Minggu, 29 Agustus 2010

MANUSKRIP ULAMA NUSANTARA DIJARAH PENJAJAH

Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah di University of Jordan tentang Filologi Hadits).

Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.

Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai Dr H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut petikannya:

Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?

Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.

Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?

Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.

Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.

Manuskrip Islam tertua di Nusantara?

Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.

Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.

Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?

Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?

Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.

Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?

Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.

Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?

Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.

Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.

Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?

Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.

Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.

Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?

Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.

Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?

Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”

Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.

Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?

Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.

Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”

Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?

Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?

Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?

Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar, Ternate, Tidore dan seterusnya.

Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?

Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten

Sumber : Cyber Sabili Com

Tidak ada komentar: