Minggu, 29 Agustus 2010

"SYAIR LAMPUNG KARAM" hidup kembali

SETELAH 125 TAHUN TERSEMBUNYI



DI dunia filologi, Suryadi adalah nama yang tengah bergaung. Ia ramai dibincangkan berkat temuannya tentang naskah klasik karya Muhammad Saleh: Syair Lampung Karam (SLK). Saleh, penulis asal Lampung (?) dan menjadi satu-satunya pribumi yang merekam betapa dahsyatnya letusan Gunung Krakatau pada 1883 itu. SLK ditulis tiga bulan setelah letusan dahsyat itu. Temuan Suryadi "menyingkap tabir" SLK selama 125 tahun tersimpan di beberapa negara. Telaah komprehensif ini dibukukan dengan judul Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883 (cetakan ke-1 Agustus 2009 dan cetakan ke-2 Januari 2010). Buku yang dieditori Yurnaldi ini diterbitkan oleh Komunitas Penggiat Sastra Padang.

Letusan Krakatau menjadi horor amat mengerikan. Ia disebut-sebut sebagai letusan gunung berapi terhebat sepanjang sejarah. Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda itu telah "batuk-batuk" sejak Mei 1883, tapi baru menggelegar pada 26, 27, dan 28 Agustus. Dan, puncak malapetaka dan kengerian itu terjadi pada 27 Agustus 1883. Letusan itu menimbulkan awan panas setinggi 70 km, tsunami disusul gelombang laut setinggi 40 meter, bumi jadi gelap, dan 36 ribu manusia dijemput maut.

Lebih dari seribu tulisan ilmiah tentang letusan Krakatau telah dipublikasikan, tetapi tak satu pun menyentuh SLK karya Muhammad Saleh itu. Selama 125 tahun SLK seperti tersembunyi di tempat-tempat sunyi: selain tersimpan di Indonesia, ia juga bersemayam di beberapa perpustakaan di Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, dan Malaysia. Berkat ketekunan Suryadi, setelah selama dua tahun melakukan "perburuan", SLK kini jadi "hidup" kembali. Suryadi melakukan transliterasi dari huruf Jawi (Arab-Melayu) ke aksara Latin sehingga bisa dinikmati publik.

Filologi (bidang naskah lama) adalah dunia yang "sepi", yang tak mungkin mengantarkan siapa pun menjadi kaya dan terkenal. Tapi, di dalam dunia sepi itu justru membahagiakan pria yang pernah gagal menjadi pengajar tetap di almamaternya: Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Sumatera Barat, juga Universitas Indonesia. Menekuni naskah-naskah lama, bagi Suryadi seperti berenang di laut luas, menyingkap rahasia masa silam yang tak terbayangkan oleh masa kini. Kegagalannya menjadi dosen di dalam negeri-karena tak pernah lulus ketika tes menjadi pegawai negeri, justru mengantarkan nasibnya lebih bersinar di Eropa. Pada 1998 ia diterima sebagai pengajar dan peneliti pada Jurusan Studi Asia Tenggara dan Oseania di Universitas Leiden, Belanda. Telah 12 tahun ia bermukim di Negeri Kincir Angin itu.



Hasil penelitian pria kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 15 Februari 1965, ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional. Selain SLK, Suryadi juga telah mengkaji surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau. Semuanya dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance Project) yang berpusat di Australian National University, Canberra, Australia. Ia juga dipercaya memimpin satu proyek yang dibiayai British Library.

Sebagai "duta naskah-naskah lama" di mancanegara, Suryadi yang tengah menyusun disertasi program Ph.D di tempatnya mengajar, ini kerap diundang menjadi pembicara berbagai seminar pernaskahan di mancanegara. Mengambil momentum 127 tahun Gunung Krakatau meletus, Lampung Post mewawancarai ayah dua orang anak ini, lewat surat elektronik seputar Syair Lampung Karam. Berikut petikannya:

***

Punya arti apa baik secara pribadi maupun akademik penemuan SLK karya Muhammad Saleh bagi Anda?

Secara pribadi, saya merasa puas melihat hasil suntingan dan transliterasi teks SLK yang saya kerjakan ini mendapat apresiasi positif di Indonesia. Buku ini diekspos oleh beberapa media cetak seperti majalah Gatra dan Tempo serta diluncurkan dan dibedah juga di Newseum Cafe, Jakarta, 29 Juli lalu (yang digagas oleh Taufik Rahzen). Mudah-mudahan akan terbit juga resensinya di beberapa media cetak nasional. Saya kira apresiasi yang tinggi ini tak lepas dari momen yang tepat pula: bahwa buku ini terbit ketika negara kita beberapa tahun terakhir ini sering dilanda bencana alam, khususnya gempa bumi yang menimbulkan tsunami dan juga kerusakan hebat di darat seperti yang barusan terjadi di Aceh, Yogyakarta, dan Sumatera Barat.

Secara akademis, saya harap (dengan rendah hati) buku ini akan memberi sumbangan pagi body of knowledge tentang sastra Melayu lama dan juga mengenai sejarah natural disaster di dunia, khususnya di Indonesia. Buku ini berhasil mengungkapkan satu lagi dokumen pribumi mengenai sejarah masa lampau negeri kita. Dokumen seperti ini jelas langka, apalagi menyangkut bencana alam. Kita memang harus mengakui bahwa dulu, bahkan sampai sekarang, bangsa kita lebih menghidupi tradisi lisan. Jadi, dalam soal dokumen-dokumen dan data sejarah, mau tak mau kita tergantung ke sumber-sumber Barat, bangsa yang sudah lama hidup dalam budaya tulis. Tapi, dengan penemuan salinan-salinan teks SLK ini, terbukti bahwa bangsa kita juga pernah mencatat letusan Krakatau 1883 secara tertulis, yang merefleksikan bagaimana perspektif orang pribumi sendiri melihat bencana alam yang dahsyat itu. Saya sangat senang mengetahui bahwa beberapa studi terakhir mengenai sejarah bencana alam di Indonesia memperkaya rujukannya dengan hasil studi saya mengenai SLK ini, misalnya The Dutch Colonial Government and Its Response to the Krakatau Disaster oleh Erlita Tantri (Univ. Leiden, 2009; BA Thesis) dan The Indigenous Perception on Natural Disaster oleh Reza Indria (Univ. Leiden, 2010; MA Thesis).

Khusus untuk Lampung punya makna apa penemuan SLK?

Saya melihat kaitannya dengan judul yang diberikan kepada teks itu: Syair Lampung Karam. Judul itu terus-menerus menjadi semacam peringatan bagi warga Lampung yang sekarang "bertetangga" dengan Anak Krakatau, "keturunan" langsung Gunung Krakatau yang telah berkali-kali meluluhlantakkan kawasan pantai Lampung dan menimbulkan korban yang banyak sekali (konon sudah 11 kali meletus sejak zaman kuno). Kalau syair itu dipopulerkan di Lampung melalui berbagai macam alternatif mediasi dan adaptasi baru, mungkin ia akan berguna bagi masyarakat Lampung, baik dalam arti untuk menambah pengetahuan sejarah tentang negeri mereka, maupun sebagai warning agar warga Lampung khususnya, Indonesia umumnya, terus waspada menghadapi fenomena vulkanis yang memang hebat sekali di Selat Sunda, yang dekat sekali dengan Lampung.

Benarkah dari berbagai pelacakan Anda, SLK satu-satunya karya pribumi yang "merekam" meletusnya Krakatau?

Sampai saat ini saya mendapati memang teks (-teks) inilah satu-satunya sumber pribumi yang merekam letusan Krakatau 1883. Saya belum menemukan indikasi adanya teks lain karangan orang pribumi yang mencatat bencana alam yang dahsyat itu.

Siapa sesungguhnya Muhammad Saleh? Benarkah ia berasal dari Lampung atau dari tempat lain? Masih adakah jejak yang bisa dilacak?

Bisa saja, meskipun sulit. Bayangkan, pada waktu itu yang terjadi adalah sebuah catastrophe. Semua hancur, dan barangkali juga keluarga Muhamad Saleh sendiri. Dia hanya satu "noktah" kecil dari korban bencana besar dan dahsyat itu, yang membuat kehidupan di sana menjadi kacau balau dan dan boleh dibilang nyaris musnah, seperti digambarkan sendiri oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam. Jadi, sulit melacak siapa Muhammad Saleh sebenarnya. Jelas cukup sulit untuk menyusun biografinya yang lebih lengkap. Dari redaksi teks SLK, Muhammad Saleh menggambarkan bahwa dia berada di Lampung ketika bencana itu terjadi. Sangat mungkin dia adalah salah seorang korban letusan Krakatau yang berhasil mengungsi ke Singapura. Saya tak dapat memastikan apakah dia orang Lampung asli. Tapi, yang penting di sini bukan soal dari mana aslinya Muhamad Saleh; yang penting adalah bahwa dia adalah satu-satunya(?) orang pribumi yang telah meninggalkan warisan dokumen tertulis kepada kita tentang bencana alam letusan Krakatau 1883 yang mengerikan itu.

Apa benar SLK satu-satunya karya Saleh? Mungkinkah ada karya lain?

Saya belum menemukan karya (-karya) Muhammad Saleh yang lain. Tapi justru karena itu pula teks SLK ini unik. Maksud saya: karena ini satu-satunya karya Muhammad Saleh yang diketahui, maka kita dapat menduga bahwa dia bukan seorang sastrawan profesional, jika kita meminjam istilah sekarang, yang mungkin menulis fiksi, walau berdasarkan kenyataan sosial, untuk tujuan mencari uang. Saya menduga, Muhammad Saleh hanyalah orang biasa, yang tak berpretensi mengada-ada dalam karangannya yang hanya satu-satunya ini. Ia lebih sebagai seorang "pelapor", seperti layaknya seorang wartawan, ketimbang seorang penulis cerita (sastrawan). Ia mungkin telah bicara apa adanya, berdasarkan pengalaman dan keyakinan agamanya sendiri (Islam). Dalam teks SLK, dengan rendah hati Muhammad Saleh mengatakan ia tidak pandai mengarang syair. Tujuannya menulis syair itu semata-mata hanya untuk berbagi cerita duka warga Lampung yang dilanda musibah hebat itu kepada sesama orang pribumi.

Menurut Anda, dalam menulis Krakatau, penulis Barat lebih menekankan aspek geologis, sedangkan penulis Timur pada aspek kemanusiaan. Apakah ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sutan Takdir Alisyahbana bahwa Barat hidup dalam kebudayaan progresif (dipengaruhi ilmu dan teknologi), sementara Timur hidup dalam kebudayaan ekspresif (yang dipengaruhi seni dan agama?

Saya setuju. Memang soal dimensi progresif dan ekspresif itulah yang membedakan secara hakiki antara orang Barat dan orang Timur, sebagaimana terefleksi dalam berbagai aspek kebudayaan masing-masing, termasuk hasil-hasil tulisan. Namun, bukannya tak ada dimensi kemanusiaan dalam laporan-laporan orang Eropa tentang letusan hebat Krakatau 1883. Tetapi, tetap saja ada bedanya dengan cara seorang pribumi seperti Muhammad Saleh memandang tragedi itu. Coba lihat betapa kentalnya dimensi keagamaan dalam "laporan" Muhamad Saleh dalam SLK. Orang pribumi melihat peristiwa itu sebagai cobaan dari Allah terhadap manusia yang mungkin sudah banyak berbuat dosa. Hal ini telah dibahas dengan menarik sekali oleh Reza Indria dalam tesisnya yang sudah saya sebut di atas. Orang Eropa melihatnya berdasarkan logika: ini sebuah gejala alam akibat peristiwa geologis dalam kerak bumi.

Apa benar SLK diabaikan banyak peneliti karena banyak sejarawan kurang memahami aksara Jawi?

Saya duga demikian. Dalam kurikulum sejarah di Indonesia, misalnya, tak ada mata kuliah membaca aksara Jawi. Itu aneh sekali. Jadi, wajar saja kalau banyak sejarawan tak bisa membaca aksara Jawi. Faktor lain: ada anggapan catatan-catatan orang Barat dianggap sebagai data sejarah yang lebih akurat. Tulisan-tulisan orang pribumi dianggap absurd atau mengandung unsur fiksi. Pandangan seperti ini jelas terkait pula dengan sejarah ilmu pengetahuan modern. Ada semacam pandangan Eropa sentris di sana.

Bukankah banyak naskah lama di Nusantara juga ditulis dengan huruf Jawi dan banyak pula yang sudah ditransliterasi?

Ya, ada lebih 18 ribu naskah seperti itu yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, belum lagi di tempat lain seperti London, Berlin, Paris, dll. Banyak yang sudah diteliti dan ditransliterasi, tapi lebih banyak lagi yang belum disentuh tangan peneliti.

Dalam buku Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik karangan Liaw Yock Fang, SLK tidak disinggung; apakah ini juga karena Fang tak paham huruf Jawi? Atau karena memang kurang mendapatkan informasi?

Liauw Yock Fang paham sekali huruf Jawi. Ini terbukti dari disertasinya tentang Undang-Undang Malaka. Anda betul, SLK tidak tercatat dalam karya Liauw Yock Fang yang Anda sebutkan di atas, karena saya kira dia tidak berhasil mengidentifikasi keberadaan teks itu beserta salinan-salinannya yang tersimpan di beberapa negara.

Sri Wulan Rudjiati (almarhum) satu-satunya filolog (sebelum Anda) yang meneliti Syair Lampung Karam? Kesimpulan apa yang bisa diambil dari bahasan Sri Wulan tentang Syair Lampung Karam?

Benar. Almarhum Ibu Sri Wulan mentransliterasikan edisi pertama syair itu (edisi 1883—1884), tapi ia tidak membandingkannya dengan edisi-edisi yang lain. Dia tidak tahu di (negara) mana edisi-edisi yang lain itu tersimpan. Hal itu saya jelaskan dalam bagian pengantar buku saya. Pada awal 1990-an, Ian Proudfood dari ANU Australia memberikan catatan bibliografis mengenai salinan-salinan syair ini (lihat Produfoot, 1993).

Dari sekian banyak telaah naskah lama, Syair Lampung Karam paling memuaskan Anda?

O ya, dengan terbitnya buku ini saya merasa puas, karena saya berhasil memberitahukan kepada umum, khususnya kalangan akademisi, mengenai keberadaan teks ini yang selama ini seperti dilupakan begitu saja. Soalnya, Krakatau, akibat letusannya yang mahahebat itu, gunung yang paling menarik banyak ilmuwan (dari berbagai disiplin) di dunia. Tapi mereka seperti "buta" terhadap keberadaan SLK ini.

Dari segi sumber kajian, Indonesia termasuk negeri kaya naskah-naskah lama? Bagaimana minat para filolog terhadap sastra lama kita?

Jelas Indonesia adalah negeri yang kaya dengan naskah-naskah lama. Sekarang masih terus dilakukan berbagai pemotretan naskah-naskah lama yang ada di masyarakat. Lihat misalnya proyek-proyek di Indonesia yang dibiayai oleh The British Library (http://www.bl.uk/about/policies/endangeredarch/asia.html#sea).

Minat peneliti mancanegara (tidak hanya filolog) masih cukup tinggi. Namun, akhir-akhir ini ada semacam pergeseran bahwa minat itu beralih ke negara-negara Asia sendiri.

Anda menggeluti dunia "sepi", obesesi apa yang belum terwujud?

Abila saya memasuki ruang naskah di Perpustakaan Universitas Leiden, dan juga perpustakaan-perpustakaan lain di dunia, saya selalu tertarik untuk membaca naskah-naskah Melayu beraksara Jawi. Saya selalu ingin membacanya dan mengetahui apa isinya. Jadi, kalau bicara obsesi, saya ingin bilang bahwa mudah-mudahan saya diberi Tuhan umur panjang untuk selalu dapat membaca naskah-naskah itu dan menulis karya ilmiah; artikel, buku mengenainya. Suatu obsesi yang pasti dinilai cukup aneh di zaman sekarang ini di mana orang berlomba menjadi politikus dan selebritas. (Djadjat Sudradjat)

Dumber : Lampost Edisi 29 Agustus 2010

Tidak ada komentar: