semar sebagai dewa asli Ismaya;

(3) Lakon Semar Kawin yang menceritakan perkawinan Semar dengan Dewi Kanestren;

(4) Lakon Semar Kembar yang menceritakan para dewa menguji Pandawa dengan memunculkan dua Semar;

(5) Lakon Semar Potong Runcum yang menceritakan Semar marah besar karena Arjuna dan Sumbadra meminta Semar memotong runcum atau kuncung, yakni rambut di atas dahi (lihat Mutholib, 1989:19-23).

Uraian di atas menunjukkan bahwa Semar di dalam budaya Melayu-Betawi memiliki makna yang beragam. Tokoh Semar juga muncul sesuai dengan dinamika zaman dewasa ini. Semar merupakan tokoh yang menandai sesuatu. Karena itu, aspek tanda dan makna Semar perlu diungkapkan.



2. Pendekatan

Hikayat Agung Sakti merupakan hikayat yang menampilkan tokoh Semar tersebut dengan berbagai aspek maknanya. Karena permasalahan tersebut berkaitan dengan ketandaan, maka salah satu pendekatan yang dirasa cocok untuk mengkaji tanda Semar tersebut ialah pendekatan semiotik karena semiotik merupakan teori tentang kode-kode dan teori tentang produksi tanda-tanda (Eco, 1979:3).

Pendekatan semiotik dipilih karena dengan pendekatan semiotik, maka sistem komunikasi dan signifikasi dapat dipahami. Hikayat Agung Sakti sebagai produk kebudayaan adalah suatu unit semantik yang dapat diketahui maknanya dengan melalui kajian semiotik (Eco, 1979:27).

Semar yang bersumber padai wayang Jawa ternyata diterima masyarakat Melayu, khususnya Melayu-Betawi dan ditransformasi dalam karya sastra dan pementasan wayang. Hal ini merupakan proses resepsi. Selama ini pembicaraan tentang tokoh Semar selalu diikaitkan dengan budaya Jawa. Sebagai contoh, kajian tentang Semar yang dilakukan oleh Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul Apa Siapa Semar (1978). Dalam buku ini, Sri Mulyono menguraikan peran Semar, khususnya dalam tradisi Jawa. Dalam hal ini diuraikan peran Semar dalam teks Sudamala, makna Semar dari berbagai segi kehidupan (agama, filsafat, kebudayaan, mitologi, dan sebagainya), tetapi dalam ia sama sekali belum disinggung tentang peran Semar dalam wayang Melayu.



3. Hikayat Agung Sakti

Hikayat Agung Sakti disebutkan dalam beberapa hikayat sewaan milik Muhammad Baqir. Hikayat ini disebutkan di dalam Hikayat Maharaja Garebag Jagat sebagai salah satu naskah yang disewakan oleh Muhammad Baqir bin Sofyan bin Usman Fadli yang tinggal di Kampung Pacenongan, Langgar Tinggi. Disebutkan bahwa Hikayat Agung Sakti sebagai hikayat yang menceritakan “Semar Perang di Suralaya” (Sunardjo, 1989:21).

Dalam Syair Cerita Pandawa disebutkan bahwa salah satu naskah yang disewakan ialah Hikayat Agung Sakti , dengan tambahan keterangan “Semar punya gigi perang di Suralaya” (Gunawan, 1998:70).



Naskah Hikayat Agung Sakti yang selama ini berhasil ditemukan mula-mula dicatat dalam katalog Ronkel (1909:32) yang kemudian diikuti oleh katalog susunan Sutaarga dkk. (1972:16-17). Selama ini, Hikayat Agung Sakti dikenal sebagai naskah tunggal dan disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Beberapa katalog naskah Melayu tidak mencantumkan naskah Hikayat Agung Sakti di tempat lain (Howard, 1966, Juynboll, 1899, Ricklefs dan Voorhoeve, 1977, dan Ronkel, 1921). Hikayat ini merupakan jenis naskah otograf (ditulis langsung oleh pengarangnya).

Beberapa ahli pernah meneliti hikayat ini. Hikayat Agung Sakti secara selintas pernah disebut oleh Ikram (1975:15) sebagai hikayat yang menceritakan “Semar dan Sakutarama (?), mengalahkan Agung Sakti yang mengganggu ketentraman dunia dan dewa-dewa”. Keterangan Ikram bertentangan dengan gambaran dalam teks Hikayat Agung Sakti yang menggambar-kan Agung Sakti yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun dan Agung Sakti itu sendiri adalah jelmaan gigi Semar. Pada waktu itu Semar tertidur dan ketika Semar bangun, gigi Semar yang menjelma sebagai Agung Sakti kembali ke mulut Semar tanpa diketahui siapa pun. Setelah peristiwa ini, dalam naskah digambarkan gunungan sebagai penutup cerita. Namun, setelah gambar gunungan cerita masih dilanjutkan dengan cerita tentang anak-anak Semar yang bergembira bertemu dengan bapaknya. Mereka lalu memasak daging ayam curian.

Adegan jenaka di akhir cerita ini dalam cerita wayang dikenal dengan nama adegan gara-gara atau keluarnya panakawan yang biasanya terjadi di tengah-tengah alur. Namun, adegan ini di dalam wayang Betawi ternyata diletakkan di alur paling belakang. Teks ditutup dengan daftar 30 hikayat yang disewakan oleh Muhammad Baqir bin Usman Fadli dari Kampung Pacenongan, Langgar Tinggi (Hikayat Agung Sakti , Ml.260, hlm. 134-138).

Hikayat Agung Sakti adalah karya sastra dari abad ke-19 yang ditulis di Jakarta. Masalah jaringan pengarang menjadi pokok pembicaraan Chambert-Loir tentang Sastra Melayu abad ke-19, khususnya di Jakarta. Ia membicarakan tentang anak cucu Usman bin Fadli yang mengarang dan menyewakan karya sastra di daerah Pacenongan, Jakarta. Salah satu di antara cucu Usman bin Fadli adalah Muhammad Baqir yang mengarang Hikayat Agung Sakti ini. Muhamad Baqir aktif menulis tahun 1884 -1898. Di antara sekitar 76 judul dari keluarga Usman Fadli ini, setidaknya 25 buah dari Muhammad Baqir. Jenis sastra yang sangat populer pada masa itu ialah sastra wayang (Chambert-Loir, 1991:87-113).



4.. Makna Tanda-tanda Tekstual

Hikayat Agung Sakti menyajikan serangkaian tanda-tanda tekstual yang memiliki arti. Namun, arti tersebut di dalam karya sastra memiliki makna yang berkaitan dengan struktur karya sastra itu sendiri dan pandangan masyarakat pemiliknya. Makna-makna tanda-tanda tekstual tersebut diperoleh melalui dua tahap, yakni: (1) makna kebahasaan dan (2) makna sastra.



4.1. Trasnformasi Semar

Makna kebahasaan diperoleh melalui pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan. Pembacaan pada tingkat ini tidak menyinggung konvensi-konvensi di luar teks. Hasil pembacaan heuristik ini dapat dilihat dalam bentuk parafrase pada pengkajian struktur naratif berupa urutan tekstual.

Makna yang diperoleh melalui pembacaan heuristik adalah makna denotatif (lihat Pradopo, 2001:102). Makna denotatif merupakan makna pada sistem semiotik tingkat pertama. Makna tersebut bersifat lugas dan tidak dihubungkan dengan konvens-konvensi sosial budaya. Sebagai misal, kata “keris” hanya bermakna sebagai senjata dari besi pipih, tidak diberi makna sebagai kekuasaan, legitimasi, dan sebagainya. Dalam makalah ini makna kebahasaan tidak dibicarakan.

Semar yang bersumber pada wayang Jawa ternyata diterima masyarakat Melayu, khususnya Melayu-Betawi dan ditransformasi dalam karya sastra dan pementasan wayang. Hal ini merupakan proses resepsi. Karena itu, diterimanya Semar dalam sastra Melayu juga merupakan suatu fenomena yang perlu diteliti. Selama ini pembicaraan tentang tokoh Semar selalu diikaitkan dengan budaya Jawa. Sebagai contoh, kajian tentang Semar yang dilakukan oleh Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul Apa Siapa Semar (1978). Dalam buku ini, Sri Mulyono menguraikan peran Semar, khususnya dalam tradisi Jawa. Dalam hal ini diuraikan peran Semar dalam teks Sudamala, makna Semar dari berbagai segi kehidupan (agama, filsafat, kebudayaan, mitologi, dan sebagainya), tetapi dalam ia sama sekali belum disinggung tentang peran Semar dalam wayang Melayu.

Di dalam sastra Indonesia modern, yang dapat dikatakan sebagai kelanjutan sastra Melayu klasik, ternyata juga masih ditemukan transformasi tokoh Semar tersebut. Dalam penelitiannya tentang transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia ditemukan oleh Nurgiyanto (1998) munculnya tokoh Semar dalam novel Perang karya Putu Wijaya. Dalam novel ini digambarkan Semar bersifat pintar, berbakti kepada Pandawa, tetapi kadang-kadang ia berubah menjadi pemabuk, suka marah, suka kawin, perayu wanita, dan kemudian kembali ke karakter semula (Nurgiyanto, 1998:93). Dalam cerpen “Wawancara dengan Rahwana” karya Yudhistira ANM Massardi digambarkan Semar wawancara dengan Marilyn Monroe. (Nurgiyanto, 1998:315). Penelitian di atas menunjukkan adanya transformasi tokoh Semar ke dalam sastra Indonesia modern. Hal tersebut merupakan kelanjutan dari transformasi yang telah terjadi dalam sastra Melayu klasik.

Hikayat Agung Sakti adalah salah satu bentuk aktualisasi masuknya tokoh Semar dalam sastra Melayu klasik. Hikayat Agung Sakti adalah salah satu hikayat yang secara nyata menampilkan tokoh Semar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi wayang Jawa ke dunia cipta sastra Melayu perlu dikaji. Pengkajian ini memperlukan pemahaman sosial budaya masyarakat pemilikinya (Melayu-Betawi) karena Hikayat Agung Sakti sebagai bentuk seni merupakan suatu produk sosial. Karya seni merupakan hasil dari suatu peristiwa historis khusus dari suatu bagian kelompok sosial yang teridentifikasi dalam suatu kondisi tertentu. Karena itu, karya seni memiliki gambaran ide, nilai, dan kondisi dari eksistensi kelompok masyarakat tersebut dan representasinya pada seniman tertentu (Wolff, 1981:49). Dalam hal ini, Hikayat Agung Sakti harus dipahami sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Melayu-Betawi pinggiran pada abad ke-19 ketika hikayat tersebut muncul dan dibaca masyarakat pemiliknya.





4. 2. Makna Hikayat Agung Sakti

Makna karya sastra diperoleh melalui pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Untuk itu, harus dikenal secara mendalam sistem tanda yang merupakan konvensi sastra di luar teks (Pradopo, 2001:102).

Secara keseluruhan, teks Hikayat Agung Sakti merupakan ikon suatu pementasan wayang yang mengambil lakon Agung Sakti. Lakon itu sendiri, secara keseluruhan menampilkan ikon Semar, baik secara lahir yang berwujud sebagai hamba dan sangat patuh pada tuannya maupun secara batin bahwa ia adalah seorang batara yang “agung dan sakti” yang mampu untuk secara tersembunyi memberi pelajaran kepada Batara Guru yang telah mengaku paling berkuasa. Karena itu, Agung Sakti adalah simbol kepanjangan tangan Tuhan untuk mengingatkan mereka yang melakukan kesalahan.

Beberapa indikasi yang menunjukkan Hikayat Agung Sakti sebagai ikon suatu pementasan wayang setidaknya ada 2, yaitu:

(1) pada pembukaan disebutkan bahwa hikayat tersebut berisi lalakon wayang;

(2) nama tempat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya adalah nama-nama yang lazim ditemukan dalam cerita wayang (seperi Suralaya, Batara Guru, Narada, Pandawa, Rajuna, Semar, Sumbadra, Gatotkaca, Sakutram, dan lain-lain);

(3) pada halaman 134 ketika berakhir episode Agung Sakti, maka disisipkan secara visual gambar gunungan yang merupakan unsur yang dipakai dalam suatu pementasan wayang kulit purwa.

Dengan demikian, Hikayat Agung Sakti adalah suatu ikon pementasan wayang dengan lakon Agung Sakti yang menceritakan Semar yang sedang memberi pelajaran kepada Batara Guru akibat kesombongannya. Tindakan Semar tersebut dilakukan dengan cara menyamar yang dilakukan oleh giginya, sementara jasad Semar tertidur di Pandawa.



4.3. Makna Unsur-unsur Hikayat Agung Sakti

Hubungan antara teks sastra dengan realitas merupakan hubungan yang bersifat simbolis. Hubungan tersebut terbentuk berdasarkan konvensi. Namun, wayang sebagai suatu teks kadang-kadang dianggap sebagai gambaran dari dunia. Dengan kata lain, wayang adalah simbol dari gambaran makrokosmos.

Bila dihubungkan dengan unsur-unsur di luar teks, maka terdapat kesejajaran antara unsur-unsur luar teks dengan unsur-unsur di dalam teks sehingga peneliti menduga bahwa Hikayat Agung Sakti pada hakikatnya adalah suatu simbol dari realitas. Pembacaan hermeneutik mendapatkan unsur-unsur yang membangun Hikayat Agung Sakti sebagai berikut.

a. Unsur Batara Guru sebagai Simbol Belanda

Pokok masalah Hikayat Agung Sakti bermula ketika Batara Guru mengaku paling berkuasa. Namun, hal tersebut segera dibantah oleh Bagawan Narada dengan menyatakan bahwa meskipun Batara Guru berkuasa, ia bukanlah yang pertama. Unsur-unsur semiotik pembangun Batara Guru yang menjadikan cerita berjalan dapat dibuat skema sebagai berikut.
Penguasa Suralaya
Mengaku paling berkuasa
Batara Guru Penakut
Bukan yang pertama
Sukar dinasihati



Bagan-10 Unit Semiotik pembangun Batara Guru

Bila dihubungkan dengan realitas pada waktu hikayat tersebut ditulis, maka unsur-unsur tersebut merupakan unit makna yang menghubungkan Batara Guru dengan Belanda karena Belanda pun saat itu adalah unsur yang paling berkuasa di Batavia. Namun, lewat Hikayat Agung Sakti pengarang mencoba memberikan kritik bahwa meskipun Belanda sebagai unsur yang paling berkuasa, tetapi Belanda tidaklah yang pertama-tama ada di Batavia. Pengarang menyatakan bahwa ada yang lebih berkuasa daripada Batara Guru. Sifat berkuasa tersebut kemudian dilambangkan dengan wujud penjelmaan Batara Guru sebagai Raksasa Geringsang Jagat yang dapat diartikan sebagai ‘raksasa jagat yang sakit (gering’). Batara Guru adalah seorang raja dewa, tetapi dalam penggambarannya kelihatan sebagai tokoh penakut. Hal ini sesuai dengan keadaan Belanda yang selalu ketakutan dan lebih banyak di dalam beteng pertahanannya dan dalam hal kekuatan yang banyak dipakai sebagai prajurit adalah orang-orang pribumi. Dari uraian di atas tampak bahwa Hikayat Agung Sakti mengandung unsur-unsur terselubung memberikan kritik kepada Belanda secara simbolis. Hanya saja tidak diketahui secara pasti apakah pesan tersebut disengaja oleh pengarangnya dan sampai kepada Belanda ataukah tidak.

Karena Belanda pada saat itu tetap sebagai penguasa, maka Batara Guru, sebagai simbol dari Belanda, meskipun dalam keadaan salah, negatif, tetapi tetap didudukkan sebagai Batara yang terhormat yang akan menolong Pandawa bila Pandawa mengalami kesulitan karena nenek moyang Pandawa (Sakutram) pernah menolong Batara Guru. Hal ini adalah suatu simbol bahwa penguasa-penguasa pribumi dalam menegakkan kekuasaannya dapat tegak karena didukung Belanda. Hal ini tentu berkaitan dengan kondisi zaman itu.



b. Gambaran Dunia

Bila Batara Guru digambarkan sebagai Belanda, maka gambaran Suralaya tidak lain merupakan simbol dari kehidupan Belanda yang jauh dari masyarakat waktu itu, yang rapat, tertutup, dan mewah. Hal tersebut digambarkan sebagai Suralaya.

Suralaya ini mempunyai oposisi dengan marcapada yang dihuni oleh manusia, termasuk Semar. Marcapada adalah gambaran kehidupan luar beteng Belanda. Gambaran Batara Guru yang di dalam Suralaya tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri adalah gambaran Belanda juga yang dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada penguasa pribumi, orang marcapada, yang taat pada Belanda. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan yang nyata. Hanya saja, penduduk pribumi pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda melalui para penguasanya.

Dengan demikian, terjadilah suatu pergeseran dari cerita wayang menuju ke perang besar Bharatayuddha menjadi cerita simbolis kontemporer. Unsur asli cerita wayang yang mencapai titik klimaks pada perang Bharatayuddha sama sekali tidak disinggung.



c. Semar sebagai Aktualisasi Kekuatan Tersembunyi



Munculnya Agung Sakti yang merupakan penjelmaan gigi Semar merupakan salah satu bentuk aktualisasi kekuatan tersembunyi tersebut. Menurut kepercayaan di Nusantara, gigi dianggap memiliki kekuatan gaib dan kekuatan nyata. Sampai saat ini di dalam bahasa Indonesia masih ditemukan ungkapan “unjuk gigi” (Alwi, 2001:1248) yang berarti menunjukkan kekuatan. Sebagai kekuatan, gigi merupakan bagian dari tubuh manusia yang tersembunyi di dalam rongga mulut. Dengan demikian, pemilihan Agung Sakti sebagai penjelmaan gigi Semar bukan merupakan suatu kebetulan, melainkan merupakan bagian dari sistem tanda dalam kebudayaan Melayu-Betawi.

Aspek kekuatan tersembunyi tersebut secara struktural ditandai dengan tiga tanda sebagai berikut.

Tanda pertama dinyatakan dengan nama “Agung Sakti” yang mempunyai makna bahwa pemilik tersebut mempunyai keagungan dan kesaktian yang tidak lain merupakan kristalisasi dari unsur kekuatan. Agung Sakti adalah tokoh yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi kekuatannya tidak ada yang mampu menandinginya.
Tanda kedua dinyatakan dengan plot sorot balik. Plot sorot balik menjadikan tokoh Agung Sakti sampai dengan menjelang akhir cerita tidak dikenali identitasnya. Secara struktural, sampai akhir cerita, tokoh-tokoh lain dalam hikayat tersebut tidak mengenal Agung Sakti yang sebenarnya.
Tanda ketiga dinyatakan dalam bentuk penjelmaan yang bertingkat-tingkat dengan ciri adanya unsur “agung”. Agung Sakti sebenarnya merupakan penjelmaan dari gigi Semar. Namun, sebagai penjelmaan, Agung Sakti masih melakukan serangkaian penjelmaan dirinya sebagai Agung Pertapa, Agung Segara, Agung Buana, Agung Mengembara, dan Agung Negara.

Meskipun gigi Semar mengaktualisasikan kekuatan tersembunyi tersebut, tetapi Semar bukanlah pemilik kekuatan itu sendiri. Semar hanyalah kepanjangan tangan dari Yang Maha Kuasa. Hal tersebut dinyatakan oleh Agung Buana (penjelmaan gigi Semar) kepada Batara Guru seperti kutipan berikut.

Maka sahut raja dan pati: “Baiklah aku turut mana perminta`anmu itu/. Hartakah kamu kehendaki? Butu mas intankah kamu berhajat itu? Atawa kamu/ hendak berhajat minta` aku sembah padamu? Nanti aku turuti! Marilah/ katakan!” Maka kata Agung Buana: “Tiadalah yang demikian itu Tuanku karena/ hamba tiada berkehendak mas, dan intan, dan mata benda. Tiada perguna`an kepada /hamba dan hamba tiada berchajat minta` disemba karena yang lebi kuasah itu/ pada patutlah kita sembah karena hamba pun masi di bawa perinta` dan masi/ menjadi hamba dan hamba pun tiada bermaksud minta` dipuji”. (Hikayat Agung Sakti, Ml. 260:72).

Di samping itu, kedudukan Semar adalah sebagai hamba Pandawa. Secara struktural, para tokoh dalam Hikayat Agung Sakti sama sekali tidak mengetahui bahwa yang membuat gara-gara di Suralaya adalah hamba Pandawa tersebut. Hal ini makin menyempurnakan konsep “kekuatan tersembunyi” tersebut.

Jadi, Semar dapat dikatakan sebagai indeks perbuatan Yang Maha Kuasa yang nyata, tetapi ia bukanlah yang Maha Kuasa itu sendiri. Semar adalah indeks dari Yang Maha Kuasa.



d. Semar sebagai Culture Hero

Di dalam suatu kelompok masyarakat sering ditemukan tokoh-tokoh culture hero (pembawa kebudayaan) yang merintis atau memperkenalkan kebudayaan baru kepada masyarakat tersebut. Cerita tentang culture hero tersebut seringkali diwujudkan dalam bentuk mite (Danandjaja, 1986:52). Culture hero menurut pandangan ilmu antropologi adalah tokoh yang menjadi penyebab segala adat istiadat dan kepandaian manusia. Soderblom menyebut tokoh ini sebagai Urheber. Tokoh ini mempunyai watak dualistik, yakni dapat membawa kebaikan, tetapi juga dapat membawa bencana (Koentjaraningrat, 1987:79).

Namun, kehadiran hero tersebut di masyarakatnya akan diterima dengan berbagai sikap. Kadang-kadang hero tersebut dimuliakan, kadang-kadang tidak dikenal atau bahkan direndahkan. Hero hadir ketika dirinya atau dunia mengalami suatu kegoncangan simbolik (Cambell, 1956:37). Hero culture dapat dibagi menjadi dua, yakni (1) local hero/ tribal hero, yaitu hero yang berkahnya hanya meliputi suku tertentu seperti Huang Ti (Cina), Tezcatlipoca (Aztec) dan (2) universal hero, yaitu hero yang berkahnya meliputi seluruh dunia seperti Muhammad, Yesus, Musa, dan Buddha (Campbell, 1956:38).



Hikayat Agung Sakti memiliki pola separation-initiation-return. Hal ini ditunjukkan dengan tidurnya Semar yang kemudian mengalami petualangan misterius sebagai mimpinya. Sekembalinya petualangan tersebut, Semar telah membawa berkah berupa kemahiran membuat senjata serta munculnya suasah (besi kuning) yang dipercaya menjadi bahan pelapis senjata (pamor) yang paling baik. Petualangan Semar juga memberi jaminan kepada Pandawa bahwa mereka akan mendapat bantuan para batara kelak. Petualangan itu juga menjadikan nenek moyang Pandawa yang bernama Sakutram diangkat dari siksa serta didudukkan menjadi bagawan.

Cerita tentang Semar dapat disebut sebagai local hero karena berkah yang dibawa Semar hanya diperuntukkan kelompok masyarakat tertentu saja, dalam hal ini Pandawa yang merupakan simbol dari masyarakat pemilik cerita ini.

Hikayat Agung Sakti adalah suatu hikayat yang berasal dari masyarakat urban yang memiliki nenek moyang prajurit. Hal ini tampak dari pokok masalah yang menjadi hasil dari petualangan tersebut yang berupa senjata dan kesaktian. Petualangan Semar sebagai Agung Sakti dalam keduduk-kannya sebagai culture hero ditunjukkan dengan penyamaran-penyamaran misterius sebagai tabel berikut.


Agung Sakti Agung Sakti adalah seorang batara yang sakti sebagai penjelmaan gigi Semar.
Agung Dukat Petualangan Semar ke dasar bumi menemukan patung pujaan yang kemudian dihidupkan dan diberi nama Agung Dukat. Dukat mempunyai makna sebagai uang mas atau perak (Alwi, 2001:278). Kemunculan Agung Dukat menjadi penting karena dari Agung Dukat ini nanti terbentuknya suasah atau besi kuning yang menjadi pamor senjata yang paling ampuh.Bagian ini dengan jelas menunjukkan bahwa culture hero tersebut erat kaitannya dengan keprajuritan tradisionil yang menggunakan senjata-senjata dari besi yang menggu-nakan pamor untuk melapisnya. Hal ini menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi pada mulanya adalah para prajurit yang memperhatikan kesaktian suatu senjata berdasarkan pamornya. Hal ini dapat dimengerti bila diperhatikan asal-usul masyarakat Melayu-Betawi yang sebagian adalah sisa-sisa prajurit Mataram yang dikalahkan Belanda.
Agung Pertapa Tokoh-tokoh utama dalam naratif tradisionil bisanya mendahului dengan bertapa sebelum mereka mengerjakan sesuatu. Nama Agung Pertapa menunjukkan bahwa Agung Sakti mempunyai keunggulan dalam bertapa yang kepertapaannya tentu melebihi Batara Guru dan Narada.
Agung Segara Laut merupakan bagian penting dari sejarah masa lalu masyarakat Melayu-Betawi. Hal ini digambarkan dengan tokoh yang bernama Agung Segara yang diceritakan mampu menciptakan laut dan melenyapkan laut. Tindakan culture hero ini merupakan simbol dari penguasaan laut.
Agung Buana Di samping menguasai laut, keagungan juga ditunjukkan dengan menguasai dunia. Hal ini digambarkan dengan munculnya tokoh bernama Agung Buana. Yang menarik bahwa wujud Agung Buana ini adalah berupa Hanoman (kera putih). Munculnya tokoh ini memiliki hubungan intertekstualitas dengan cerita-cerita dari Ramayana. Munculnya tokoh yang seharusnya menguasai dunia, namun ternyata digambarkan sebagai kera menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi ini belum sepenuhnya dapat menguasai dunia (buana).
Agung Mengembara Mengembara merupakan bagian dari inisiasi. Dalam petualangannya, Agung Sakti mengambil nama Agung Me-ngembara yang memberi obat secara gratis kepada para dewa yang sakit. Mengembara yang demikian di dalam tradisi Jawa sering disebut tapa ngrame (bertapa di masyarakat). Hal ini memiliki makna bahwa figur seorang culture hero adalah tokoh yang mampu menolong masyarakat yang memerlu-kannya. Jadi, Hikayat Agung Sakti juga menawarkan konsep-konsep ideal mengenai seorang culture hero.
Agung Negara Bukti bahwa culture hero Melayu-Betawi berasal dari kalangan prajurit tampak dari petualangan Agung Sakti sebagai Agung Negara. Tokoh inilah yang mengajarkan pembuatan senjata dan cara berperang.



Agung Negara sebagai penjelmaan Agung Sakti telah mengajarkan ilmu-ilmu yang sebelumnya tidak diketahui oleh para batara. Ilmu-ilmu tersebut kemudian digunakan oleh para batara untuk melawan Agung Sakti dan berkat ilmu yang diajarkan tersebut peperangan mereka menjadi seimbang. Perhatikan kutipan berikut.

“Sebermula tersebutlah perangnya Agung Negara itu dengan/ beberapa batara-batara terlalu amat ramainya karena sebab batara-batara dapat menahan lama/ berperang pada Agung Negara. Itulah yang diceriterakan sebab Agung Negara juga/ yang suda mengajarkan padanya beberapa kesaktian dan beberapa ‘ilmu peperangan/ sebab kalau ia tiada mengajarkan tentu perang pun tiada ada yang tahan/ padanya lagi”. (Hikayat Agung Sakti, Ml. 260:112).

Agung Negara yang telah mengajarkan ilmu perang menjadikan para batara mampu melawan Agung Sakti dengan baik atau seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu perang sebagai salah satu bentuk kebudayaan baru saja diajarkan oleh Agung Negara. Agung Negara tidak lain adalah halus (roh) Semar yang menyamar.

Wujud Agung Negara adalah sebagai Kamajaya, seorang Batara yang terkenal katampanannya yang mirip dengan Arjuna. Hal ini menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi ini sebenarnya dipinjam dari konsep Jawa tentang satria-pertapa sebagai Arjuna yang di Jawa digambarkan sebagai satria dengan badan kecil kurus dan gerakan yang lamban. Konsep negara yang diajukan oleh culture hero di sini adalah konsep negara yang didukung oleh prajurit yang tangguh.

5. Penutup.

Jadi, Hikayat Agung Sakti adalah suatu hikayat yang merupakan reaktualisasi culture hero masyarakat Melayu-Betawi melalui tokoh Semar yang merupakan simbol dari tokoh yang memiliki kemampuan berperang.

Hikayat Agung Sakti berusaha menunjukkan bahwa di dalam diri hamba yang tampak lugu, tua, dan tidak berharga sebenarnya terkandung kekuatan ilahiah yang tersembunyi yang mampu menegakkan keadilan. Implikasi dari pesan ini adalah menuntut para penguasa/ raja untuk berbuat adil kepada hamba-hambanya (rakyat) bila menginginkan kekuasaannya abadi. Pendukung kekuasaan adalah pada hamba, bahkan sebenarnya hambalah yang membangun kekuatan dan kekuasaan tersebut. Tanpa hamba, kekuasaan tidak akan berarti apa-apa.

Semar juga dapat bermakna bahwa aspek batin (roh) mempunyai nilai dan kekuatan yang lebih tinggi daripada aspek lahir. Batin Semar digambarkan memiliki kekuatan yang “agung dan sakti”, meskipun lahir Semar hanyalah seorang hamba. Makna ini mengajarkan manusia untuk tidak melihat pada wujud fisik belaka, tetapi lebih baik memperhatikan pada kebaikan rohaninya yang membawa nilai kebenaran.

Semar adalah culture hero masyarakat Melayu-Betawi yang konsepnya telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Melayu-Betawi itu sendiri. Demikian makna yang dapat ditangkap dari tokoh Semar tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, Dendy Sugono, Sri Sukesi Adiwimarta (ed.) . 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

Chambert-Loir, Henri. 1991. “Malay Literature in the 19th Century: The Fadli Connection”. dalam J.J. Ras and S.O. Robson (ed.) Variation, Transformation and Meaning. Leiden: KITLV Press.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafitipers.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Gunawan, Teguh. 1998. “Syair Cerita Pandawa : Sebuah Suntingan Teks”. Karya Tulis Fak. Sastra UNS Surakarta.

Hikayat Agung Sakti, Ml.260 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)

Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Howard, H. Joseph. 1966. Malay Manuscripts : A Bibliographical Guide. Kuala Lumpur: University of Malay Library.

Ikram, A. 1975. “Memperkenalkan Naskah-naskah Wayang dalam Bahasa Melayu” dalam Bahasa dan Sastra. Tahun I No: 2.

Juynboll, H.H. 1899. Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschrifften der Leidsche Univer-siteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mulyono, Sri. 1978. Apa Siapa Semar. Jakarta: Gramedia.

Mutholib, Idik, Sutardjo, Sukendar, Sugiri, Suprapto. 1989. Penelitian dan Penulisan Wayang Kulit-Betawi. Jakarta: Proyek Penelitian/ Penggalian/ Penulisan Sejarah Dina Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Nurgiyanto, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” Dalam Jabrohim (ed.) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. Kajian Semiotika. Yogyakarta: Studi Sastra Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Ricklefs, M.C. dan P. Voorhoeve. 1977. Indonesian Manuscripts in Great Britain : a Catalogue of Manuscripts in Indonesia Language in Britain Public Collection. Oxford: Oxford University Press.

Ronkel, Ph. S. van. 1909. “Catalogus der Maleische Handscriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. dalam VBG 57.

Ronkel, Ph. S. van. 1909. 1921. Supplement Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

Sunardjo, Nikmah. 1989. Hikayat Maharaja Garebag Jagat. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunardjo, Nikmah dan Hani’ah. 1996. Hikayat Pandu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Sunardjo, Nikmah, Muhammad Fanani, Sri Sayekti, Putri Minerva Mutiara, ANurul Ainin. 1991. Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutaarga, Amir, Jumsari Jusuf, Tuti Munawar, Ratnadi Greha, S.Z. Hadisutjipto. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P&K. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York

Sumber : Buniuns blog

Minggu, 23 September 2012

HIKAYAT BAYAN BUDIMAN



Pesan Moral Seekor Burung Nuri

Judul buku : Hikajat Bajan Boediman
Penerbit : Balai Poestaka, Batavia Centrum, 1934
Tebal : 213 halaman

Cara apa yang biasanya dipilih orangtua untuk mengajarkan moralitas kepada anaknya? Untuk mempermudah pemahaman tentang nilai-nilai moral yang hendak disampaikan, bentuk dongeng sering kali dipilih oleh para orangtua. Dongeng diyakini cukup efektif untuk menyampaikan berbagai nilai baik dan buruk dalam kehidupan.

Salah satu dongeng terkenal yang sarat pelajaran tentang berbagai aspek perilaku baik dan buruk manusia adalah dongeng tentang burung nuri yang lebih dikenal dengan sebutan Hikayat Bayan Budiman atau dalam versi bahasa Inggris disebut dengan Tales of A Parrot. Dongeng ini berasal dari sebuah karya berisi kumpulan cerita berbahasa Sansekerta berjudul Sukasaptati, yang artinya tujuh puluh cerita dari burung nuri. Di dalam cerita ini, dikisahkan tentang seekor burung nuri yang berhasil mencegah istri tuannya berbuat zina selama tuannya pergi berdagang ke negeri lain, dengan cara menuturkan 70 rangkaian cerita kepada si istri.

< kepada tentang yang dongeng Dongeng berbagai baik dan buruk dalam>

Cerita ini diyakini disebarkan melalui tradisi oral di India dan lantas dituliskan ke dalam bahasa Sansekerta oleh penulis yang tidak diketahui namanya. Dari naskah bahasa Sansekerta inilah seorang penyair dari Persia, Ziya’ud-din Nakhshabi, menerjemahkannya ke dalam bahasa Parsi pada tahun 1329 dan cerita itu diberi nama Tuti Nameh. Dari salinan Nakhshabi ini lantas lahir beragam versi naskah cerita lainnya dalam berbagai bahasa tentang dongeng-dongeng yang dituturkan oleh seekor burung nuri, seperti versi terjemahan bahasa Turki yang dikerjakan oleh Sari Abdullah Effendi, teks bahasa Parsi lainnya oleh Hamid Lahori, dan versi prosa pendek dan sederhana yang ditulis oleh Mohammad Qadiri. Ketiga versi cerita tersebut dapat dibaca di dalam buku karya Gladwin berjudul The Tooti Nameh or Tales of a Parrot in the Persian Language with an English Translation, yang diterbitkan di Calcutta tahun 1800 dan di London tahun 1801. Menurut catatan RO Winstedt, seorang pakar sastra Melayu dari Inggris, penulis lain yaitu Abu-al-fadl juga menyalin dongeng ini ke dalam bahasa Parsi jauh setelah teks Nakhshabi selesai.

Cerita ini pun diterjemahkan oleh Kadi Hasan ke dalam bahasa Jawa. Salinan dalam bahasa Jawa ada dalam bentuk prosa maupun sajak. Menurut Winstedt, cerita roman Jawa berjudul Angling Darma memetik dua buah cerita dari Hikajat Bajan Boediman, yaitu Hikajat Zahid (pertapa-Red) dengan Serimala (tukang kayu-Red) dan Pandai Emas dan Pandai Tenoen, serta Tjerita Radja Gementar Sjah Memindahkan Njawa Kepada Sesoeatoe Tempat. Naskah Nakhshabi itu juga diterjemahkan ke beberapa bahasa lain seperti Dakhani, Hindi, Kamil, Bugis, Makassar, maupun bahasa-bahasa Eropa.

Kepopuleran dongeng ini menginspirasikan para seniman untuk menciptakan karya lukis berdasarkan naskah tulisan tangan Nakhshabi. Pada abad 16 misalnya, di masa Dinasti Mughal di India, terutama saat kekuasaan Kaisar Akbar tahun 1556-1605, dibuatlah lukisan-lukisan mini berdasarkan hikayat Tuti Nameh. Lukisan-lukisan ini memakai gaya lukisan Dinasti Mughal yang memadukan gaya India maupun Persia dengan detail yang sangat halus dan teliti. Ilustrasi Tuti Nameh ini merupakan karya lukis pertama di masa-masa awal perkembangan seni Dinasti Mughal di India sekitar pertengahan tahun 1560-an. Karya lukisan mini tersebut masih tersimpan di Cleveland Museum of Art, Amerika Serikat.

Buku Hikajat Bajan Boediman terbitan Balai Poestaka di Batavia tahun 1934 ini disalin dari buku terbitan Singapura tahun 1920, berjudul Hikayat Bayan Budiman atau Cherita Khojah Maimun dengan editor dan pemberi kata pengantar RO Winstedt. Menurut Winstedt, terjemahan naskah itu dalam bahasa Melayu yang berhasil ditemukan paling awal merupakan sebuah penggalan berisi 14 halaman yang disimpan di Bodleian Library di Oxford, Inggris. Ke-14 halaman itu berisi petikan Tjerita Bajan jang Ditjaboet Boeloenja oleh istri saudagar, Tjerita Taifah, dan Seorang Perempoean Nikah dengan Soeami Tjemboeroean. Versi terjemahan Melayu ini muncul dengan beragam judul yaitu Hikayat Khojah Maimun, Hikayat Khojah Mubarak, dan Cherita Taifah.

Naskah terjemahan berbahasa Melayu yang bertahun 1600 Masehi itu adalah koleksi Edward Pococke, seorang ahli budaya timur dari Inggris yang hidup tahun 1604-1691. Pococke pernah menjadi pendeta Inggris untuk para pedagang Turki di Aleppo tahun 1630-1635 dan pendeta di Constantinople dari tahun 1637-1640. Pada masa itulah ia mengoleksi berbagai manuskrip dari beragam bahasa seperti Arab, Ibrani, Armenia, dan Samaritan.

Pada awalnya, menurut Winstedt, versi terjemahan Melayu ini mengambil pokok isi dari terjemahan bahasa Parsi. Namun, dalam versi Melayu lainnya, banyak yang mengadaptasi terjemahan Kadi Hasan yang dikerjakan sekitar tahun 1371 Masehi. Dengan demikian Hikayat Bayan Budiman versi Melayu ini tidak sepenuhnya mirip dengan naskah Nakhshabi. Beberapa cerita rakyat di daerah Melayu bahkan diadaptasi dari dongeng asli tentang burung nuri yang dituliskan di dalam Sukasaptati dan bukan dari Hikayat Bayan Budiman, seperti cerita Musang Berjanggut serta Hikayat Kalila dan Damina.

Di dalam buku terbitan Balai Pustaka tahun 1934 koleksi Perpustakaan Nasional dituliskan 24 kisah yang dituturkan oleh burung nuri. Sementara di dalam buku terbitan Singapura tahun 1920, selain 24 kisah tersebut dicantumkan juga penggalan naskah dari Bodleian Library sebagai lampiran, yang masih menggunakan aksara Arab gundul serta varian dari kisah ke-13 berjudul Tjerita Saboer, ke-14 dengan judul Tjerita Radja Kilan Sjah serta Poeteranja, dan kisah ke-15 berjudul Tjerita Radja Harman Sjah.

Suatu hari Maimun mengatakan kepada kedua unggasnya bahwa ia akan pergi berniaga ke negeri lain selama beberapa waktu. Maka ia menitipkan istrinya kepada mereka. Setelah beberapa lama ditinggal suaminya, Bibi Zainab merasa kesepian. Suatu hari di depan rumahnya lewatlah putra raja negeri itu. Zainab merasa tertarik hatinya. Begitu pula si putra raja. Maka Zainab pun berniat pergi menemuinya untuk memenuhi hasratnya pada malam hari. Sebelum berangkat, Zainab bertanya kepada Tiung Rencana tentang niatnya itu. Tiung menasihati Zainab untuk membatalkan niatnya karena hal itu melanggar ajaran Tuhan. Zainab pun marah besar dan membunuh Tiung. Demi melihat perbuatan Zainab, Bayan pun khawatir ia akan dibunuh juga. Maka ketika Zainab meminta pendapatnya tentang apa yang akan diperbuatnya, Bayan mulai berkisah tentang sebuah hikayat. Zainab sangat tertarik mendengarkan cerita Bayan sehingga ia tidak sadar hari telah menjelang pagi ketika cerita itu selesai dikisahkan. Keesokan harinya, saat Zainab berniat pergi menemui putra raja, Bayan menuturkan satu hikayat lagi dan Zainab dengan sukacita mendengarkan hingga pagi menjelang. Begitu seterusnya sehingga Zainab lupa memenuhi hasratnya untuk berzina. Bayan menuturkan sebuah kisah setiap malam kepada Zainab hingga mencapai 24 malam. Cerita berantai ini serupa dengan kisah seribu satu malam di mana sang permaisuri menuturkan berbagai cerita setiap malam sehingga sang raja lupa akan niat membunuh istrinya itu.

Dua puluh empat kisah yang dituturkan oleh burung nuri kepada Zainab berisikan pesan moral untuk berbuat baik dan tetap berada di jalan Tuhan, apa pun godaan yang muncul menghadang. Beberapa pesan moral yang disampaikan antara lain, pesan untuk tidak berzina; pesan untuk setia dan berbuat kebajikan; pesan untuk tidak bersikap cemburuan kepada istri atau suami; pesan untuk tidak serakah atau mengambil bagian orang lain; pesan untuk patuh kepada orangtua; pesan untuk tidak sombong atau mau mendengarkan kata-kata orang yang lebih rendah kedudukannya; pesan kepada penguasa untuk memerhatikan kepentingan anak buahnya, tidak mau menang sendiri, dan masih banyak pesan moral lainnya.

Kisah pertama yang dituturkan Bayan Budiman adalah tentang burung yang dicabut bulunya oleh istri saudagar. Alkisah seorang saudagar di negeri Istanbul pergi berlayar meninggalkan istrinya. Sang istri pun lalu berzina selama suaminya pergi. Ketika suaminya pulang, sang suami mengetahui perbuatan istrinya. Maka keduanya pun sering bertengkar. Sang Istri menebak bahwa burung itulah yang memberi tahu perzinaannya kepada suaminya. Si istri pun dendamlah kepada burung itu. Ketika sang suami pergi ke pasar, ditangkapnya burung itu dan dicabutnyalah bulu di seluruh badan si burung. Lalu burung itu pun bersembunyi di dalam saluran air. Si istri saudagar menyangka burung itu telah mati. Ketika suaminya datang, ia berpura-pura menangisi burung itu yang dikatakan telah dimakan kucing. Saudagar itu tidak percaya perkataan istrinya. Sang istri lalu diusirnya dari rumah. Si istri itu lalu tinggal di kuburan seorang syekh dan membersihkan kubur itu setiap hari sambil berdoa agar bisa kembali kepada suaminya. Sementara itu, si burung yang telah kehilangan bulu di sekujur badannya akhirnya pulih kembali. Bulu-bulu telah tumbuh di badannya. Ia lalu terbang ke kubur tempat istri saudagar itu tinggal. Di sana si burung bersembunyi di balik nisan dan berbicara seolah-olah si syekh yang mendengar doa-doa si istri saudagar. Istri saudagar itu menyesal telah berzina dan berjanji untuk tidak berzina lagi serta ingin kembali kepada suaminya. Maka si burung itu pun pergi kepada saudagar dan mengatakan bahwa dirinya dirawat oleh istri saudagar setelah seekor kucing berusaha menangkapnya sehingga bulu-bulunya rontok. Demi mendengar cerita si burung, saudagar itu merasa telah berbuat dosa kepada istrinya yang tidak bersalah. Ia lalu menyusul ke kubur syekh itu dan meminta maaf kepada istrinya serta mengajaknya pulang kembali.

Kisah pertama ini merupakan pemberi nasihat awal kepada Zainab untuk mengurungkan niatnya berzina. Ini berarti, pesan moral yang ada di dalam cerita berhasil ditangkap oleh Zainab. Pada malam-malam berikutnya, Zainab sangat tertarik mendengarkan cerita Bayan Budiman sehingga ia setengah memaksa si Bayan untuk bercerita meskipun Bayan mengingatkan niat Zainab untuk mengunjungi putra raja. Ini menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan cerita-cerita si Bayan Budiman memberikan pelajaran berharga kepada Zainab dan hal itu berhasil disampaikan secara menarik melalui cerita-cerita hikayat atau dongeng oleh si burung nuri.

Dalam berbagai cerita hikayat ini, konteks cerita adalah masyarakat Muslim. Awalnya, di dalam Sukasaptati cerita-cerita yang dikisahkan berasal dari tradisi masyarakat Hindu. Ketika terjemahan ke dalam bahasa Parsi dilakukan, tokoh- tokoh Hindu berganti dengan tokoh-tokoh Muslim. Namun demikian, nilai-nilai yang disampaikan cukup relevan untuk seluruh kelompok masyarakat.

Kisah ke-24 dari hikayat ini bercerita tentang putri laut. Alkisah seorang raja Hindustan bernama Gair Malik yang empunya dua anak laki-laki bernama Sahil dan Naim. Permaisuri raja meninggal tujuh tahun lalu, tapi sang raja belum juga menikah kembali. Suatu hari, Gair Malik bermimpi bertemu seorang putri cantik rupawan yang muncul dari dalam laut. Ia lalu meminta kepada kedua anaknya untuk mencari putri itu agar dapat dikawinnya. Sahil dan Naim pun berlayar ke negeri seberang. Dalam perjalanan, topan badai menghancurkan kapal keduanya. Sahil berhasil selamat, sementara Naim tak tentu rimbanya. Sahil pun kembali pulang dengan berita sedih. Sementara itu, Naim berhasil selamat dan mendarat di sebuah negeri. Ia bertemu seorang syekh dan menceritakan ihwal perjalanannya. Syekh itu lalu memberi tahu bahwa putri itu adalah putri Raja Jin Afrit yang sedang berperang dengan Raja Jin kafir Arkas. Syekh membekali Naim dengan doa taju’s-Sulaiman untuk menghadapi jin itu. Singkatnya, Naim berhasil mengalahkan Raja Jin kafir Arkas sehingga Raja Jin Afrit mengucapkan terima kasih dengan menyerahkan putrinya untuk dipersunting oleh ayahanda Naim. Setelah perkawinan putri raja jin dengan Raja Gair Malik, hubungan kedua kerajaan jin tadi menjadi sangat baik, tidak ada lagi peperangan, masing-masing menghormati kerajaan lainnya. Moral yang ingin disampaikan kisah ini adalah pertama, anak haruslah patuh dan hormat kepada orangtuanya, serta agar saling hormat kepada sesama manusia maupun manusia dengan makhluk lainnya.

Setelah kisah ke-24 ini, Khojah Maimun akhirnya pulang ke negerinya. Dengan berteman nasihat Bayan, Zainab bersabar menunggu kedatangannya. Maka ketika Maimun akhirnya datang, Zainab tidak pernah berzina dan suaminya pun senang karena si istri tetap setia kepadanya. Sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Bayan, Zainab memohon kepada suaminya untuk melepaskan Bayan agar dapat kembali kepada anak istrinya di hutan. Namun demikian, Bayan tetap mengunjungi kedua suami istri itu setiap enam hari sekali.

Versi Melayu ini agak berbeda dari naskah Nakhshabi maupun Muhammad Qadiri dalam bahasa Parsi. Dalam versi bahasa Parsi, menurut Winstedt, si burung nuri memberi tahu kepada saudagar tentang niat istrinya untuk berzina sehingga si saudagar akhirnya membunuh istrinya sendiri.

(BI Purwantari/Litbang Kompas)

Hikayat Bayan Budiman



Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab.

Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu sebelum melakukan sesuatu perkara.

Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum.

Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua, pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka jawab tiung;

“ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu. Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…”

Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan burung itu ke bumi. Matilah burung itu.

Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun berkata;

“Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa, daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya oleh seorang isteri saudagar….“

Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang dari pelayarannya.

Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya.

Antara ceriota bayan itu ialah mengenai seekor bayan yang mempunyai tiga ekor anak yang masih kecil. Ibu bayan itu menasihatkan anak-anaknya supaya jangan berkawan dengan anak cerpelai yang tinggal berhampiran. Ibu bayan telah bercerita kepada anak-anaknya tentang seekor anak kera yang bersahabat dengan seorang anak saudagar. Pada suatu hari mereka berselisih faham. Anak saudagar mendapat luka di tangannya. Luka tersebut tidak sembuh melainkan diubati dengan hati kera. Maka saudagar itupun menangkap dan membunuh anak kera itu untuk mengubati anaknya.

Sebuah lagi cerita bayan ialah mengenai seorang lelaki yang sangat mengasihi isterinya. Apbila isterinya meninggal dunia, dia telahj memohon dioa kepada Tuhan supaya separuh daripada umurnya dibahagikan kepada isterinya. Doa itu dikabulkan dan isterinya hidup semual. Namun, si isteri tidak jujur dan lari dengan seorang saudagar kaya. Lelaki itu menjejaki isterinya kerana menyangka isterinya dilarikan oleh saudagar kaya itu. Tetapi dia telah dihina dan diusir oleh isterinya. Kerana marah dan kecewa, lelaki itu memohon agar Tuhan mengembalikan usianya yang telah diberi kepada isterinya. Dengan kehendak Tuhan, isterinya mati semula.

Dalam cerita yang lain pula, bayan bercerita mengenai pengorbanan seorang isteri. seorang puteri raja yang kejam telah membunuh 39 orang suaminya. suaminya yang keempat puluh telah berjaya menginsafkannya dengan sebuah cerita mengenai seekor rusa betina yang sanggup menggantikan pasangannya, rusa jantan, untuk disembelih. Begitu kasih rusa betina kepada pasangannya sehingga sanggip mengorbankan diri untuk disembelih. Puteri itu insaf dan tidak jadi membunuh suaminya yang keempat puluh itu, malah sanggup berkorban apa sahaja untuk suaminya.

Sumber Resensi Klasik

Selasa, 11 September 2012

Riwayat Kukuk 1933

Ciptaanni : Puniakan Dalom Ahmad Safe'i
( Sultan Ratu Pikulun, Raja Adat Paksi Buay Belunguh )
------------------------------------------------------

Bismillah sai bermula, Nyak mulai nulis Hinji
Mak lansungku sengaja, Ngejo Asal mulani

Ngedeting pukul siwa, waktu adu debingi
Surat surat tibaca, ngeguai sedih hati

Diwaktu nyak mengura, lagi campur puari.
Nyak ampai mulai kerja, Pasirah di Kenali.

Selagi manusia , pedom lulok seunyinni.
Mawat tisangka sangka, ginjuh unyinni Bumi.

Dunia rasa gamba, unjuk dilom sekuci
Ngeliwat Tanjungcina, lebih gaoh hunjakni

Kursi Bufet, Pigura, sampiran rik lemari
Penuh pecahan kaca , ngehangga dija dudi

suak kemara ari, sai hurik mak bedaya
Nulung anak kajjongni, luar mak ngedok cara

Dibingi kelom buta, Hiruk pikuk bunjini
Lebon kemara maya, Lemoh balung rik sendi

Gumah sai mak cidera, bingung samasekali
Tehejong rik bedu'a, makdapok minjak lagi.

Turun wewah dunia, bingi buganti pagi.
Ampai wat benguncaka, nulung minak muari.

Tian sai kena timpa, balokni diangkati,
saikatan tipelihara, ngubur tian sai mati.

Ya Allah ya Robbana
Minjak radu ticuba, tebanting diunggak resi

nyak rangkang pegagapa, mak mudah injuk sangka gegoh lapah dirui

Barih munih jak sayya, bunyi dassyat sekali
Gemuruh juga juga , unjuk Kereta api

Ampai tipandai ia, kimak derani pagi
Sai radu nyata, Tebihni Gunung Pesagi

Wat mekik mekau juga, ngebaca unyin puji
wat nabuh tabuh tala, ngehalau kukuk anggapni

Kenali, Surabaya, Juga Banjarnegeri.
Baru dn Sukadana, Serungkuk rik Negeri.

Rupani rata rata, sampai di Sukanegeri
Ramah kena bahaya, lantaran Kukuk hinji.

Tanno balin pai cara, tilanjutko kak nanti
Nyak haga becerita, keadaan tatabumi.



***



Makkung kukuk terjadi,

Ibukota di liwa, Balik Bukit gelarni,
Daerah berak nana, Gumah rakyat betani,

Ngebana subur rayya, sebab gunung pesagi.
Tegak unjuk Raksasa, ditengah daerah hinji.

Tempat hulun busema, maksud nyepok hanipi
Ratong jak ipa ipa, bidang bidang tahunni

Kemara ledak jak ia, nutuk wai tehili
Jadi pupukni rimba, tanoman jadi humbi

Kapan ram cakak dia, dipuncakni Pesagi
Pandangan sedop nana, mak ngedok sai ngehalangi

Kapan ram sedang jaya, dipuncakni pesagi
sekitar gunung sayya, nyata terang sekali

Dibah tiliak liwa, Hujung Baru Kenali.
Ranau dan Gunung Raja, Danau Redik sekali.

Turgak, Sukaraja, Pekon Bahwai,Jejawi.
Juga Teluk Semaka, Tlk Betung rik Krui

Sayup sayup jak mata, pulau lunik sebiji.
cawani jelma pura, seno Pulau Legundi.

Kapal wat pira pra, tiliak wara wiri
Lentera nampak nyata, kapan waktu dibingi

Jemeruguk dimata, gunung dikanan kiri
Seminung Rajabasa,Tenggamus menyendiri

Belerang bukit bata, Ciguk redik sekali.
Gunung Subhanallah nyata, Rulah tebing mategi.

Waktu bingian gempa, sabah rik kebun kupi.
Ngebuah rebu nana, mawat selama hinji.

Sai gumah basa dihuma, Musim ngagetas pari,
Tianno rata rata, minok dianjung sabahni.

Mani teradat dija, unyinni balai pari
Tepik disabah raiya, nyin dang payah ngatatni.

****



Nyak nerusko cerita, in jejama ngedengi

turun kukuk terjadi, korbanni gumah nana,
Sekira pukul lima, lagi masih dibingi

diwaktu sayya juga, diatas Gunung pesagi
tebih dipa ipa bunyini dasyat nana tidengi jena bingi,

tanoh sai tebih sayya , nutupko batangari
Kemara wai dia, mawat terus tehili

Nitebak tebih sayya, nyani danau rupani
Makkung hak pira saka, penepon mak tahan lagi

Kemara wai saidia, luar sama sekali
Kik rulah jadi rata, liku lurus ulihni

Sai ngehadang taborkucar, nutuk litak tahili
Kemara sabah rik huma, dipinggir batang hari

Habis disapu musnah, mawat sai tinggal lagi
Kik Pekon Sukaraja, pekon Bahwai, Jejawi

Bubungan ratu rata, nyama tanoh rik heni.
Ya Allah ya Robbana…Ribuan hulun mati,

wat bangong sanga keluaga, Mawat wat tinggal lagi,
jadi terang rik nyata, ulun mak mengan lagi.

tibagi jak sai gena ,cutik citik disaini.



Ranglaya mik mardua, putus sama sekali,
mik krui reno juga, mak dapok tiliui.

Tebih sai balak dija, diteba Kutabesi.
Gunung pasir ngehangga, gumah munih barihni.

Bantuan sementara, dang tianggopko dihati
Mani mawat relaya, in ulun dapok ngedi.

Sai katan mati juga, mawat ngedok ubatni
lambanni ngadu bela, pedom dipa rangni.

Dinana rata rata, nyani kubu saunyinni
Tihang batang kahua, Hatok bulungni puttti.

Mani ulihni rejo , gumah nihan saimati
Haban merajalela, kolera rik Desentri.

Kukuk sayya dinana, mak ngedok henti henti
meginjuh juga juga, dilom 14 rani

Wat tesiar berita, tikabar dija dudi
Nanti rani Selasa, Kiamat dunia hinji.

Hulun gumah percaya, merabai haga mati
Mak lagi wat rencaka, barih syolat rik ngaji.

Untung nihan dinana, wat ratong satu kompi.
Serdaduni Belanda, haga nulung maksudni.

Nyusul munih jak sayya, Kapal sai jak Betawi.
Ngebatok dokter lima, obat, biasbarehni.

Reseden Bengkulu dinana, rik pembesar barikni
Sampai munih di Liwa, ngatur beras tibagi.

Nom dokter dinana, tian bubagi bagi
Dilom lima Marga, ngubati dija dudi.

****

Titinggalko cerita, sai nulung dija dudi.
Tanno ram mik liba, atar Suoh gelarni

Disan wat pekon lima, diredik Batangari,
Gelarni wai Semaka, termashur dijadudi.

Meredik bukit Bata, gunung Lunik berapi,
Waktu terjadi gemp,a lamban rubuh sunyinni,

Korbanni pira pira, mekejung kik tibiti.
Ngakuk buttak cerita, wat munih sai terjadi.

Ulih akibat gempa. Rik adu sampai janji
Meletus bukit Bata, unjuk Meriam bunyini

Umbau belirang dinana, sesak napas ulihni
Injuk dilom Neraka, reno dia misalni

Tiliak dengan nyata, Apui ngejulang tinggi
Dunia kelom buta, hasok halom sekali

Makkung saka jak sayya, terai batu mak henti
disusul itak pula, panasna haga mati

Unyin kemara jelma, nyepok amanni diri.
Lijung ilung Semaka, Sebabaian tengah bingi.

Tinggalpai niku harta, makngedok guna lagi.
Bacak ngejaga nyawa, gampang munih rezeki.

Melapah dilom rimba, kena unak rik huwi.
Dunia kelom nana, petunjuk ikah hati.

Ngala kala tedaya, induh jaoh jaohna,
Kik sanak miwang juga, nambah putokni hati.

Tian mit Semaka, laju tinggal diudi.
Ngebeli tanoh Huma, nyani Pekon sendiri.

Tian Batubrak juga, pindah dihak libani,
ngediriko pekon rua, kenyangan tigelari.

Gumah munih saLiwa, ngenomunih Kenali
Pindah mani terpaksa, mani harta mak lagi.

Berkat Tuhan sai Kaya ngeni tian Rezeki.
Tanno ya rata rata, adu kaya sunyinni.

Tanno tammat cerita, mak ngedok sambung lagi
jadi ingok'an dinana, reno dia terjadi.

Culuk radu membuya, tanno radu relom bingi, Mata radu kedugok,
mahap jama pembaca, Ngekalau buhanipi , ulihni pedom lullok.



- Kutata jak salinan Ina Dalom Yusnani Barlian - tabik

( Kiriman Novan Saliwa)