Rabu, 25 Agustus 2010

ASAL USUL ORANG LAMPUNG (PART II)

Setelah tulisan yang lalu membahas Zaman Hindu Animisme, kali ini SIKAM LAMPUNG UNJ akan menyelesaikan tulisan mengenai Asal Usul Orang Lampung pada Zaman Islam dan Zaman Hindu Belanda. Silahkan dibaca:

ZAMAN ISLAM

Walaupun sudah sejak 651 M utusan Khalifah Usman bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas bertransmigrasi ke Kwang Chou di negeri Cina dan meskipun utusan Tulangbawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad ke-7, namun rupanya orang-orang Lampung di kala itu belum memasuki agama Islam.

Islam diperkirakan memasuki daerah Lampung di sekitar abad ke-15, melalui tiga arah. Pertama dari arah barat (Minangkabau) memasuki dataran tinggi Belalau. Kedua daerah utara (Palembang), memasuki daerah Komering pada permulaan abad ke-15 (1443) di Palembang. Ketiga dari Banten oleh Fatahillah, Sunan Gunung Jati, memasuki daerah Labuhan Maringgai sekarang, yaitu di keratuan Pugung disekitar tahun 1525, sebelum direbutnya Sunda Kelapa (1526).

Dari perkawinan Fatahillah dengan putri Sinar Alam anak Ratu Pugung maka lahirlah Minak Kejala Ratu yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih yang menurunkan Raden Intan.
Dengan masuknya masyarakat adat Pugung ke agama Islam dan setelah itu dengan berdirinya keratuan di daerah putih sebagai tempat penyebaran Islam di daerah Lampung yang pertama, maka secara berangsur-angsur orang-orang Peminggir di pantai selatan memasuki agama Islam. Dalam rangka membangun Negara Islam dan melaksanakan dakwahnya, maka antara Ratu Putih dan Pangeran Sibangkingking (Maulana Hasanuddin) diadakan perjanjian yang terkenal sebagai Perjanjian Dalung Kuripan yang bunyinya sebagai berikut:

“Ratu darah putih linggih dating lampung, maka dating Pangeran Sibangkingking, maka mupakat, maka Wiraos sapa kang tua sapa kanga nom kita iki.
Maka pepatutan angadu wong anyata kakak tua kelayan anom. Maka mati wong Lampung dingin. Maka mati malih wong Banten ing buring ngongkon ning ngadu dateng pugung ini dijeroluang. Maka nyata anom ratu darah putih, Andika kang tua kaula kanga nom, andika ing Banten kaula ing Lampung.
Maka lami-lami ratu-ratu darah putih iku ing Banten malya kul Lampung. Anjeneng aken Pangeran Sebangkingking ngadekaken Ratu. Maka djaneningpun Susunan Sebangkingking. Maka ratu darah putih angaturaken Sawung galling. Maka mulih ing Lampung……

Selanjutnya Dalung Kuripan itu mengatakan:

Wadon Banten lamun dipaksa dening wong Lampung daring sukane, salerane, Lampung kena upat-upat wadon Lampung lamun dipaksa wong Banten daring sukane, salerane, atawa saenake bapakne, Banten kena upat-upat
Wong Banten ngangkon Lampung keduk susuk ngatawa mikul Banten kena upat-upat
Lampung ngangkon Banten keduk susuk, Lampung kenang upat-upat. Lamen ana musuh Banten, Banten pangerowa Lampung, tutburi. Lamen ana musuh Lampung, Lampung manyerowa Banten Tutwuri. Sawossi Djandji Lampung ngalak kak Padjadjaran, Dajuh Kekuningan, Kandang besi, Kedawung, Kang uba haruan, Parunkudjang. Kang anulis kang panji Pangeran Sebakingking wasta ratu mas lelan raji sengaji guling, wasta minak bay Taluk kang denpangan ati ning kebo. Serat tetelu, ing Banten Dalung, Ing Lampung saksi Dalung, Ing maningting serat kentjana.

Demikianlah setelah diketahui yang mana tua dan yang mana muda antara Ratu Darah Putih dan Maulana Hasanuddin, di mana Maulana Hasanuddin lah yang lebih tua, maka keduanya saling bermufakat bahwa Maulana Hasanuddin berkedudukan di Banten sedangkan Ratu Darah Putih berkedudukan di Lampung. Di antaranya disepakati pula bahwa jika ada wanita Banten yang akan dipaksa dengan orang Lampung bukan atas kemauannya, maka Lampung akan di upat-upat, sebaliknya jika wanita Lampung yang diperlakukan demikian, maka Banten akan di upat-upat.

Yang bersifat politik dalam Perjanjian Dalang Kuripan ini adalah, jika Banten menghadapi musuh, Lampung akan membantu, sebaliknya jika Lampung menghadapi musuh maka Banten akan membantu. Oleh karena musuh Banten di kala itu adalah Pajajaran, maka atas bantuan pasukan Lampung, Pajajaran itu dapat dikalahkan. Ketika Raden Intan menghadapi Belanda ia dibantu oleh pasukan-pasukan dari Banten.

Di masa Maulana Hasanuddin (1550 – 1570), orang-orang Abung belum ada yang melakukan seba ke Banten. Jika di antara pemuka-pemuka Abung ada yang beragama Islam atau mengaku beragama Islam, maka Islamnya bukan dari Banten. Sebagai contoh, Minak Sengaji suami dari Bolan yang diperkirakan hidup pada awal abad ke-16, telah beragama Islam yang nampaknya bukan dari zaman Banten, melainkan dari zaman Malaka yang menjadi pusat dakwah Islam dalam abad ke-15.

Ketika pemerintah Banten dibentuk oleh Sunan Gunung Jati (1530) dan dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin, orang-orang Abung belum ada yang seba ke Banten. Mereka masih tetap memepertahankan adat istiadatnya yang serba Hindu animisme. Kemudian sebagiamana diuraikan Broersma:

“Toen oenyai was overleden, onstonden twisten tusschen Bagindo’s kloinkinderen, waarop een in monging van den Sultan van Banten is gevoldgd”.

Setelah Unyai wafat terjadilah perselisihan pendapat antara cucu Minak Paduka Begeduh sehingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti kekuasaan Banten. Kami berpendapat bahwa perselisihan ini ada hubungannya dengan peperangan antara Banten dan Palembang yang terjadi pada tahun 1596, diaman Maulana Muhammad dari Banten gugur dalam peperangan itu.

Menurut cerita rakyat kayu Agung, disana terdapat keturunan yang disebut keturunan “Abung Bung Mayang” yaitu keturunan Mukodum Muter dari Marga Abung, dan keturunan Raja Jungut Marga Aji Muaradua.

Yang berangkat seba ke Banten dari masyarakat adat Abung adalah Minak Semelesem, cucu dari Unyai (Minak Triou Disou). Ketika seba, ia memang sudah tua, oleh karena itu pendirian pepadun baru dilaksanakan kemudian oleh putranya, Minak Paduka, bertempat di ilir Way Kunang, yaitu di Bijang Penagan. Menurut perkiraan adat Pepadun Abung ini dibentuk sekitar abad ke-17, setidak-tidaknya sebelum berlangsungnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1672).
Dibentuknya adat Pepadun ini berarti melaksanakan penerimaan ajaran Islam ke dalam masyarakat dan meninggalkan adat istiadat lama yang bersifat Hindu Animisme.
Namun karena kelemahan pemerintahan Belanda sejak kekuasaan Sultan Haji (1672 – 1687), dimana VOC diizinkan untuk membeli lada langsung dari para penyimbang kepala-kepala marga Lampung, serta sifat dakwah Islam yang berjalan lemah di daerah pedalaman, maka dalam pelaksanaan adat Pepadun sejak abad ke-18 dan seterusnya masih banyak dipertahankan tata cara zaman leluhurnya. Orang-orang VOC tidak mempunyai perhatian terhadap masyarakat dsn adat istiadat penduduk, karena yang penting bagi mereka hanyalah bagaimana mendapatkan hasil-hasil lada rakyat.

ZAMAN HINDU BELANDA

Pada tahun 1668 VOC mendirikan Petrus Albertus di Tulangbawang, sebagai tempat menampung hasil-hasil pembelian lada di daerah Lampung bagian utara. Benteng ini tidak lama dipertahankan karena sebagian besar orang-orang Abung tidak mau menjual hasil buminya. Maka pada tahun 1738 VOC menempatkan bentengnya “Valkenoong” di Bumiagung.

Dalam permulaan abad ke-18 kepala-kepala marga Lampung masih mengakui kedudukan penguasa Banten sebagai atasannya, tetapi kemudian mereka tidak diurus oleh Banten lagi, dengan demikian mereka mengatur dirinya sendiri terutama dalam menghadapi bahaya perompakan yang sering melanda daerah pedalaman. Dalam tahun 1779 VOC bubar dan pemerintahan Hindia Belanda tidak dapat mempengaruhi pemuka-pemuka adat di pantai selatan yang kebanyakan berpihak pada Inggris. Di antara tahun 1801 – 1805, sebatin-sebatin Bandar di daerah Semangka membuat perjanjian perdagangan lada dengan Inggris yang berkedudukan di Bengkulu.

Untuk menjinakkan hati orang-orang Lampung, pada tahun 1808 Daendels yang begitu kejam di Jawa malahan mengakui Raden Intan sebagai Prins Regent dengan pangkat kolonel untuk daerah Lampung. Sejak masa itu Raden Intan merasa bangga sebagai pimpinan orang Lampung di Keratuan Darah Putih. Pengakuan ini dilanjutkan di masa Rafles pada tahun 1812. Namun setelah Pemerintah Hindia Belanda menerima kembali pemerintahan dari Inggris pada tahun 1816 kekuasaan Raden Intan itu ternyata tidak diakuinya lagi. Oleh Belanda ia hanya dianggap sebagai pimpinan marga Ratu saja dan tidak berhak menjadi pimpinan masyarakat Lampung di daerah Pesisir.

Atas dasar itu maka terjadilah perang Lampung yang memakan waktu hampir 40 tahun. Di daerah pesisir Rajabasa (Kalianda), perang dipimpin oleh keturunan Raden Intan (1817 – 18 56), sedangkan di daerah pesisir semangka (Kotaagung) perang dipimpin oleh keturunan Magunang (1828 – 1856). Perlawananan rakyat pesisir ini pada mulanya dibantu dengan diam-diam oleh Inggris, tetapi kemudian mereka berjuang sendiri karena adanya tindakan Belanda yang kejam terhadap harta dan kehormatan mereka, di sana sini banyak yang habis dibakar.

Selama perlawanan rakyat Lampung di daerah pesisir selatan, Belanda kemudian berangsur-angsur berhasil menjinakkan pemuka-pemuka masyarakat adat pepadun, atas usaha Kapten J.A Du Bois, asisten Residen Menggala (1818) . Ia kemudian berhasil membentuk pemerintahan keresidenan Lampung yang pertama dan menjadi Residen denga ibukota keresidenan di Terbang Tinggi Besar (1829). J.A Du Bois mati dalam peperangan di daerah Keratuan Darah Putih pada tahun 1834.

Pada tahun 1856 perlawanan rakyat Lampung dapat dipadamkan dan pada tahun 1857 pemerintahan daerah ditetapkan Belanda berdasarkan susunan masyarakat adat setempat. Sejak masa ini, hukum adat pepadun mungkin berkembang dengan jiwa pi-il pesinggiri, yang anatara lain menganut azas-azas pokok sebagai berikut:

1. Pemerintahan adat dipimpin oleh anak tertua laki-laki sebagai punyimbang atas dasar kekerabatan bertali darah, kerukunan suku dan musyawarah pemuka adat (perwatin).

2. Anak punyimbang adalah waris pengganti ayahnya sebagai penerus keturunan dan penanggung jawab memegang semua harta peninggalan (hukum waris mayorat lelaki).

3. Perkawinan dilaksanakan dalam bentuk perkawinan dengan pembayaran jujur, dimana istri ikut dipihak suami dan tidak boleh terjadi perceraian.

4. Seluruh bidang tanah yang pernah dibuka oleh anggota kerabatadalah tanah-tanah yang dikuasai kebuwayan sebagai milik bersama. Tanah-tanah yang belum pernah dibuka adalah “tanah Tuhan”.

5. Setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat kekerabatan atas dasar saling menghargai dan menjaga kehormatan kepunyimbangan masing-masing.

Pada tahun 1928 pemerintah Belanda menetapkan perubahan dari marga-marga geneologis-territorial menjadi marga-marga territorial-geneologis, dengan penetuan batas-batas daerah masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.

Sumber : Blog Mahasiswa Lampung

Tidak ada komentar: