DINAIKI OLEH AIR DAN HUJAN ABU
(Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu)
Monday, 13 April 2009 00:00
Meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) yang terjadi pada bulan Agustus 1883 merupakan sejarah bagi dunia, tidak saja tercatat sebagai bencana paling hebat pada masa tersebut, juga mengakibatkan korban manusia yang tidak sedikit, sebanyak kurang lebih 36.000 orang tewas terimbas oleh Tsunami yang diakibatkan oleh letusan gunung Krakatau. Laporan-laporan mengenai kedahsyatan letusan Gunung Krakatau kebanyakan bersumber dari asing, terutama dari Belanda dan Inggris. Sampai akhirnya, peneliti dan ahli filologi pada Universitas Leiden, Suryadi menemukan Syair Lampung Karam dan kembali menuturkan untuk Radio Netherlands Worldwide dan Harian Kompas yang ditulis oleh Yurnaldi.
Satu-satunya kesaksian tentang kedahsyatan dan dampak dari letusan Gunung Krakatau ditulis dengan Judul Syair Lampung Karam. Tetapi pada edisi-edisi berikutnya terdapat variasi pada judul tersebut. Dan syair itu ditulis oleh seorang pribumi dengan nama Mohammad Saleh.
Berita ditemukannya satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, mengejutkan banyak orang. Dalam tempo 48 jam, berita yang dimuat pertama kali di Kompas online (www.kompas.com) itu diunduh sekitar 14.000 orang dari berbagai belahan dunia. Kemudian berita itu dikutip berbagai media.
Hamba mengarang fakir yang hina
Muhammad Saleh nama sempurna
Kerana hati gundah gulana
Melainkan Allah yang mengetahuinya
Jadi Mohammad Saleh mencantumkan namanya sebagai pengarang teks itu. Di dalam beberapa bait Syair Lampung Karam, dia mengatakan bahwa dia berada di Lampung pada saat letusan dahsyat itu terjadi. Dan dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura. Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan bahwa dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Yang sekarang menjadi Bengkulen Street. Itu Singapura lama.
Krakatau memang masih banyak menjadi inspirasi bagi para penulis, baik dari kalangan akademisi ataupun dari kalangan seniman (penulis novel), dan dari penelitian Suryadi selama 2 (dua) tahun telah menemukan satu bibliografi yang mencatat sekitar 2000 judul tulisan mengenai Krakatau. Anehnya dari sekian banyak tersebut tidak mencatat adanya Syair Lampung Karam ini, jadi memang selama ini dilupakan oleh para Penulis.
Yang menarik dari Syair Lampung karam ini adalah tidak saja ditemukan setelah 125 tahun setelah Krakatau meletus, tapi naskah kuno ini juga ditemukan pada tempat yang terpisah di enam negara yaitu di Jerman, Belanda, Inggris, Rusia, Malaysia dan Indonesia. Sampai akhirnya semua terungkap oleh Ahli Peneliti Suryadi. Setelah ia alih aksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis.
”Laporan orang asing yang selama ini ada tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 itu lebih menekankan aspek geologisnya. Letusan itu menewaskan lebih dari 36.000 orang. Adapun laporan Muhammad Saleh lebih pada aspek humanis, kemanusiaan, akibat letusan itu,” kata Suryadi, yang sebelumnya juga menemukan bagian sejarah dinasti Kerajaan Gowa yang hilang.
(Orang banyak nyatalah tentu, Bilangan lebih daripada seribu, Mati sekalian orangnya itu, Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang, Ada seribu lebih dan kurang, Orangnya habis nyatalah terang, Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan, Hamba melihat rasanya pingsan, Apalah lagi yang punya badan, Harapkan rahmat Allah balaskan.)
Isi Syair "Kesaksian Langka"
Syair Lampung Karam dapat disebut sebagai syair kewartawanan karena kuat menunjolkan nuansa jurnalistik. Dalam syair ini, dengan bahasa Melayu logat Riau Muhammad Saleh menggambarkan dengan dramatis bencana dahsyat akibat letusan Krakatau. Diceritakan musnahnya desa-desa dan kematian para warga akibat letusan yang menimbulkan tsunami serta hujan abu dan batu itu. Disebutkan daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak hancur lebur akibatnya.
Memang jauh berbeda nuansa laporan yang diceritakan oleh Muhammad Saleh dengan laporan-laporan oleh Barat yang melihat dari segi Ilmu Pengetahuan, Geologi dan Geografinya. Tetapi dalam Syair Lampung Karam, Mohammad Saleh justru melihat dari segi humanismenya, dari segi kemanusiaannya. Bagaimana orang dalam keadaan kacau seperti itu saling tolong-menolong. Tetapi ada juga yang mencuri barang orang lain, dan memperkaya diri dengan mengambil banyak harta orang lain. Dan bagaimana tuan controleur Belanda datang dan membagi uang kepada orang, menyuruh para saudagar yang masih hidup, untuk membawa beras dan menolong masyarakat di sana.
Dan juga penulis Mohammad Saleh menekankan bahwa ini bencana dan kita harus tetap dekat kepada Tuhan seperti itu. Jadi ini aspek kemanusiaannya lebih terasa. Dan kita tidak akan menemukan gambaran seperti ini dalam laporan orang Eropa. Ini pentingnya teks ini. Jadi saling melengkapi, bagaimana gambaran historis, sejarah mengenai letusan itu pada waktu itu.
Edisi Terbitan Muhammad Saleh
Dan dia menulisnya di sana. Dan selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Yang menarik bagi saya, dalam Syair Lampung Karam ini yang ditulis dalam aksara Arab Melayu, atau Jawi kata orang di Malaysia sana. Mudah-mudahan masih ada orang muda di Indonesia yang bisa membaca sekarang. Kalau tidak ini sudah saya latinkan dan bisa dibaca nanti. Mudah-mudahan bisa diterbitkan di Indonesia lanjut Suryadi.
Adapun sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman).
”Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884),” paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam.
”Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888),” ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Syair Kewartawanan
”Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau,” tutur Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khazanah budaya dan sastra daerah Lampung.
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Syair_Lampung_Karam
http://kompas.com/read/xml/2008/08/31/10515861/ditemukan.naskah.kuno.letusan.krakatau.1883.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/00480765/letusan.krakatau.di.mata.pribumi
http://www.ranesi.nl/tema/budaya/syair_lampung_karam080903
http://en.wikipedia.org/wiki/1883_eruption_of_Krakatoa
Dicopy dari Khatulistiwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar