Senin, 16 Agustus 2010

MELACAK NASKAH NASKAH KUNO BANTEN

Melacak Naskah-naskah Kuno Banten

Monday, 17 May 2010

Keberadaan Naskah kuno sebagai salah satu warisan kebudayaan, secara nyata memberikan bukti catatan tentang kebudayaan kita masa lalu. Naskah-naskah tersebut menjadi semacam potret jaman yang menjelaskan berbagai hal tentang masa itu. Dengan demikian nilainya sangat penting dan strategis, diperlukan langkah-langkah konkret dalam upaya penyelamatan dan pelestarian naskah-naskah tersebut.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengkajian naskah-naskah kuno yang masih ada, pendataan naskah kuno, penyalinan, dan penerjemahan isi naskah kuno serta pembuatan katalog yang memuat data lengkap tentang koleksi naskah-naskah kuno tersebut. Berikut ini adalah catatan yang dibuat oleh Edi S. Ekadjati dalam melacak naskah-naskah yang berkaitan dengan sejarah Banten.

===========================================================

MELACAK NASKAH-NASKAH BANTEN

Oleh: EDY S. EKAJATI


Agar tidak terjadi salah pemahaman tentang pengertian naskah yang dikaitkan dengan pengertian naskah dewasa ini secara umum, kiranya terlebih dahulu perlu dikemukakan mengenai definisi naskah dalam pembicaraan kita ini. Yang dimaksud dengan naskah dalam pembicaraan ini adalah karya tulis yang dibuat langsung oleh alat tulis dan tangan, tidak melalui alat tulis mekanik, seperti mesin tik, mesin cetak, komputer.

Penulisan naskah dimaksud dilakukan pada masa lalu, tatkala alat tulis mekanik belum ada dan belum meluas penggunaannya. Di Tatar Sunda, termasuk wilayah Banten, naskah dibuat sejak masih hidupnya Kerajaan Sunda (akhir abad ke-7 hingga akhir abad ke-16) dan baru berakhir menjelang akhir abad ke-20.

Lahirnya naskah berhubungan erat dengan munculnya kecakapan tulis-baca di kalangan masyarakat. Kelahiran kecakapan tulis-baca bertalian erat dengan munculnya aksara sebagai lambang suara yang dikeluarkan oleh manusia. Suara manusia itu yang kemudian disebut bahasa (lisan) merupakan alat komunikasi sosial di antara sesama mereka.

Di Tatar Sunda bukti keberadaan aksara untuk pertama kalinya dikenal melalui peninggalan prasasti, yaitu tulisan pada batu. Prasasti dimaksud diperkirakan berasal dari sekitar pertengahan abad ke-5, tatkala Kerajaan Tarumanagara masih tegak berdiri (akhir abad ke-4 hingga akhir abad ke-7). Prasasti tersebut yang berjumlah 7 buah ditulis dengan cara dipahat serta menggunakan aksara Palawa dan bahasa Sanskerta.

Dalam hal ini di wilayah Banten, tepatnya di aliran Sungai Cidanghiang yang terletak di kampung Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, ditemukan sebuah prasasti demikian yang berasal dari zaman itu yang dikenal dengan sebutan Prasasti Cidanghiang.

Prasasti ini ditemukan pada tahun 1947 (Ayatrohaedi, 1975). Sayang sekali di wilayah ini belum ditemukan prasasti lain baik yang berasal dari zaman yang sama (Kerajaan Tarumanagara) maupun dari zaman sesudahnya (Kerajaan Sunda).

Sejauh pengetahuan saya, belum diketahui adanya data yang mengungkapkan waktu naskah dibuat di Banten untuk pertama kalinya. Yang ada hanyalah informasi yang tertera pada naskah Sajarah Banten atau Babad Banten yang disusun dan ditulis untuk pertama kalinya pada tahun 1662/1663. Menurut penulis naskah ini yang menyebut dirinya Sandimaya, pada waktu itu sudah ada naskah yang disimpan bersama naskah keagamaan Islam (tasawuf) pada peti kayu (kandaga) milik kalangan bangsawan Banten. Naskah tersebut digunakan sebagai sumber bagi penyusunan Sajarah Banten atau Babad Banten itu (Djajadiningrat, 1913: 7-11).

Selanjutnya, berdasarkan buku-buku katalog yang ada dan penelitian kepustakaan saya sendiri ke Bagian Naskah Perpustakaan Nasional di Jakarta dan Museum Banten Lama di Serang serta kerja lapangan pada kalangan masyarakat di wilayah Banten, diketahui bahwa naskah Banten tidak begitu banyak jumlahnya, dibandingkan dengan naskah-naskah yang didapatkan di wilayah Priangan dan Cirebon.

Mungkin hapusnya Kesultanan Banten dari panggung sejarah pada awal abad ke-19 dan seringnya terjadi konflik senjata di wilayah ini dalam rangka menentang kekuasaan kolonial sejak akhir abad ke-17 hingga menjelang abad ke-20 menjadi faktor penyebab keberadaan naskah Banten demikian.

Yang dimaksud dengan naskah Banten adalah naskah yang dibuat di Banten dan isinya umumnya bertalian dengan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Banten sepanjang sejarahnya baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan Kesultanan Banten sepanjang abad ke-17 yang bercirikan Islamisasi dan perniagaan sesungguhnya memberi gambaran bahwa pada masa itu banyak ditulis naskah-naskah, terutama naskah-naskah yang berhubungan dengan pengajaran agama Islam dan tradisi kehidupan di lingkungan masyarakat elit setempat.

Keberadaan Naskah-naskah Banten

Keberadaan naskah-naskah Banten dapat dilacak dari beberapa buku katalogus, antara lain buku-buku katalogus:

Catalogus van Maleische en Soendaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotheek (Juynboll, 1899),
Supplement op den Catalogus van de Soendaneesche Handschriften en Catalogus van de Balineesche en Sasaksche Handschriften (Juynboll, 1912),
Literature of Java (Pigeaud, 1967, 1968, 1970),
Catalogus der Soendanese Handschriften van Snouck Hurgronje (Kern, t.th.),
Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan (Ekadjati dkk., 1988),
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 4 (Behrend, 1998).
Naskah-naskahnya sendiri berada di Perpustakaan Universitas Leiden (negeri Belanda), Perpustakaan Nasional Jakarta, Museum Banten Lama (Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang), dan kalangan masyarakat Banten. Bagian terbesar dari naskah-naskah itu dalam kondisi baik. Artinya, tidak rusak sehingga mudah atau dapat dibaca.

Dalam kesempatan ini saya melacak naskah Banten hanya dari buku katalog Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan yang diterbitkan tahun 1988 yang dalam penyusunannya bersumberkan beberapa buku katalog yang mencatat keberadaan naskah Sunda dan terbit sebelum tahun 1988. Berdasarkan buku katalog naskah tersebut, naskah Banten berjumlah 94 buah naskah, terdiri atas 31 naskah berada Perpustakaan Nasional Jakarta, 61 naskah berada di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda), dan 2 buah didapatkan di kalangan masyarakat Banten.

Daftar 94 naskah tersebut terlampir. Sesungguhnya bersama tim saya telah menginventarisasi dan membuat mikrofilm atas naskah-naskah pada koleksi naskah Museum Banten Lama sekitar tahun 1993. Namun, karena penerbitan katalogus mikrofilem naskah yang mengandung koleksi naskah Museum Banten Lama belum diterbitkan, maka daftar naskahnya tak disertakan di sini.

Keberagaman Naskah-naskah Banten

Dari 94 naskah tersebut di atas, tampak bahwa bahan naskah, asal-usul naskah, bentuk karangan, jenis aksara dan bahasa yang digunakan, dan jenis isi yang terkandung di dalamnya beraneka-ragam. Gambaran naskah tersebut memperlihatkan bahwa naskah-naskah Banten dibuat oleh penulis yang tidak sama dan pada waktu yang berbeda.

Walaupun naskah-naskah di wilayah Tatar Sunda ditulis pada beberapa jenis bahan tulisan, yaitu daun palem (lontar, nipah, enau, kelapa, pandan), bambu, daluang, dan kertas, namun naskah yang berasal dari wilayah Banten, sejauh pengetahuan saya hingga sekarang, hanya ditulis pada dua jenis bahan naskah, yaitu daluang dan kertas. Daluang adalah jenis kertas yang terbuat dari kulit kayu. Ada dua macam daluang.

Pertama, daluang yang diproduksi di dalam negeri yang pembuatannya dengan cara memukul-mukul kulit kayu yang telah dikelupas, kemudian membersihkan memeram, dan menjemurnya pada terik matahari. Karena di Priangan dalam pembuatan daluang itu menggunakan bahan dari kulit kayu yang diambil dari pohon saeh (Broussonetia Papyrifera vent), maka daluang yang dihasilkannya sering disebut kertas saeh.

Kedua, daluang yang didatangkan dari luar negeri, terutama dari negeri Cina sehingga dulu dalam masyarakat Sunda dikenal ungkapan “teungteuingeun eunteung beureum, keretas daluang Cina”. Adapun kertas yang dimaksud di sini adalah kertas buatan pabrik yang dahulu (mungkin sejak abad ke-18) didatangkan dari negeri-negeri di Eropa dan sesudah memasuki abad ke-20 diproduksi sendiri di tanah air kita. Penulisan naskah dari bahan daluang dan kertas dilakukan dengan kalam dan pena yang disertai tinta.

Pada umumnya naskah-naskah Banten yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda) berasal dari kalangan kolektor naskah orang Belanda yang tertarik perhatian dan minatnya pada aktivitas penelitian kebudayaan setempat.

Mereka adalah K.F. Holle, C.M. Pleyte, dan Dr. J.L.A. Brandes bagi naskah-naskah di Perpustakaan Nasional Jakarta serta Roo de la Faille, Dr. Snouck Hurgronje, Dr. D.A. Rinkes, Dr. G.A.J. Hazeu bagi naskah-naskah di Perpustakaan Universitas Leiden.

Tentu saja mereka memperoleh naskah-naskah itu atas pemesanan, pemberian atau pembelian dari kalangan orang Banten sendiri yang tampaknya berasal dari kalangan pejabat pemerintahan dan tokoh agama (Islam). Ada beberapa nama orang yang disebut-sebut sebagai penulis, pemilik, dan atau penyumbang naskah-naskah itu, antara lain Ahmad Djajadiningrat (Bupati Serang), Haji Danuri (penulis naskah), Muhamad Dai (Lurah Ciupas), Mangundikaria (guru dan pengarang bahasa di Serang), Patih Menes.

Asal daerah yang paling banyak disebut adalah Kabupaten Serang, menyusul kemudian Kabupaten-kabupaten: Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Secara garis besar ada dua bentuk karangan yang tertera pada naskah-naskah Banten, yaitu prosa dan puisi. Di dalam bentuk prosa terdapat jenis cerita, paparan, dan catatan. Bentuk puisi terdiri atas jenis puisi tembang, syair (sisindiran), dan ungkapan tradisional (mantera, jangjawokan).

Jenis aksara yang digunakan dalam naskah-naskah Banten terdiri atas aksara-aksara: Jawa (Carakan), Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin. Adapun bahasanya menggunakan bahasa-bahasa: Jawa, Sunda, Melayu, Arab, dan terselip bahasa Belanda. Ragam jenis aksara dan bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Banten mencerminkan beragamnya pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke dalam lingkungan masyarakat Banten.

Dalam hal ini adalah kebudayaan Islam, Jawa, Melayu, dan Belanda. Soalnya, pada dasarnya jenis aksara awal berasal dari luar Nusantara, yaitu dari India, Arab, dan Eropa; khusus di Tatar Sunda juga datang dari Jawa. Adapun bahasa asli orang Banten pada mulanya adalah bahasa Sunda. Semuanya itu dapat dipahami, karena Banten menjadi tempat pertemuan para pedagang yang berasal dari berbagai negeri di Asia dan Eropa sejak awal abad Masehi paling tidak hingga abad ke-18.

Secara garis besar isi 94 naskah Banten tersebut di atas dapat dibedakan atas tujuh jenis, yaitu:

Agama (Islam),
Bahasa,
Kemasyarakatan,
Magis (kepercayaan kepada kekuatan gaib),
Primbon,
Sejarah, dan
Sastra.
Naskah keagamaan banyak didapatkan pada koleksi naskah Perpustakaan Universitas Leiden yang meliputi:

bacaan do’a (LOr. 7424, LOr. 7763, LOr. 5649, LOr. 7425),
syahadat (LOr. 5685, LOr. 5720),
tata cara beribadah (LOr. 5730, LOr. 5720),
tarekat (LOr. 7419, LOr. 7423b),
mistik (LOr. 5716, LOr. 5738, LOr. 7541, LOr. 7419, LOr. 7418)
tokoh nabi dan ulama (LOr. 7900, LOr. 7418, Delfs 240/280-46/R.410),
dan ilmu agama Islam lainnya (LOr. 275, LOr. 7425, LOr. 5717).
Naskah yang berisi sejarah Banten banyak didapatkan pada koleksi naskah Pepustakaan Nasional Jakarta yang judulnya menggunakan istilah babad, sajarah, carita, wawacan, piagam, catatan, dan surat.

Kedua kelompok naskah tersebut menempati kedudukan mayoritas dalam keberadaan 96 naskah Banten. Naskah yang berisi paparan tentang bahasa atau tatabahasa jumlahnya tidak banyak, meliputi paparan bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda.

Dalam hal ini misalnya, naskah yang mencatat dan membicarakan tentang bahasa Sunda dialek Banten (Plt. 10), penggunaan kata kangge (LOr. 5642), tatabahasa Arab (Lor. 5674).

Kelompok naskah Banten yang mengungkapkan masalah kemasyarakatan antara lain tentang:

pohon enau beserta kegunaannya yang menghasilkan air nira sebagai bahan pembuat gula merah (SD. 64, SD. 99),
daftar hasil bumi (Plt. 144),
pengetahuan tentang penanggalan (Br. 284),
penyakit (LOr. 7906),
sensus penduduk (LOr. 7709).
Naskah-naskah Banten kelompok magis mengungkapkan tentang bacaan sihir, jimat, mantera, ilmu kekebalan, kidung, dan lain-lain (LOr. 7424, LOr. 7763, LOr. 7885, L0r. 7426, LOr. 7703, LOr. 7705).

Naskah-naskah primbon berisi mengenai ramalan di masa datang, gejala alam, dan lain-lain (LOr. 7909, LOr. 7424, LOr. 7425).

Yang tergolong jumlahnya cukup banyak adalah kelompok naskah sejarah yang berisi tentang kisah dan catatan yang bertalian tentang perjalanan daerah dan orang Banten pada masa lampau.

Dalam hal ini naskah berjudul Babad Banten ada 8 naskah (Br. 62, 62a, 62b; Br. 86; Br. 296; Br. 625; KBG 219; di Banten Lama) dan berjudul Sajarah Banten ada 8 buah (BG 183a, 183b; LOr. 5605; KITLV Or. 267; LOr. 7420; LOr. 7570; LOr. 6530; LOr. 6532).

Selain itu, didapatkan pula 4 naskah berjudul dengan istilah carita yang mengisahkan sejarah daerah dan orang Banten, yaitu:

Carita Pucuk Umun (Plt. 10),
Carita Raden Tegal (Plt. 86),
Carita H.M. Bakri (SD 93), dan
Carita-carita Jaman Baheula (Plt. 64);
Wawacan sebanyak 3 buah:

Wawacan Banten Girang (Plt. 31),
Wawacan Kyahi Haji Mansur (BG 183a & 183b),
Wawacan Nyi Artati (Plt. 22);
Naskah yang diberi judul dengan istilah catatan, peraturan, silsilah, perjanjian, dan lain-lain, seperti Catatan tentang Banten (Plt. 90) yang mengungkapkan hubungan antara Kesultanan Banten dengan Lampung, berbagai aturan yang dikenakan untuk orang Lampung, dan piagam yang dikeluarkan oleh Kanjeng Sultan Banten;

Peraturan Sultan Banten (Plt. 46) yang mengemukakan tentang aturan yang dikeluarkan oleh Sultan Abu Almuksin Ngindanas Muhamad Jenalngabidin di negeri Surasowan kepada semua rakyat Banten dan Lampung yang bertalian dengan kewajiban menanam lada di Lampung dan pengiriman hasilnya ke Banten, pembelian budak (pria dan wanita) yang harus pakai cap Sultan Banten;

Catatan Silsilah (NBS. 239) yang di dalamnya antara lain tertera silsilah Pangeran Sebakingkin yang diawali dari Nabi Adam;

Perjanjian Sultan-sultan Banten (LOr. 8250) yang berisi sejumlah piagam yang dikeluarkan oleh Sultan-sultan Banten yang bertalian dengan daerah Lampung dan daerah Sumatera Selatan lainnya.

Akhirnya terdapat pula naskah Banten berjenis isi sastra. Naskah berjenis sastra dapat dibedakan terdiri atas dua macam, yaitu:

naskah yang bentuk dan isinya bersifat sastra serta
naskah yang bentuknya saja bersifat sastra, sedangkan isinya bukan sastra atau campuran antara sastra dengan agama, sejarah, dan sebagainya.
Contoh naskah Banten berjenis sastra adalah:

Wawacan Abu Jahal (LOr. 7816),
Wawacan Nabi Paras (LOr. 7809),
Kidung Pangruat (LOr. 7705),
Jangjawokan (LOr. 7909),
Wawacan Amir (LOr. 7841),
Wawacan Kendit Birayung (LOr. 7844),
Wawacan Kudawirasa (LOr. 7780),
Wawacan Madu Kusuma (LOr. 8650),
Wawacan Lahuri (LOr. 7867, LOr. 7869, LOr. 7886).
Di samping itu, masih ada naskah Banten yang tak dilengkapi judul awal yang menjadi ciri penentuan kelompok jenis naskah tersebut di atas, tetapi isi naskahnya tergolong pada salahsatu jenis kelompok naskah di atas. Dalam hal ini, misalnya, naskah Plt. 142 yang diberi judul bahasa Belanda De Badoej’s (Orang Baduy), ternyata isinya menuturkan mengenai asal-usul, agama, kehidupan keluarga, upacara adat, dan bahasa pada masyarakat Baduy (Kanekes) di Banten Selatan; naskah Plt. 60 yang disebut sebagai judulnya Ekspedisi Militer ke Banten dan Nasehat Orang Tua memuat dua hal.

Pertama, berisi penuturan tentang ekspedisi militer Belanda dari Batavia ke Cilegon di bawah pimpinan Letnan Kolonel De Brauw pada tanggal 1 Maret 1850. Tujuan ekspedisi militer ini ialah untuk memadamkan pemberontakan yang meletus di daerah itu. Bagian ini ditulis dengan aksara Latin dan bahasa Belanda
Kedua, berisi nasihat orang tua kepada kaum muda agar berkelakuan baik. Bagian ini ditulis dengan aksara Latin dan bahasa Sunda.
Kajian Naskah Banten

Diantara naskah-naskah Banten yang diketahui ada, naskah yang berisi sejarah Banten yang telah dikaji secara luas dan dalam. Naskah dimaksud berjudul Sajarah Banten (SB) serta Babad Banten (BB) dan jumlahnya cukup banyak. Adalah para ahli Belanda yang mula-pertama menjadikan naskah SB atau BB sebagai objek kajian ilmiah.

Pertama-tama A.C. Vreede (1892: 112-119) menginventarisasi dan mencatat identitas SB pada naskah LOr. 1982 untuk penyusunan buku katalogus naskah Jawa dan Madura. Selanjutnya, diikuti oleh J.L.A. Brandes (1894; 1894a; 1900; 1920) yang mengungkapkan SB dalam empat karangannya.

Katanya, SB menarik perhatian, karena memiliki ciri-ciri sebagai sebuah babad yang lengkap, seperti Babad Tanah Jawi. Ia meringkas sebagian isi SB (pupuh 23-29) yang tertera pada naskah Br. 296. Pada karangan ketiga, ia memberikan ulasan terhadap sebagian SB pada naskah yang sama (pupuh 47-49 dalam Br. 296) yang menuturkan perjalanan utusan Banten ke ibukota Mataram pada tahun 1648. Karangan keempat membahas tokoh raja Majapahit bernama Jayanagara yang diutarakan dalam SB dan Pararaton.

Perintis membuat suntingan teks SB adalah C.M. Pleyte (1911). Ia menyunting teks SB yang tertera pada pupuh ke-21 yang menuturkan penyerangan tentara Banten ke ibukota Pakuan Pajajaran pada masa pemerintahan Maulana Yusuf. Pada tahun 1938 J. Edel mengkaji secara filologis naskah Banten berbahasa Melayu yang berjudul Hikayat Hasanudin. Naskah ini dibandingkan dengan naskah berbahasa Jawa berjudul Sajarah Banten Rante-rante. Ia menyajikan suntingan teksnya dan membahas bertalian dengan naskah dan teksnya.

Ada orang Banten sendiri yang untuk pertama kalinya melakukan kajian terhadap naskah Banten secara ilmiah dalam bentuk disertasi. Beliau adalah Pangeran Husein Djajadiningrat. Untuk mengakhiri studinya (1913) di Universitas Leiden (Belanda),Husein Djajadiningrat menyusun disertasi yang mengkaji naskah Sajarah Banten dan Babad Banten ditinjau dari sudut sejarah.

Disertasinya itu yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten: Bijdrage ter Kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving (Tinjauan Kritis Sejarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa). Patut dicatat bahwa disertasi Husein Djajadiningrat yang bahasa Belandanya bagus berhasil dipertahankan dengan nilai Cum Laude (Dengan Pujian).

Pada waktu mempertahankan disertasinya itu usia beliau baru menginjak 27 tahun (lahir di Kramatwatu, 1886). Dalam studinya Husein Djajadiningrat mengkaji 10 naskah yang ditulis dengan menggunakan tiga jenis aksara (Pegon, Jawa, dan Latin) dan bahasa Jawa serta berasal dari koleksi Prof. Snouck Hurgronje (4 naskah), koleksi Dr. D.A. Rinkes (1 naskah), Bijbel Genootschap (1 naskah), koleksi Brandes (2 naskah), koleksi Warner (1 naskah), dan koleksi keluarganya secara pribadi (1 naskah).

Naskah-naskah tersebut kemudian menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteit Bibliotheek Leiden) sebanyak 6 naskah, koleksi Perpustakaan Nasional sebanyak 2 naskah (Br. 86 dan Br. 625).

Dilihat dari sudut kelengkapan teksnya, semua naskah itu berstatus sebagai naskah salinan, sedangkan dilihat dari bacaan teksnya, ke-10 naskah ini dapat dibedakan atas tiga redaksi yang masing-masing terdiri atas 3 naskah, 2 naskah, dan 5 naskah.

Redaksi pertama disusun pada tahun 1585 Syaka (1662/1663 Masehi), redaksi kedua disusun pada tahun 1625 Syaka (1701/1702 Masehi), dan redaksi ketiga disusun tahun 1732 Masehi. Sajarah Banten redaksi pertama mencerminkan teks asli, redaksi kedua merupakan saduran agak bebas dari redaksi pertama, dan redaksi ketiga merupakan salinan dengan beberapa penambahan teks dari redaksi pertama.

Menurut Husein Djajadiningrat, ke-10 naskah tersebut memiliki isi yang sama, yaitu menceritakan mengenai masa lalu Banten atau sejarah Banten sejak menjelang masuknya agama Islam di daerah ini yang kemudian berdirinya kerajaan Islam Banten hingga pecahnya peperangan antara Banten dengan Batavia pada pertengahan abad ke-17 Masehi.

Namun, dalam penyusunannya terdapat dua sifat cerita yang berbeda. Bagian awal sampai dengan masuknya agama Islam di daerah ini ceritanya bersifat mitologis dan legendaris dan banyak diambil dari cerita tradisi Jawa dan Nusantara, sedangkan cerita sesudahnya (bagian akhir) bersifat historis. Suntingan teksnya sendiri tidak disertakan dalam studi Husein Djajadiningrat itu, melainkan hanya berupa ikhtisar isi berdasarkan pembagian sifat ceritanya (Bab I).

Oleh karena itu, dalam studi ini isi Sajarah Banten (SB) dikaji berdasarkan tinjauan sejarah bagi bagian cerita yang bersifat sejarah (Bab II) serta dikaji dengan pendekatan sastra dan historiografi tradisional bagi bagian cerita yang bersifat sejarah (Bab III). Model studi ini dipandang sebagai perintis dan pelopor dalam mengkaji sebuah naskah yang berisi karya sastra sejarah.

Penyajian suntingan teks beserta terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dan kajian tentang jenis aksara dan amanat SB dilakukan oleh Patmadiwiria (1991) dan Titik Pudjiastuti (1991; 200). Patmadiwiria menyunting teks SB yang tertera dalam naskah yang berasal dari Cibeber tahun 1932 serta bersumberkan cerita lisan.

Selain itu, ia membahas tokoh Hasanuddin dan Pucuk Umun yang menurut teksnya hidup pada masa penyebaran agama Islam. Dalam studinya yang pertama yang berbentuk tesis, Titik Pudjiastuti (1991) menyunting teks SB yang terdapat pada naskah LOr. 7389 serta perbandingan teks tersebut dengan tiga teks SB lainnya sehingga tampak jelas memperlihatkan perbedaan versi. Hasil studi Titik Pudjiastuti yang lain yang berupa disertasi dapat dikatakan menindaklanjuti studi Husein Djajadiningrat. Menurut Titik Pudjiastuti (2000: 6), sesungguhnya ada 31 naskah yang judul dan isinya mengenai sejarah Banten.

Dari 31 naskah itu diketahui hilang 2 naskah, yaitu naskah milik pribadi Husein Djajadiningrat dulu dan naskah Br. 86 pada koleksi Perpustakaan Nasional. Ia mengklasifikasi naskah SB berdasarkan kuantitas dan kelengkapan isinya ke dalam dua kelompok besar, yaitu Sajarah Banten Besar (SBB) dan Sajarah Banten Kecil (SBK). Isi SBB mengandung perbedaan bacaan dengan SBK sampai tingkat versi, tetapi keduanya saling berhubungan.

Titik Pudjiastuti mengkaji lebih jauh SB ditinjau dari jenis aksara Pegon yang digunakan dalam sebagian besar naskah SB (19 naskah) dan amanat yang dikandung dalam teksnya masing-masing. Bahwa pemakaian jenis aksara Pegon dalam sebagian besar naskah SB berkaitan dengan besarnya pengaruh agama Islam, bahasa Melayu, dan kesusastraan Arab dalam masyarakat Banten pada zamannya. Sementara terwujudnya SBB dan SBK berhubungan dengan amanat yang dikandung dalam teks keduanya.

Uka Tjandrasasmita (1967) menggunakan teks SB untuk dijadikan sumber dalam menyusun sejarah Banten periode Sultan Ageng Tirtayasa. Sementara Talens (1993; 1999) memanfaatkan SB bagi kajian antropologi (kekuatan ritual) dan sejarah. Martin van Bruinessen (1995) dan Ongkodharma Untoro (1998) juga memanfaatkan informasi dari SB untuk kajian lembaga keagamaan di Banten pada abad ke-16 dan 17 Masehi serta kajian arkeologi dan sejarah perdagangan pada zaman keemasan Kesultanan Banten (1552-1684).

Di luar naskah SB, naskah Banten lain yang pernah dikaji adalah naskah-naskah: Babad Kawung Baduy (SD 99), Babad Kawung Lebak (SD 64), Carita H.M. Bakri (SD 93), dan Wawacan Banten Girang (Plt 31). Kajian ini hanya dalam bentuk identifikasi fisik dan kajian isi naskah secara garis besar dengan dibandingkan dengan isi naskah-naskah lain.

——————————-

Lampiran:

DAFTAR NASKAH BANTEN

(Sumber: Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan)

A. Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta

47. Bahasa Sunda Dialek Banten (Plt. 10, Peti 121)
65. Catatan Tentang Banten (Plt. 90, Peti 119)
72. Peraturan Sultan Banten (Plt. 46, Peti 119)
73. Piagam Sultan Banten (Plt. 45, Peti 121)
81. De Badoej’s (Plt. 142, Peti 121)
126. Babad Kawung Baduy (SD. 99)
128. Babad Kawung di Distrik Lebak (SD. 64)
134. Hasil-hasil Bumi (Plt. 144, Peti 119)
142. Pranatamangsa (Br. 284)
144. Surat dari Tanggerang (Plt. 54, Peti 121)
145. Surat dari Ahmad Djajadiningrat kepada C.M. Pleyte (Plt. 145, Peti 121)
278. Babad Banten (Br. 62)
279. Babad Banten (Br. 62a)
280. Babad Banten (Br. 62b)
281. Babad Banten (Br. 86)
282. Babad Banten (Br. 296)
283. Babad Banten (Br. 625)
284. Babad Banten (KBG. 219)
313. Carita Pucuk Umun (Plt. 10, Peti 119)
314. Carita Raden Tegal (Plt. 86, Peti 121)
321. Pucuk Umun Sunda (Plt. 21, Peti 121)
324. Sajarah Banten (BG. 183b)
338. Wawacan Banten Girang (Plt. 31, Peti 121),
340. Wawacan Kyahi Haji Mansur (BG. 183a)
341. Wawacan Nyi Artati (Plt. 22, Peti 121)
351. Carita H.M. Bakri (SD. 93)
352. Carita-carita Jaman Baheula : Dongeng-dongeng Banten (Plt. 64, Peti 121)
360. Catatan-catatan Banten (Plt. 59, Peti 119)
361. Catatan dan Surat (Plt. 52, Peti 119)
363. Ekspedisi Militer ke Banten dan Nasehat Orang Tua (Plt. 60, Peti 119)
371. Pucuk Umun (Plt. 122, Peti 119)
———————————

B. Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda

50. Catatan tentang Doa dan Sihir (LOr. 7424)
54. Catatan tentang Jimat dan Doa (LOr. 7763)
70. Cerita-cerita Abdu’l-Kadir Gailani (DFT.S 240/280-46/R.410)
79. Doa-doa Orang Islam (LOr. 5649)
80. Do’a, Salat, Niat, Obat-obatan, dan Rajah (LOr. 5646)
94. Ilmu agama Islam dan Ramalan (LOr. 7425)
96. Kepercayaan (LOr. 7885)
122. Kitab Zuhrat Al-Wardiyya (LOr. 7849)
134. Mistik dan Ilmu Agama Islam (LOr. 5716)
136. Mistik, Ilmu Agama, dan Sisindiran (LOr. 5738)
143. Mistik dan Kosmogoni (LOr. 7541)
171. Risalah Dalam Bahasa Arab : Syahadat dan lain-lain (LOr. 5685)
172. Risalah Ilmu Agama dan Mistik (LOr. 5726)
173. Risalah mengenai Mistik, Satariyah, dan lain-lain (LOr. 7419)
174. Risalah tentang Haji, Doa, dan Ilmu Agama (LOr. 5730)
175. Risalah tentang Syahadat dan Fiqih (LOr. 5720)
176. Risalat (LOr. 7734)
177. Risalat Mistik Haji Mangsur (LOr. 7418)
181. Sajarah Nabi (LOr. 7900)
206. Tarekat Akmaliya (LOr. 7423b)
221. Wawacan Abu Jahal (LOr. 7816)
222. Wawacan Agama (LOr. 7897)
226. Wawacan Nabi Paras (LOr. 7809)
238. Ilmu Agama (Sanusiyah) dan Tata Bahasa Arab (LOr. 5717)
244. Kata Pokok “Kangge” (LOr. 5642)
248. Gurumiyat, az-Zangani at-Tasrif al-Izzi, Fasl fil Muu’tall, dan Kitab Damir (LOr. 5674)
257. Daftar Peristiwa di Istana Faqih Najmuddin (LOr. 5625, 5626, 5627, 5628)
267. Balas Patia (LOr. 7906)
271. Kidung Pangruat (LOr. 7705)
273. Mantera, Ilmu Kekebalan, Do’a, dan Rajah (LOr. 7426)
330. Cacah Jiwa [Sensus] (LOr. 7709)
334. Catatan-catatan : Jimat, Doa, Obat-obatan, Ramalan, dan Percintaan (LOr. 7423a)
382. Paririmbon dan Jangjawokan (LOr. 7909)
385. Primbon (LOr. 7424)
386. Primbon (LOr. 7425)
402. Ahmad Sadar (LOr. 7968)
503. Kidung dan Mantera (LOr. 7703)
565. Wawacan Ahmad Sadar (LOr. 7824)
566. Wawacan Amir (LOr. 7841)
590. Wawacan Kendit Birayung (LOr. 7844)
593. Wawacan Kudawirasa (LOr. 7780)
594. Wawacan Madu Kusuma (LOr. 8650)
598. Wawacan Lahuri (LOr. 7867)
599. Wawacan Lahuri (LOr. 7869)
600. Wawacan Lahuri (LOr. 7886)
673. Rangga Sena dari Pajajaran (LOr. 7421)
675. Sajarah Banten (LOr. 8605)
684. Sejarah Banten (KITLV. Or. 267)
719. Babad Sunda (LOr. 7862)
728. Catatan Silsilah (NBS. 239)
730. Cerita Sejarah Wiranangga (LOr. 5631)
731. Daftar Penguasa Banten (LOr. 7740)
735. Perjanjian Sultan-Sultan Banten (LOr. 8250)
738. Piagam Sultan Banten (LOr. 5825)
744. Sajarah Dano (LOr. 7860)
751. Sajarah Banten (LOr. 7420)
752. Sajarah Banten (LOr. 7570)
758. Sajarah Kesultanan Banten (LOr. 6530)
759. Sajarah Kesultanan Banten (LOr. 6532)
780. Silsilah dan Keturunan Cerbon (LOr. 7549)
789. Surat Sultan Banten untuk raja Swedia (Swedia)
C. Koleksi Masyarakat Banten

Nyi Jadyahni (milik Tabrani di desa/kec. Bayah, Kabupaten Lebak)
Babad Banten (desa Banten Lama, Kabupaten Serang)
Bandung, 21 Juni 2004

Edi S. Ekadjati

Sumber: http://humaspdg.wordpress.com

Tidak ada komentar: