Senin, 23 Agustus 2010

TRADISI MENULIS DALAM ISLAM

Oleh: HENDRA SUGIANTORO


MENULIS adalah tradisi yang (harus) dimiliki umat Islam. Tradisi menulis ini berkaitan erat dengan tradisi membaca yang telah dititahkan Allah SWT dalam surat al-�Alaq. Surat al-�Alaq ayat 1 sampai 5 sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT berisi penegasan tentang keutamaan membaca (iqra�) dan menulis (�allama bi al-qalam).

Dengan tradisi membaca dan menulis, umat Islam kuasa mencapai puncak peradabannya. Kedua tradisi inilah yang terus membingkai setiap aktivitas ulama dan intelektual muslim tempo dulu sehingga mampu mengikat ilmu dan menyebarluaskannya. Sebagaimana bunyi ungkapan, �Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,� maka ulama-ulama Islam zaman awal tidak pernah melepaskan hari-harinya tanpa menulis. Pentingnya menulis ini telah menjadi perhatian generasi Islam awal. Dalam salah satu riwayat, Abdullah bin �Amr bin �Ash berkata, �Dulu aku menulis semua perkara yang aku dengar dari Rasulullah SAW untuk aku hafalkan. Namun, orang-orang Quraisy melarangku dan bertanya, �Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Beliau adalah manusia yang berbicara ketika senang dan ketika marah?� Aku pun berhenti menulis. Lalu, aku menceritakannya kepada Rasulullah SAW. Beliau memberi isyarat ke mulutnya dengan jarinya seraya bersabda, �Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.�

Para sahabat adalah teladan bagi kita untuk tidak melupakan aktivitas menulis. Aktivitas menulis para sahabat dilakukan dengan mencatat kejadian di zaman Rasulullah SAW dan mencatat perkataan-perkataan beliau. Dalam pemeliharaan wahyu pun, menulis tak ditinggalkan. Kekuatan hafalan yang dimiliki para sahabat tak menafikan pencatatan wahyu yang diterima Rasulullah SAW. Ketika menerima wahyu, Rasulullah SAW juga seringkali meminta para sahabat yang bisa menulis untuk menuliskannya, baik ketika wahyu turun di Mekah maupun di Madinah. Media untuk menulis Al-Qur�an pada masa itu masih sangat sederhana, yakni di pelepah korma, batu, kulit dan tulang binatang, daun, dan sebagainya.[1] Menurut suatu riwayat, beberapa sahabat yang mencatat wahyu ada sekitar 40 orang, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, �Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka�ab, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain[2]. Sebanyak 40 orang ini seperti yang dituturkan Abu Abdillah Zanjani. Dari kalangan perempuan yang bisa menulis pada awal kemunculan Islam adalah Ummu Kultsum binti Uqbah, Karimah binti Miqdad, dan Syifa� binti Abdullah. Atas perintah Rasulullah SAW, Syifa� binti Abdullah mengajari Hafshah ilmu tulis dan setelah itu Hafshah masuk dalam golongan para penulis wahyu.[3] Adapun Aisyah memiliki pelayan yang menuliskan ayat-ayat Al-Qur�an. [4]

Pentingnya menulis di zaman Islam awal tak sekadar mencatat wahyu, tapi juga naskah perjanjian, surat-surat, dan urusan lainnya. Terkait surat, penulisan dan pengiriman surat kepada para pembesar pelbagai negeri sebagai ajakan untuk masuk Islam merupakan peristiwa dakwah yang menyejarah.[5]

Dengan demikian, perhatian Islam terhadap aktivitas menulis memang secara jelas dapat kita saksikan dari contoh dan perbuatan nyata di atas. Melalui surat al-�Alaq ayat 1 sampai 5, Allah SWT secara implisit mengatakan: membaca dan menulislah wahai umat Islam, peradaban milik kalian! Pentingnya menulis juga ditegaskan Allah SWT dalam surat al-Qalam ayat pertama, �Nun, demi kalam dan apa yang mereka tuliskan.�

Dalam ayat pertama surat Al-Qalam itu, Allah SWT bersumpah dengan dua hal, yakni kalam/pena dan apa yang ditulis. Berdasarkan pengertian umum dari para ulama, sumpah Allah SWT terhadap sesuatu berarti menandakan bahwa sesuatu itu memang penting. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa ayat tersebut mendorong manusia untuk belajar menulis yang memiliki kaitan dengan wahyu pertama pada surat al-�Alaq yang mendorong manusia belajar membaca.[6]


Dari zaman Islam awal, kebiasaan menulis terus-menerus berlanjut dan menjadi tradisi. Johannes Padersen mengatakan jarang ada kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis memainkan peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam.[7] Aktivitas menulis senantiasa dilakukan ulama dan intelektual muslim. Imam Syafi�i, misalnya, memahami sisi penting dari aktivitas menulis. Entah ditulis sendiri atau didiktekan ke muridnya, ada pelbagai karya tulis yang ditorehkan Imam Syafi�i. Dikatakan Yaqut al-Hamawi, jumlah karya Imam Syafi�i mencapai 174 kitab. Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasaat menyebutkan bahwa di antara judul-judul kitab karya Imam Syafi�i adalah Ar-Risalah, As-Sunan al-Ma�tsuurah, Al-Fiqh al-Akbar, Ikhtilaaf al-Hadits, Musnad, Ahkaam Al-Qur�an, dan Al-Umm.[8]


Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal yang produktif menulis. Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab di antaranya Kitab al-�Ilal, At-Tafsiir, An-Naasikh wal-Mansuukh, Kitab az-Zuhd, Al-Masaa�il, Kitab Fadhaa�il ash-Shahaabah, Kitab al-Faraa�idh, Al-Manaasik, Kitab al-Imaan, Kitaab al-Asyribah, Tha�at ar-Rasuul, Kitab ar-Rad �alaa al-Jahmiyyah, dan Musnad Ahmad. Dari sejumlah karyanya, kitab terakhir itulah yang paling masyhur, sehingga membuat nama Imam Ahmad bin Hanbal berkibar di jagat keilmuan Islam.[9] Imam Bukhari yang kita kenal dengan Shahih al-Bukhari-nya telah menerbitkan kitab pertamanya Qudhaya ash-Shahabah wat Tabi�in (Peristiwa-peristiwa Hukum di Zaman Shahabat dan Tabi�in) pada usia 18 tahun. Konon ketika menginjak usia 22 tahun, beliau menulis kitab At-Tarikh di atas makam Rasulullah SAW. Selain itu, puluhan kitab lainnya telah dihasilkan Imam Bukhari.[10]

Aktivitas menulis juga diperlihatkan Muhammad bin Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijriyah). Konon setiap hari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar. Karya-karya tulisnya antara lain Jami� al-Bayan fi Tafsir Al-Qur�an, Kitab al-Qira�at wa Tanzil Al-Qur�an, Tahzib al-Atsar wa Tafdil as-Sabit, Ikhtilaf al-Ulama al-Amsar fi Ahkam Syara�I�I al-Islam, dan al-Basir fi Ma�alim ad-Din.

Ibnu Katsir pun produktif menulis. Karyanya tidak hanya Tafsir Al-Qur�an al-Karim yang termasyhur dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir, tapi memiliki banyak karya lainnya. Beliau menghasilkan beberapa kitab ilmu hadits, seperti Jami� al-Masanid wa as-Sunan, al-Kutub as-Sittah, al-Mukhtasar, dan Adillah at-Tanbih li �Ulum al-Hadits yang lebih dikenal dengan nama al-Baits al-Hadits. Jami� al-Masanid wa as-Sunan sejumlah delapan jilid yang berisi nama-nama sahabat periwayat hadits. Ia juga menulis Fadha�il Al-Qur�an yang berisi ringkasan sejarah Al-Qur�an. Kitab Ibnu Katsir terkait bidang sejarah adalah al-Bidayah wa an-Nihayah (sebanyak 14 jilid), al-Fushul fi Sirah ar-Rasul, dan Thabaqat asy-Syafiiyyah. [11]

Ulama yang juga produktif menulis adalah Ibnu Taimiyah. Karya tulisnya mencakup bidang akidah, fikih, tafsir, hadits, tasawuf, filsafat hingga politik. Menurut Muhammad Farid Wajdi, editor Daa�irah al-Ma�aarif al-Islamiyyah, karya Ibnu Taimiyah mencapai 500 judul. Karya tulis Ibnu Taimiyah diantaranya adalah al-Jawaab ash-Shahiih li man Baddala ad-Diin Al-Masih (Jawaban yang Benar Terhadap Orang yang Mengganti Agama Al-Masih), Majmuu� al-Fataawaa (Kumpulan Fatwa), dan Kitaab Ar-Radd �alaa al-Manthiqiyyiin (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik).[12] Ibnu Taimiyah berdakwah melalui tulisan juga dengan menulis surat, seperti al-Hamawiyah (surat yang ditulis untuk penduduk Hamah), al-Wasithiah (surat yang dikirim untuk penduduk Wasith), dan at-Tadammuriah (surat yang diperuntukkan bagi penduduk Tadammur). Ada juga kitab Dar Ta�arudh al-�Aql wa an-Naql yang ditulis beliau.[13]

Beberapa nama yang diterangkan di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya ulama dan intelektual muslim yang menulis. Selain mereka, ada Imam Malik, Imam Suyuthi, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, Buya Hamka bisa disebut sebagai salah satu ulama yang begitu melimpah karya tulisnya. Karya sastra yang ditulis Buya Hamka seperti Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka�bah, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Adapun karya lainnya adalah Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Sejarah Umat Islam, dan sebagainya.[14] KH. Hasyim Asy�ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga memiliki karya tulis, seperti Adab al-Alim wa al-Muta-alim, An-Nur Al-Mubin, ar-Risalah al-Jamiah, at-Tibyan Fin Nahyi An Muqotaat al-Ikhwan, ar-Risalah at-Tauhidiyah at-Tanbihat al-Wajibat, dan sebagainya.[15] Muhammad Natsir juga menghasilkan puluhan karya tulis, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.[16]

Dari uraian di atas, kita menyadari bahwa menulis merupakan tradisi yang melekat dalam Islam. Menulis tidak lagi menjadi pilihan, tetapi suatu keniscayaan yang perlu dilakukan. Dwi Budiyanto (2009) menyebut aktivitas menulis sebagai salah satu kebiasaan muslim pembelajar.[17]

Tradisi menulis dalam Islam memiliki beragam tujuan. Pertama, menulis untuk mengikat ilmu. Setiap ilmu yang didapatkan akan terekam kuat jika dituliskan. Ilmu adalah sesuatu yang berharga sehingga perlu menjaganya dengan menuliskannya. Siapa pun perlu menulis untuk mengikat ilmu. Kedua, menyampaikan ilmu. Ilmu yang didapatkan tentu perlu disebarluaskan untuk kemaslahatan bersama. Tidak hanya belajar, tapi juga mengajarkan ilmu dengan menyebarluaskannya lewat tulisan. Ketiga, menyeru kepada kebaikan (amar ma�ruf). Menulis untuk mengajak manusia menuju pada kebaikan. Keempat, mencegah kemungkaran (nahi munkar). Tulisan-tulisan yang dihasilkan berawal dari kegelisahan untuk menentang kezaliman dan berkata tidak pada setiap kemungkaran. Kelima, meneguhkan keimanan manusia. Menulis untuk mengarahkan kehidupan pada kesadaran ketuhanan. Ulama-ulama Islam zaman dahulu menulis untuk tujuan tersebut. Di luar tujuan lain, itulah motif yang hendaknya membangun motivasi kita dalam menulis. Ketika kita membuat tulisan dengan niat dan tujuan yang benar, kita akan mendapatkan nilai lebih dan akan menjadi amal jariyah kita, insya Allah.

Bagi kita, menulis tak sekadar perang opini. Menulis juga ikhtiar mengikat dan mewariskan ilmu. Kita akan tetap menulis, karena menulis adalah tugas agama. Jika kita menulis untuk keabadian, tak ada yang abadi kecuali Allah SWT. Dan, ingin rasanya berseru, �Wahai umat Islam, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Teruntuk umat Islam yang lurus, hanya teruntuk umat Islam yang lurus: angkatlah pena!� Wallahu a�lam.



Daftar Pustaka

Al-Qur�an Al-Karim
Aidh bin Abdullah al-Qarni, Cahaya Kemuliaan di Wajah Mereka, terjemahan Muhammad Sholeh&Muhammad Zakki. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005.
Ari Hendri, Mukjizat Al-Qur�an. Jakarta: CV Artha Rivera, 2008.
Dwi Budiyanto, Prophetic Learning. Yogyakarta: Pro-U Media, 2009.
Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis. Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, terjemahan Alwiyah Abdurrahman. Jakarta: Mizan, 1996.
J.V Van Hoeve (et. al.), Ensiklopedi Islam untuk Pelajar Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru, cetakan 4, 2005.
Muhammad Hadi Ma�rifat, Sejarah Al-Qur�an, terjemahan Thoha Musawa. Jakarta: Al-Huda, 2007.
Nasir Tamara, (eds.), Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cetakan 3, 1996.
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur�an. Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008.
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur�an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia. Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2003.
Sulaiman An-Nadawi, Aisyah The True Beauty, penerjemah Ghozi M. Jakarta: Pena Pundi Aksara, cetakan 2, Desember 2007.
Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur�anul Majid An-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cetakan 2, September 2000.
Toha Yahya Omar, Islam&Dakwah. Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004.
Hadits Web



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ari Hendri, Mukjizat Al-Qur�an (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), hlm. 24. Baca juga Muhammad Hadi Ma�rifat, Sejarah Al-Qur�an, terjemahan Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), hlm. 39-40.
[2] Keterangan lebih jauh, baca Nur Faizah, Sejarah Al-Qur�an (Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008), hlm. 159-160.
[3] Muhammad Hadi Ma�rifat, op. cit., hlm. 38-39.
[4] Keterangan lebih jauh, baca Sulaiman An-Nadawi, Aisyah The True Beauty, terjemahan Ghozi M. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, cetakan 2, Desember 2007), hlm. 277.
[5] Keterangan lebih jauh mengenai surat-surat dakwah Rasulullah SAW, baca Toha Yahya Omar, Islam&Dakwah (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004): hlm. 185-203 dan Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 22-32.
[6] Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur�anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cetakan kedua, September 2000), hlm. 4306-4307.
[7] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terjemahan Alwiyah Abdurrahman. (Bandung: Mizan), 1996), hlm. 57.
[8] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), hlm. 153
[9] Ibid, hlm. 42.
[10] Keterangan lebih jelas, lihat Hadits Web via internet
[11] Saiful Amin Ghofur,

Tidak ada komentar: