ALKISAH, pada masa silam, gadis-gadis asli Lampung memiliki kemampuan memikat lawan jenisnya. Memang (mantra-mantra) pengasih ini ditorehkan dalam aksara Lampung kaganga di atas media kulit kayu.
Naskah kuno yang merepresentasikan campur aduk kepercayaan animisme, agama Hindu, dan Islam ini merupakan salah satu benda koleksi Pameran Pelangi Aksara Nusantara 2010 yang digelar Senin hingga Sabtu (27/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.
Koleksi naskah kuno dari sembilan provinsi yang memiliki aksara dipamerkan di sini adalah Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Lampung, Bali, Jawa Barat, Sumatera Selatan, DIY, dan Bengkulu. Total ada 59 koleksi filologika yang dipamerkan.
Naskah-naskah kuno dan aksara ini merupakan kekayaan khazanah budaya di Nusantara hasil dari pemikiran, ilmu pengetahuan, dan kepercayaan masyarakat adat pada masa lalu. Lewat pameran ini, kita dikenalkan betapa kayanya budaya bangsa ini, termasuk yang dimiliki masyarakat adat di Sumatera, seperti Lampung.
Naskah-naskah kuno itu bukan hanya berupa kertas, melainkan juga bambu, kulit kayu, bilah bambu, daun lontar, sampai tanduk hewan. Museum Negeri Lampung memiliki salah satu koleksi naskah dari bahan tanduk kerbau yang eksotik, tetapi isinya belum diketahui.
Provinsi Jambi juga memiliki koleksi serupa, yaitu dari Kerinci. Tanduk ini ditulisi aksara incung dengan bahasa Kerinci kuno. Isinya tentang tata cara sesajian, petuah-petuah, dan syarat menjadi pemimpin.
Beberapa naskah lain bahkan menceritakan kearifan lokal yang masih relevan dengan kondisi sekarang. Salah satunya koleksi Lontar Usada Manak dari Bali. Naskah setebal 75 lembar ini bercerita tentang berbagai macam penyakit anak-anak dan obat penyembuhannya.
Menurut Edi Sedyawati, filolog dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pameran ini sangat bermanfaat untuk melestarikan aksara dan naskah kuno Nusantara. Sebab, lambat laun bukan tidak mungkin aksara tradisional yang pernah ada di bumi Nusantara ini suatu hari akan punah.
”Dari segi artefak, sudah banyak naskah kuno kita yang hilang, dimiliki asing. Di lain pihak, penggunanya semakin berkurang,” ujarnya. Berdasarkan data KE Holle, peneliti asal Belanda, pada tahun 1877, tercatat 161 aksara daerah yang ada di seluruh Nusantara. (JON)
Sumber: Kompas, Senin, 29 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar