FILOLOGI & KEBUDAYAAN
Oleh Mudjahirin Thohir
1. Pendahuluan
Filologi dan kebudayaan adalah dua istilah yang dalam cabang-cabang ilmu bisa dibicarakan dan membicarakan objek-objek kajiannya secara tersendiri. Tetapi substansi dari apa yang dibicarakan oleh filologi dan kebudayaan sebagai ilmu, pada dasarnya adalah tak terpisahkan. Dilihat sebagai cabang-cabang ilmu tersendiri karena masing-masing telah memiliki fokus kajian, teori dan metodologi pendekatan serta tujuan yang hendak dicapai. Kedunya, relatif berbeda. Sedang substansi dari apa yang ingin diketahui oleh ilmu filologi dan ilmu kebudayaan untuk hal-hal tertentu adalah sama, yakni: artefak.
Dalam filologi, artefak itu berujud naskah-naskah klasik yang sering disebut dengan istilah: naskah, manuscript; atau handshrift baik yang tertulis di atas bahan rotan, kulit binatang, kulit kayu, lontar, dluwang maupun kertas. Tujuan yang hendak dicapai oleh filologi terhadap naskah, antara lain menelusuri keaslian naskah tersebut. Sementara dalam ilmu kebudayaan, artefak atau dokumen-dokumen tertulis tadi adalah bagian dari sumber kajian dan bukannya satu-satunya kajian. Dalam ilmu kebudayaan, minat kajiannya teramat luas, yakni kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia baik yang telah terbekukan sebagai dokumen, maupun yang hidup di dalam pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, persamaan keduanya (ilmu filologi dan ilmu kebudayaan) adalah pada hasil akhirnya yaitu memahami hasil kebudayaan masyarakat manusia.
Tulisan ini hendak melihat dua ilmu tadi (filologi dan kebudayaan) dari titik-pisah dan titik-singgungnya, dan kemudian menawarkan suatu pendekatan baru dalam kajian filologi, yaitu pendekatan kebudayaan itu sendiri.
2. Ranah Kajian Filologi
Dalam berbagai buku Hand-out Filologi, telah disepakati mengenai tujuan dari ilmu filologi yang sangat penting yaitu mengenali teks klasik dan memahami isinya. Pengenalan kepada teks-teks klasik berarti:1. Mengenali teks klasik sesempurna-sempurnanya; 2. Membersihkkan teks klasik dari segala penyimpangannya; 3. Memilih & menetapkan bacaan yang “asli”, 4. Menyajikan teks klasik dalam keadaan yang “asli” dan terbaca; serta 5. Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan riwayat pertumbuhannya.
Untuk melakukan kajian seperti itu, ilmu filologi telah memiliki perangkat metodologi yang sangat khusus, seperti kritik teks. Sedang memahami isi naskah yaitu teks, berarti memahami: 1. kebudayaan suatu bangsa lewat hasil sastranya; 2. makna teks klasik bagi masyarakat pada jamannya dalam konteks masyarakat masing-masing hingga pada masa sekarang; 3. Mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan lama; dan pada akhirnya, 4. Melestarikan warisan kebudayaan yang bernilai tersebut.
Pada awal pertumbuhan ilmu filologi, penekanan pada tujuan merunut dan menentukan keaslian naskah di antara naskah-naskah lain yang serupa[1] adalah sangat penting. Hal ini antara lain berkaitan dengan isi dari naskah itu yaitu kitab-kitab suci seperti Injil atau naskah-naskah yang disakralkan. Itulah sebabnya, Ilmu filologi seringkali didifinisikan sebagai: The study of written records, the establishment of their authenticity and their original form of learning & literature. Tetapi ketika tahapan tersebut terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para filolog telah berkembang jauh, maka ilmu filologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti inilah lantas para filolog mulai berfikir untuk memanfaatkan ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, folklor, dan agama.
Kebutuhan untuk memanfaatkan ilmu-ilmu bantu seperti itu adalah karena naskah adalah rekaman kebudayaan suatu masyarakat tradisional yang isinya sangat luas dan kompleks. Isi dari rekaman kebudayaan yang berujud naskah itu dinamakan teks. Jadi teks adalah roh, nafas, makna dan corak yang hadir di dalam naskah. Isi dari naskah tersebut, bisa berupa mite, dongeng, adat-istiadat, upacara, dan segala hal yang dianggap penting pada waktu itu. Kalau ia dihasilkan oleh masyarakat Nusantara, maka isi naskah adalah segala yang bernilai oleh masyarakat Nusantara.
Perhatian kepada naskah klasik, kata klasik itu sering diposisikan sebagai sastra (baca: segala dokumen tertulis) yang dihasilkan oleh masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional, yakni masyarakat yang belum memperlihatkan pengaruh Barat secara intensif. Untuk Indonesia, pengaruh Barat artinya adalah pengaruh Belanda yakni zaman akhir abad ke-19 atau sebelum adanya pendidikan (formal) di Indonesia. Karena itu, pengertian Sastra Indonesia Lama ialah segala dokumen sastra Melayu, baik yang masih beredar dari mulut ke mulut maupun yang berbentuk tulisan yang dihasilkan sebelum orang mengenal pengetahuan cetak-mencetak. Tepatnya, semua hasil sastra sampai dengan pertengahan abad XIX; atau lebih umum dibatasi sampai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Filologi Indonesia dituangkan pada naskah-naskah yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali,Bugis, dan lain-lainnya. Jadi, tertulis dalam berbagai bahasa daerah dan dengan berbagai ragam huruf daerah yang bersangkutan. Tulisan-tulisan itu mengandung isi yang tidak terhingga macamnya. Pendek kata isi naskah meliputi lungkungan luas,merupakan curahan pikiran dan perasaan dalam banyak segi kehidupan bertalian dengan masyarakat zamannya, sedangkan jumlah naskah melimpah ruah (Haryati Soebadio, 1975; Darusuprapto, 1994).
Kegiatan kajian filologi Indonesia penting sekali artinya bagi pemahaman kebudayaan suatu bangsa yang sedang dalam proses pertumbuhan. Bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah dan berbeda pula latar belakang kehidupannya. Dengan demikian kajian filologi Indonesia dapat menambah pengertian dan menumbuhkan kesadaran terhadap warisan kebudayaan bangsa yang berharga lagi berguna bagi pembentukan kebudayaan nasional (Bachtiar, 1973 ).
3. Kebudayaan
Ada banyak definisi tentang kebudayaan yang kita kenal. Dalam arti sempit, kebudayaan dianologkan dengan kesenian, sehingga yang dikategorikan budayawan adalah para artis seperti penyair, musikus dsb. Ada lagi yang mengartikan kebudayaan sebagai kebiasaan orang-orang, sehingga muncul ungkapan: jam karet dan korupsi adalah kebudayaan orang Indonesia. Kedua definisi ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena itu kalau dalam tulisan ini digunakan istilah kebudayaan, maka bukan definisi di ataslah yang dimaksudkan.
Kebudayaan dalam kajian ini ialah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh umumnya warga yang berada dalam masyarakat-masyarakat tertentu, di mana pengetahuan tersebut telah diyakini kebenaran dan kemanfaataannya sehingga ia digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bersama. Pengetahuan yang secara umum dimiliki dan dijadikan pedoman tadi terwujud ke dalam pola-pola tindakan dan hasil-hasil tindakan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan manusia (Geertz, 1973) atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia (Keesing dan Keesing, 1971). Di dalam setiap kebudayaan tadi, berisi serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan, emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi (Spradley, 1972; dalam Suparlan, 1980/81).
Menurut teori ideasional, esensi kebudayaan terletak pada ide berupa pengetahuan (knowledge) dan simbol. Ciri dari pengetahuan di sini ialah sistem atau model kategori yang digunakan untuk memilih dan memilah (mengklasifikasi) pengalaman. Pada setiap kategorisasi, diikuti oleh istilah (label) dan atribut-atribut serta penilaian. Lewat itu semua manusia menentukan pilihan-pilihan tindakan dan pensikapan. Misalnya, seorang jejaka—lewat pandangan pertamanya – jatuh cinta kepada seorang gadis yang dia kenal pada saat pesta ulang tahun temannya. Tetapi setelah berkenalan lebih jauh ternyata, gadis tersebut ternyata adalah keponakannya sendiri – maka keduanya mundur teratur dan tidak lagi ada pikiran untuk mengawininya. Mengurungkan untuk mengawini gadis tersebut adalah karena di dalam masing-masing orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang telah telah terinternalisasi dalam pandangan hidupnya, yaitu tidak boleh melakukan incest.
Mengundurkan diri untuk mengawini gadis tersebut karena masih keponakannya sendiri merupakan perwujudan dari pengetahuan yang fungsional sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol [(yaitu: rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, intruksi-instruksi (dalam istilah ahli komputer: program-progam)] untuk mengatur tingkah laku. Konsep tentang keponakan dan incest yang menjadikan seseorang menjadi tidak melanjutkan keinginannya untuk mengawini, merupakan pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang dimiliki warga masyarakat secara umum.
Pengetahuan-pengetahuan budaya demikian itu, secara luas dioperasionalkan ke dalam pranata-pratana sosial. Pranata sosial merupakan aturan main (the rule of the game) mengenai bagaimana warga masyarakat itu berperan dan memainkan peran sesuai dengan kedudukan yang berlaku dan diberlakukan di dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan motivasi yang melatarbelakanginya.
Di dalam kehidupan masyarakat, umumnya dikenal adanya tujuh macam pranata sosial, yaitu: (1) pranata kekerabatan, (2) pranata ekonomi, (3) pranata ilmiah, (4) pranata somatik, (5) pranata keagamaan, (6) pendidikan, dan (7) pranata politik.
Bagaimana menjelaskan secara jelas ihwal berlakunya pranata sosial tersebut, dapat diambilkan contoh sebagai berikut. Misalnya, Ahmad yang memiliki dua saudara yaitu Hasan dan Ali. Kebetulan keduanya membutuhkan uang pinjaman dari Ahmad, tetapi dalam praktiknya cara Ahmad mempelakukan kedua adiknya itu berbeda. Hasan meminjam uang tanpa dibebani bunga, tetapi Ali meminjam uang dengan catatan harus memberi bunga 10%. Perbedaan perlakuan tersebut adalah karena pranata sosial yang mendasari hubungan-hubungan itu berbeda. Pranata sosial yang berlaku dan diberlakukan antara Ahmad dan Hasan adalah pranata kekerabatan, di mana etika yang mendasari adalah tolong-menolong. Mengapa demikian karena motif Hasan di dalam meminjam uang kepada Ahmad adalah untuk membiayai isterinya yang tengah sakit dan membutuhkan biaya perawatan. Sementara Ali meminjam uang kepada Ahmad untuk mengembangkan usaha perdagangannya, sehingga landasan etik yang digunakan adalah berbagi keuntungan. Dalam konteks inilah pranata yang diberlakukan adalah pranata ekonomi.
Bagaimana kebudayaan menjadi acuan tindakan bagi warga masyarakat, Parsudi Suparlan menskemakannya sebagai berikut.
Kebudayaan
Pranata social: kekerabatan, ilmiah, kesehatan, ekonomi, keagamaan, pendidikan, politik.
Pengetahuan budaya
Individu-individu
Individu-individu
Masyarakat
Dari skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, yang disebut sebagai kebudayaan itu adalah keseluruhan pengetahuan yang menjadi milik umum (masyarakat). Kedua, masyarakat merupakan kumpulan sejumlah individu. Ketiga, masing-masing individu akan bertindak sesuai dengan tingkat-tingkat pemahaman pengetahuan kebudayaan dan motivasi-motivasi yang mendorong tindakan. Keempat, pengetahuan-pengetahuan budaya tadi diaplikasikan sesuai dengan pranata-pranata sosial di mana tindakan itu diwujudkan. Dari karena pengertian seperti ini maka artefak (baca: dokumen-dokumen tertulis; manuskrip; naskah) adalah kumpulan dari cerminan kebudayaan masyarakat yang memilikinya yang tereksternalkan, baik dari hasil tindakan atau tuturan. Dengan demikian, artefak dalam satu segi, dan teks pada segi yang lain, kedudukannya dapat saling ditukarkan tergantung dari bagaimana kita memaknai keduanya itu sebagai realitas.
Secara skematik, artefak dan teks sebagai realitas simbolik adalah sebagai berikut.
Realitas simbolik
Internal
Dieksternalkan
Pengetahuan budaya (cognition)
Kemauan budaya (conation)
Perasaan budaya (emotion)
Perilaku/ tindakan
Lingkungan alam
Kinetic
Verbal
Artefak
Lingkungan termodifikasi
Naskah/ Teks
Tuturan
Sumber: Modifikasi dari EKM Masinambouw.
Dari skema di atas menjadi jelas hubungan antara filologi dan kebudayaan. Dalam filologi, konsentrasi kajian diarahkan kepada naskah/ teks, sementara artefak merupakan bagian dari kajian kebudayaan. Tetapi keduanya yaitu artefak dan naskah/ teks, merupakan hasil dari atau kumpulan dari pengetahuan budaya yang dieksternalisasikan ke dalam dokumen-dokumen tulisan atau benda-benda material (artefak).
Berangkat dari skema di atas, berikutnya akan saya ajukan suatu tesis yaitu kajian mengenai naskah/teks – sepanjang ia akan dipahami isi dan latarbelakang masyarakat yang menghasilkan – adalah tepat jika ditelusuri lewat pendekatan kebudayaan.
4. Pengkajian Teks Berdasarkan pada Pendekatan Kebudayaan
Realitas simbolik dalam kehidupan masyarakat manusia adalah peristiwa, kejadian-kejadian, benda-benda baik yang berupa artefak maupun naskah. Keseluruhannya itu memuat atau merupakan pemadatan dari formulasi pikiran, perasaan, dan kemauan individu-individu warga masyarakat yang ada dan hidup di dalam zaman di mana artefak/ naskah itu lahir/diciptakan. Gagasan-gagasan tadi bisa berbicara tentang apa yang sudah terjadi (masa lampau), sedang terjadi (masa kini, waktu itu), dan yang akan terjadi (masa depan) mengenai berbagai hal yang dianggap penting dan kemudian diungkapkan lewat simbol-simbol yang bermakna.
Sebagian besar simbol-simbol itu adalah kata-kata, tetapi juga isyarat-isyarat, lukisan-lukisan, bunyi-bunyian musik, upacara-upacara, adat-istiadat, dsb. Oleh masyarakat yang melahirkan simbol-simbol tersebut dipahami dan dimengerti karena setiap adanya konvensi-konvensi yang berlaku dan diberlakukan.
Simbol-simbol atau sumber-sumber simbolis penerangan (illumination) itu dibutuhkan manusia untuk menemukan pegangan-pegangannya di dalam dunia. Bagi manusia, apa yang merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi. Dengan kemampuan itu memungkinkan kelenturan yang jauh lebih besar (merupakan kompleksitas). Kompleksitas itu perlu diatur oleh (kebudayaan yaitu) tata sistem-sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku manusia sebenarnya tak dapat diatur. Di sinilah kebudayaan sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, adalah jaringan-jaringan makna itu. Bagaimana melihat dan menganalisis jaringan-jaringan makna itu, ialah dengan menggunakan konsep semiotik. Sebagai sebuah konsep semiotik, analisis terhadap isi naskah bersifat interpretatif untuk mencari makna. Untuk merebut makna di balik naskah/teks-teks tersebut ialah dengan melakukan analisis kebudayaan masyarakat yang melahirkan. Menerapkan konsep semiotik berarti kebudayaan dilihat sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan berdasarkan atas konteks. Berdasarkan atas konteks berarti, naskah/teks itu dibaca dengan mempertimbangkan banyak segi seperti segi kesejarahan, tradisi, nilai-nilai dan semangat yang mendasari semuanya itu. Dari sinilah kerja analisis kebudayaan atas teks.
Menganalisis karena itu berarti menata struktur-struktur pemaknaan dan menentukan dasar-dasar serta makna sosial struktur-struktur itu. Jadi, menganalisis teks berarti usaha membaca (dalam arti menafsirkan sebuah bacaan dari) sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan-ketakkoherenan, perubahan-perubahan yang mencurigakan dan komentar-komentar yang tendensius.
5. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa studi filologi dapat dilakukan dari berbagai sudut dan perspektif, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut.
Kalau tujuan dari studi filologi yaitu mempelajari naskah/teks untuk kemudian dapat merebut makna dan pesan dari teks tersebut, maka tujuan seperti ini dapat dijalankan dengan menggunakan pendekatan atau perspektif kebudayaan.
Lewat perspektif kebudayaan itulah naskah atau teks diperlakukan sebagai pemadatan realitas simbolik. Ketika naskah atau teks diposisikan sebagai realitas simbolik yang dalam istilahnya sendiri sebagai dokumen kebudayaan masyarakat-masyarakat tradisional, maka analisis yang digunakan adalah analisis kontekstual.
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W.
1973 “Filologi dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Kita.” Pengarahan Seminar Filologi dan Sejarah. Yogyakarta.
Baried. Siti Baroroh, dkk.
1985 Pengantar Teori Filologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudaya,an. Jakarta.
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures . New York: Basic Book.
1984 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya (Terjemahan Azwab Mahasin).
Hooykaas. C.
1950 ” Indonesische Handschriften Urbi et Orbi.” Dalam Poerbatjaraka, Voorhoeve dan Hooykaas. Indonesische Hand,schriften. Lembaga Kebudajaan Indonesia. Bandung: A.C. Nix & Co.
Keesing, Roger M
1974 “Theories of Culture”. Dalam Annual Review of Anthropology.
Masinambouw, EKM
1985 “Perspekktif Kebahasaan terhadap Kebudayaan”. Dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Aslfian, ed). Jakarta: Gramedia.
Pigeaud. G. Th.
1967 - 1970 Literature of Java. Catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the library of the university of Leiden and other public collections in the Netherlands. 3 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. R.M.Ng.
1952 Kapustakan Djawi. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
Simuh
1989 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita - Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.
Soebadio, Haryati
1975 ” Penelitian Naskah Lama Indonesia.” Buletin Yepena. Th. 2. No. 7. Hlm. 11-18. Jakarta.
Suparlan, Parsudi
1986 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Dalam IKA. No. 11, Th. XIV
1993 “Antropologi untuk Indonesia”. Dalam Membangun Martabat Manusia. Effendi, Sofian, dkk (eds). Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1997 “Transmigrasi dalam Pembangunan Wilayah dan Kelestariannya dengan Perspektif Sosial Budaya: Model untuk Irian Jaya”. Dalam Analisis. No. 3, Th. XXVI.
Uhlenbeck. E.M.
1964 A Critical Survey of Studies on the Languages on Java and Madura. Gravenhage: Martinus Nijhoff.Zoetmulder. P.J.
Teeuw, A.
1981. Tergantung Pada Kata Jakarta: Pustaka Jaya.
1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumber : Mudjahirin Thohir Blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar