Rabu, 18 Juli 2012

Mamak Kenut dan Budaya Lampung.


Mamak Kenut, Orang Lampung punya celoteh, sebagai judul buku kumpulan tulisan Udo Z. Karzi yang di lounching tiga hari lalu di Toko Buku Fajar Agung sbenarnya cukup menggiring kita untuk memahaminya tentang bagaimana suasana batin masyarakat adat budaya Lampung mengapresiasi berbagai hal melalui tokoh Mamak kenut dan Kawan kawan. Bagi masyarakat Lampung Barat dan Kotaagung Tanggamus, sejatinya Mamak Kenut adalah tokoh hayalan yang tak asimng lagi, karena Mamak Kenut mampu menyandang berbagai gelar yang diberikan masyarakat untuk berbagai pristiwa ulah dan laku manusia.

Saya adalah salah seorang yang berharap banyak kepada Udo Z Karzi agar tetap produktif dalam menulis, karna beliau memiliki potensi, masih relatif muda, kebetulan seorang jurnalis, jadi hari harinya tidak terlepas dari aktivitas membaca dan menulis. Oleh karenanya saya juga sangat mengapresiasi karya karyanya, seraya berharap pada masa mendatang Ia mampu bicara dan menulis dengan memposisikan sebagai komunitas yang memahami Lampung dari berbagai aspeknya.

Agar dengan mudahnya masuk ke ranah budaya Lampung penuklis buku ini berusaha mengeksploitir tokoh hayal Mamak kenut dan kawan kawan. Tetapi bagi saya itu saja tidak cukup, karena tidak akan mencapai hasil maksimal sebagai pemikiran yang berlatar belakang budaya Lampung. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka pemikiran harus menyentuh falsafah daerah lampung, yaitu piil pesenggiri dengan unsur unsurnya yaitu nemui nyimah (produktuf) nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (koperatif) dan juluk adek (inovatif). Serta didukung oleh lokasi serta historis daerah Lampung itu sendiri.

Corong pemikiran filsafat dalam karya tulis semacam ini tidak harus oleh penulis, tetapi penulis dapat mengeksploitasi tokoh tokoh tertentu. Bisa saja pendapat tokoh tertentu itu bertentangan dengan penulis. Dan memang para tokoh tidak memiliki sikap dan dan pemikiran yang sama dalam menanggapi suatu masalah, dan kebersamaan tetapi kebersamaan bukan sesuatu yang haram dalam sebuah karya tulis semacam ini. Tetapi kebersamaan hendaknya melalui sebuah proses yang diketahui pembaca.

Udo Z. Karzi jiga menggunakan tokoh yang bernama Radin Mak Iwoh, saya berpendapat bahwa penggunaan gelar Radin dalam tokoh pada buku ini harus dipertimbangkan dengan seksama. Gelar Radin itu adalah gelar terhormat, sementara Mak Iwoh termasuk prilaku asosial. Sebaiknya nama nama sakral dari segi keadatan harus disingkronkan dengan peran dan latar belakang pemikirannya. Gelar Radin pada tokoh hendaklah memiliki peran yang disesuaikan dengan penghormatan yang telah diberikan masyarakat.

kepada para penylis karya sastra yang menginginkan karyanya memiliki latar belakang budaya Lampung memang diharapkan memiliki konsistensi dengan filsafat, sejarah dan geografi Lampung, selain penggunaan tokoh tokoh Lampung itu sendiri.

Minggu, 15 Juli 2012

PARODI DALAM PUISI, SEBUAH KRITIK

DAISI PRIYANTI


PARODI bersandar pada wilayah yang telah mapan. Penggunaan parodi, oleh karena itu, sering ditujukan untuk kritik. Membongkar wilayah kemapanan subyek. Sasaran dijatuhkan melalui perangkat kepemilikan sendiri. Semisal pertarungan silat, parodi persis ilmu "lampah lumpuh" dalam serial "Tutur Tinular", yakni tenaha untuk menjatuhkan dirinya sendiri.

Sebagai sebuah kritik, parodi merupakan "jalan pintas paling aman". Pihak yang dikritik jarang bisa marah, justru bisa jadi, tersenyum, bahkan terpingkal-pingkal. Ada dualisme posisi. Pertama, pihak terkritik merasa tersanjung karena pola operasional komunikasinya dipergunakan. Kedua, pihak terkritik merasa sedikit tersinggung karena kesalahannya dikuak. Disebabkan dualisme kontra- posisi itulah, pihak terkritik sulit menentukan sikap, dan pilihan paling spontan dari kebingungan menentukan sikap, adalah senyum lebar. Puisi Indonesia terkini banyak sekali menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi.

Puisi berjudul "Chanel 00" karya penyair Afrizal Malna berikut ini dapat dijadikan contoh menarik: Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar. Bunga dan bensin di halaman. Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.

Diksi "Chanel" adalah lambang yang biasa digunakan untuk stasiun televisi. Setiap stasiun menggunakan gelombang yang dapat ditangkap oleh layar televisi melalui operasional angka-angka gelombang. Setiap stasiun menggunakan angka yang berbeda, tetapi tidak satu pun yang menggunakan angka nol, yang berarti juga, kosong. Penggunaan angka di atas nol sebagai arti bahwa stasiun tersebut "ada" atau mengudara, dapat dicari dan ditemukan dalam deretan gelombang. Apakah kalimat "Chanel 00" telah memenuhi kriteria pemasangan stasiun televisi? Ada parodi dalam konvensi atau aturan gelombang, siapa pun orang tidak akan menemukan sebuah stasiun yang menggunakan angka nol. Apalagi angka 00.

Apabila masih kurang lucu, dapat dibayangkan sebuah iklan yang memasang kalimat, "Aktifkan televisi Anda dalam chanel 00!" Ditilik dari larik-lariknya, parodi yang terkandung tidak kurang. Aku lirik dalam puisi tersebut mengucap selamat tinggal untuk bunuh diri "sebentar". Bagaimana mungkin bunuh diri (mati) dapat sebentar atau sementara? Seseorang yang sudah mati, sewajarnya, tidak akan hidup (kembali) lagi.

Kegiatan bunuh diri adalah kegiatan yang tidak dapat diulang. Memang ada orang-orang tertentu yang dapat mati, hidup lagi, mati lagi, dan hidup lagi. Seperti kisah Mbah Soleh, tukang sapu pemakaman Sunan Ampel, yang katanya pernah mati sembilan kali. Atau, beberapa kisah dalam majalah mistik Liberty tentang orang-orang mati yang dapat kembali hidup.

Kesemuanya hanya konon, berbau metafisika, di luar nalar sehat manusia. Di dalam sebuah puisi, atau di dalam perbincangan intelektual formal, kejadian "bunuh diri sebentar" adalah lucu. Tragik humor. Mengada-ada.

Dan, mustahil. Tetapi, kiranya, ada kritik diri dalam puisi tersebut. Aku lirik menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terjebak dalam kondisi tragik humor. Mengaji, diksi yang merujuk pada pembacaan ayat-ayat suci Tuhan, disalah-pasangkan untuk tindak menonton televisi. Ataukah perlu dibaca-artikan "pembacaan ayat-ayat televisi"?

Tragik humor lagi. Bagi umat beragama, misalnya Islam, tindakan di luar kehendak ayat Al-Qur'an adalah dosa. Diksi "dosa" dalam dunia puisi, dunia metafor, dapat diartikan "kematian". Puisi di atas mengisyaratkan adanya orang-orang yang selalu mengaji televisi, menganggap televisi sebagai sumber religiusitas. Dan, aku lirik ada di dalam kumpulan orang-orang tersebut. Larik saya sedang bunuh diri menjadi sangat tragik, mentertawakan diri, seseorang yang hanya dapat hidup dalam bayang-bayang tawaran televisi. Meyakini diri "mati" apabila keluar dari pusaran chanel televisi. Parodi yang mengarah pada diri sendiri, membuka keburukan diri, memang kegiatan yang asyik-masyuk. Orang lain yang menyaksikan, bisa jadi, akan mentertawai, mencibir, mengeluhkan, atau menuntut pada aku lirik. Orang lain yang lebih peka, bisa jadi, akan melihat aku lirik-nya sendiri untuk kontemplasi. Apakah parodi juga menerpa diri pe-saksi? Keberhasilan parodi, untuk memparodi diri sendiri, dalam puisi sangat tergantung pada sublimasi ilustrasi. Bagaimana peristiwa yang dialami dan dirasa tokoh aku dapat juga dibayangkan pembaca.

Akan lebih baik lagi, mengingatkan bahwa pembaca juga mengalami dan sedang merasakan peristiwa serupa. Parodi menjadi kritik diri yang melompat menempuh tanggungan kritik universal. Aku lirik dalam puisi adalah aku pembaca dalam realitas. Puisi berjudul "Warisan Kita", karya lain dari Afrizal, kiranya menyajikan ilustrasi parodi berbeda. Tindak parodi yang agak sulit untuk menimbulkan tawa.

Seperti dalam bait pertama berikut: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, gegeretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. Dampak dari pembacaan puisi di atas, bisa jadi, pembaca tercerabut dari realitas sebuah dunia kalimat. Sulit mencari rujukan makna untuk dapat menjelaskan sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian kata benda.

Yasraf Amir Piliang menengarai, karya seni parodi memiliki ciri khas; tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata. Kata-kata, apapun bentuknya, telah memiliki makna parsial, entah artian literal, entah artian sosial. Sebuah puisi, yang terdiri dari kata-kata, otomatis, menyandang beban makna. Seperti yang dituliskan A. Teeuw, karya sastra (baca: puisi) tidak berangkat dari kekosongan. Sebuah puisi dengan begitu, apabila menggunakan logika terbalik, dapat diciptakan dengan "asal comot kata".

Toh, akan tetap ada makna terkandung. Puisi "Warisan Kita" sama sekali tidak menyiratkan kesulitan proses penciptaannya. Tinggal mengurutkan sejumlah kata benda. Seakan, setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia dapat mencipta puisi. Sangat beda dengan puisi-puisi model Amir Hamzah, yang sangat mendayu-dayu, penuh perhitungan lagu, terobosan makna, dan keagungan nuansa.

Atau, puisi Goenawan Mohamad yang teramat sarat reinterpretasi mitologi, tekanan psikologi, konflik sosial, dan kerumitan filsafat. Pengulangan yang intens terhadap diksi dan larik puisi "Warisan Kita" mengesankan pemakaian pola mantra. Pembacaan yang cepat dan berirama terhadap puisi tersebut, akan menghasilkan sugesti yang mengusai pendengar. Mantra, sebagai sebuah jenis uisi, telah ada sejak Indonesia berbentuk kerajaan kecil. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai bentuk mantra sendiri.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Juni 2012

Sabtu, 14 Juli 2012

Nasib Manuskrip Islam

K.MUHAMMAD HAKIKI.
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

JIKA kita menengok berbagai museum di Indonesia sungguh sangat memprihatinkan. Terutama museum yang menyimpan data manuskrip yang berbasis keislaman.

Kondisi manuskrip kita hingga kini masih terabaikan dan belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam. Padahal sebenarnya bidang kajian ini sangat potensial dan menarik. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa kajian-kajian seperti ini masih tergolong langka dan kurang diminati. Tentu jawaban klasik pasti akan tetap muncul.

Pertama, kurangnya pemahaman terhadap bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu dan bahasa lokal kuno di Indonesia. Kedua, sulitnya mancari naskah-naskah kuno karena masyarakat masih menganggap manuskrip sebagai benda warisan pusaka leluhur yang harus di sakralkan, bukan dikaji isi dan kandungannya.

Bukan Dokumen

Lalu apa sebenarnya manuskrip itu sendiri? Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang, tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Jika merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Jadi manuskrip berbeda dengan dokumen. Pengertian "manuskrip" dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.

Menurut hasil penelitian Oman Fathurrahman (pelopor kajian manuskrip Indonesia), sejumlah koleksi manuskrip Islam Nusantara sangat banyak yang ditulis dalam berbagai bahasa lokal, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab.

Tetapi, sebagian besar kondisi fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.

Kajian terhadap manuskrip Islam Nusantara, menurut Oman, mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat muslim lokal karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab ditulis dalam berbagai bahasa lokal. Bahasa lokal tersebut, antara lain Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda Kuna, Ternate, Wolio, bahasa-bahasa Indonesia Timur, bahasa-bahasa Kalimantan, dan bahasa-bahasa Sumatera. Sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam "jalan pintas" untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan antara Islam dan budaya-budaya lokal di Nusantara. Hal ini tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.

Kedua, kajian atas manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan dan kebangsaan. Juga menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun silam.

Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part) dari dunia Islam secara keseluruhan.

Akan tetapi sangat disayangkan fenomena yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya. Keberadaan manuskrip yang sejatinya menjadi kebanggaan negeri kita justru di sia-siakan. Bahkan yang lebih tragis selama ini banyak dijumpai tengkulak manuskrip kuno. Tengkulak tersebut, antara lain datang dari Malaysia, Belanda, Amerika. Para kolektor tersebut rela merogoh kocek untuk membeli manuskrip bersejarah dari masyarakat kemudian dijual lagi.

Jual-beli itu terjadi karena masyarakat membutuhkan uang. Sebab itu, tak heran jika manuskrip Nusantara lebih banyak dijumpai dan tersimpan di perpustakaan luar negeri dibandingkan di negeri kita sendiri.

Manuskrip Lampung?

Untuk melestarikan peninggalan sejarah tersebut, tak ada cara lain yang harus segera dilakukan saat ini, yakni upaya untuk merawat manuskrip-manuskrip Nusantara dari kepunahan, penjualan, dan pencurian. Pemerintah seyogianya lebih sigap memperhatikan kondisi manuskrip-manuskrip negeri kita.

Sampai saat ini justru upaya ke arah itu lebih sering dilakukan oleh pihak-pihak nonpemerintah. Seperti yang dilakukan Manassa yang dikomandoi Oman Fathurrahman yang mendukung Program Restorasi dan Digitalisasi Naskah. Misalnya, restorasi dan digitalisasi naskah-naskah Islam dari Aceh berkat kerja sama dengan Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, PKPM Aceh, dan Leipzig University.

Hasilnya, tercatat sejak 2007 hingga akhir 2009, sudah lebih dari 1.989 naskah yang direstorasi dan 1.223 naskah yang didigitalisasi. Lalu bagaimana dengan manuskrip Islam Lampung?

Upaya itu penting sekali untuk segera dilakukan mengingat naskah kuno (manuskrip) Nusantara merupakan salah satu bagian dari identitas bangsa Indonesia yang harus kita rawat. Jika kita tidak menyelamatkannya, bangsa ini dengan tinggal menunggu waktunya akan kehilangan salah satu identitas budayanya sendiri. (n)
Lampost : Sabtu 14 Juli 2012.

Kamis, 12 Juli 2012

Lampung Butuh Bahasa Persatuan.


Sudah lama dipikir untuk menyatukan bahas Lampung, hasilnya mustahil, dialek "O" dan dialek "A" bagaikan dua rel yang berdampingan tetapi tak pernah menyatu. Itulah sebabnya dimunculkan gagasan untuk menentukan bahas persatuan Lampung yang dipilih dari subbahasa yang banyak menggunakan bahasa dialek A dan O sekaligus dalam kelompoknya. Katakanlah ada sub bahasa Pubian,Sungkai ada Waykanan yang kosakatanya campuran antara dialek A dan O dalam bahasa yang biasa mereka gunakan sehari hari.

Di lampung Timur juga didapatkan komunitas yang bahasanya banyak campuran antara dialek A dan O. Dan di daerah Kedaton ada juga yang bahasanya camuran antara dialek A dan O walaupun mereka itu biasa disebut dengan Lampung Cadang. Gagasan ini sempat saya lontarkan pada saat mengikuti seminar di Unila, tetapi gagasan ini masih ditolak untuk mendapatkan pembahasan dalam forsi yang memadai.

Artinya, bahwa perbedaan antara dialek A dan O kenyataannya secara alami masih bertemu dan menyatu dalam bahasa Pubian, Sungkai dan Waykanan, yang itu kesemuanya adalah merupakan bagian dari bahasa Lampung. Bahasa Pubian, Sungkai dan Waykanan memiliki peluang untuk dijadikan bahasa persatuan Lampung. Peluang ini bukan peluang kecil, tetapi adalah peluang yang sangat besar sekali, alangkah sayangnya bila peluang ini tidak segera kita manfaatkan.

Tentu sangat disadari untuk mencapai kesepakatan bersama untuk menetapkan bahasa persatuan adalah perjuangan panjang dan akan melelahkan. Tetapi bukan berarti peluang ini akan tertutup sama sekali. Dibutuhkan kelapangan dada dari berbagai pihak untuk memanfaatkan peluang emas ini. Demi untuk mempertahankan bahasa Lampung secara keseluruhan.

Dengan ditetapkannya bahasa persatuan bagi Lampung, maka akan memudahkan komunikasi baik antar sesama komunitas pengguna bahasa Lampung, memang awal mulanya kita semua harus belajar kembali berbahasa Lampung, yang kita tetapkan sebagai bahasa persatuan itu. tetapi pembelajaran itu akan mendapatkan kemudahan kemudahan karena akan terfasilitasi dengan cara yang memadai sebagai pembinaan bahas persatuan.

Anak anak kitapun akan terfasilitasi untuk belajar ulang kembali mulai dari nol. mereka tidak akan sungkan menggunakan bahasa Lampung persatuan itu Dan yang akan mendapat kemudahan lebih banyak lagi adalah para pendatang, mereka akan dapat belajar bahasa Lampung secara fokus, yanitu belajar bahasa persatuan Lampung, yang didukung oleh semua komunitas. karena dalam acara acara kenegaraan dan "bukan acara adat" maka bahasa persatuan yang akan kita gunakan. Bahasa Lampung persatuan tentu saja secara otomatis akan populer di semua komunitas Lampung.

Banyak sekali keuntungan bagi kita manakala kita mampu menetapkan bahasa persatuan, dan keuntungan yang paling besar adalah mempertahankan keberadaan bahasa Lampung itu sendiri. Lalu dengan ditetapkannya bahasa persatuan di Lampung maka sub bahasa yang ada akan musnah. Tidak. justeru sebaliknya orang orang akan mendapatkan kemudahan untuk lebih mengenalnya.

KEBAHASAAN : Dialek Bahasa Lampung Tak Mungkin Disatukan


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bahasa Lampung yang terdiri atas dua dialek tidak mungkin digabungkan, kata pengarang buku bertajuk Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir Sabaruddin Sa, Rabu (11-7).

Menurut dia, bahasa Lampung tidak mungkin dapat disatukan, mengingat banyaknya kosakata dalam tata bahasa Lampung yang sangat tidak dimungkinkan. Dia mengungkapkan hanya 12% kata-kata dalam bahasa Lampung yang sama pada dialek api dan nyow.

"Pernah diteliti ternyata dari sampel acak yakni 100 kata hanya 12 yang sama. Sehingga, tidak bisa disatukan pepadun dengan saibatin, keduanya bagaikan rel kereta api yang tidak bisa menyatu," ujar dia pada saat peluncuran bukunya di Sekretariat DPD Lampung Sai, Rabu (11-7).

Menurut dia, buku yang diakuinya masih perlu banyak pembenahan merupakan pancingan bagi semua masyarakat Lampung untuk peduli atas akar kebudayaan Lampung, khususnya generasi muda yang diharapkan peduli terhadap pengembangan aksara dan bahasa Lampung.

Kepala Dinas Pendidikan Lampung Tauhidi yang hadir dalam peluncuran berjanji akan mendorong buku tersebut menjadi referensi untuk mata pelajaran muatan lokal. Namun, tentunya hal itu dapat segera dijalankan jika disetujui Gubernur Lampung.

Ketua DPD Lampung Sai M. Irwan Nasution berharap melalui buku, masyarakat dapat memahami Lampung. Dia mengapresiasi langkah Sabaruddin yang telah menghasilkan buku yang bermanfaat bagi masyarakat Lampung.

Pengamat budaya Lampung, Syarifuddin Basyar, mengatakan buku dengan 889 halaman dapat menjembatani penyampaian pengetahuan budaya dalam lingkup sehari-hari.

"Pak Sabar berusaha menyusuri Lampung dari masa ke masa, berani sekali. Meskipun beliau lebih memilih lokus yang sangat lebar sehingga muncul keraguan apakah ini melihat kedalaman," ujar dia. Dia menegaskan kini saatnya budaya harus tertanam kuat di diri anak muda Lampung. (VER/K-1)
Sumber : Lampost 11 Juli 2012.

Jumat, 06 Juli 2012

“Hamzah Fansuri” Modern Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)



PROF Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No 113/TK/Tahun 2011 pada 9 November 2011.

Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Karenanya ia dijuluki sebagai ‘Hamzah Fansuri’ di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata Abi atau Abuya dalam bahasa Arab yang berarti Ayahku atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

Buya Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.

Pada 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof Dr Moestopo.

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada 1928. Pada 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama al-Mahdi.

Pada 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan, bersama M Yunan Nasution, ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka, melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012

Minggu, 01 Juli 2012

Telaah Kumpulan Cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku: Luka Hukum, Luka Cinta, dan Profeminis


MUSA ISMA'IL
sastrawan dan guru di SMAN 3 Bengkalis.


“Bukan salahmu, tetapi hukum di negeri ini yang tanpa pasti, sehingga memang benar-benar sampai hari ini apa yang terjadi padamu-juga ratusan lainnya-tidak pernah diungkapkan lagi” (Cerpen “Luka Beku”).

“Luka yang datang karena sebuah cinta, dan cinta itu menyisakan ngilu” (Cerpen “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”).

SENGAJA saya kutip ungkapan tersebut untuk membuktikan bahwa kumpulan cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku (selanjutnya saya singkat TAdSD) karya Hary B Kori’un (HBK) memang berbicara tentang luka hukum dan luka cinta atau hukum luka dan cinta luka yang pada akhirnya berujung pada sikap profeminis. Ada 11 cerpen di dalamnya: “Penjara”, “Lelaki Mumi”, “Laksmi”, “Tunggu Aku di Sungai Duku”, “Wanita di Seberang Jalan”, “Nyanyian Batanghari”, “Maria”, “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”, “Wanita Penunggu Kayutanam”, “Luka Beku”, dan “Pulang”. Ungkapan itu juga untuk menyerlahkan bahwa persoalan hukum, cinta, dan gerakan feminis selalu merecup tumbuh dalam karya sastra.

Karya sastra memang tak akan pernah kering menggali persoalan apa pun. Selama kehidupan masih berdenyut, kegalauan atau kegamangan masih tersisa, dan kebahagiaan menjadi dambaan, mata air karya sastra akan terus mengucur sejuk menyirami nurani pembaca. Hukum dan cinta senantiasa menjadi materi hangat buat kreativitas sastra. Tentang hukum, ada dialog dalam Antigone karya Sophocles (l496-406 SM). Kutipan dialog ini adalah satu dari kutipan paling populer dalam literatur hukum. Kisahnya berpusat pada sosok Antigone, putri Raja Oedipus. Ketika dua saudaranya, Eteocles dan Polynices, terbunuh dalam perang untuk merebut tahta Thebes, Creon memaklumatkan bahwa Polynices dilarang dikubur sesuai hukum Thebes. Namun, Antigone menentangnya dan mengubur sendiri saudaranya.

Karya sastra menyelami hukum atau pun sebaliknya, bukanlah menjadi persoalan. Kenyataannya bahwa antara hukum dan karya sastra menjadi sesuatu yang menarik. Kehadiran sastra tentu sangat penting dalam perkembangan ilmu hukum. Saat ini, menurut beberapa artikel, terdapat studi kontemporer di dunia hukum yang telah mengintroduksi sastra sebagai bagian dari studinya. Tentu pula kita masih ingat ketika Freud mengawinkan psikologi dan sastra sehingga memunculkan telaah psiko-sastra. Nah, ketika persoalan hukum diaduk dengan masalah misteri cinta, bukankah akan melahirkan karya sastra dengan suguhan yang istimewa atau provokatif?

Tentu saja TAdSD menghadirkan tema hukum dan cinta dengan cara berbeda. Perbedaan ini menunjukkan karakteristik sastrawan (HBK) sebagai individual yang intelektual. Tentu pula sangat berkaitan dengan kebudayaan, latar, dan rujukan peristiwa yang dialami oleh sastrawan sebagai pengomunikasi melalui karya sastranya.

Keberadaan HBK sebagai sastrawan dalam TAdSD lebih leluasa, dominan, dan kuat menggunakan sudut pandang (point of view) keakuan (akulirik), meskipun sebenarnya cerpen-cerpen HBK bersudut pandang campuran (akuan-diaan). Namun, kalau kita telisik lebih mendalam, keberadaan diaan hanya bersifat membantu akuan sehingga keutamaan akuan lebih mendominasi. Kekuatan ini dipertegas lagi dengan karakter tokoh aku yang berprofesi sebagai wartawan (berkaitan dengan profesi HBK).

Nah, di sinilah (berkaitan dengan profesi kewartawanan HBK) terbukti bahwa latar belakang ikut menjadi “bidan” dalam kelahiran karya sastra. Melalui pandangan sebagai sastrawan-wartawan, HBK mengisahkan betapa hukum dan cinta merupakan suatu misteri yang sulit untuk dipecahkan. Sepertinya, ada kekuatan-kekuatan lain yang melindungi, mempermainkan, dan menutupi kedua persoalan ini, juga dalam kehidupan nyata. Ini tentu saja karena beberapa cerpennya ini justru berangkat dari realitas.

Persoalan-persoalan hukum di negara ini dapat kita tangkap dalam TAdSD. Ketidakadilan, kebenaran, penyiksaan oleh oknum aparat, mempermainkan hukum, persekongkolan dapat kita pahami. HBK mengetengahkan peristiwa aktual yang terjadi di kehidupan kita dan negara kita saat ini. “Maria... polisi, jaksa, dan hakim boleh memenjara diriku, tetapi seumur hidup aku tak akan mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan...”, “Aku ingin mengatakan padamu bahwa persekongkolan ada di mana-mana, di penjara sekalipun. Persekongkolan antara sipir dengan sipir, sipir dengan Kalapas, sipir dengan narapidana atau bahkan narapidana dengan Kalapas” (cerpen “Penjara”).

Ini suatu kenyataan yang mengingatkan kita pada peristiwa tindak kriminal yang marak di dalam Lapas. Realitas luka hukum dapat juga kita simak dalam kutipan cerpen berikut. “….Banyak perusahaan yang dituding, tetapi belum ada satu pun yang dijadikan tersangka, katanya belum ada fakta verbal, namun katanya pengusutan tetap dilakukan. Pengusutan yang membingungkan karena mirip benang kusut. Wartawan yang menulis berita itu tidak menuliskan bahwa sebenarnya pembakaran hutan yang dimulai dengan penebangan kayu, banyak terjadi kolusi antara pejabat pemerintah, pejabat keamanan dan pengusaha tersebut” (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”). Luka hukum lain dapat kita pahami dalam cerpen “Luka Beku”: “Katakanlah dengan jujur, siapa laki-laki yang mau menerima seorang perempuan setelah dia digilir orang-orang tak dikenal dengan brutal. Bahkan polisi pun tidak menolong kami, wartawan menganggap kami mengada-ada, apalagi jaksa. Hukum seperti apa ini?” Persoalan hukum menjadi paparan hangat HBK dalam TAdSD. Masalah ini justru begitu kita rasakan, begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. HBK membuktikan eksistensi hukum yang tercabik luka.

Lantas, bagaimana dengan persoalan cinta? Tema cinta selalu saja mengasyikkan. Bahkan, tak akan pernah habis ide untuk menuliskannya. Bagaimana jika mencintai seseorang, tetapi tidak bisa memilikinya? “Aku tak cemburu dengan lelaki di sampingmu, karena bagiku kepemilikan tubuh bukanlah hal yang penting. Tubuh hanya tulang yang dibalut daging, darah dan kulit, dan kemudian mati dengan sendirinya ketika saatnya tiba. Tetapi, ada satu zat yang lebih kekal, yang tak bisa mati-mati. Aku memiliki hatimu dan aku sudah membuang keinginan untuk kepemilikan tubuhmu. Seks bukan sesuatu yang utama dalam cinta, karena perasaan dan semangat adalah segalanya” (cerpen “Penjara”).

Di sisi lain, bagaimana emosional kita ketika cinta datang setelah terjadi musibah yang memilukan? Dalam cerpen “Laksmi”, HBK menghadirkan misteri cinta sekaligus mempermainkannya. Dia memunculkan perasaan cinta tokoh Aku setelah tokoh wanita (Laksmi) —yang pada mulanya tidak dicintai— mengalami musibah tsunami di Aceh. Lantas, bagaimana permainan perasaan ketika kita menunggu kepulangan/kedatangan yang belum pasti dari orang yang sangat kita cintai? Misteri menunggu cinta seseorang dapat kita pahami dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”. Di cerpen “Nyanyian Batanghari”, gambaran luka cinta terjadi karena perasaan cinta yang terpendam dan tokoh yang dicintainya pergi untuk selamanya. Dalam cerpen “Luka Beku”, kita akan merasakan perasaan luka seperti apa pula jika wanita yang kita cintai sudah ternodai/tidak suci lagi serta tidak mau lagi menjalin cinta dengan kita? Lantas, cerpen “Pulang” menyuguhkan begitu ngilunya cinta kepada orang tua karena tidak dapat menyaksikan kepergiannya.

Di dalam cerpen-cerpennya, HBK menyuguhkan kalimat-kalimat bersayap filsafat. Tentu saja kalimat-kalimat berdaya pikir itu memberikan kesan tersendiri berkenaan dengan mutu cerpen-cerpen yang dihasilkannya. Misalkan saja, aku akan menjadi tua di penjara, tetapi pikiranku tak akan pernah tua di manapun aku berada (cerpen “Penjara”); bagi saya, mencintai itu membebaskan (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”); cinta adalah kepercayaan dan keikhlasan (cerpen “Nyanyian Batanghari”); cinta bisa membebaskan orang dari batas-batas yang membuat perbedaan (cerpen “Luka Beku”.)

Hal yang lain yang cukup menarik perhatian saya bahwa HBK juga penulis yang profeminis. Sebagai sebuah teori, feminisme juga banyak dipraktikkan oleh kaum pria sehingga lahirlah terminologi male feminist. Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru dan belum begitu akrab. Terminologi ini muncul tatkala feminisme mulai merambah ranah studi yang intensif pada pengembangan wacana yang kritis dan analisis atas masalah feminis laki-laki. Feminisme pria (male feminist) adalah sebutan bagi kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok profeminis.

Sikap profeminis HBK, misalnya, dapat kita lihat dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”: Namun, engkau yang sering mengajarkan padaku bahwa harus ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Aku senang, engkau jugalah yang meyakinkan orang tuaku agar aku bisa kuliah hingga menjadi sarjana, meski hanya sarjana guru. Dalam cerpen “Wanita Penunggu Kayutanam”, HBK menulis begini: bahwa sentuhan wanita bisa mengalahkan segalanya, baik untuk anak-anaknya maupun suaminya. Padahal itu hanya kalimat lain bagi laki-laki untuk menghilangkan hak perempuan untuk hidup sejajar dengan wajar. Kamu tahu? Di sini wanita adalah simbol kekuatan.

Luka hukum, luka cinta, dan feminisme dalam TAdSD membaur dengan jernih. HBK berhasil memadukannya menjadi sesuatu yang menarik. Dalam cerpen-cerpennya ini, terkesan bahwa kepengarangan HBK sangat berkarakter, terutama jika dikaitkan dengan profesinya sebagai pemberita. Aspek ekstrinsik keprofesiannya itu menjadi salah satu latar belakang kelahiran dan nilai-nilai unik di dalam karyanya.

Musa Ismail, sastrawan dan guru di SMAN 3 Bengkalis.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012

Woodcut Performance Syahrizal Pahlevi


DWI S WIBOWO

DI TAHUN 1960, seorang seniman bernama Yves Klein telah meletakkan batu pertama ihwal performance art. Lewat salah satu aksinya yang bertajuk Saut dans le vide. Ia melompat dari balkon gedung berlantai dua ke arah jalan raya yang lengang. Aksi tersebut diabadikan oleh fotografer Harry Shunk.

Setelahnya, performance art kemudian makin banyak ditampilkan oleh seniman-seniman di Eropa kala itu. Sebutlah Carolee Schneemann, Wolf Vostell, Allan Kaprow, Robert Whitman, hingga yang paling kontroversial dan legendaris Yoko Ono, istri personel The Beatles John Lennon.

Di tahun 1962 untuk pertama kalinya Yoko Ono menampilkan performance art-nya yang paling kontroversial yakni cut piece. Aksinya sangatlah sederhana ia hanya duduk bersimpuh di lantai panggung menyanding sebuah gunting hitam di depannya kemudian ia meminta pada setiap penonton untuk maju satu per satu dan mulai memotong bagian-bagian baju yang ia kenakan. Penonton yang tak hanya perempuan pun maju satu persatu dan melakukan apa yang diminta oleh Yoko Ono, bahkan seorang partisipan lelaki pun pada akhirnya memotong tali bra milik Yoko Ono hingga ia terpaksa memegangi cup bra miliknya dengan kedua tangan agar payudaranya tak kelihatan. Itu bagian dari pertunjukan, dan itulah risiko yang dihadapi seorang performer (sebutan untuk pelaku performance art) ketika berhadapan dengan partisipan yang berada di luar perencanaan. Aksi ini diulanginya lagi pada tahun 2003 di Paris.

Performance art sendiri pada awalnya memiliki pengertian yang sangatlah luas, semua seni pertunjukan dapat digolongkan dalam ranah ini seperti tari, musik, drama, dan lain-lain. Tapi pengertiannya kemudian menyusut seiring mulai berkembangnya aliran dada dan seni konseptual (conceptual art), ketika itu performance art berada pada posisi antitesis terhadap pertunjukan teater yang makin konservatif. Performance art lebih banyak digelar di jalanan, dan kebanyakan melibatkan partisipan yang ditarik begitu saja ketika lewat di sekitar aksi. Maka tak heran bila kadang terjadi misscomunication (kesalahpahaman) di dalam aksi, aksi-aksi semacam ini juga kerap dinamai happening art lantaran terlalu banyak menggantungkan aksi pada partisipan dan tak dapat diulangi untuk memperoleh hasil yang sama.

Seiring berjalannya waktu, para performer semakin mematangkan konsepnya. Dari yang awalnya hanya berfungsi sebagai pertunjukan dan antitesis dari sebuah pertunjukan teater, performance art kemudian dimanfaatkan oleh para performer untuk menyampaikan gagasannya ke ranah publik yang luas. Potensinya untuk menarik perhatian orang banyak, dan juga media massa kemudian banyak ditunggangi oleh ideologi-ideologi dari performernya sendiri. Misalnya aksi John Lennon dan Yoko Ono yang melakukan aksi untuk menentang invasi Amerika terhadap Vietnam. Mungkin di sini, aksi performance art lebih berkesan ketimbang demonstrasi di jalanan.

Di Indonesia, tak sedikit seniman yang melakukan performance art (dalam konteks conceptual art) untuk menyampaikan gagasannya terhadap situasi yang tak aman di sekelilingnya. Kita ingat aksi performance art yang dilakukan Made Wianta Art N Peace di Bali yang melibatkan sekitar 2000 partisipan untuk menyuarakan perdamaian di muka Bumi. Itu salah satu aksi kolosalnya, selain itu ia juga pernah melakukan aksi untuk merespon tragedi bom bali tahun 2002 lalu dengan melukis menggunakan darah sapi di sebuah rumah pemotongan hewan. Tidak hanya Wianta, seniman Indonesia yang melakukan performance art, ada juga Arahmaiani yang dengan begitu giat menyuarakan feminisme lewat performance-nya. Pernah dalam suatu aksinya, ia membuka baju atasnya (hanya mengenakan bra) dan kemudian meminta pada setiap partisipan untuk menuliskan sebuah kata menggunakan spidol di tubuhnya. Wow!.

Performance art (dalam konteks conceptual art-kembali) di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh para perupa, meski di luar itu juga banyak dilakukan oleh penari dan dramawan dalam konteks estetik terutama. Tidak sedikit para perupa yang nyambi jadi performer ataupun konseptor performance art seperti Made Wianta dan Arahmaiani tadi, dan yang lainnyapun tak ingin ketinggalan seperti Afrizal Malna, Titarubi, Dadang Christanto, dan Syahrizal Pahlevi. Meski kebanyakan dari mereka tidak menampilkan performance art sebagai sebuah pertunjukan yang mandiri, melainkan sebagai pendamping dari sebuah pertunjukan besar atau pameran lukisan. Seperti pernah dilakukan Dadang Christanto pada pamerannya ‘’Seeing Java’’ pada tahun baru 2012. Dan yang terbaru dilakukan oleh Syahrizal Pahlevi pada pembukaan pamerannya yang bertajuk ‘’Jurnalisme Visual:Pesan dari Vermont: Archive Project’’.

Colaboration woodcut with DJ and poetry reading Syahrizal Pahlevi mengkolaborasikan antara poetry reading, disc jockey, dan woodcuts. Poetry reading atau pembacaan puisi mungkin sudah sangat lazim ditampilkan dalam mimbar-mimbar sastra, seorang penyair maju ke podium kemudian membacakan puisinya yang ditambah dengan aksi teatrikal untuk menambah penghayatan terhadap isi puisinya. Kita ingat pembacaan-pembacaan puisi yang pernah dilakukan Rendra di Taman Ismail Marzuki yang dilarang pemerintah Orde Baru kala itu, tetapi kali ini Saut Situmorang dan Afrizal Malna menampilkan pembacaan puisi dengan versi berbeda yang dikolaborasikan dengan DJ dan woodcuts.

Saut Situmorang menghadap ke arah dinding dimana salah satu karya Syahrizal Pahlevi dipajang, kemudian mulai membacakan beberapa puisi dari kumpulan puisinya, Otobiografi. Afrizal Malna, menciptakan puisinya sendiri malam itu dengan mengambil diksi-diksi dari lembaran-lembaran koran dan merobeknya di kepala. Menggandeng DJ latex sebagai pemutar piringan hitam, ruangan Sangkring Art Project telah dipenuhi dengan musik menghentak sebelum Syahrizal Pahlevi mulai mencukil hardboard-nya, membuat sketsa wajah dr Oi Hong Djien. Performance art ini berlangsung sekitar 15 menit hingga Syahrizal Pahlevi selesai mencetak sketsa pada selembar kanvas.

Aksi performance art ini menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik karena (meski) penonton tidak dilibatkan langsung dalam aksi sebagai partisipan, tapi secara emosi penonton diajak serta mengikuti hentakan musik, pembacaan puisi, dan ritme gerakan Syahrizal Pahlevi ketika membuat sketsa. Menurut pengakuannya, musik dapat memberi dorongan tersendiri dalam gairah bekerja dan menyimak pembacaan puisi membuatnya tetap berada pada kondisi konsentrasi yang konstan. Tidak mudah apa yang dilakukan Syahrizal Pahlevi, membuat sketsa dalam tekanan semacam itu jika dia tidak menguasai benar teknik-teknik mencukil yang ia butuhkan. Tentu hasilnya tak akan mirip wajah dr Oi Hong Djien. Performance art semacam ini juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan teknis seorang perupa dalam mengerjakan karyanya, jika dalam tekanan saja dapat mengasilkan karya yang rapi, apalagi dalam keadaan nyaman di studio pribadinya?

Sekali lagi, wow!

Dwi S Wibowo, lahir di Jatilawang, 23 Februari 1990. Kini kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta, serta bergiat di Rawarawa Art Commuity. Meraih beberapa penghargaan sastra seperti Radarbali Literary Award 2009, Nominee Batubedil Award 2010.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012