Rabu, 25 Agustus 2010

BUDI P.HATES



REGENERASI PENULIS MESTI DI BANGUN

HAYA ALIA ZAKI
Ketika menelaah karya-karya sastra bermutu Budi P Hatees, saya tak perlu terlalu mengernyitkan dahi, apalagi sampai meneteskan keringat untuk memahami maksud yang tersirat. Membaca torehan tinta miliknya, terutama cerpen, seperti membaca tulisan jurnalistik yang runut, tak banyak menghamburkan metafora, dan tergolong mudah dicerna. Meski kerap bertutur dengan bahasa sederhana, karya-karya penulis kelahiran Sipirok, sebuah desa nan indah di Tapanuli Selatan, tepatnya tanggal 3 Juni, 37 tahun lalu ini, tak pernah kehilangan daya pikatnya.

”Terus terang, karya-karya saya berangkat dari fakta, terutama berbasis pengalaman baru dan unik yang saya alami ketika melakukan liputan jurnalistik,” demikian ungkap Budi. ”Ketika menulis, saya selalu mengawali dengan menulis berita. Setelah berita yang saya tulis terbit, biasanya saya mengolah berita itu sedemikian rupa, diberi sentuhan fiksi disana-sini, lalu jadilah cerpen dan sajak. Tapi yang paling sering, berupa cerpen,” lanjutnya ramah. Singkat cerita, pemilik nama lengkap Budi Parlindungan Hutasuhut ini mengakui kalau jurnalistik sangat memengaruhi kemampuannya dalam menulis karya sastra.

Dalam alur kehidupan Budi, jurnalistik dan sastra ibarat sepasang saudara kembar yang tak terpisahkan. Putra kedua dari pasangan Rencong P Hutasuhut dan Nurhayati Nainggolan ini sebenarnya bisa saja menekuni bidang lain, namun dunia jurnalistik dan sastra membuatnya lebih puas dalam mengekspresikan diri. Tak dipungkiri, ada figur seorang ibu di balik keberhasilan Budi. Dulu, sang ibu (yang juga seorang seniman perajin kain adat Sipirok) rajin membelikan buku-buku dan sering meminta Budi kecil untuk menceritakan kembali isi buku yang usai dibaca. Secara tak langsung, andil sang ibu telah membuat Budi jatuh hati pada dunia membaca dan menulis.

Saat masih duduk di bangku SMP, Budi sudah menelurkan karya. Sajak-sajaknya muncul di beberapa harian daerah Sipirok dan Sumut. Cerpennya pun dimuat di majalah remaja ibukota. Selanjutnya, karya-karya Budi seolah tak henti meramaikan media cetak lokal dan nasional. Maka, berangkat dari kampung halaman dengan membawa modal kreativitas menulis, pria yang mulai keranjingan melahap buku-buku sastra di perpustakaan sekolahnya saat beranjak remaja ini, memberanikan diri merantau ke Jakarta (tahun 1991). Di sana Budi menimba ilmu di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Karena rencana awalnya adalah mengembangkan kemampuan menulis, maka Budi bergabung dengan sejumlah komunitas mahasiswa jurnalisme. Di sinilah ia berkenalan dengan seluk-beluk dunia jurnalistik.

Budi juga memasuki pergaulan sastra. Pria berpenampilan kalem ini aktif dalam kegiatan di Sanggar Sastra Diah Hadaning di Bogor. Ia senang menghadiri agenda-agenda sastra dan berkenalan dengan sejumlah redaktur. Dengan langkah tegap dan bersemangat, Budi menapak dinamika sastra Jakarta. Tak jarang ia terlibat polemik dengan para sastrawan.

Namun, meski berada di tanah orang, Budi yang semasa mahasiswa sempat bekerja menjadi wartawan majalah ekonomi, tak ingin lepas dari bayang-bayang tradisi dan budaya asal yang telah menyatu di setiap hela nafasnya. Budi tak hanya menggeluti jurnalistik dan sastra. Ia mendekap seni tradisional, menjadi penari dan pemukul gendang di Perkumpulan Masyarakat Adat Sipirok Jakarta. Tujuan dari perkumpulan seni tradisional ini adalah agar warga keturunan Batak Angkola (Sipirok) yang bermukim di Jakarta tak melupakan adat istiadat leluhurnya.

Tahun 1995, Budi hijrah ke Medan. Lagi-lagi ia berkecimpung dengan sejumlah kegiatan sastra dan menjadi pengamat serius atas perkembangan sastra nasional dalam wadah bernama Forum Kreasi Sastra (FKS). Almarhum NA Hadian dan A Rahim Qahar adalah dua sosok yang sering melontarkan kritik atas karya-karyanya dan tak pernah alpa berbagi cerita tentang dunia kreatif sastra. Namun, setelah beberapa kali sempat menyisir cakrawala sastra di kota metropolitan, yakni Medan dan Jakarta, akhirnya, Lampung adalah tempat yang dirasa Budi paling pas sebagai pelabuhan inspirasi. Alam Lampung yang belum terjamah dan kondisi lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi, memberinya banyak ilham untuk berkarya.

“Di Lampung saya memutuskan menjadi jurnalis. Saya memiliki kolom di koran Lampung Post. Isinya menyikapi masalah sosial masyarakat yang paling aktual. Menulis kolom membuat saya sangat mengutamakan aktualitas dalam menulis,” terang pria yang pernah menjadi juara pertama lomba menulis puisi dalam rangka ulang tahun Medan (bertajuk Medan Bestari). Di Lampung pula, Budi bersua dengan sang belahan jiwa yakni Hesma Eryani, sesama teman kerjanya di Lampung Post. Pasangan berbahagia ini dianugerahi gadis cilik nan cantik bernama Raraz Asghari Ghiffarina Hutasuhut (11 tahun). Peran keluarga ibarat bara yang terus membakar hasrat Budi agar tak lelah berkarya.

Dan ternyata, pria yang telah melahirkan sejumlah buku (kebanyakan antologi sajak dan cerpen) antara lain: Getar II (Sanggar Batu Beramal, Madang, 1995); Graffiti Grattuted (Penerbit Aksara Bandung, 2001); Malam Bulan (Penerbit Metafor, 2003); Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2002); Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002); Ini Sirkus Senyum (Penerbit Metafor, 2002); Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003); Dua Generasi (Jung Foundation, 2004); Dilema Orang Lampung: Membangun Tradisi dengan Sikap Tradisional (Penerbit MataKata, 2005); dan Matinya Pemimpin Adat (Penerbit MataKata, 2007) ini, tak hendak menyimpan ilmu bagi diri sendiri. Ia ingin para generasi muda juga mencintai dunia jurnalistik dan sastra. “Saya berkeyakinan kalau regenerasi mesti dibangun,” tegas Budi. “Untuk mewujudkannya, saya meninggalkan dunia jurnalistik dan memutar haluan dengan menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi,” sambungnya. Penulis yang menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung ini juga memprakarsai berdirinya organisasi kepenulisan (Forum Lingkar Pena) di Lampung dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung. Tak tanggung-tanggung, Budi pun terjun langsung ke dunia penerbitan buku dengan mendirikan Penerbit MataKata bersama rekannya, sang penyair, Y. Wibowo. Penerbit itu memiliki program regenerasi penulis. Berkat kegigihan dan tangan dingin Budi serta rekan-rekan, beberapa kader mereka telah tampil sebagai penulis. Pria yang sempat mengecap pendidikan Magister Management di Universitas Bandar Lampung, menyimpulkan bahwa kemampuan menulis identik dengan kemampuan menganalisis. Bila seseorang suka menulis, maka ia akan selalu ‘resah’ untuk membuat analisis. Untuk itu, diharapkan para generasi muda akan menjadi manusia-manusia yang peka dengan persoalan yang melingkupi masyarakatnya.

Sejak lampau, Budi telah merangkai angan, kelak ia akan menulis buku mengenai tanah kelahirannya, Sipirok. Sepertinya angan itu akan segera menjadi nyata. Kini, Budi yang hari-harinya juga disibukkan dengan ragam kegiatan sebagai fasilitator, pembicara, dan moderator di sejumlah pelatihan, seminar dan diskusi, tengah berusaha merampungkan sebuah novel yang berisi biografi sang ibu, lengkap dengan persoalan politik tahun 1950 dan fenomena kultural di lingkungan masyarakat adat Angkola Sipirok. Novel yang diberi judul Sungai Inang, diramu dengan aneka bumbu politik, adat, antropologi, serta agama. “Inspirasi Sungai Inang saya dapat dari membaca buku Lance Castle tentang Tapanuli,” Budi menjelaskan.

Sambil menulis novel, Budi juga menggarap buku tentang Kabupaten Tapanuli Selatan. Demi kepentingan pendalaman karya-karyanya, sekarang Budi menetap di Sipirok. Sesekali ia jalan-jalan ke Medan untuk riset tentang Medan tahun 1950-an.***

Sumber : Haya Aliya Zaki (naskah ini sudah dimuat di harian Analisa, Medan, 2009)

Tidak ada komentar: