JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (20):
HINGGA kini ahli filologi Suryadi, penemu naskah kuno Syair Lampung Karam (SLK) yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia masih mempertanyakan Mohammad Soleh.
Benarkah penulis syair itu Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami Al Anwar? Belum ada data pendukung yang menguatkan keberadaannya terkait naskah SLK.
Di Masjid Jami Al Anwar itu masih tersimpan naskah-naskah kuno peninggalan K.H. Mohammad Soleh. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi di dua lemari dalam gudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah "harta karun" yang tak ternilai harganya.
Berbekal sedikit kemampuan membaca huruf Arab Melayu (huruf Jawi), kami mencoba membaca beberapa kitab. Dari sampel itu, kami menemukan kitab-kitab itu masih bisa dibaca. Walaupun ada yang lepas dari jilidannya, tulisan-tulisannya masih sangat jelas. Beberapa buku yang kami coba lihat berangka tahun 1300-an berisi pengajaran agama, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab.
Ketika kami menanyakan hal ini kepada Tjek Mat Zen, dia menyatakan belum tahu. Dia kemudian membuka-buka dokumen. Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka tanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Saleh, umur 50 tahun.
Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan SLK ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammad Saleh ini yang menulis.
Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah SLK sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura.
"Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Street. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari situs Radio Nederland Wereldomroep.
"Ya, bisa jadi," kata Johan Sapri (54), warga Gunung Kunyit, yang mengaku keturunan ketujuh Mohammad Soleh. Dia menjelaskan salah satu istri Mohammad Ali, saudara Mohammad Saleh, yaitu Intjik Halimah, merupakan saudara Tuanku Lingga dari Malaysia.
Mungkinkah ada kitab SLK? Sayang sekali, kondisi buku yang sudah rapuh dan penataan buku yang tumpang-tindih, membuat kami tidak berani melihat satu per satu kitab-kitab kuno tersebut. Agaknya, perlu waktu untuk meneliti kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan (lebih tepatnya gudang) Masjid Jami Al Anwar.
Jadi, benarkah Mohammad Saleh, pemimpin dan ulama di Telukbetung yang merintis pendirian Masjid Jami Al Anwar ini yang menulis Syair Lampung Karam? Wallahualam. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost 31 Agustus 2010
Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Selasa, 31 Agustus 2010
Minggu, 29 Agustus 2010
LETUSAN KRAKATAU MELAHIRKAN "SYAIR LAMPUNG KARAM"
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (19)
GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36 ribu orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.
Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada 1883, banyak orang yang terkejut.
Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Suryadi mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:
Hamba mengarang fakir yang hina
Muhammad Saleh nama yang sempurna
Karena hati gundah gulana
Melainkan Allah yang mengetahuinya
Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia.
"Yang menarik bagi saya, bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu, memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.
Siapakah Muhammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah Syair Lampung Karam, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami Al Anwar.
Masjid yang berada di bilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung, ini adalah masjid tertua. Berdasarkan risalah riwayat Masjid Jami Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid itu luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost Edisi 30 Agustus 2010
GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36 ribu orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.
Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada 1883, banyak orang yang terkejut.
Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Suryadi mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:
Hamba mengarang fakir yang hina
Muhammad Saleh nama yang sempurna
Karena hati gundah gulana
Melainkan Allah yang mengetahuinya
Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia.
"Yang menarik bagi saya, bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu, memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.
Siapakah Muhammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah Syair Lampung Karam, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami Al Anwar.
Masjid yang berada di bilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung, ini adalah masjid tertua. Berdasarkan risalah riwayat Masjid Jami Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid itu luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost Edisi 30 Agustus 2010
MENCARI JEJAK PENULIS "SYA'IR LAMPUNG KARAM"
29 Agustus 2010
Mencari Jejak Penulis 'Syair Lampung Karam'
Oleh Udo Z. Karzi dan Iyar Jarkasih
GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36.000 orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.
Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 banyak orang yang terkejut.
Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Suryadi, yang mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:
Hamba mengarang fakir yang hinaMuhammad Saleh nama yang sempurnaKarena hati gundah gulanaMelainkan Allah yang mengetahuinya
Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia. "Yang menarik bagi saya bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.
Siapakah Mohammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami' Al Anwar.
Masjid yang dibilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung ini adalah masjid tertua di Lampung. Berdasarkan Risalah Riwayat Masjid Jami' Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid Jami' Al Anwar luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau.
Membangun Masjid Jami' Al Anwar
Konon, di Telukbetung sejak 1800-an bermukim satu keluarga pendatang dari Bone keturunan Poeta Djanggoek, yaitu dua bersaudara Mohammad Ali dan Mohammad Saleh. Satu lagi, Ismail, keponakan Poeta Djangguk atau sepupu Mohammad Ali dan Mohammad Soleh.
Menurut Tjek Mat Zen, pengurus Bidang Sosial Masjid Jami' Al Anwar, Mohammad Ali dikenal memiliki ilmu yang tinggi (sakti). Sedangkan Mohammad Soleh dan Ismail menguasai ilmu agama Islam yang dalam.
Pada waktu itu, keganasan bajak laut membuat perairan Teluk Lampung tidak aman. Pemerintah Kolonial Belanda meminta bantuan Mohammad Ali untuk mengatasi keamanan Teluk Lampung. Setelah Mohammad Ali bisa mengatasi keadaaan, para perompak kemudian dikumpulkan di pinggir Sungai Belahu, yang sekarang dikenal dengan Kampung Bugis (Kecamatan Telukbetung Selatan, Bandar Lampung).
Untuk melakukan pembinaan terhadap bekas bajak laut itu dimintakan Mohammad Saleh yang dianggap mempunyai kapasitas wawasan pengetahuan agama, alim, dan terbukti mampu mendidik dan membina masyarakat di lingkungannya dalam bidang keagamaan. "Mohammad Saleh sudah dikenal masyarakat luas sebagai ulama, pendidik, dan juga pemimpin masyarakat yang disegani dan menjadi panutan pada masa itu," kata Tjek Mat Zen.
Karena kharisma dan kepandaian Mohammad Saleh di bidang agama dan kemasyarakatan, mesyarakat memberinya gelar penghulu.
Animo masyarakat untuk belajar agama sangat besar, sehingga rumah Mohammad Saleh tidak mampu menampung jumlah murid. Perlu tempat khusus untuk mengajar, salah berjamaah, dan aktivitas keagamaan lainnya.Mohammad Saleh didukung oleh Mohammad Ali, yang kelak menjadi Regent di Telukbetung, keluarga, dan masyarakat setempat, kemudian memprakarsai pembangunan musala. Tahun 1839, secara bergotong-royong dibangunlah sebuah musala sederhana beratap rumbia, dinding geribik, dan bertiang bambu. Musala inilah yang menjadi cikal bakal Masjid Jami' Al Anwar sekarang ini. Dari musala inilah, Muhammad Saleh mengendalikan kegiatan pembinaan dan pendidikan agama.
Atas jasanya mengamankan Teluk Lampung, Belanda mengangkat Muhammad Ali menjadi Regent di Telukbetung (1856). Wilayak kekuasaan Telukbetung meliputi perairan Teluk Lampung ke utara sampai daerah Simpur, Tanjungkarang dan dari pantai Hurun sampai Pantai Srengsem.
Ketika Mohammad Ali meninggal pada 1879, pemerintahan diteruskan Mohammad Saleh. Pada masa kepemimpinan Muhammad Saleh dilakukan penataan perkampungan sesuai dengan nama daerah asalnya dan menentukan area permukimannya, misalnya Kampung Palembang, Kampung Sri Agung, Kampung Sri Indrapura, Kampung Sri Menanti, dan sebagainya.
Mohammad Saleh di samping menjalankan tugasnya sebagai Regent Telukbetung, tetap melakukan dakwah yang kegiatannya berpusat di musala.
Tahun 1885, dua tahun setelah Gunung Krakatau meletus Muhammah Saleh berpulang ke rahmatullah. Dia dimakamkan di kaki Gunung Kunyit (dulu: Gunung Seri), Telukbetung, Bandar Lampung. Makamnya dikenal masyarakat luas dengan sebutan Keramat Datuk Puang.
Upaya yang telah dirintis Muhammad Saleh dilanjutkan para muridnya dengan pusat kegiatan tetap di musala yang dibangun 1839. Letusan Gunung Krakatau pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883, membuat musala ini hancur. Upaya membangun kembali masjid Jami' Al Anwar dilakukan pada 1888.
®MDBO¯Penulis 'Syair Lampung Karam'?®MDNM¯
Pertanyaan yang mengusik sejak awal, ketika ahli filologi Suryadi menemukan naskah kuno Syair Lampung Karam yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia serta mengumumkan ke publik adalah benarkah Mohammad Soleh yang dimaksud adalah Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami' Al Anwar dan pernah menjadi Regent Telukbetung.
Ketika kami menanyakan hal ini kepada Tjek Mat Zen, dia menyatakan belum tahu. Dia kemudian membuka-buka dokumen. Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka bertanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, Regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Salah, umur 50 tahun.
Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, maka pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯ ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammas Saleh ini yang menulis.Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯ sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan, Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura. "Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan bahwa dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Stree. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari website Radio Nederland Wereldomroep.
"Ya, bisa jadi," kata Johan Sapri (54), warga Gunung Kunyit yang mengaku keturunan ketujuh Mohammad Soleh. Dia menjelaskan, salah satu Mohammad Ali, saudara Mohammad Saleh, yaitu Intjik Halimah merupakan saudara Tuanku Lingga dari Malaysia.
Kami mencoba menelusuri naskah-naskah kuno yang tersimpan di Masjid Jami' Al Anwar. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (huruf Jawi) diletakkan di dua lemari di dalam gudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah "harta karun" yang tak ternilai harganya.
Berbekal sedikit kemampuan membaca huruf Arab Melayu (huruf Jawi), kami mencoba membaca beberapa kitab. Dari sampel itu, kami menemukan kitab-kitab itu masih bisa dibaca. Walaupun ada yang lepas dari jilidannya, tulisan-tulisannya masih sangat jelas. Beberapa buku yang kami coba lihat berangka tahun 1300-an berisi pengajaran agama, baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab.
Mungkinkah ada kitab Syair Lampung Karang? Sayang sekali, kondisi buku yang sudah rapuh dan penataan buku yang tumpang-tindih, membuat kami tidak berani melihat satu per satu kitab-kitab kuno tersebut. Agaknya, perlu waktu untuk meneliti kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan (lebih tepatnya gudang) Masjid Jami' Al Anwar.
Jadi, benarkah Mohammad Saleh, pemimpin dan ulama di Telukbetung yang merintis pendirian Masjid Jami' Al Anwar ini yang menulis ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯? Wallahu 'alam.
Komentari
Kumbang Debi dan 5 orang lainnya menyukai ini.
Suryadi Sunuri Ini informasi yang menarik, Mas Udo. Apakah bisa dikirimkan kepada Bapak Djadjat Sudradjat, Pemimpin Reaksi Lapung Post? Hari ini, Minggu, 29.8.2010, ulasan buku ini dimuat di Lampung Post. Mohon Mas Udo beli korannya.
14 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orang
Udo Z. Karzi Iya, Uda. Saya sebenarnya -- terpaksa ngaku, Uda -- wartawan Lampung Post.
Suryadi Sunuri Ha ha...kok nggak bilang2? Tulisan Mas Udo ini menarik. Saya jadinya ingin sekali ke Lampung dan melihat kitab2 yang disebutkan itu. Bukan tidak mungkin penulis Syair Lampung Karam adalah Muhammad Saleh yg di Lampung itu. Apakah tidak mungkin untuk menyelamatkan naskah2 itu? Misalnya bekerjasama dengan Manassa(Mayarakat Pernaskahan Nusantara) atau dengan seorang peneliti/dosen di Unila atau di Univ. Bengkulu?
Udo Z. Karzi Iya, naskah-naskah itu memang "dijaga" pengurus masjid Jami' Al Anwar, hanya kurang terawat. Sedang dibangun sebuah perpustakaan khusus untuk itu. Nanti saya sampaikan permintaan ke pengurusnya untuk menjaga kitab-kitab tersebut, termasuk menjajaki upaya kerjasama dengan Unila atau lembaga lainnya. Trims.
Udo Z. Karzi wah, senang sekali kalau Uda, mau ke Lampung. Kami akan menyambut dengan penuh kegembiraan.
Udo Yamin Majdi udo zul, nerima nihan. selamatko harta karun di masjid Jami' Al-Anwar no
Sigid Sahaja nah, sekarang tinggal akan kita mulai dari mana, nih?
Semacca Andanant Informasi yg amat bagus, tank's atas infonya. Lampung sebenarnya bnyk memiliki harta karun cuma sayang sedari berdirinya lampung jadi provinsi beberapa priode yg diurus hanya masalah 'transmigrasi'..???
Kumbang Debi kayaknya pernah juga baca tentang ini, kalo nggak salah di salah satu koran nasional.. (kalo nggak salah lho... lupa lupa lupa).
keep writing....
Agus Udi Warsudi Udo: Pengen tanya, kenapa Bahasa Lampung tidak bisa menjadi satu bahasa yang merekatkan warganya? Seperti yang saya alami di Palembang dan Bandung. Di dua kota itu, Bahasa Palembang sangat mewarnai bahasa masyarakatnya, begitu juga Bandung,... Bahasa Sunda sangat membumi, sehingga orang yang bukan dari etnis Palembang dan Sunda pun mau tidak mau harus bisa menggunakan Bahasa Palembang dan Sunda, minimal paham/mengerti. Kenapa Bahasa Lampung tidak? Ini sangat disayangkan. Saya yang lahir, tumbuh remaja, dan dewasa di Lampung hanya tahu sedikit Bahasa Lampung, seperti api kaba (apa kabar), niku (kamu), Way Lunik (sungai kecil), waway (baik), muli (gadis). Selebihnya, tidak. Artinya, jika saya diminta membuat sebuah kalimat menggunakan Bahasa Lampung, saya akan menyerah seperti orang kalah.Lihat Selengkapnya
Rudi Suhaimi Kalianda Aset bangsa jangan sampe hilang. Sejarah yg salah bisa mengakibatkan suramnya masa depan generasi kemudian!! Luruskan do!
7 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · Budi Hutasuhut Udo, coba kalkulasi lagi tahun-tahun dalam tulisan ini. Semua dimulai 1800-an. Padu padankan dengan kejayaan Kesultanan Banten pada periode itu, sulitnya Belanda masuk Lampung, pengkhiantan Sultan Haji, penerimaan Mohammad Ali sebagai kaki ...tangan Belanda untuk mengamankan laut, para pejuang yang membajak kapal Belanda di Selat Sunda, sejarah masuknya Islam yang ditulis Lampung Post dari Banten versi penelitian para dosen IAIN.
Kalau saya menilai, ini mitos. Mosok sih tahun 1800-an di Teluk Lampung ada orang Islam yang menjadi centeng Belanda, padahal pada periode itu Islam sangat keras kepada penjajah karena kuatnya pengaruh Kesultanan Banten di wilayah Selat Sunda.
Selain itu, bagaimana mungkin orang Lampung (yang tinggal di Telukbetung) masih sempat menulis syair tiga bulan setelah bencana alam yang dasyat itu. Mau nulis dimana, nulis pakai apa ketika segala sesuatunya luluh lantak.
Lagi pula, teks-nya kan bahasa Arab gundul. Arab gundul itu dalam periode berbahasa di Indonesia, merupakan huruf yang digunakan bangsa Melayu. Kalau mau, nanti saya kopikan teks-teks aslinya. He..he... Lihat Selengkapnya
Fachruddin Dani Luar biasa ..., si penulis syair itupun demikian familiarnya dengan Pulau Sebuku .... artinya ..... yah luar biasa.
Sumber : Udo Karzi Facebook
Mencari Jejak Penulis 'Syair Lampung Karam'
Oleh Udo Z. Karzi dan Iyar Jarkasih
GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36.000 orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.
Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 banyak orang yang terkejut.
Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Suryadi, yang mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:
Hamba mengarang fakir yang hinaMuhammad Saleh nama yang sempurnaKarena hati gundah gulanaMelainkan Allah yang mengetahuinya
Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia. "Yang menarik bagi saya bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.
Siapakah Mohammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami' Al Anwar.
Masjid yang dibilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung ini adalah masjid tertua di Lampung. Berdasarkan Risalah Riwayat Masjid Jami' Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid Jami' Al Anwar luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau.
Membangun Masjid Jami' Al Anwar
Konon, di Telukbetung sejak 1800-an bermukim satu keluarga pendatang dari Bone keturunan Poeta Djanggoek, yaitu dua bersaudara Mohammad Ali dan Mohammad Saleh. Satu lagi, Ismail, keponakan Poeta Djangguk atau sepupu Mohammad Ali dan Mohammad Soleh.
Menurut Tjek Mat Zen, pengurus Bidang Sosial Masjid Jami' Al Anwar, Mohammad Ali dikenal memiliki ilmu yang tinggi (sakti). Sedangkan Mohammad Soleh dan Ismail menguasai ilmu agama Islam yang dalam.
Pada waktu itu, keganasan bajak laut membuat perairan Teluk Lampung tidak aman. Pemerintah Kolonial Belanda meminta bantuan Mohammad Ali untuk mengatasi keamanan Teluk Lampung. Setelah Mohammad Ali bisa mengatasi keadaaan, para perompak kemudian dikumpulkan di pinggir Sungai Belahu, yang sekarang dikenal dengan Kampung Bugis (Kecamatan Telukbetung Selatan, Bandar Lampung).
Untuk melakukan pembinaan terhadap bekas bajak laut itu dimintakan Mohammad Saleh yang dianggap mempunyai kapasitas wawasan pengetahuan agama, alim, dan terbukti mampu mendidik dan membina masyarakat di lingkungannya dalam bidang keagamaan. "Mohammad Saleh sudah dikenal masyarakat luas sebagai ulama, pendidik, dan juga pemimpin masyarakat yang disegani dan menjadi panutan pada masa itu," kata Tjek Mat Zen.
Karena kharisma dan kepandaian Mohammad Saleh di bidang agama dan kemasyarakatan, mesyarakat memberinya gelar penghulu.
Animo masyarakat untuk belajar agama sangat besar, sehingga rumah Mohammad Saleh tidak mampu menampung jumlah murid. Perlu tempat khusus untuk mengajar, salah berjamaah, dan aktivitas keagamaan lainnya.Mohammad Saleh didukung oleh Mohammad Ali, yang kelak menjadi Regent di Telukbetung, keluarga, dan masyarakat setempat, kemudian memprakarsai pembangunan musala. Tahun 1839, secara bergotong-royong dibangunlah sebuah musala sederhana beratap rumbia, dinding geribik, dan bertiang bambu. Musala inilah yang menjadi cikal bakal Masjid Jami' Al Anwar sekarang ini. Dari musala inilah, Muhammad Saleh mengendalikan kegiatan pembinaan dan pendidikan agama.
Atas jasanya mengamankan Teluk Lampung, Belanda mengangkat Muhammad Ali menjadi Regent di Telukbetung (1856). Wilayak kekuasaan Telukbetung meliputi perairan Teluk Lampung ke utara sampai daerah Simpur, Tanjungkarang dan dari pantai Hurun sampai Pantai Srengsem.
Ketika Mohammad Ali meninggal pada 1879, pemerintahan diteruskan Mohammad Saleh. Pada masa kepemimpinan Muhammad Saleh dilakukan penataan perkampungan sesuai dengan nama daerah asalnya dan menentukan area permukimannya, misalnya Kampung Palembang, Kampung Sri Agung, Kampung Sri Indrapura, Kampung Sri Menanti, dan sebagainya.
Mohammad Saleh di samping menjalankan tugasnya sebagai Regent Telukbetung, tetap melakukan dakwah yang kegiatannya berpusat di musala.
Tahun 1885, dua tahun setelah Gunung Krakatau meletus Muhammah Saleh berpulang ke rahmatullah. Dia dimakamkan di kaki Gunung Kunyit (dulu: Gunung Seri), Telukbetung, Bandar Lampung. Makamnya dikenal masyarakat luas dengan sebutan Keramat Datuk Puang.
Upaya yang telah dirintis Muhammad Saleh dilanjutkan para muridnya dengan pusat kegiatan tetap di musala yang dibangun 1839. Letusan Gunung Krakatau pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883, membuat musala ini hancur. Upaya membangun kembali masjid Jami' Al Anwar dilakukan pada 1888.
®MDBO¯Penulis 'Syair Lampung Karam'?®MDNM¯
Pertanyaan yang mengusik sejak awal, ketika ahli filologi Suryadi menemukan naskah kuno Syair Lampung Karam yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia serta mengumumkan ke publik adalah benarkah Mohammad Soleh yang dimaksud adalah Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami' Al Anwar dan pernah menjadi Regent Telukbetung.
Ketika kami menanyakan hal ini kepada Tjek Mat Zen, dia menyatakan belum tahu. Dia kemudian membuka-buka dokumen. Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka bertanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, Regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Salah, umur 50 tahun.
Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, maka pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯ ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammas Saleh ini yang menulis.Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯ sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan, Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura. "Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan bahwa dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Stree. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari website Radio Nederland Wereldomroep.
"Ya, bisa jadi," kata Johan Sapri (54), warga Gunung Kunyit yang mengaku keturunan ketujuh Mohammad Soleh. Dia menjelaskan, salah satu Mohammad Ali, saudara Mohammad Saleh, yaitu Intjik Halimah merupakan saudara Tuanku Lingga dari Malaysia.
Kami mencoba menelusuri naskah-naskah kuno yang tersimpan di Masjid Jami' Al Anwar. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (huruf Jawi) diletakkan di dua lemari di dalam gudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah "harta karun" yang tak ternilai harganya.
Berbekal sedikit kemampuan membaca huruf Arab Melayu (huruf Jawi), kami mencoba membaca beberapa kitab. Dari sampel itu, kami menemukan kitab-kitab itu masih bisa dibaca. Walaupun ada yang lepas dari jilidannya, tulisan-tulisannya masih sangat jelas. Beberapa buku yang kami coba lihat berangka tahun 1300-an berisi pengajaran agama, baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab.
Mungkinkah ada kitab Syair Lampung Karang? Sayang sekali, kondisi buku yang sudah rapuh dan penataan buku yang tumpang-tindih, membuat kami tidak berani melihat satu per satu kitab-kitab kuno tersebut. Agaknya, perlu waktu untuk meneliti kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan (lebih tepatnya gudang) Masjid Jami' Al Anwar.
Jadi, benarkah Mohammad Saleh, pemimpin dan ulama di Telukbetung yang merintis pendirian Masjid Jami' Al Anwar ini yang menulis ®MDRV¯Syair Lampung Karam®MDNM¯? Wallahu 'alam.
Komentari
Kumbang Debi dan 5 orang lainnya menyukai ini.
Suryadi Sunuri Ini informasi yang menarik, Mas Udo. Apakah bisa dikirimkan kepada Bapak Djadjat Sudradjat, Pemimpin Reaksi Lapung Post? Hari ini, Minggu, 29.8.2010, ulasan buku ini dimuat di Lampung Post. Mohon Mas Udo beli korannya.
14 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orang
Udo Z. Karzi Iya, Uda. Saya sebenarnya -- terpaksa ngaku, Uda -- wartawan Lampung Post.
Suryadi Sunuri Ha ha...kok nggak bilang2? Tulisan Mas Udo ini menarik. Saya jadinya ingin sekali ke Lampung dan melihat kitab2 yang disebutkan itu. Bukan tidak mungkin penulis Syair Lampung Karam adalah Muhammad Saleh yg di Lampung itu. Apakah tidak mungkin untuk menyelamatkan naskah2 itu? Misalnya bekerjasama dengan Manassa(Mayarakat Pernaskahan Nusantara) atau dengan seorang peneliti/dosen di Unila atau di Univ. Bengkulu?
Udo Z. Karzi Iya, naskah-naskah itu memang "dijaga" pengurus masjid Jami' Al Anwar, hanya kurang terawat. Sedang dibangun sebuah perpustakaan khusus untuk itu. Nanti saya sampaikan permintaan ke pengurusnya untuk menjaga kitab-kitab tersebut, termasuk menjajaki upaya kerjasama dengan Unila atau lembaga lainnya. Trims.
Udo Z. Karzi wah, senang sekali kalau Uda, mau ke Lampung. Kami akan menyambut dengan penuh kegembiraan.
Udo Yamin Majdi udo zul, nerima nihan. selamatko harta karun di masjid Jami' Al-Anwar no
Sigid Sahaja nah, sekarang tinggal akan kita mulai dari mana, nih?
Semacca Andanant Informasi yg amat bagus, tank's atas infonya. Lampung sebenarnya bnyk memiliki harta karun cuma sayang sedari berdirinya lampung jadi provinsi beberapa priode yg diurus hanya masalah 'transmigrasi'..???
Kumbang Debi kayaknya pernah juga baca tentang ini, kalo nggak salah di salah satu koran nasional.. (kalo nggak salah lho... lupa lupa lupa).
keep writing....
Agus Udi Warsudi Udo: Pengen tanya, kenapa Bahasa Lampung tidak bisa menjadi satu bahasa yang merekatkan warganya? Seperti yang saya alami di Palembang dan Bandung. Di dua kota itu, Bahasa Palembang sangat mewarnai bahasa masyarakatnya, begitu juga Bandung,... Bahasa Sunda sangat membumi, sehingga orang yang bukan dari etnis Palembang dan Sunda pun mau tidak mau harus bisa menggunakan Bahasa Palembang dan Sunda, minimal paham/mengerti. Kenapa Bahasa Lampung tidak? Ini sangat disayangkan. Saya yang lahir, tumbuh remaja, dan dewasa di Lampung hanya tahu sedikit Bahasa Lampung, seperti api kaba (apa kabar), niku (kamu), Way Lunik (sungai kecil), waway (baik), muli (gadis). Selebihnya, tidak. Artinya, jika saya diminta membuat sebuah kalimat menggunakan Bahasa Lampung, saya akan menyerah seperti orang kalah.Lihat Selengkapnya
Rudi Suhaimi Kalianda Aset bangsa jangan sampe hilang. Sejarah yg salah bisa mengakibatkan suramnya masa depan generasi kemudian!! Luruskan do!
7 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · Budi Hutasuhut Udo, coba kalkulasi lagi tahun-tahun dalam tulisan ini. Semua dimulai 1800-an. Padu padankan dengan kejayaan Kesultanan Banten pada periode itu, sulitnya Belanda masuk Lampung, pengkhiantan Sultan Haji, penerimaan Mohammad Ali sebagai kaki ...tangan Belanda untuk mengamankan laut, para pejuang yang membajak kapal Belanda di Selat Sunda, sejarah masuknya Islam yang ditulis Lampung Post dari Banten versi penelitian para dosen IAIN.
Kalau saya menilai, ini mitos. Mosok sih tahun 1800-an di Teluk Lampung ada orang Islam yang menjadi centeng Belanda, padahal pada periode itu Islam sangat keras kepada penjajah karena kuatnya pengaruh Kesultanan Banten di wilayah Selat Sunda.
Selain itu, bagaimana mungkin orang Lampung (yang tinggal di Telukbetung) masih sempat menulis syair tiga bulan setelah bencana alam yang dasyat itu. Mau nulis dimana, nulis pakai apa ketika segala sesuatunya luluh lantak.
Lagi pula, teks-nya kan bahasa Arab gundul. Arab gundul itu dalam periode berbahasa di Indonesia, merupakan huruf yang digunakan bangsa Melayu. Kalau mau, nanti saya kopikan teks-teks aslinya. He..he... Lihat Selengkapnya
Fachruddin Dani Luar biasa ..., si penulis syair itupun demikian familiarnya dengan Pulau Sebuku .... artinya ..... yah luar biasa.
Sumber : Udo Karzi Facebook
FILOLOGI DAN KEBUDAYAAN
FILOLOGI & KEBUDAYAAN
Oleh Mudjahirin Thohir
1. Pendahuluan
Filologi dan kebudayaan adalah dua istilah yang dalam cabang-cabang ilmu bisa dibicarakan dan membicarakan objek-objek kajiannya secara tersendiri. Tetapi substansi dari apa yang dibicarakan oleh filologi dan kebudayaan sebagai ilmu, pada dasarnya adalah tak terpisahkan. Dilihat sebagai cabang-cabang ilmu tersendiri karena masing-masing telah memiliki fokus kajian, teori dan metodologi pendekatan serta tujuan yang hendak dicapai. Kedunya, relatif berbeda. Sedang substansi dari apa yang ingin diketahui oleh ilmu filologi dan ilmu kebudayaan untuk hal-hal tertentu adalah sama, yakni: artefak.
Dalam filologi, artefak itu berujud naskah-naskah klasik yang sering disebut dengan istilah: naskah, manuscript; atau handshrift baik yang tertulis di atas bahan rotan, kulit binatang, kulit kayu, lontar, dluwang maupun kertas. Tujuan yang hendak dicapai oleh filologi terhadap naskah, antara lain menelusuri keaslian naskah tersebut. Sementara dalam ilmu kebudayaan, artefak atau dokumen-dokumen tertulis tadi adalah bagian dari sumber kajian dan bukannya satu-satunya kajian. Dalam ilmu kebudayaan, minat kajiannya teramat luas, yakni kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia baik yang telah terbekukan sebagai dokumen, maupun yang hidup di dalam pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, persamaan keduanya (ilmu filologi dan ilmu kebudayaan) adalah pada hasil akhirnya yaitu memahami hasil kebudayaan masyarakat manusia.
Tulisan ini hendak melihat dua ilmu tadi (filologi dan kebudayaan) dari titik-pisah dan titik-singgungnya, dan kemudian menawarkan suatu pendekatan baru dalam kajian filologi, yaitu pendekatan kebudayaan itu sendiri.
2. Ranah Kajian Filologi
Dalam berbagai buku Hand-out Filologi, telah disepakati mengenai tujuan dari ilmu filologi yang sangat penting yaitu mengenali teks klasik dan memahami isinya. Pengenalan kepada teks-teks klasik berarti:1. Mengenali teks klasik sesempurna-sempurnanya; 2. Membersihkkan teks klasik dari segala penyimpangannya; 3. Memilih & menetapkan bacaan yang “asli”, 4. Menyajikan teks klasik dalam keadaan yang “asli” dan terbaca; serta 5. Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan riwayat pertumbuhannya.
Untuk melakukan kajian seperti itu, ilmu filologi telah memiliki perangkat metodologi yang sangat khusus, seperti kritik teks. Sedang memahami isi naskah yaitu teks, berarti memahami: 1. kebudayaan suatu bangsa lewat hasil sastranya; 2. makna teks klasik bagi masyarakat pada jamannya dalam konteks masyarakat masing-masing hingga pada masa sekarang; 3. Mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan lama; dan pada akhirnya, 4. Melestarikan warisan kebudayaan yang bernilai tersebut.
Pada awal pertumbuhan ilmu filologi, penekanan pada tujuan merunut dan menentukan keaslian naskah di antara naskah-naskah lain yang serupa[1] adalah sangat penting. Hal ini antara lain berkaitan dengan isi dari naskah itu yaitu kitab-kitab suci seperti Injil atau naskah-naskah yang disakralkan. Itulah sebabnya, Ilmu filologi seringkali didifinisikan sebagai: The study of written records, the establishment of their authenticity and their original form of learning & literature. Tetapi ketika tahapan tersebut terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para filolog telah berkembang jauh, maka ilmu filologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti inilah lantas para filolog mulai berfikir untuk memanfaatkan ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, folklor, dan agama.
Kebutuhan untuk memanfaatkan ilmu-ilmu bantu seperti itu adalah karena naskah adalah rekaman kebudayaan suatu masyarakat tradisional yang isinya sangat luas dan kompleks. Isi dari rekaman kebudayaan yang berujud naskah itu dinamakan teks. Jadi teks adalah roh, nafas, makna dan corak yang hadir di dalam naskah. Isi dari naskah tersebut, bisa berupa mite, dongeng, adat-istiadat, upacara, dan segala hal yang dianggap penting pada waktu itu. Kalau ia dihasilkan oleh masyarakat Nusantara, maka isi naskah adalah segala yang bernilai oleh masyarakat Nusantara.
Perhatian kepada naskah klasik, kata klasik itu sering diposisikan sebagai sastra (baca: segala dokumen tertulis) yang dihasilkan oleh masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional, yakni masyarakat yang belum memperlihatkan pengaruh Barat secara intensif. Untuk Indonesia, pengaruh Barat artinya adalah pengaruh Belanda yakni zaman akhir abad ke-19 atau sebelum adanya pendidikan (formal) di Indonesia. Karena itu, pengertian Sastra Indonesia Lama ialah segala dokumen sastra Melayu, baik yang masih beredar dari mulut ke mulut maupun yang berbentuk tulisan yang dihasilkan sebelum orang mengenal pengetahuan cetak-mencetak. Tepatnya, semua hasil sastra sampai dengan pertengahan abad XIX; atau lebih umum dibatasi sampai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Filologi Indonesia dituangkan pada naskah-naskah yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali,Bugis, dan lain-lainnya. Jadi, tertulis dalam berbagai bahasa daerah dan dengan berbagai ragam huruf daerah yang bersangkutan. Tulisan-tulisan itu mengandung isi yang tidak terhingga macamnya. Pendek kata isi naskah meliputi lungkungan luas,merupakan curahan pikiran dan perasaan dalam banyak segi kehidupan bertalian dengan masyarakat zamannya, sedangkan jumlah naskah melimpah ruah (Haryati Soebadio, 1975; Darusuprapto, 1994).
Kegiatan kajian filologi Indonesia penting sekali artinya bagi pemahaman kebudayaan suatu bangsa yang sedang dalam proses pertumbuhan. Bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah dan berbeda pula latar belakang kehidupannya. Dengan demikian kajian filologi Indonesia dapat menambah pengertian dan menumbuhkan kesadaran terhadap warisan kebudayaan bangsa yang berharga lagi berguna bagi pembentukan kebudayaan nasional (Bachtiar, 1973 ).
3. Kebudayaan
Ada banyak definisi tentang kebudayaan yang kita kenal. Dalam arti sempit, kebudayaan dianologkan dengan kesenian, sehingga yang dikategorikan budayawan adalah para artis seperti penyair, musikus dsb. Ada lagi yang mengartikan kebudayaan sebagai kebiasaan orang-orang, sehingga muncul ungkapan: jam karet dan korupsi adalah kebudayaan orang Indonesia. Kedua definisi ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena itu kalau dalam tulisan ini digunakan istilah kebudayaan, maka bukan definisi di ataslah yang dimaksudkan.
Kebudayaan dalam kajian ini ialah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh umumnya warga yang berada dalam masyarakat-masyarakat tertentu, di mana pengetahuan tersebut telah diyakini kebenaran dan kemanfaataannya sehingga ia digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bersama. Pengetahuan yang secara umum dimiliki dan dijadikan pedoman tadi terwujud ke dalam pola-pola tindakan dan hasil-hasil tindakan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan manusia (Geertz, 1973) atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia (Keesing dan Keesing, 1971). Di dalam setiap kebudayaan tadi, berisi serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan, emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi (Spradley, 1972; dalam Suparlan, 1980/81).
Menurut teori ideasional, esensi kebudayaan terletak pada ide berupa pengetahuan (knowledge) dan simbol. Ciri dari pengetahuan di sini ialah sistem atau model kategori yang digunakan untuk memilih dan memilah (mengklasifikasi) pengalaman. Pada setiap kategorisasi, diikuti oleh istilah (label) dan atribut-atribut serta penilaian. Lewat itu semua manusia menentukan pilihan-pilihan tindakan dan pensikapan. Misalnya, seorang jejaka—lewat pandangan pertamanya – jatuh cinta kepada seorang gadis yang dia kenal pada saat pesta ulang tahun temannya. Tetapi setelah berkenalan lebih jauh ternyata, gadis tersebut ternyata adalah keponakannya sendiri – maka keduanya mundur teratur dan tidak lagi ada pikiran untuk mengawininya. Mengurungkan untuk mengawini gadis tersebut adalah karena di dalam masing-masing orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang telah telah terinternalisasi dalam pandangan hidupnya, yaitu tidak boleh melakukan incest.
Mengundurkan diri untuk mengawini gadis tersebut karena masih keponakannya sendiri merupakan perwujudan dari pengetahuan yang fungsional sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol [(yaitu: rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, intruksi-instruksi (dalam istilah ahli komputer: program-progam)] untuk mengatur tingkah laku. Konsep tentang keponakan dan incest yang menjadikan seseorang menjadi tidak melanjutkan keinginannya untuk mengawini, merupakan pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang dimiliki warga masyarakat secara umum.
Pengetahuan-pengetahuan budaya demikian itu, secara luas dioperasionalkan ke dalam pranata-pratana sosial. Pranata sosial merupakan aturan main (the rule of the game) mengenai bagaimana warga masyarakat itu berperan dan memainkan peran sesuai dengan kedudukan yang berlaku dan diberlakukan di dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan motivasi yang melatarbelakanginya.
Di dalam kehidupan masyarakat, umumnya dikenal adanya tujuh macam pranata sosial, yaitu: (1) pranata kekerabatan, (2) pranata ekonomi, (3) pranata ilmiah, (4) pranata somatik, (5) pranata keagamaan, (6) pendidikan, dan (7) pranata politik.
Bagaimana menjelaskan secara jelas ihwal berlakunya pranata sosial tersebut, dapat diambilkan contoh sebagai berikut. Misalnya, Ahmad yang memiliki dua saudara yaitu Hasan dan Ali. Kebetulan keduanya membutuhkan uang pinjaman dari Ahmad, tetapi dalam praktiknya cara Ahmad mempelakukan kedua adiknya itu berbeda. Hasan meminjam uang tanpa dibebani bunga, tetapi Ali meminjam uang dengan catatan harus memberi bunga 10%. Perbedaan perlakuan tersebut adalah karena pranata sosial yang mendasari hubungan-hubungan itu berbeda. Pranata sosial yang berlaku dan diberlakukan antara Ahmad dan Hasan adalah pranata kekerabatan, di mana etika yang mendasari adalah tolong-menolong. Mengapa demikian karena motif Hasan di dalam meminjam uang kepada Ahmad adalah untuk membiayai isterinya yang tengah sakit dan membutuhkan biaya perawatan. Sementara Ali meminjam uang kepada Ahmad untuk mengembangkan usaha perdagangannya, sehingga landasan etik yang digunakan adalah berbagi keuntungan. Dalam konteks inilah pranata yang diberlakukan adalah pranata ekonomi.
Bagaimana kebudayaan menjadi acuan tindakan bagi warga masyarakat, Parsudi Suparlan menskemakannya sebagai berikut.
Kebudayaan
Pranata social: kekerabatan, ilmiah, kesehatan, ekonomi, keagamaan, pendidikan, politik.
Pengetahuan budaya
Individu-individu
Individu-individu
Masyarakat
Dari skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, yang disebut sebagai kebudayaan itu adalah keseluruhan pengetahuan yang menjadi milik umum (masyarakat). Kedua, masyarakat merupakan kumpulan sejumlah individu. Ketiga, masing-masing individu akan bertindak sesuai dengan tingkat-tingkat pemahaman pengetahuan kebudayaan dan motivasi-motivasi yang mendorong tindakan. Keempat, pengetahuan-pengetahuan budaya tadi diaplikasikan sesuai dengan pranata-pranata sosial di mana tindakan itu diwujudkan. Dari karena pengertian seperti ini maka artefak (baca: dokumen-dokumen tertulis; manuskrip; naskah) adalah kumpulan dari cerminan kebudayaan masyarakat yang memilikinya yang tereksternalkan, baik dari hasil tindakan atau tuturan. Dengan demikian, artefak dalam satu segi, dan teks pada segi yang lain, kedudukannya dapat saling ditukarkan tergantung dari bagaimana kita memaknai keduanya itu sebagai realitas.
Secara skematik, artefak dan teks sebagai realitas simbolik adalah sebagai berikut.
Realitas simbolik
Internal
Dieksternalkan
Pengetahuan budaya (cognition)
Kemauan budaya (conation)
Perasaan budaya (emotion)
Perilaku/ tindakan
Lingkungan alam
Kinetic
Verbal
Artefak
Lingkungan termodifikasi
Naskah/ Teks
Tuturan
Sumber: Modifikasi dari EKM Masinambouw.
Dari skema di atas menjadi jelas hubungan antara filologi dan kebudayaan. Dalam filologi, konsentrasi kajian diarahkan kepada naskah/ teks, sementara artefak merupakan bagian dari kajian kebudayaan. Tetapi keduanya yaitu artefak dan naskah/ teks, merupakan hasil dari atau kumpulan dari pengetahuan budaya yang dieksternalisasikan ke dalam dokumen-dokumen tulisan atau benda-benda material (artefak).
Berangkat dari skema di atas, berikutnya akan saya ajukan suatu tesis yaitu kajian mengenai naskah/teks – sepanjang ia akan dipahami isi dan latarbelakang masyarakat yang menghasilkan – adalah tepat jika ditelusuri lewat pendekatan kebudayaan.
4. Pengkajian Teks Berdasarkan pada Pendekatan Kebudayaan
Realitas simbolik dalam kehidupan masyarakat manusia adalah peristiwa, kejadian-kejadian, benda-benda baik yang berupa artefak maupun naskah. Keseluruhannya itu memuat atau merupakan pemadatan dari formulasi pikiran, perasaan, dan kemauan individu-individu warga masyarakat yang ada dan hidup di dalam zaman di mana artefak/ naskah itu lahir/diciptakan. Gagasan-gagasan tadi bisa berbicara tentang apa yang sudah terjadi (masa lampau), sedang terjadi (masa kini, waktu itu), dan yang akan terjadi (masa depan) mengenai berbagai hal yang dianggap penting dan kemudian diungkapkan lewat simbol-simbol yang bermakna.
Sebagian besar simbol-simbol itu adalah kata-kata, tetapi juga isyarat-isyarat, lukisan-lukisan, bunyi-bunyian musik, upacara-upacara, adat-istiadat, dsb. Oleh masyarakat yang melahirkan simbol-simbol tersebut dipahami dan dimengerti karena setiap adanya konvensi-konvensi yang berlaku dan diberlakukan.
Simbol-simbol atau sumber-sumber simbolis penerangan (illumination) itu dibutuhkan manusia untuk menemukan pegangan-pegangannya di dalam dunia. Bagi manusia, apa yang merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi. Dengan kemampuan itu memungkinkan kelenturan yang jauh lebih besar (merupakan kompleksitas). Kompleksitas itu perlu diatur oleh (kebudayaan yaitu) tata sistem-sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku manusia sebenarnya tak dapat diatur. Di sinilah kebudayaan sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, adalah jaringan-jaringan makna itu. Bagaimana melihat dan menganalisis jaringan-jaringan makna itu, ialah dengan menggunakan konsep semiotik. Sebagai sebuah konsep semiotik, analisis terhadap isi naskah bersifat interpretatif untuk mencari makna. Untuk merebut makna di balik naskah/teks-teks tersebut ialah dengan melakukan analisis kebudayaan masyarakat yang melahirkan. Menerapkan konsep semiotik berarti kebudayaan dilihat sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan berdasarkan atas konteks. Berdasarkan atas konteks berarti, naskah/teks itu dibaca dengan mempertimbangkan banyak segi seperti segi kesejarahan, tradisi, nilai-nilai dan semangat yang mendasari semuanya itu. Dari sinilah kerja analisis kebudayaan atas teks.
Menganalisis karena itu berarti menata struktur-struktur pemaknaan dan menentukan dasar-dasar serta makna sosial struktur-struktur itu. Jadi, menganalisis teks berarti usaha membaca (dalam arti menafsirkan sebuah bacaan dari) sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan-ketakkoherenan, perubahan-perubahan yang mencurigakan dan komentar-komentar yang tendensius.
5. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa studi filologi dapat dilakukan dari berbagai sudut dan perspektif, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut.
Kalau tujuan dari studi filologi yaitu mempelajari naskah/teks untuk kemudian dapat merebut makna dan pesan dari teks tersebut, maka tujuan seperti ini dapat dijalankan dengan menggunakan pendekatan atau perspektif kebudayaan.
Lewat perspektif kebudayaan itulah naskah atau teks diperlakukan sebagai pemadatan realitas simbolik. Ketika naskah atau teks diposisikan sebagai realitas simbolik yang dalam istilahnya sendiri sebagai dokumen kebudayaan masyarakat-masyarakat tradisional, maka analisis yang digunakan adalah analisis kontekstual.
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W.
1973 “Filologi dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Kita.” Pengarahan Seminar Filologi dan Sejarah. Yogyakarta.
Baried. Siti Baroroh, dkk.
1985 Pengantar Teori Filologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudaya,an. Jakarta.
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures . New York: Basic Book.
1984 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya (Terjemahan Azwab Mahasin).
Hooykaas. C.
1950 ” Indonesische Handschriften Urbi et Orbi.” Dalam Poerbatjaraka, Voorhoeve dan Hooykaas. Indonesische Hand,schriften. Lembaga Kebudajaan Indonesia. Bandung: A.C. Nix & Co.
Keesing, Roger M
1974 “Theories of Culture”. Dalam Annual Review of Anthropology.
Masinambouw, EKM
1985 “Perspekktif Kebahasaan terhadap Kebudayaan”. Dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Aslfian, ed). Jakarta: Gramedia.
Pigeaud. G. Th.
1967 - 1970 Literature of Java. Catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the library of the university of Leiden and other public collections in the Netherlands. 3 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. R.M.Ng.
1952 Kapustakan Djawi. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
Simuh
1989 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita - Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.
Soebadio, Haryati
1975 ” Penelitian Naskah Lama Indonesia.” Buletin Yepena. Th. 2. No. 7. Hlm. 11-18. Jakarta.
Suparlan, Parsudi
1986 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Dalam IKA. No. 11, Th. XIV
1993 “Antropologi untuk Indonesia”. Dalam Membangun Martabat Manusia. Effendi, Sofian, dkk (eds). Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1997 “Transmigrasi dalam Pembangunan Wilayah dan Kelestariannya dengan Perspektif Sosial Budaya: Model untuk Irian Jaya”. Dalam Analisis. No. 3, Th. XXVI.
Uhlenbeck. E.M.
1964 A Critical Survey of Studies on the Languages on Java and Madura. Gravenhage: Martinus Nijhoff.Zoetmulder. P.J.
Teeuw, A.
1981. Tergantung Pada Kata Jakarta: Pustaka Jaya.
1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumber : Mudjahirin Thohir Blog.
Oleh Mudjahirin Thohir
1. Pendahuluan
Filologi dan kebudayaan adalah dua istilah yang dalam cabang-cabang ilmu bisa dibicarakan dan membicarakan objek-objek kajiannya secara tersendiri. Tetapi substansi dari apa yang dibicarakan oleh filologi dan kebudayaan sebagai ilmu, pada dasarnya adalah tak terpisahkan. Dilihat sebagai cabang-cabang ilmu tersendiri karena masing-masing telah memiliki fokus kajian, teori dan metodologi pendekatan serta tujuan yang hendak dicapai. Kedunya, relatif berbeda. Sedang substansi dari apa yang ingin diketahui oleh ilmu filologi dan ilmu kebudayaan untuk hal-hal tertentu adalah sama, yakni: artefak.
Dalam filologi, artefak itu berujud naskah-naskah klasik yang sering disebut dengan istilah: naskah, manuscript; atau handshrift baik yang tertulis di atas bahan rotan, kulit binatang, kulit kayu, lontar, dluwang maupun kertas. Tujuan yang hendak dicapai oleh filologi terhadap naskah, antara lain menelusuri keaslian naskah tersebut. Sementara dalam ilmu kebudayaan, artefak atau dokumen-dokumen tertulis tadi adalah bagian dari sumber kajian dan bukannya satu-satunya kajian. Dalam ilmu kebudayaan, minat kajiannya teramat luas, yakni kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia baik yang telah terbekukan sebagai dokumen, maupun yang hidup di dalam pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, persamaan keduanya (ilmu filologi dan ilmu kebudayaan) adalah pada hasil akhirnya yaitu memahami hasil kebudayaan masyarakat manusia.
Tulisan ini hendak melihat dua ilmu tadi (filologi dan kebudayaan) dari titik-pisah dan titik-singgungnya, dan kemudian menawarkan suatu pendekatan baru dalam kajian filologi, yaitu pendekatan kebudayaan itu sendiri.
2. Ranah Kajian Filologi
Dalam berbagai buku Hand-out Filologi, telah disepakati mengenai tujuan dari ilmu filologi yang sangat penting yaitu mengenali teks klasik dan memahami isinya. Pengenalan kepada teks-teks klasik berarti:1. Mengenali teks klasik sesempurna-sempurnanya; 2. Membersihkkan teks klasik dari segala penyimpangannya; 3. Memilih & menetapkan bacaan yang “asli”, 4. Menyajikan teks klasik dalam keadaan yang “asli” dan terbaca; serta 5. Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan riwayat pertumbuhannya.
Untuk melakukan kajian seperti itu, ilmu filologi telah memiliki perangkat metodologi yang sangat khusus, seperti kritik teks. Sedang memahami isi naskah yaitu teks, berarti memahami: 1. kebudayaan suatu bangsa lewat hasil sastranya; 2. makna teks klasik bagi masyarakat pada jamannya dalam konteks masyarakat masing-masing hingga pada masa sekarang; 3. Mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan lama; dan pada akhirnya, 4. Melestarikan warisan kebudayaan yang bernilai tersebut.
Pada awal pertumbuhan ilmu filologi, penekanan pada tujuan merunut dan menentukan keaslian naskah di antara naskah-naskah lain yang serupa[1] adalah sangat penting. Hal ini antara lain berkaitan dengan isi dari naskah itu yaitu kitab-kitab suci seperti Injil atau naskah-naskah yang disakralkan. Itulah sebabnya, Ilmu filologi seringkali didifinisikan sebagai: The study of written records, the establishment of their authenticity and their original form of learning & literature. Tetapi ketika tahapan tersebut terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para filolog telah berkembang jauh, maka ilmu filologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti inilah lantas para filolog mulai berfikir untuk memanfaatkan ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, folklor, dan agama.
Kebutuhan untuk memanfaatkan ilmu-ilmu bantu seperti itu adalah karena naskah adalah rekaman kebudayaan suatu masyarakat tradisional yang isinya sangat luas dan kompleks. Isi dari rekaman kebudayaan yang berujud naskah itu dinamakan teks. Jadi teks adalah roh, nafas, makna dan corak yang hadir di dalam naskah. Isi dari naskah tersebut, bisa berupa mite, dongeng, adat-istiadat, upacara, dan segala hal yang dianggap penting pada waktu itu. Kalau ia dihasilkan oleh masyarakat Nusantara, maka isi naskah adalah segala yang bernilai oleh masyarakat Nusantara.
Perhatian kepada naskah klasik, kata klasik itu sering diposisikan sebagai sastra (baca: segala dokumen tertulis) yang dihasilkan oleh masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional, yakni masyarakat yang belum memperlihatkan pengaruh Barat secara intensif. Untuk Indonesia, pengaruh Barat artinya adalah pengaruh Belanda yakni zaman akhir abad ke-19 atau sebelum adanya pendidikan (formal) di Indonesia. Karena itu, pengertian Sastra Indonesia Lama ialah segala dokumen sastra Melayu, baik yang masih beredar dari mulut ke mulut maupun yang berbentuk tulisan yang dihasilkan sebelum orang mengenal pengetahuan cetak-mencetak. Tepatnya, semua hasil sastra sampai dengan pertengahan abad XIX; atau lebih umum dibatasi sampai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Filologi Indonesia dituangkan pada naskah-naskah yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali,Bugis, dan lain-lainnya. Jadi, tertulis dalam berbagai bahasa daerah dan dengan berbagai ragam huruf daerah yang bersangkutan. Tulisan-tulisan itu mengandung isi yang tidak terhingga macamnya. Pendek kata isi naskah meliputi lungkungan luas,merupakan curahan pikiran dan perasaan dalam banyak segi kehidupan bertalian dengan masyarakat zamannya, sedangkan jumlah naskah melimpah ruah (Haryati Soebadio, 1975; Darusuprapto, 1994).
Kegiatan kajian filologi Indonesia penting sekali artinya bagi pemahaman kebudayaan suatu bangsa yang sedang dalam proses pertumbuhan. Bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah dan berbeda pula latar belakang kehidupannya. Dengan demikian kajian filologi Indonesia dapat menambah pengertian dan menumbuhkan kesadaran terhadap warisan kebudayaan bangsa yang berharga lagi berguna bagi pembentukan kebudayaan nasional (Bachtiar, 1973 ).
3. Kebudayaan
Ada banyak definisi tentang kebudayaan yang kita kenal. Dalam arti sempit, kebudayaan dianologkan dengan kesenian, sehingga yang dikategorikan budayawan adalah para artis seperti penyair, musikus dsb. Ada lagi yang mengartikan kebudayaan sebagai kebiasaan orang-orang, sehingga muncul ungkapan: jam karet dan korupsi adalah kebudayaan orang Indonesia. Kedua definisi ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena itu kalau dalam tulisan ini digunakan istilah kebudayaan, maka bukan definisi di ataslah yang dimaksudkan.
Kebudayaan dalam kajian ini ialah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh umumnya warga yang berada dalam masyarakat-masyarakat tertentu, di mana pengetahuan tersebut telah diyakini kebenaran dan kemanfaataannya sehingga ia digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bersama. Pengetahuan yang secara umum dimiliki dan dijadikan pedoman tadi terwujud ke dalam pola-pola tindakan dan hasil-hasil tindakan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan manusia (Geertz, 1973) atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia (Keesing dan Keesing, 1971). Di dalam setiap kebudayaan tadi, berisi serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan, emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi (Spradley, 1972; dalam Suparlan, 1980/81).
Menurut teori ideasional, esensi kebudayaan terletak pada ide berupa pengetahuan (knowledge) dan simbol. Ciri dari pengetahuan di sini ialah sistem atau model kategori yang digunakan untuk memilih dan memilah (mengklasifikasi) pengalaman. Pada setiap kategorisasi, diikuti oleh istilah (label) dan atribut-atribut serta penilaian. Lewat itu semua manusia menentukan pilihan-pilihan tindakan dan pensikapan. Misalnya, seorang jejaka—lewat pandangan pertamanya – jatuh cinta kepada seorang gadis yang dia kenal pada saat pesta ulang tahun temannya. Tetapi setelah berkenalan lebih jauh ternyata, gadis tersebut ternyata adalah keponakannya sendiri – maka keduanya mundur teratur dan tidak lagi ada pikiran untuk mengawininya. Mengurungkan untuk mengawini gadis tersebut adalah karena di dalam masing-masing orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang telah telah terinternalisasi dalam pandangan hidupnya, yaitu tidak boleh melakukan incest.
Mengundurkan diri untuk mengawini gadis tersebut karena masih keponakannya sendiri merupakan perwujudan dari pengetahuan yang fungsional sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol [(yaitu: rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, intruksi-instruksi (dalam istilah ahli komputer: program-progam)] untuk mengatur tingkah laku. Konsep tentang keponakan dan incest yang menjadikan seseorang menjadi tidak melanjutkan keinginannya untuk mengawini, merupakan pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang dimiliki warga masyarakat secara umum.
Pengetahuan-pengetahuan budaya demikian itu, secara luas dioperasionalkan ke dalam pranata-pratana sosial. Pranata sosial merupakan aturan main (the rule of the game) mengenai bagaimana warga masyarakat itu berperan dan memainkan peran sesuai dengan kedudukan yang berlaku dan diberlakukan di dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan motivasi yang melatarbelakanginya.
Di dalam kehidupan masyarakat, umumnya dikenal adanya tujuh macam pranata sosial, yaitu: (1) pranata kekerabatan, (2) pranata ekonomi, (3) pranata ilmiah, (4) pranata somatik, (5) pranata keagamaan, (6) pendidikan, dan (7) pranata politik.
Bagaimana menjelaskan secara jelas ihwal berlakunya pranata sosial tersebut, dapat diambilkan contoh sebagai berikut. Misalnya, Ahmad yang memiliki dua saudara yaitu Hasan dan Ali. Kebetulan keduanya membutuhkan uang pinjaman dari Ahmad, tetapi dalam praktiknya cara Ahmad mempelakukan kedua adiknya itu berbeda. Hasan meminjam uang tanpa dibebani bunga, tetapi Ali meminjam uang dengan catatan harus memberi bunga 10%. Perbedaan perlakuan tersebut adalah karena pranata sosial yang mendasari hubungan-hubungan itu berbeda. Pranata sosial yang berlaku dan diberlakukan antara Ahmad dan Hasan adalah pranata kekerabatan, di mana etika yang mendasari adalah tolong-menolong. Mengapa demikian karena motif Hasan di dalam meminjam uang kepada Ahmad adalah untuk membiayai isterinya yang tengah sakit dan membutuhkan biaya perawatan. Sementara Ali meminjam uang kepada Ahmad untuk mengembangkan usaha perdagangannya, sehingga landasan etik yang digunakan adalah berbagi keuntungan. Dalam konteks inilah pranata yang diberlakukan adalah pranata ekonomi.
Bagaimana kebudayaan menjadi acuan tindakan bagi warga masyarakat, Parsudi Suparlan menskemakannya sebagai berikut.
Kebudayaan
Pranata social: kekerabatan, ilmiah, kesehatan, ekonomi, keagamaan, pendidikan, politik.
Pengetahuan budaya
Individu-individu
Individu-individu
Masyarakat
Dari skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, yang disebut sebagai kebudayaan itu adalah keseluruhan pengetahuan yang menjadi milik umum (masyarakat). Kedua, masyarakat merupakan kumpulan sejumlah individu. Ketiga, masing-masing individu akan bertindak sesuai dengan tingkat-tingkat pemahaman pengetahuan kebudayaan dan motivasi-motivasi yang mendorong tindakan. Keempat, pengetahuan-pengetahuan budaya tadi diaplikasikan sesuai dengan pranata-pranata sosial di mana tindakan itu diwujudkan. Dari karena pengertian seperti ini maka artefak (baca: dokumen-dokumen tertulis; manuskrip; naskah) adalah kumpulan dari cerminan kebudayaan masyarakat yang memilikinya yang tereksternalkan, baik dari hasil tindakan atau tuturan. Dengan demikian, artefak dalam satu segi, dan teks pada segi yang lain, kedudukannya dapat saling ditukarkan tergantung dari bagaimana kita memaknai keduanya itu sebagai realitas.
Secara skematik, artefak dan teks sebagai realitas simbolik adalah sebagai berikut.
Realitas simbolik
Internal
Dieksternalkan
Pengetahuan budaya (cognition)
Kemauan budaya (conation)
Perasaan budaya (emotion)
Perilaku/ tindakan
Lingkungan alam
Kinetic
Verbal
Artefak
Lingkungan termodifikasi
Naskah/ Teks
Tuturan
Sumber: Modifikasi dari EKM Masinambouw.
Dari skema di atas menjadi jelas hubungan antara filologi dan kebudayaan. Dalam filologi, konsentrasi kajian diarahkan kepada naskah/ teks, sementara artefak merupakan bagian dari kajian kebudayaan. Tetapi keduanya yaitu artefak dan naskah/ teks, merupakan hasil dari atau kumpulan dari pengetahuan budaya yang dieksternalisasikan ke dalam dokumen-dokumen tulisan atau benda-benda material (artefak).
Berangkat dari skema di atas, berikutnya akan saya ajukan suatu tesis yaitu kajian mengenai naskah/teks – sepanjang ia akan dipahami isi dan latarbelakang masyarakat yang menghasilkan – adalah tepat jika ditelusuri lewat pendekatan kebudayaan.
4. Pengkajian Teks Berdasarkan pada Pendekatan Kebudayaan
Realitas simbolik dalam kehidupan masyarakat manusia adalah peristiwa, kejadian-kejadian, benda-benda baik yang berupa artefak maupun naskah. Keseluruhannya itu memuat atau merupakan pemadatan dari formulasi pikiran, perasaan, dan kemauan individu-individu warga masyarakat yang ada dan hidup di dalam zaman di mana artefak/ naskah itu lahir/diciptakan. Gagasan-gagasan tadi bisa berbicara tentang apa yang sudah terjadi (masa lampau), sedang terjadi (masa kini, waktu itu), dan yang akan terjadi (masa depan) mengenai berbagai hal yang dianggap penting dan kemudian diungkapkan lewat simbol-simbol yang bermakna.
Sebagian besar simbol-simbol itu adalah kata-kata, tetapi juga isyarat-isyarat, lukisan-lukisan, bunyi-bunyian musik, upacara-upacara, adat-istiadat, dsb. Oleh masyarakat yang melahirkan simbol-simbol tersebut dipahami dan dimengerti karena setiap adanya konvensi-konvensi yang berlaku dan diberlakukan.
Simbol-simbol atau sumber-sumber simbolis penerangan (illumination) itu dibutuhkan manusia untuk menemukan pegangan-pegangannya di dalam dunia. Bagi manusia, apa yang merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi. Dengan kemampuan itu memungkinkan kelenturan yang jauh lebih besar (merupakan kompleksitas). Kompleksitas itu perlu diatur oleh (kebudayaan yaitu) tata sistem-sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku manusia sebenarnya tak dapat diatur. Di sinilah kebudayaan sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, adalah jaringan-jaringan makna itu. Bagaimana melihat dan menganalisis jaringan-jaringan makna itu, ialah dengan menggunakan konsep semiotik. Sebagai sebuah konsep semiotik, analisis terhadap isi naskah bersifat interpretatif untuk mencari makna. Untuk merebut makna di balik naskah/teks-teks tersebut ialah dengan melakukan analisis kebudayaan masyarakat yang melahirkan. Menerapkan konsep semiotik berarti kebudayaan dilihat sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan berdasarkan atas konteks. Berdasarkan atas konteks berarti, naskah/teks itu dibaca dengan mempertimbangkan banyak segi seperti segi kesejarahan, tradisi, nilai-nilai dan semangat yang mendasari semuanya itu. Dari sinilah kerja analisis kebudayaan atas teks.
Menganalisis karena itu berarti menata struktur-struktur pemaknaan dan menentukan dasar-dasar serta makna sosial struktur-struktur itu. Jadi, menganalisis teks berarti usaha membaca (dalam arti menafsirkan sebuah bacaan dari) sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan-ketakkoherenan, perubahan-perubahan yang mencurigakan dan komentar-komentar yang tendensius.
5. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa studi filologi dapat dilakukan dari berbagai sudut dan perspektif, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut.
Kalau tujuan dari studi filologi yaitu mempelajari naskah/teks untuk kemudian dapat merebut makna dan pesan dari teks tersebut, maka tujuan seperti ini dapat dijalankan dengan menggunakan pendekatan atau perspektif kebudayaan.
Lewat perspektif kebudayaan itulah naskah atau teks diperlakukan sebagai pemadatan realitas simbolik. Ketika naskah atau teks diposisikan sebagai realitas simbolik yang dalam istilahnya sendiri sebagai dokumen kebudayaan masyarakat-masyarakat tradisional, maka analisis yang digunakan adalah analisis kontekstual.
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W.
1973 “Filologi dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Kita.” Pengarahan Seminar Filologi dan Sejarah. Yogyakarta.
Baried. Siti Baroroh, dkk.
1985 Pengantar Teori Filologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudaya,an. Jakarta.
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures . New York: Basic Book.
1984 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya (Terjemahan Azwab Mahasin).
Hooykaas. C.
1950 ” Indonesische Handschriften Urbi et Orbi.” Dalam Poerbatjaraka, Voorhoeve dan Hooykaas. Indonesische Hand,schriften. Lembaga Kebudajaan Indonesia. Bandung: A.C. Nix & Co.
Keesing, Roger M
1974 “Theories of Culture”. Dalam Annual Review of Anthropology.
Masinambouw, EKM
1985 “Perspekktif Kebahasaan terhadap Kebudayaan”. Dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Aslfian, ed). Jakarta: Gramedia.
Pigeaud. G. Th.
1967 - 1970 Literature of Java. Catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the library of the university of Leiden and other public collections in the Netherlands. 3 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. R.M.Ng.
1952 Kapustakan Djawi. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
Simuh
1989 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita - Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.
Soebadio, Haryati
1975 ” Penelitian Naskah Lama Indonesia.” Buletin Yepena. Th. 2. No. 7. Hlm. 11-18. Jakarta.
Suparlan, Parsudi
1986 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Dalam IKA. No. 11, Th. XIV
1993 “Antropologi untuk Indonesia”. Dalam Membangun Martabat Manusia. Effendi, Sofian, dkk (eds). Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1997 “Transmigrasi dalam Pembangunan Wilayah dan Kelestariannya dengan Perspektif Sosial Budaya: Model untuk Irian Jaya”. Dalam Analisis. No. 3, Th. XXVI.
Uhlenbeck. E.M.
1964 A Critical Survey of Studies on the Languages on Java and Madura. Gravenhage: Martinus Nijhoff.Zoetmulder. P.J.
Teeuw, A.
1981. Tergantung Pada Kata Jakarta: Pustaka Jaya.
1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumber : Mudjahirin Thohir Blog.
FILOLOGI
FILOLOGI
Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno.
Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah menelititi naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini dan menyunting teks yang ada di dalamnya.
Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.
Salah seorang filolog Indonesia ternama adalah Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka.
Sumber : Wikipedia Indonesia.
Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno.
Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah menelititi naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini dan menyunting teks yang ada di dalamnya.
Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.
Salah seorang filolog Indonesia ternama adalah Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka.
Sumber : Wikipedia Indonesia.
PENDEKATAN DESKRIPTIF DALAM STUDI ISLAM (Klasifikasi Pendekatan Studi Agama Charles J. Adam)
03 Nov. 2009
PENDEKATAN DESKRIPTIF DALAM STUDI ISLAM ( Klasifikasi Pendekatan Studi Agama Charles J. Adam )
Oleh alymasyharabdelhanan
Pendahuluan
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal.[1] Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama [Islam]) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Para pakar study agama [Islam], dengan melihat kesatuan proses yang panjang, mengklasifikasikannya dalam dua pendekatan. Dalam istilah J. Koren dan Y.D. Nevo kedua pendekatan itu ialah pendekatan tradisional (The traditional approach) dan pendekatan kritik sumber (The source critical approach/ The revisionist approach).[2] Sementara Charles J. Adams mengistilahkannya dengan pendekatan normatif (The normative approaches) dan pendekatan deskriptif (The descriptive approaches). Pendekatan normative meliputi: Pendekatan misionaris tradisional, pendekatan pembelaan muslim (The Muslim apologetic approach), dan pendekatan irenic (simpati). Kemudian yang digolongkan pada pendekatan deskriptif antara lain: pendekatan philologi dan sejarah, pendekatan ilmu sosial (social scientiific approach), dan pendekatan Fenomenologis[3]. Pada klasifikasi kedua dari Charles J. Adams inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kajian paper ini. Hal ini karena memang bagian pertama dari klasifikasi Adams sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya dan klasifikasi menurut J. Koren dan Y.D. Nevo akan dibahas oleh pemakalah yang lain. Selain alasan itu, pengkususan bahasan ini juga dimaksudkan supaya kajian ini bisa lebih mendalam dan komprehensif.
Definisi Pendekatan Deskriptif
Sebelum membahas kajian ini lebih jauh, tidak salah kiranya jika kami uraikan terlebih dahulu apa definisi pendekatan deskriptif menurut Charles J. Adams. Selain itu, supaya kajian ini tidak terputus dan mempermudah dalam mencari titik persamaan-perbedaan serta karakteristiknya, kami juga akan sedikit menyinggung tentang pendekatan normatif.
Dalam kajian artikelnya “Islamic Religious Tradition”, Charles J. Adams tidak mendefinisikan pendekatan Deskriptif secara eksplisit. Namun ia menjelaskan perbedaannya dengan pendekatan normatif dan membanding-bandingkan keduanya dengan istilah-istilah lain.
“ ….the normative to the descriptive, or in somewhat different terms, may be classified according to those that have a basis in the religious commitment of the investigator and those that do not. The distinction would seem to be most clear in the case of those who study islam (or any other religion) with the goal of proselytizing on the one hand, and those who appear to respond to motives of intellectual curiosity on the other hand.”[4]
Kutipan di atas, dalam terjemahan bebasnya Adams mengatakan bahwa pendekatan normatif dan deskriptif sama halnya dengan seorang pengkaji agama (Islam) yang mempunyai komitmen keagamaan (Normatif) dan yang tidak (Deskriptif), dan juga sama halnya dengan pengkaji agama yang mempunyai sebuah tujuan subjektif (Normatif) dan yang hanya karena dorongan keingintahuan secara intelektual (Deskriptif). Dari sini maka bisa dipahami bahwa definisi atau maksud dari pendekatan normatif Adams adalah suatu pendekatan study agama (Islam) yang masih memasukkan tujuan subyektif pengkaji dan pastinya hasil kajian akan lebih cenderung pada subjektif, sementara pendekatan Deskriptif adalah sebuah pendekatan study agama (Islam) yang berusaha untuk menghilangkan tujuan-tujuan subjektif pengkaji serta mendudukan objek kajian (agama) sebagai hal yang profan yang bisa dikaji dengan menggunakan bantuan ilmu apapun dan menggunakan alat kajian apapun untuk mendapatkan hasil yang ‘objektif’.
Meskipun Adams mengklasifikasikan pendekatan study agama sebagaimana di atas, namun ia menyatakan bahwa batas dari keduanya tidak ketat. Sebab seorang pengkaji yang berusaha se-objektif mungkin pun dalam kajiannya, ia akan mengalami kesulitan untuk netral atau bahkan bisa dikatakan ‘mustahil’. Oleh karena itu Adams mengatakan bahwa batas antara kedua pendekatan tersebut ialah kabur.[5]
Macam-Macam Pendekatan Deskriptif
1. Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philology and Historical Approach)
Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi dan Historis meski sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan beriringan. Karena sebab inilah kemungkinan besar yang mendorong Adams untuk menyatukannya.
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.[6] Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[7]
Karena filologi banyak berkutat dalam kebahasaan, maka kunci utama filologi ialah bahasa. Seorang filolog setidaknya harus menguasai bahasa sumber, jika dalam Islam ialah bahasa Arab. Selain itu, menurut Adams seorang filolog yang sedang mengkaji Islam idealnya juga menguasai bahasa-bahasa tambahan lainnya, yakni Bahasa Persia, Urdu, Turki, Melayu dan Indonesia. Hal ini karena dari wilayah-wilayah itu banyak muncul literatur-literatur yang diidentikkan dengan Islam.[8]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya dapat diketahui. Objek sasaran pendekatan historis diantaranya sebagai berikut:
1. Perubahan literarur dengan bahasanya sebagai akibat penerbitan ulang.
2. Fungsi dan tujuan literatur tersebut ketika dibuat.
3. Kedudukan pengarang pada saat membuat (jika manusia).
4. Literatur sebagai wakil zamannya.[9]
Dari sini maka bisa diketahui dengan jelas bahwa hubungan antara pendekatan filologi dan pendekatan historis ialah sangat erat, bahkan bisa dikatakan sama. Dan dari sini pula bisa diambil pemahaman bahwa pendekatan filologis historis setidaknya mempunyai beberapa kata kunci, yakni naskah, bahasa, makna, pengarang, asal-usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah. Jika menurut Muhammad Latif, pendekatan filologis historis mencakup tiga hal yang saling bertautan, yakni tafsir, content analysis, dan hermeneutika.[10]
1. Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat dalam teks.[11]
Kemudian ‘apa itu pendekatan ilmu sosial?’ menurut Adams sangat sulit untuk didefinisikan, terutama semenjak terjadinya perdebatan para ilmuan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan. Apakah pendekatan ilmu alam (sosiologi positivistik) memadai untuk mengkaji manusia yang nota bene esensinya sangat berbeda?. Alam bersifat kontinyu, tetap dan berulang-ulang sementara manusia (budaya dll) besifat temporal, dinamis dan tak berulang. Perdebatan ini memunculkan metode baru dalam kajian sosial, yakni metode Verstehen (pemahaman/ penafsiran) sebagaimana yang dikatakan Delthy.[12] Para pencetus metode ini menyatakan bahwa metode ilmiah (scientific), yang bersifat Erklaren (penjelasan) dengan menggunakan logika sebab-akibat sebagaimana dalam menjelaskan alam, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan manusia yang mempunyai perasaan, keinginan, serta impian. Alam memunculkan hukum sedangkan manusia melahirkan ‘nilai’.[13] Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan ilmu sosial disini ialah pendekatan scientis-positivistik tersebut.
Ciri-ciri pendekatan scientis diantaranya ialah:
1. Menyatakan bahwa metode-metode ilmu alam bisa digunakan dalam ilmu sosial.
2. Mengandaikan adanya metode serta pengetahuan yang bersifat Objektif, netral, dan bebas nilai.
3. Hasil penelitian sosial bisa dijadikan hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam.
4. Hasil penelitian harus bersifat teknis yang bisa digunakan untuk keperluan apapun, sehingga tidak bersifat etis serta lepas dari dimensi politis manusia.
5. Melepaskan objek kajian dari historisitasnya.
6. Cenderung membagi dan memetakan objek kajian dengan menggunakan kategori-kategori.
7. Bersifat menjelaskan, empiris, dan akhirnya mengontrol. Dan masih banyak lagi.
Kemudian dalam wilayah studi agama usaha yang ditempuh oleh pendekatan sosial ilmiah ialah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini ialah menemukan aspek empirik keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya (kontrol).[14]
1. Pendekatan Fenomenologi
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (islam). Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.[15]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan.[16] Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya. [17]
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[18] Maka dari itu, dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi membutuhkan perangkat lain, misalkan sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
Wilayah Kajian Studi Islam
Selain memetakan pendekatan, Adams juga merekomendasikan kepada sarjana yang konsen dalam Study Agama Islam untuk memprioritaskan kajiannya pada wilayah-wilayah tertentu, yakni: (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian tentang Rasul, (3) Kajian atas al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam, (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7) aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9) agama rakyat.[19]
Kesimpulan
Dari ulasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pendekatan deskritiptif ialah pendekatan kajian agama yang berusaha untuk mendudukan objek (agama) sebagai hal profan dan melepaskan sebisa mungkin nilai-nilai subjektif pengakaji. Kemudian, menurut pemetaan Charles j. Adams, pendekatan deskriptif meliputi pendekatan filologi dan sejarah, pendekatan Ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologi. Selain itu, Adams juga merekomendasikan wilayah-wilayah kajian Agama (Islam), yakni (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian tentang Rasul, (3) Kajian atas al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam, (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7) aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9) agama rakyat.
Pertanyaan-Pertanyaan
1. Pendekatan Filologi dan Historis
- Bisakah memahami masyarakat suatu agama hanya dengan melalui kajian naskah tanpa mengkaji masyarakat itu sendiri?
1. Pendekatan Ilmu Sosial
- Mungkinkah ilmu pengetahuan bersifat Objektif dan netral ?, dengan pertimbangan bahwa manusia tidak akan bisa lepas dari sebuah kepentingan.
- Bisakah metode ilmu alam digunakan untuk memahami manusia (budaya dll)? Dengan pertimbangan bahwa manusia mempunyai keinginan, emosi dan bersifat dinamis.
- Bisakah pengetahuan yang komprehensif didapatkan jika mereduksi sisi pengalaman dan pemahaman manusia terhadap agama?
1. Pendekatan Fenomenologi
- Bisakah pemahaman komprehensif didapatkan jika hanya menekankan pada sisi fenomena, apalagi terkusus dengan hal-hal yang bersifat subjektif?
Daftar Referensi
Adams, Charles J., “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (ed) The Study of Middle East: Research dan Scholarship in the Humanities and the Sosial Science, Kanada: John Wiley and Sonc, inc, 1976.
Baidhawy, Zakiyuddin, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005.
Fauzi, Muhammad Latif “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam¬¬¬¬¬¬________ Center for Islamic Studies, (Joomla!, 2009, http://cfis.uii.ac.id).
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Koren, J. and Y.D. Nevo “Methodological Aapproaches to Islamic Studies” dalam ________, Early Islamic History, tk: Der Islam 68, 1991.
Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 2005.
Ratna, Nyoman Kutha, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009.
Watloly, Aholib, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001.
Sumber : Kawah Condrodimuko Blog
PENDEKATAN DESKRIPTIF DALAM STUDI ISLAM ( Klasifikasi Pendekatan Studi Agama Charles J. Adam )
Oleh alymasyharabdelhanan
Pendahuluan
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal.[1] Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama [Islam]) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Para pakar study agama [Islam], dengan melihat kesatuan proses yang panjang, mengklasifikasikannya dalam dua pendekatan. Dalam istilah J. Koren dan Y.D. Nevo kedua pendekatan itu ialah pendekatan tradisional (The traditional approach) dan pendekatan kritik sumber (The source critical approach/ The revisionist approach).[2] Sementara Charles J. Adams mengistilahkannya dengan pendekatan normatif (The normative approaches) dan pendekatan deskriptif (The descriptive approaches). Pendekatan normative meliputi: Pendekatan misionaris tradisional, pendekatan pembelaan muslim (The Muslim apologetic approach), dan pendekatan irenic (simpati). Kemudian yang digolongkan pada pendekatan deskriptif antara lain: pendekatan philologi dan sejarah, pendekatan ilmu sosial (social scientiific approach), dan pendekatan Fenomenologis[3]. Pada klasifikasi kedua dari Charles J. Adams inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kajian paper ini. Hal ini karena memang bagian pertama dari klasifikasi Adams sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya dan klasifikasi menurut J. Koren dan Y.D. Nevo akan dibahas oleh pemakalah yang lain. Selain alasan itu, pengkususan bahasan ini juga dimaksudkan supaya kajian ini bisa lebih mendalam dan komprehensif.
Definisi Pendekatan Deskriptif
Sebelum membahas kajian ini lebih jauh, tidak salah kiranya jika kami uraikan terlebih dahulu apa definisi pendekatan deskriptif menurut Charles J. Adams. Selain itu, supaya kajian ini tidak terputus dan mempermudah dalam mencari titik persamaan-perbedaan serta karakteristiknya, kami juga akan sedikit menyinggung tentang pendekatan normatif.
Dalam kajian artikelnya “Islamic Religious Tradition”, Charles J. Adams tidak mendefinisikan pendekatan Deskriptif secara eksplisit. Namun ia menjelaskan perbedaannya dengan pendekatan normatif dan membanding-bandingkan keduanya dengan istilah-istilah lain.
“ ….the normative to the descriptive, or in somewhat different terms, may be classified according to those that have a basis in the religious commitment of the investigator and those that do not. The distinction would seem to be most clear in the case of those who study islam (or any other religion) with the goal of proselytizing on the one hand, and those who appear to respond to motives of intellectual curiosity on the other hand.”[4]
Kutipan di atas, dalam terjemahan bebasnya Adams mengatakan bahwa pendekatan normatif dan deskriptif sama halnya dengan seorang pengkaji agama (Islam) yang mempunyai komitmen keagamaan (Normatif) dan yang tidak (Deskriptif), dan juga sama halnya dengan pengkaji agama yang mempunyai sebuah tujuan subjektif (Normatif) dan yang hanya karena dorongan keingintahuan secara intelektual (Deskriptif). Dari sini maka bisa dipahami bahwa definisi atau maksud dari pendekatan normatif Adams adalah suatu pendekatan study agama (Islam) yang masih memasukkan tujuan subyektif pengkaji dan pastinya hasil kajian akan lebih cenderung pada subjektif, sementara pendekatan Deskriptif adalah sebuah pendekatan study agama (Islam) yang berusaha untuk menghilangkan tujuan-tujuan subjektif pengkaji serta mendudukan objek kajian (agama) sebagai hal yang profan yang bisa dikaji dengan menggunakan bantuan ilmu apapun dan menggunakan alat kajian apapun untuk mendapatkan hasil yang ‘objektif’.
Meskipun Adams mengklasifikasikan pendekatan study agama sebagaimana di atas, namun ia menyatakan bahwa batas dari keduanya tidak ketat. Sebab seorang pengkaji yang berusaha se-objektif mungkin pun dalam kajiannya, ia akan mengalami kesulitan untuk netral atau bahkan bisa dikatakan ‘mustahil’. Oleh karena itu Adams mengatakan bahwa batas antara kedua pendekatan tersebut ialah kabur.[5]
Macam-Macam Pendekatan Deskriptif
1. Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philology and Historical Approach)
Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi dan Historis meski sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan beriringan. Karena sebab inilah kemungkinan besar yang mendorong Adams untuk menyatukannya.
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.[6] Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[7]
Karena filologi banyak berkutat dalam kebahasaan, maka kunci utama filologi ialah bahasa. Seorang filolog setidaknya harus menguasai bahasa sumber, jika dalam Islam ialah bahasa Arab. Selain itu, menurut Adams seorang filolog yang sedang mengkaji Islam idealnya juga menguasai bahasa-bahasa tambahan lainnya, yakni Bahasa Persia, Urdu, Turki, Melayu dan Indonesia. Hal ini karena dari wilayah-wilayah itu banyak muncul literatur-literatur yang diidentikkan dengan Islam.[8]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya dapat diketahui. Objek sasaran pendekatan historis diantaranya sebagai berikut:
1. Perubahan literarur dengan bahasanya sebagai akibat penerbitan ulang.
2. Fungsi dan tujuan literatur tersebut ketika dibuat.
3. Kedudukan pengarang pada saat membuat (jika manusia).
4. Literatur sebagai wakil zamannya.[9]
Dari sini maka bisa diketahui dengan jelas bahwa hubungan antara pendekatan filologi dan pendekatan historis ialah sangat erat, bahkan bisa dikatakan sama. Dan dari sini pula bisa diambil pemahaman bahwa pendekatan filologis historis setidaknya mempunyai beberapa kata kunci, yakni naskah, bahasa, makna, pengarang, asal-usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah. Jika menurut Muhammad Latif, pendekatan filologis historis mencakup tiga hal yang saling bertautan, yakni tafsir, content analysis, dan hermeneutika.[10]
1. Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat dalam teks.[11]
Kemudian ‘apa itu pendekatan ilmu sosial?’ menurut Adams sangat sulit untuk didefinisikan, terutama semenjak terjadinya perdebatan para ilmuan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan. Apakah pendekatan ilmu alam (sosiologi positivistik) memadai untuk mengkaji manusia yang nota bene esensinya sangat berbeda?. Alam bersifat kontinyu, tetap dan berulang-ulang sementara manusia (budaya dll) besifat temporal, dinamis dan tak berulang. Perdebatan ini memunculkan metode baru dalam kajian sosial, yakni metode Verstehen (pemahaman/ penafsiran) sebagaimana yang dikatakan Delthy.[12] Para pencetus metode ini menyatakan bahwa metode ilmiah (scientific), yang bersifat Erklaren (penjelasan) dengan menggunakan logika sebab-akibat sebagaimana dalam menjelaskan alam, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan manusia yang mempunyai perasaan, keinginan, serta impian. Alam memunculkan hukum sedangkan manusia melahirkan ‘nilai’.[13] Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan ilmu sosial disini ialah pendekatan scientis-positivistik tersebut.
Ciri-ciri pendekatan scientis diantaranya ialah:
1. Menyatakan bahwa metode-metode ilmu alam bisa digunakan dalam ilmu sosial.
2. Mengandaikan adanya metode serta pengetahuan yang bersifat Objektif, netral, dan bebas nilai.
3. Hasil penelitian sosial bisa dijadikan hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam.
4. Hasil penelitian harus bersifat teknis yang bisa digunakan untuk keperluan apapun, sehingga tidak bersifat etis serta lepas dari dimensi politis manusia.
5. Melepaskan objek kajian dari historisitasnya.
6. Cenderung membagi dan memetakan objek kajian dengan menggunakan kategori-kategori.
7. Bersifat menjelaskan, empiris, dan akhirnya mengontrol. Dan masih banyak lagi.
Kemudian dalam wilayah studi agama usaha yang ditempuh oleh pendekatan sosial ilmiah ialah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini ialah menemukan aspek empirik keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya (kontrol).[14]
1. Pendekatan Fenomenologi
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (islam). Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.[15]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan.[16] Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya. [17]
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[18] Maka dari itu, dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi membutuhkan perangkat lain, misalkan sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
Wilayah Kajian Studi Islam
Selain memetakan pendekatan, Adams juga merekomendasikan kepada sarjana yang konsen dalam Study Agama Islam untuk memprioritaskan kajiannya pada wilayah-wilayah tertentu, yakni: (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian tentang Rasul, (3) Kajian atas al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam, (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7) aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9) agama rakyat.[19]
Kesimpulan
Dari ulasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pendekatan deskritiptif ialah pendekatan kajian agama yang berusaha untuk mendudukan objek (agama) sebagai hal profan dan melepaskan sebisa mungkin nilai-nilai subjektif pengakaji. Kemudian, menurut pemetaan Charles j. Adams, pendekatan deskriptif meliputi pendekatan filologi dan sejarah, pendekatan Ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologi. Selain itu, Adams juga merekomendasikan wilayah-wilayah kajian Agama (Islam), yakni (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian tentang Rasul, (3) Kajian atas al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam, (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7) aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9) agama rakyat.
Pertanyaan-Pertanyaan
1. Pendekatan Filologi dan Historis
- Bisakah memahami masyarakat suatu agama hanya dengan melalui kajian naskah tanpa mengkaji masyarakat itu sendiri?
1. Pendekatan Ilmu Sosial
- Mungkinkah ilmu pengetahuan bersifat Objektif dan netral ?, dengan pertimbangan bahwa manusia tidak akan bisa lepas dari sebuah kepentingan.
- Bisakah metode ilmu alam digunakan untuk memahami manusia (budaya dll)? Dengan pertimbangan bahwa manusia mempunyai keinginan, emosi dan bersifat dinamis.
- Bisakah pengetahuan yang komprehensif didapatkan jika mereduksi sisi pengalaman dan pemahaman manusia terhadap agama?
1. Pendekatan Fenomenologi
- Bisakah pemahaman komprehensif didapatkan jika hanya menekankan pada sisi fenomena, apalagi terkusus dengan hal-hal yang bersifat subjektif?
Daftar Referensi
Adams, Charles J., “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (ed) The Study of Middle East: Research dan Scholarship in the Humanities and the Sosial Science, Kanada: John Wiley and Sonc, inc, 1976.
Baidhawy, Zakiyuddin, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005.
Fauzi, Muhammad Latif “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam¬¬¬¬¬¬________ Center for Islamic Studies, (Joomla!, 2009, http://cfis.uii.ac.id).
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Koren, J. and Y.D. Nevo “Methodological Aapproaches to Islamic Studies” dalam ________, Early Islamic History, tk: Der Islam 68, 1991.
Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 2005.
Ratna, Nyoman Kutha, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009.
Watloly, Aholib, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001.
Sumber : Kawah Condrodimuko Blog
MARI SELAMATKAN KARYA ULAMA INDONESIA
Mari Selamatkan Karya Ulama Indonesia
Oleh Ali Mursyid
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internaional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.
Para ulama ini menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang hingga sekarang masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi internasional, utamanya di Timur Tengah. Karya para ulama Indonesia atau Nusantara, baik yang telah berupa cetakan atau masih dalam bentuk manuskrip atau tulisan tangan (makhthûthâth), jumlahnya sangat besar. Salah satu sumber dari Aceh menyebutkan, khusus karya ulama di Aceh sebelum terjadinya tsunami saja diperkirakan mencapai 10.000 naskah.
Karya-karya ulama-ulama lainnya tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Gowa, Bone, Lampung, dan seterusnya. Tokoh-tokoh ulama besar Nusantara yang memiliki karya-karya fenomenal yang menyebar di berbagai wilayah nusantara tersebut dapat disebutkan beberapanya, seperti: Syeikh Abdurrauf al-Sinkili, Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Palimbani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Yasin Al-Padangi, Kyai Ihsan Jampes, Syeikh Mahfudh Termas, Kyai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kyai Mutamakkin.
Besarnya jumlah karya ulama Nusantara ini di satu sisi merupakan kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan kepada kita, generasi penerus. Di Sisi lain, turâts yang sangat kaya ini mengharuskan kita untuk tidak sekedar memelihara, tetapi akan lebih baik jika dipelajari, dikaji, dan ditelaah secara ilmiah serta dijadikan discource intelektual Islam Indonesia.
Gerakan penyelamatan dan pengumpulan naskah-naskah karya ulama Indonesia lalu menjadi penting dilakukan. Ini mengingat banyaknya manuskrip karya ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang tercecer dan berserakan di mana-mana. Padahal, tidak sedikit naskah yang ditulis para ulama dan intelektual Nusantara menjadi referensi akademik secara internasional.
Karena itulah kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indonesia atau Nusantara menjadi penting untuk diselnggarakan. Kegiatan Tahqîq ini sendiri diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Tahqîq Naskah, yaitu kajian atau pembetulan karya tulis ulama yang umumnya masih berupa makhthûthâth atau manuskrip serta ditulis lebih dari satu orang, dan antara satu dengan lainnya tidak selalu sama hasilnya. Kedua, Tahqîq Al-Manhâj, yakni pembetulan metodologis dalam pembelajaran bidang studi atau suatu kitab yang dinilai kurang efektif. Untuk melaksanakan tahqîq ini harus didasarkan pada manuskrip atau makhtûthâth asli yang berupa tulisan tangan, dan bisa beberapa manuskrip atau makhtûthâth.
Beberapa tahun lalu, tepatnya 2007 kegiatan Tahqîq ini telah dimulai di Indonesia, dengan dipelopori oleh Departemen AgamaRI. Sejak itu beberapa naskah karya ulama Indonesia telah coba ditahqîq. Di antara kitab-kitab yang telah ditahqîq tersebut adalah: (1) Karya Nawawi al-Bantani dalam bidang Tafsir, Marah Labid. (2) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Tasawuf, Sirâj At-Thâlibîn. (3) Karya Kyai Soleh Darat Semarang dalam bidang Tasawuf, Minhâj Al-Atqiya. (4) Karya Kyai Mahfudz Termas dalam bidang Hadits,; Al-Khil’ah Al-Fikriyah dan Manhâj Dzawin Nadhar. (5) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Fiqh; Manâhij Al-Imdâd dan Fiqh Siyasah/ (6) Karya Sayyid Utsman Betawi dalam bidang Fiqh, Al-Qawânîn Asy-Syar’iyyah. Sumber lain menyebutkan bahwa hingga kini, kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indoensia telah berhasil mengumpulkan ribuan halaman dari beberapa kitab karya ulama. Pada tahun 2007 sebanyak 4.000 lembar yang terangkum dalam 11 judul kitab. Sementara di tahun 2008, sebanyak 3.500 lembar yang terangkum dalam 10 judul kitab. Antara lain karya Syekh Yasin Al-Padangi, Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz At Tirmasi. Masih banyak lagi karya, naskah atau manuskrip yang belum ditahqiq. Siapa berikutnya yang mau ambil bagian?
Sumber : Ali Mursyid blog
Oleh Ali Mursyid
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internaional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.
Para ulama ini menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang hingga sekarang masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi internasional, utamanya di Timur Tengah. Karya para ulama Indonesia atau Nusantara, baik yang telah berupa cetakan atau masih dalam bentuk manuskrip atau tulisan tangan (makhthûthâth), jumlahnya sangat besar. Salah satu sumber dari Aceh menyebutkan, khusus karya ulama di Aceh sebelum terjadinya tsunami saja diperkirakan mencapai 10.000 naskah.
Karya-karya ulama-ulama lainnya tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Gowa, Bone, Lampung, dan seterusnya. Tokoh-tokoh ulama besar Nusantara yang memiliki karya-karya fenomenal yang menyebar di berbagai wilayah nusantara tersebut dapat disebutkan beberapanya, seperti: Syeikh Abdurrauf al-Sinkili, Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Palimbani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Yasin Al-Padangi, Kyai Ihsan Jampes, Syeikh Mahfudh Termas, Kyai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kyai Mutamakkin.
Besarnya jumlah karya ulama Nusantara ini di satu sisi merupakan kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan kepada kita, generasi penerus. Di Sisi lain, turâts yang sangat kaya ini mengharuskan kita untuk tidak sekedar memelihara, tetapi akan lebih baik jika dipelajari, dikaji, dan ditelaah secara ilmiah serta dijadikan discource intelektual Islam Indonesia.
Gerakan penyelamatan dan pengumpulan naskah-naskah karya ulama Indonesia lalu menjadi penting dilakukan. Ini mengingat banyaknya manuskrip karya ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang tercecer dan berserakan di mana-mana. Padahal, tidak sedikit naskah yang ditulis para ulama dan intelektual Nusantara menjadi referensi akademik secara internasional.
Karena itulah kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indonesia atau Nusantara menjadi penting untuk diselnggarakan. Kegiatan Tahqîq ini sendiri diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Tahqîq Naskah, yaitu kajian atau pembetulan karya tulis ulama yang umumnya masih berupa makhthûthâth atau manuskrip serta ditulis lebih dari satu orang, dan antara satu dengan lainnya tidak selalu sama hasilnya. Kedua, Tahqîq Al-Manhâj, yakni pembetulan metodologis dalam pembelajaran bidang studi atau suatu kitab yang dinilai kurang efektif. Untuk melaksanakan tahqîq ini harus didasarkan pada manuskrip atau makhtûthâth asli yang berupa tulisan tangan, dan bisa beberapa manuskrip atau makhtûthâth.
Beberapa tahun lalu, tepatnya 2007 kegiatan Tahqîq ini telah dimulai di Indonesia, dengan dipelopori oleh Departemen AgamaRI. Sejak itu beberapa naskah karya ulama Indonesia telah coba ditahqîq. Di antara kitab-kitab yang telah ditahqîq tersebut adalah: (1) Karya Nawawi al-Bantani dalam bidang Tafsir, Marah Labid. (2) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Tasawuf, Sirâj At-Thâlibîn. (3) Karya Kyai Soleh Darat Semarang dalam bidang Tasawuf, Minhâj Al-Atqiya. (4) Karya Kyai Mahfudz Termas dalam bidang Hadits,; Al-Khil’ah Al-Fikriyah dan Manhâj Dzawin Nadhar. (5) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Fiqh; Manâhij Al-Imdâd dan Fiqh Siyasah/ (6) Karya Sayyid Utsman Betawi dalam bidang Fiqh, Al-Qawânîn Asy-Syar’iyyah. Sumber lain menyebutkan bahwa hingga kini, kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indoensia telah berhasil mengumpulkan ribuan halaman dari beberapa kitab karya ulama. Pada tahun 2007 sebanyak 4.000 lembar yang terangkum dalam 11 judul kitab. Sementara di tahun 2008, sebanyak 3.500 lembar yang terangkum dalam 10 judul kitab. Antara lain karya Syekh Yasin Al-Padangi, Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz At Tirmasi. Masih banyak lagi karya, naskah atau manuskrip yang belum ditahqiq. Siapa berikutnya yang mau ambil bagian?
Sumber : Ali Mursyid blog
SECH MUHAMMAD AZHARI AL-FALIMBANI
PENYAMBUNG ULAMA PALEMBANG
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Penyelidikan awal yang saya lakukan terhadap ulama besar ahli sufi yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan ini dimulai dengan terdapat sebuah kitab berjudul Badi’uz Zaman, karyanya yang disebut oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam karyanya Al-Fatawal Fathaniyah. Ada satu permasalahan Syeikh Ahmad al-Fathani tidak sependapat dengan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, yaitu mengenai perbahasan sifat “harus bagi Allah”. Menurut Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani “harus bagi Allah ada empat perkara”, sedangkan menurut Syeikh Ahmad al-Fathani dan pendapat ulama ahli tauhid “harus bagi Allah itu hanya satu sahaja”, yaitu “memperbuat sekalian mungkin atau meninggalkannya”.
Bertahun-tahun saya mencari kitab Badi’uz Zaman karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu akhirnya diperoleh juga, bahkan banyak lagi karangan beliau selain itu dapat saya kumpulkan. Pada mulanya ada beberapa perkara yang saya ragukan terhadap ulama ini, di antaranya sebuah karyanya yang diselesaikan pada tahun 1259 Hijrah/1843 Masehi dan karya beliau yang terakhir disebutkan bahwa diselesaikan dalam tahun 1324 Hijrah/1906 Masehi.
Memperhatikan tahun yang tersebut itu berarti beliau telah hidup pada zaman Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan masih hidup pula pada zaman Syeikh Ahmad al-Fathani. Berarti dari penulisan pertama hingga yang terakhir memakan waktu sekitar 65 tahun. Mengenai nama beliau pula ada yang ditulis dengan menggunakan Muhammad bin Abdullah al-Azhari al-Falimbani dan yang lain dengan Muhammad Azhari bin Abdullah al-Falimbani.
Dalam buku Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, tercatat nama yang lain pula, iaitu Kiyai Haji Kemas Muhammad Azhari atau dikenal juga dengan sebutan Kiyai Syeikh dan Kiyai Pedatukan. Disebutkan juga riwayat yang sangat ringkas mengenainya, “Beliau sangat mendalami ajaran Islam, dan mungkin merupakan orang Indonesia pertama menuntut ilmu serta melakukan pengembaraan ke negeri-negeri Arab, Mesir, Syria, dan India serta negeri-negeri lainnya. Beliau diikuti oleh puteranya iaitu Haji Kemas Abdullah Azhary”(2).
Terakhir sekali biografi yang agak lengkap mengenai anaknya ditulis oleh Syeikh Yasin Padang dalam beberapa buah bukunya banyak dapat menolong ke arah jawaban kemusykilan-kemusykilan penyelidikan terhadap ulama ini.
PENDIDIKAN
Nama lengkapnya adalah As-Shufi as-Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah bin Muhammad Asyiquddin bin Shafiyuddin Abdullah al-’Alawi al-Husaini. Mengenai guru-guru beliau dalam beberapa tempat karyanya ada beliau catatkan di antaranya, “Maka inilah salasilah Thariqat al-Khalwatiyah as-Samaniyah, turun-turun tempat mengambil zikir dan kaifiyatnya bagi Wali Allah yang terlebih takut akan Allah Taala, iaitu Quthbur Rabbani dan arif yang shamadani, guru kita dan penghulu kita, iaitu asy-Syeikh Muhammad bin asy-Syeikh Abdul Karim as-Samani yang telah masyhur. Dan sesungguhnya telah mengambil talqin zikir ini oleh faqir Muhammad Azhari ibnu Abdullah al-Falimbani. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Ia mengambil daripada Quthbul Akwan Saiyidinasy Syeikh Muhammad Saman al-Madani…”
Pada tempat yang lain Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menyebut Syeikh Ma’ruf bin Abdullah (belum jelas apakah sama dengan Syeikh Abdullah bin Ma’ruf seperti yang tersebut di atas). Selain itu beliau menyebut bahwa menerima Thariqat Qadiriyah kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Ia mengambil daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di Syam. Menurut Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani lagi bahwa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu adalah penyusun kitab Tuhfatul Qudsiyah.
Pada bacaan hadiah al-Fatihah pula disebut beberapa orang ulama, iaitu Syeikh Abdul Lathif Musyarri’, Syeikh Abdur Rahman Musyarri’, Syeikh Abdullah Amin al-Haji Bastam. Kemungkinan yang beliau sebutkan ini adalah guru-guru beliau, yang beliau sebut sebagai Syaikhuna.
Belajar
Selain sumber asli Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani sendiri seperti yang telah dinukil di atas, daripada sumber Syeikh Yasin Padang pula beliau menyebut nama-nama guru Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu. Bahwa beliau belajar kepada ayahnya Syeikh Abdullah. Syeikh Abdullah belajar kepada ayahnya Syeikh Asyiquddin. Syeikh Asyiquddin belajar kepada beberapa orang ulama iaitu Muhammad Murad as-Sandi, Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madani, Muhammad bin Abdul Karim Saman, Abdul Wahhab at-Tantawi, Sa’id bin Hilal al-Makki. Semua ulama tersebut adalah murid kepada Ahmad bin Muhammad an-Nakhali, Abdullah bin Salim al-Basri dan Sayid Muhammad bin Abi Bakar asy-Syibli. Ketiga-tiga ulama ini adalah murid asy-Syamsu Muhammad bin al-’Ala al-Babili.
Kemudian Syeikh Yasin Padang menyebut pula daripada silsilah yang lain, bahwa Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani adalah murid kepada Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Syeikhah Fatimah ini adalah murid ayahnya sendiri, iaitu Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, sanad/silsilah beliau ini ada beberapa jalur, tetapi tidak disebutkan di sini.
Dari silsilah lainnya Syeikh Yasin Padang menyebut pula bahwa Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani murid kepada Sayid Ahmad bin Muhammad al-Hadhrawi. Beliau adalah murid kepada ayah dan datuknya asy-Syihab Ahmad bin Ahmad al-Mansuri. Beliau murid kepada Sayid Muhammad Murtadha az-Zabidi, Muhammad al-Amir al-Kabir, Abi Abdillah Muhammad bin ‘Aqilah al-Makki al-Ahdal dan Abdul Ghafur as-Sandi.
Kesimpulan daripada silsilah/sanad di atas dan hasil kajian dari karya-karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani sendiri yang menyebut nama beberapa orang ulama yang berasal dari Palembang, terutama yang menjadi rujukan utama dan pegangan kukuh bagi beliau ialah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, bahkan Syeikh Muhammad Azhari adalah murid Fatimah anak Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, maka dapat dipastikan bahwa beliau sebagai ulama penyambung aktivitas-aktivitas penulisan ulama Palembang.
Pada pandangan dan pendapat saya sesudah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Palembang, Sumatera Selatan nampaknya dalam kekeringan ulama yang terjun ke dunia penulisan kitab. Dengan kemunculan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani yang pertalian keilmuannya mempunyai hubungan dengan ulama-ulama Palembang secara asli, maka dapatlah kita anggap bahawa beliaulah tokoh terbesar ulama Palembang sesudah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani yang sangat terkenal itu.
KARYA-KARYA DAN PEMIKIRAN
Berikut ini karya-karya Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah al- Falimbani yang telah ditemui ialah:
1. ‘Atihyatur Rahman fi Bayani Qawa’idil Iman, ditulis pada tahun 1259 H/1843 M. Kitab ini banyak kali dicetak bersama karya gurunya Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi Sumbawi berjudul Sirajul Huda. ‘Athiyatur Rahman sentiasa dicetak di bahagian tepi Sirajul Huda
2. ‘Aqaidul Iman li Ma’rifatil Ilahir Rahman, diselesaikan di Mekah, 18 Safar 1309 Hijrah/1891 Masehi. Dicetak dengan huruf batu di Singapura pada 8 Syawal 1319 Hijrah/1901 Masehi, iaitu naskhah yang disalin oleh ‘Alwi bin Idrus al-’Aidrus.
3. Badi’uz Zaman fi Bayani ‘Aqaidil Iman, diselesaikan di Mekah, 21 Rabiulakhir 1310 Hijrah/1892 Masehi, cetakan pertama dan ketiga oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah (pertama 1310 Hijrah dan ketiga 1329 Hijrah).
4. Bidayatur Rahman, 1324 Hijrah/1906 Masehi. Pernah dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1330 Hijrah/1911 Masehi.
5. Amalan Doa ‘Ukasyah Bergantung Makna Serta Dengan Syarahnya, tanpa disebutkan tarikh penulisan. Dicetak di tempat Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Singapura. Cetakan ini diusahakan oleh seorang muridnya Hasan bin Abdusy Syukur.
Tasawuf
Apabila kita mengkaji pemikiran Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, maka sebahagian besar jalan pemikirannya menjurus kepada pemikiran tasawuf dan sedikit pemikirannya mengenai tauhid. Selain itu dari sudut sastra Melayu beliau juga menggubah beberapa untaian syair.
Menurut Syeikh Muhammad Azhari bahwa jalan tetap iman itu ada kalanya mengambil dalil daripada ayat al-Quran, hadis dan pandangan yang membawa kepada ‘ilmul yaqin‘, dan adakalanya dengan ‘musyahadah‘ akan ‘Kamal Sifat-Nya‘. Syeikh Muhammad Azhari, memetik pendapat Syeikh Tusi, mengenai martabat orang ‘ahli syuhud’, yang diuraikan dengan agak panjang.
KETURUNAN DAN MURID
Mengenai anak Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani yang menjadi ulama terdapat dua sumber dalam karya bahasa Arab. Kedua-duanya ialah tulisan Syeikh Abdullah Mirdad Abul Khair judul Nasyrun Naur waz Zahar. Sumber yang kedua ialah karya Syeikh Yasin Padang dalam Tasyniful Asma’ Syuyuhil Ijazah was Sama’, juga dalam Bulughul Amani.
Syeikh Muhammad Azhari telah mendidik anaknya itu, kemudian menyerahkannya belajar kepada beberapa orang ulama terkenal di Mekah. Anak beliau yang tersebut bernama Syeikh Abdullah Azhari, lahir di Mekah, menurut Syeikh Abdullah Mirdad Abul Khair. Tetapi menurut Syeikh Yasin Padang, bahawa beliau lahir di Palembang, malam Khamis, 18 Syaaban 1279 Hijrah/1862 Masehi. Wafat pada hari Ahad, 16 Zulkaedah 1357 Hijrah/1938 Masehi, dalam usia lebih kurang 78 tahun. Pada masa hidupnya bergiat dalam mengajar di Mekah dan usaha penanganan Syeikh Haji.
Keturunan beliau selanjutnya tidak disebut dalam karya kedua penulis yang tersebut, namun sampai pada masa berakhirnya sistem Syeikh Haji di Mekah masih terdapat tanda nama Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani. Ini bererti keturunan beliau masih aktif dalam pengurusan Syeikh Haji di Mekah pada masa itu.
Selain Syeikh Abdullah Azhari sebagai anak, sekaligus adalah muridnya, barangkali ada banyak murid Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, di antaranya ialah Haji Hasan bin Abdusy Syukur yang berusaha menerbitkan karya beliau. Syeikh Muhammad Azhari al- Falimbani telah menyebarkan Thariqat Sammaniyah-Khalwatiyah di tempat-tempat pengembaraannya terutama sekali di dunia Melayu.
Dalam dunia tarbiyah thariqah shufiyah yang dijalankannya, beliau adalah seorang tokoh yang melanjutkan tatacara yang dilakukan oleh Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Mengenai Thariqat Qadiriyah nampaknya nama beliau tidak begitu ditonjolkan kerana tenggelam dalam kebesaran kemursyidan Syeikh Ahmad Khathib Sambas.
Sumber : http:www.ulamanusantara.blogspot.com
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Penyelidikan awal yang saya lakukan terhadap ulama besar ahli sufi yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan ini dimulai dengan terdapat sebuah kitab berjudul Badi’uz Zaman, karyanya yang disebut oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam karyanya Al-Fatawal Fathaniyah. Ada satu permasalahan Syeikh Ahmad al-Fathani tidak sependapat dengan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, yaitu mengenai perbahasan sifat “harus bagi Allah”. Menurut Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani “harus bagi Allah ada empat perkara”, sedangkan menurut Syeikh Ahmad al-Fathani dan pendapat ulama ahli tauhid “harus bagi Allah itu hanya satu sahaja”, yaitu “memperbuat sekalian mungkin atau meninggalkannya”.
Bertahun-tahun saya mencari kitab Badi’uz Zaman karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu akhirnya diperoleh juga, bahkan banyak lagi karangan beliau selain itu dapat saya kumpulkan. Pada mulanya ada beberapa perkara yang saya ragukan terhadap ulama ini, di antaranya sebuah karyanya yang diselesaikan pada tahun 1259 Hijrah/1843 Masehi dan karya beliau yang terakhir disebutkan bahwa diselesaikan dalam tahun 1324 Hijrah/1906 Masehi.
Memperhatikan tahun yang tersebut itu berarti beliau telah hidup pada zaman Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan masih hidup pula pada zaman Syeikh Ahmad al-Fathani. Berarti dari penulisan pertama hingga yang terakhir memakan waktu sekitar 65 tahun. Mengenai nama beliau pula ada yang ditulis dengan menggunakan Muhammad bin Abdullah al-Azhari al-Falimbani dan yang lain dengan Muhammad Azhari bin Abdullah al-Falimbani.
Dalam buku Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, tercatat nama yang lain pula, iaitu Kiyai Haji Kemas Muhammad Azhari atau dikenal juga dengan sebutan Kiyai Syeikh dan Kiyai Pedatukan. Disebutkan juga riwayat yang sangat ringkas mengenainya, “Beliau sangat mendalami ajaran Islam, dan mungkin merupakan orang Indonesia pertama menuntut ilmu serta melakukan pengembaraan ke negeri-negeri Arab, Mesir, Syria, dan India serta negeri-negeri lainnya. Beliau diikuti oleh puteranya iaitu Haji Kemas Abdullah Azhary”(2).
Terakhir sekali biografi yang agak lengkap mengenai anaknya ditulis oleh Syeikh Yasin Padang dalam beberapa buah bukunya banyak dapat menolong ke arah jawaban kemusykilan-kemusykilan penyelidikan terhadap ulama ini.
PENDIDIKAN
Nama lengkapnya adalah As-Shufi as-Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah bin Muhammad Asyiquddin bin Shafiyuddin Abdullah al-’Alawi al-Husaini. Mengenai guru-guru beliau dalam beberapa tempat karyanya ada beliau catatkan di antaranya, “Maka inilah salasilah Thariqat al-Khalwatiyah as-Samaniyah, turun-turun tempat mengambil zikir dan kaifiyatnya bagi Wali Allah yang terlebih takut akan Allah Taala, iaitu Quthbur Rabbani dan arif yang shamadani, guru kita dan penghulu kita, iaitu asy-Syeikh Muhammad bin asy-Syeikh Abdul Karim as-Samani yang telah masyhur. Dan sesungguhnya telah mengambil talqin zikir ini oleh faqir Muhammad Azhari ibnu Abdullah al-Falimbani. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Ia mengambil daripada Quthbul Akwan Saiyidinasy Syeikh Muhammad Saman al-Madani…”
Pada tempat yang lain Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menyebut Syeikh Ma’ruf bin Abdullah (belum jelas apakah sama dengan Syeikh Abdullah bin Ma’ruf seperti yang tersebut di atas). Selain itu beliau menyebut bahwa menerima Thariqat Qadiriyah kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Ia mengambil daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di Syam. Menurut Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani lagi bahwa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu adalah penyusun kitab Tuhfatul Qudsiyah.
Pada bacaan hadiah al-Fatihah pula disebut beberapa orang ulama, iaitu Syeikh Abdul Lathif Musyarri’, Syeikh Abdur Rahman Musyarri’, Syeikh Abdullah Amin al-Haji Bastam. Kemungkinan yang beliau sebutkan ini adalah guru-guru beliau, yang beliau sebut sebagai Syaikhuna.
Belajar
Selain sumber asli Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani sendiri seperti yang telah dinukil di atas, daripada sumber Syeikh Yasin Padang pula beliau menyebut nama-nama guru Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu. Bahwa beliau belajar kepada ayahnya Syeikh Abdullah. Syeikh Abdullah belajar kepada ayahnya Syeikh Asyiquddin. Syeikh Asyiquddin belajar kepada beberapa orang ulama iaitu Muhammad Murad as-Sandi, Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madani, Muhammad bin Abdul Karim Saman, Abdul Wahhab at-Tantawi, Sa’id bin Hilal al-Makki. Semua ulama tersebut adalah murid kepada Ahmad bin Muhammad an-Nakhali, Abdullah bin Salim al-Basri dan Sayid Muhammad bin Abi Bakar asy-Syibli. Ketiga-tiga ulama ini adalah murid asy-Syamsu Muhammad bin al-’Ala al-Babili.
Kemudian Syeikh Yasin Padang menyebut pula daripada silsilah yang lain, bahwa Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani adalah murid kepada Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Syeikhah Fatimah ini adalah murid ayahnya sendiri, iaitu Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, sanad/silsilah beliau ini ada beberapa jalur, tetapi tidak disebutkan di sini.
Dari silsilah lainnya Syeikh Yasin Padang menyebut pula bahwa Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani murid kepada Sayid Ahmad bin Muhammad al-Hadhrawi. Beliau adalah murid kepada ayah dan datuknya asy-Syihab Ahmad bin Ahmad al-Mansuri. Beliau murid kepada Sayid Muhammad Murtadha az-Zabidi, Muhammad al-Amir al-Kabir, Abi Abdillah Muhammad bin ‘Aqilah al-Makki al-Ahdal dan Abdul Ghafur as-Sandi.
Kesimpulan daripada silsilah/sanad di atas dan hasil kajian dari karya-karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani sendiri yang menyebut nama beberapa orang ulama yang berasal dari Palembang, terutama yang menjadi rujukan utama dan pegangan kukuh bagi beliau ialah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, bahkan Syeikh Muhammad Azhari adalah murid Fatimah anak Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, maka dapat dipastikan bahwa beliau sebagai ulama penyambung aktivitas-aktivitas penulisan ulama Palembang.
Pada pandangan dan pendapat saya sesudah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Palembang, Sumatera Selatan nampaknya dalam kekeringan ulama yang terjun ke dunia penulisan kitab. Dengan kemunculan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani yang pertalian keilmuannya mempunyai hubungan dengan ulama-ulama Palembang secara asli, maka dapatlah kita anggap bahawa beliaulah tokoh terbesar ulama Palembang sesudah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani yang sangat terkenal itu.
KARYA-KARYA DAN PEMIKIRAN
Berikut ini karya-karya Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah al- Falimbani yang telah ditemui ialah:
1. ‘Atihyatur Rahman fi Bayani Qawa’idil Iman, ditulis pada tahun 1259 H/1843 M. Kitab ini banyak kali dicetak bersama karya gurunya Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi Sumbawi berjudul Sirajul Huda. ‘Athiyatur Rahman sentiasa dicetak di bahagian tepi Sirajul Huda
2. ‘Aqaidul Iman li Ma’rifatil Ilahir Rahman, diselesaikan di Mekah, 18 Safar 1309 Hijrah/1891 Masehi. Dicetak dengan huruf batu di Singapura pada 8 Syawal 1319 Hijrah/1901 Masehi, iaitu naskhah yang disalin oleh ‘Alwi bin Idrus al-’Aidrus.
3. Badi’uz Zaman fi Bayani ‘Aqaidil Iman, diselesaikan di Mekah, 21 Rabiulakhir 1310 Hijrah/1892 Masehi, cetakan pertama dan ketiga oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah (pertama 1310 Hijrah dan ketiga 1329 Hijrah).
4. Bidayatur Rahman, 1324 Hijrah/1906 Masehi. Pernah dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1330 Hijrah/1911 Masehi.
5. Amalan Doa ‘Ukasyah Bergantung Makna Serta Dengan Syarahnya, tanpa disebutkan tarikh penulisan. Dicetak di tempat Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Singapura. Cetakan ini diusahakan oleh seorang muridnya Hasan bin Abdusy Syukur.
Tasawuf
Apabila kita mengkaji pemikiran Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, maka sebahagian besar jalan pemikirannya menjurus kepada pemikiran tasawuf dan sedikit pemikirannya mengenai tauhid. Selain itu dari sudut sastra Melayu beliau juga menggubah beberapa untaian syair.
Menurut Syeikh Muhammad Azhari bahwa jalan tetap iman itu ada kalanya mengambil dalil daripada ayat al-Quran, hadis dan pandangan yang membawa kepada ‘ilmul yaqin‘, dan adakalanya dengan ‘musyahadah‘ akan ‘Kamal Sifat-Nya‘. Syeikh Muhammad Azhari, memetik pendapat Syeikh Tusi, mengenai martabat orang ‘ahli syuhud’, yang diuraikan dengan agak panjang.
KETURUNAN DAN MURID
Mengenai anak Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani yang menjadi ulama terdapat dua sumber dalam karya bahasa Arab. Kedua-duanya ialah tulisan Syeikh Abdullah Mirdad Abul Khair judul Nasyrun Naur waz Zahar. Sumber yang kedua ialah karya Syeikh Yasin Padang dalam Tasyniful Asma’ Syuyuhil Ijazah was Sama’, juga dalam Bulughul Amani.
Syeikh Muhammad Azhari telah mendidik anaknya itu, kemudian menyerahkannya belajar kepada beberapa orang ulama terkenal di Mekah. Anak beliau yang tersebut bernama Syeikh Abdullah Azhari, lahir di Mekah, menurut Syeikh Abdullah Mirdad Abul Khair. Tetapi menurut Syeikh Yasin Padang, bahawa beliau lahir di Palembang, malam Khamis, 18 Syaaban 1279 Hijrah/1862 Masehi. Wafat pada hari Ahad, 16 Zulkaedah 1357 Hijrah/1938 Masehi, dalam usia lebih kurang 78 tahun. Pada masa hidupnya bergiat dalam mengajar di Mekah dan usaha penanganan Syeikh Haji.
Keturunan beliau selanjutnya tidak disebut dalam karya kedua penulis yang tersebut, namun sampai pada masa berakhirnya sistem Syeikh Haji di Mekah masih terdapat tanda nama Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani. Ini bererti keturunan beliau masih aktif dalam pengurusan Syeikh Haji di Mekah pada masa itu.
Selain Syeikh Abdullah Azhari sebagai anak, sekaligus adalah muridnya, barangkali ada banyak murid Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, di antaranya ialah Haji Hasan bin Abdusy Syukur yang berusaha menerbitkan karya beliau. Syeikh Muhammad Azhari al- Falimbani telah menyebarkan Thariqat Sammaniyah-Khalwatiyah di tempat-tempat pengembaraannya terutama sekali di dunia Melayu.
Dalam dunia tarbiyah thariqah shufiyah yang dijalankannya, beliau adalah seorang tokoh yang melanjutkan tatacara yang dilakukan oleh Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Mengenai Thariqat Qadiriyah nampaknya nama beliau tidak begitu ditonjolkan kerana tenggelam dalam kebesaran kemursyidan Syeikh Ahmad Khathib Sambas.
Sumber : http:www.ulamanusantara.blogspot.com
KEMENTERIAN AGAMA TERBITKAN 6 KITAB ULAMA NUSANTARA
Jakarta, mbakdloh
Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menerbitkan enam karya ulama Nusantara dalam bahasa Arab. Sebelum diterbitkan, beberapa karya yang masih dalam bentuk manuskrip dituliskan kembali dan ditahqiq atau disunting oleh para ulama yang ahli di bidangnya.
Dalam kitab yang diterbitkan ini juga ditambahkan syarah atau penjelasan agar mudah difahami oleh para santri, pelajar, mahasiswa, dan para ustadz. Syarah juga ditulis dalam bahasa Arab.
Menurut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI Choirul Fuad Yusuf, sebenarnya banyak sekali naskah atau manuskrip yang terkumpul, namun Kementerian Agama hanya menggarap beberapa manuskrip yang memenuhi syarat.
Program tahqiq telah berjalan tiga kali ini. Sementara enam karya yang telah diterbitkan adalah hasil dari tahqiq gelombang pertama, kata Choirul Fuad kepada NU Online di kantornya bulan lalu.
Enam karya yang telah diterbitkan adalah Anisul Muttaqin dan Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin karya Syekh Abdusshomad dari Palembang, Dliyaul Anwar, Tankiyatul Qulub dan Tahsinul Aulad karya Syekh Muhammad Idrus Qoimuddin dari Buton (Sulawesi Tenggara), dan Jauharul Haqoiq karya Syekh Syamsuddin bin Abdullah Sumatra.
Kitab yang diterbitkan untuk gelombang pertama ini tidak terlalu tebal, antara 50-270 halaman. Rencananya beberapa manuskrip yang telah ditahqiq pada gelombang kedua dan ketiga juga akan diterbitkan dan beberapa diantaranya cukup tebal sampai diatas 500 halaman dan berjilid-jilid.
Menurut Choirul Fuad, tujuan dari pentahqiqan dan penerbitan karya ini adalah untuk melestarikan naskah lama dan mereproduksi karya ilmiah ulama Nusantara. Selan itu penerbitan dimaksudkan untuk memperkaya khasanah keilmuan ulama Nusantara.
”Ternyata banyak pemikiran lama yang masih relevan dengan perkembangan zaman sekarang. Memang dalam tahqiq dan pensyarahan ini ada penambahan yang dilakukan tapi tidak menyimpang dari ide pokok yang disampaikan para ulama kita,” katanya.
Ia menambahkan, penerbitan ini dimaksudkan untuk menambah kegemaran membaca para santri, pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya diharapkan tradisi menulis karya dalam bahasa Arab yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dapat dilanjutkan.
”Kelemahan ulama kita sekarang ini adalah kurang begitu minat untuk menulis. Pertama mungkin karena kesibukan keseharian. Kedua karena tawadlu atau rendah hati itu sehingga tidak berani mengkritik guru atau ulama terdahulu,” katanya.
Selain dalam bahasa Arab, Kementerian Agama juga berharap munculnya karya ulama dalam bahasa Inggris. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren sendiri merencanakan beberapa program pengembangan bahasa Inggris untuk pesantren. (nam)
Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menerbitkan enam karya ulama Nusantara dalam bahasa Arab. Sebelum diterbitkan, beberapa karya yang masih dalam bentuk manuskrip dituliskan kembali dan ditahqiq atau disunting oleh para ulama yang ahli di bidangnya.
Dalam kitab yang diterbitkan ini juga ditambahkan syarah atau penjelasan agar mudah difahami oleh para santri, pelajar, mahasiswa, dan para ustadz. Syarah juga ditulis dalam bahasa Arab.
Menurut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI Choirul Fuad Yusuf, sebenarnya banyak sekali naskah atau manuskrip yang terkumpul, namun Kementerian Agama hanya menggarap beberapa manuskrip yang memenuhi syarat.
Program tahqiq telah berjalan tiga kali ini. Sementara enam karya yang telah diterbitkan adalah hasil dari tahqiq gelombang pertama, kata Choirul Fuad kepada NU Online di kantornya bulan lalu.
Enam karya yang telah diterbitkan adalah Anisul Muttaqin dan Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin karya Syekh Abdusshomad dari Palembang, Dliyaul Anwar, Tankiyatul Qulub dan Tahsinul Aulad karya Syekh Muhammad Idrus Qoimuddin dari Buton (Sulawesi Tenggara), dan Jauharul Haqoiq karya Syekh Syamsuddin bin Abdullah Sumatra.
Kitab yang diterbitkan untuk gelombang pertama ini tidak terlalu tebal, antara 50-270 halaman. Rencananya beberapa manuskrip yang telah ditahqiq pada gelombang kedua dan ketiga juga akan diterbitkan dan beberapa diantaranya cukup tebal sampai diatas 500 halaman dan berjilid-jilid.
Menurut Choirul Fuad, tujuan dari pentahqiqan dan penerbitan karya ini adalah untuk melestarikan naskah lama dan mereproduksi karya ilmiah ulama Nusantara. Selan itu penerbitan dimaksudkan untuk memperkaya khasanah keilmuan ulama Nusantara.
”Ternyata banyak pemikiran lama yang masih relevan dengan perkembangan zaman sekarang. Memang dalam tahqiq dan pensyarahan ini ada penambahan yang dilakukan tapi tidak menyimpang dari ide pokok yang disampaikan para ulama kita,” katanya.
Ia menambahkan, penerbitan ini dimaksudkan untuk menambah kegemaran membaca para santri, pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya diharapkan tradisi menulis karya dalam bahasa Arab yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dapat dilanjutkan.
”Kelemahan ulama kita sekarang ini adalah kurang begitu minat untuk menulis. Pertama mungkin karena kesibukan keseharian. Kedua karena tawadlu atau rendah hati itu sehingga tidak berani mengkritik guru atau ulama terdahulu,” katanya.
Selain dalam bahasa Arab, Kementerian Agama juga berharap munculnya karya ulama dalam bahasa Inggris. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren sendiri merencanakan beberapa program pengembangan bahasa Inggris untuk pesantren. (nam)
BUKTI PERPADUAN BUDAYA NUSANTARA DAN ISLAM
Bukti Perpaduan Budaya Nusantara dan Islam
02 May 2010
Ragam Republika
Tradisi penulisan, penyalinan, dan penyebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkolerasi dengan proses Islamisasi. Dalam buku Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Prof Dr Hasan Muarif Ambary memaparkan kehadiran para pedagang berkebangsaan Arab. Persia, dan Gujarat di beberapa pelabuhan di wilayah nusantara pada tahap awal yang setidaknya telah memperkenalkan kepada penduduk setempat tata cara melaksanakan ibadah Islam.
Upaya pengenalan ajaran Islam ini dilakukan melalui fase-fase kontak sosial budaya antara para pedagang Muslim dan penduduk setempat. Salah satu bentuk kontak sosial budaya yang berlangsung di antara mereka dilakukan melalui perkawinan. Menurut Prof Ambary, dalam kurun waktu abad ke-7 hingga ke-10 M sangat mungkin terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim asing dan penduduk setempat sehingga mereka beralih menjadi Muslim.
Walaupun pada periode tersebut Jawa tidak disebut-sebut sebagi tempat persinggahan pedagang Muslim; di Leran, Gresik, terdapat sebuah batu nisan dari Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M. Selam makam tersebut, ada beberapa makam yang tidak berangka tahun. Jenis nisan pada makam-makam itu seperti yang ditemukan di Campa. berisi tulisan yang ber jpa doa-doa kepada Allah.
Pengaruh Islam mulai kuat mengakar di wilayah nusantara selama kurun waktu abad ke-13 M hingga ke-16 M. Hal ini ditandai dengan mulai berdirinya beberapa kerajaan Islam di sejumlah wilayah di nusantara. Misalnya, Kerajaan Samudra Pasai di wilayah Aceh Utara pada awal abad ke-13 dan Kerajaan Malaka padaawal abad ke-14 di Semenanjung Malaysia. Sultan Mansyur Syah (wafat 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Di bagian lain Indonesia. Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten, sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa.Seperti halnya peran para wali di wilayah Jawa, penyebaran Islam di wilayah lain juga berlangsung berkat peran dan andil para ulama setempat. Tercatat, beberapa ulama besar pribumi yang melakukan sosialisasi Islam di nusantara. Pada abad ke-17. dari Aceh muncul ulama-ulama besar yang karya-karyanya berperan secara luas di luar Aceh sampai ke tanah semenanjung. Para ulama tersebut antara lain Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri. Nuruddin ar-Raniri, dan Syekh Abdul Rauf Singkel.
Ada pula Syekh Yusuf dan-Makassar yang menjadi ulama di Banten pada pertengahan abad ke-17 ketika diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ulama lain ialah Datu Bandang dari Sumatra Barat yang dipercaya! telah mengislamkan Makassar meskipun arus sosialisasi Islam di sana juga berasal dari para ulama Giri. Sunan Giri dan para ulama Giri lainnya juga berperan penting dalam sosialisasi Islam di Banjar, Ternate, dan Tidore. Kemudian, ada Syekh Nawawi al-Bantam yang berperan dalam Islamisasi Bima atau Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Banten.
Tujuan penulisan
Penyebaran ajaran Islam oleh para ulama ini tidak hanya dilakukan melalui lisan, tetapi juga melalui tulisan. Karena itu. dikenal banyak sekali hasil karya tulis dari para ulama nusantara.Menurut Dosen Fakultas Adab dan Humaniora serta Pasca sarjana Universitas Islam-Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Uka Tjandrasasmita. keberadaan naskah-naskah keagamaan hasil karya para ulama tni sangat bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam, mengingat naskah naskah tersebut mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam.
Karya-karya para ulama ini. lanjut dia, pada umumnya berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tentu bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan keaslian ajaran Islam pada masa mendatang. Tidak sedikit pula dari para ulama nusantara yang menulis kitab yang berisikan tentang seluk-beluk pemerintahan pada saat itu, seperti yang tertuang dalam Hikayat Raja-Raja Pasal
Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam pertama di nusantara, yaitu Samudra Pasai. Dalam hikayat ini, Merah Silu bermimpi bertemu Nabi Muhammad yang kemudian mengislamkannya. Merah Silu kemudian menjadi Sultan Pasai pertama dengan nama Malik al-Saleh. Hikayat ini juga mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasai sampai penaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Karya seperti ini, menurut Prof Uka, bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam.
Hal yang sama juga diungkapkan Nindya Noegraha, kepala Bidang Koleksi Khusus Perpustakaan Nasional. Menurutnya, naskah-naskah Islam karya para ulama terdahulu itu banyak berisi kisah dan ajaran agama. Ia menyebutkan, naskah klasik itu di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat, hikayat, teknologi, pengobatan, mantra, sastra, jimat. syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, hikayat, dan sebagainya.Dalam melahirkan karya tulis, para ulama nusantara yang hidup pada abad ke-13 hingga ke-17 M im tidak
Sumber : Batavia co.id
02 May 2010
Ragam Republika
Tradisi penulisan, penyalinan, dan penyebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkolerasi dengan proses Islamisasi. Dalam buku Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Prof Dr Hasan Muarif Ambary memaparkan kehadiran para pedagang berkebangsaan Arab. Persia, dan Gujarat di beberapa pelabuhan di wilayah nusantara pada tahap awal yang setidaknya telah memperkenalkan kepada penduduk setempat tata cara melaksanakan ibadah Islam.
Upaya pengenalan ajaran Islam ini dilakukan melalui fase-fase kontak sosial budaya antara para pedagang Muslim dan penduduk setempat. Salah satu bentuk kontak sosial budaya yang berlangsung di antara mereka dilakukan melalui perkawinan. Menurut Prof Ambary, dalam kurun waktu abad ke-7 hingga ke-10 M sangat mungkin terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim asing dan penduduk setempat sehingga mereka beralih menjadi Muslim.
Walaupun pada periode tersebut Jawa tidak disebut-sebut sebagi tempat persinggahan pedagang Muslim; di Leran, Gresik, terdapat sebuah batu nisan dari Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M. Selam makam tersebut, ada beberapa makam yang tidak berangka tahun. Jenis nisan pada makam-makam itu seperti yang ditemukan di Campa. berisi tulisan yang ber jpa doa-doa kepada Allah.
Pengaruh Islam mulai kuat mengakar di wilayah nusantara selama kurun waktu abad ke-13 M hingga ke-16 M. Hal ini ditandai dengan mulai berdirinya beberapa kerajaan Islam di sejumlah wilayah di nusantara. Misalnya, Kerajaan Samudra Pasai di wilayah Aceh Utara pada awal abad ke-13 dan Kerajaan Malaka padaawal abad ke-14 di Semenanjung Malaysia. Sultan Mansyur Syah (wafat 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Di bagian lain Indonesia. Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten, sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa.Seperti halnya peran para wali di wilayah Jawa, penyebaran Islam di wilayah lain juga berlangsung berkat peran dan andil para ulama setempat. Tercatat, beberapa ulama besar pribumi yang melakukan sosialisasi Islam di nusantara. Pada abad ke-17. dari Aceh muncul ulama-ulama besar yang karya-karyanya berperan secara luas di luar Aceh sampai ke tanah semenanjung. Para ulama tersebut antara lain Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri. Nuruddin ar-Raniri, dan Syekh Abdul Rauf Singkel.
Ada pula Syekh Yusuf dan-Makassar yang menjadi ulama di Banten pada pertengahan abad ke-17 ketika diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ulama lain ialah Datu Bandang dari Sumatra Barat yang dipercaya! telah mengislamkan Makassar meskipun arus sosialisasi Islam di sana juga berasal dari para ulama Giri. Sunan Giri dan para ulama Giri lainnya juga berperan penting dalam sosialisasi Islam di Banjar, Ternate, dan Tidore. Kemudian, ada Syekh Nawawi al-Bantam yang berperan dalam Islamisasi Bima atau Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Banten.
Tujuan penulisan
Penyebaran ajaran Islam oleh para ulama ini tidak hanya dilakukan melalui lisan, tetapi juga melalui tulisan. Karena itu. dikenal banyak sekali hasil karya tulis dari para ulama nusantara.Menurut Dosen Fakultas Adab dan Humaniora serta Pasca sarjana Universitas Islam-Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Uka Tjandrasasmita. keberadaan naskah-naskah keagamaan hasil karya para ulama tni sangat bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam, mengingat naskah naskah tersebut mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam.
Karya-karya para ulama ini. lanjut dia, pada umumnya berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tentu bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan keaslian ajaran Islam pada masa mendatang. Tidak sedikit pula dari para ulama nusantara yang menulis kitab yang berisikan tentang seluk-beluk pemerintahan pada saat itu, seperti yang tertuang dalam Hikayat Raja-Raja Pasal
Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam pertama di nusantara, yaitu Samudra Pasai. Dalam hikayat ini, Merah Silu bermimpi bertemu Nabi Muhammad yang kemudian mengislamkannya. Merah Silu kemudian menjadi Sultan Pasai pertama dengan nama Malik al-Saleh. Hikayat ini juga mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasai sampai penaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Karya seperti ini, menurut Prof Uka, bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam.
Hal yang sama juga diungkapkan Nindya Noegraha, kepala Bidang Koleksi Khusus Perpustakaan Nasional. Menurutnya, naskah-naskah Islam karya para ulama terdahulu itu banyak berisi kisah dan ajaran agama. Ia menyebutkan, naskah klasik itu di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat, hikayat, teknologi, pengobatan, mantra, sastra, jimat. syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, hikayat, dan sebagainya.Dalam melahirkan karya tulis, para ulama nusantara yang hidup pada abad ke-13 hingga ke-17 M im tidak
Sumber : Batavia co.id
MANUSKRIP ULAMA NUSANTARA DIJARAH PENJAJAH
Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah di University of Jordan tentang Filologi Hadits).
Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.
Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai Dr H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut petikannya:
Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?
Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip Islam tertua di Nusantara?
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?
Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?
Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.
Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?
Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.
Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?
Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.
Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.
Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?
Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.
Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.
Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?
Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.
Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?
Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”
Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.
Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?
Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.
Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”
Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?
Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?
Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?
Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar, Ternate, Tidore dan seterusnya.
Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?
Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten
Sumber : Cyber Sabili Com
Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.
Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai Dr H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut petikannya:
Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?
Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip Islam tertua di Nusantara?
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?
Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?
Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.
Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?
Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.
Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?
Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.
Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.
Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?
Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.
Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.
Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?
Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.
Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?
Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”
Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.
Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?
Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.
Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”
Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?
Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?
Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?
Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar, Ternate, Tidore dan seterusnya.
Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?
Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten
Sumber : Cyber Sabili Com
SUMBANGAN FILOLOGI DALAM PENYUSUNAN STRATEGI KEBUDAYAAN INDONESIA
Kmis, 5 Maret 2009
SUMBANGAN FILOLOGI DALAM PENYUSUNAN STRATEGI KEBUDAYAAN INDONESIA
Pidato Guru Besar
Prof. Dr. H. BANI SUDARDI, M.Hum.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua
Yang terhormat.:
1. Bapak Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan para anggota Senat Universitas
Sebelas Maret.
2. Para Pejabat Pemerintah, baik sipil maupun militer
3. Para Ketua Lembaga, Kepala Biro, dan Ketua UPT di lingkungan Universitas
Sebelas Maret.
4. Para Dekan, Pembantu Dekan, Ketua Jurusan, Kepala Labo¬ra¬¬¬torium, Kepala
Bagian, Kepala Tata Usaha, dan Kasubbag di lingkungan Universitas Sebelas Maret
5. Para Dosen, Mahasiswa, serta Civitas Akademika Univer¬sitas Sebelas Maret
6. Para Tamu Undangan, Sanak Keluarga, dan handai taulan
7. Para wartawan, baik cetak maupun elektronik, yang meliput acara ini.
Marilah kita bersama-sama senatiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi kita karunia yang tak terbilang.
Pada awal Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Sidang Senat Terbuka, Universitas Sebelas Maret ini, izinkahlah saya mengung¬kapkan rasa syukur dan kegembiraan hati dengan cara memanjat¬kan puji syukur ke hadirat Allah dan menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional yang telah menghargai jerih payah, prestasi, dan potensi diri saya yang sejak 1 April 2006 telah mengangkat saya sebagai guru besar Filologi di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, secara loncat jabatan.
Selanjutnya, dalam rangka memenuhi tradisi akademik yang mulia lagi terpuji, dalam pidato pengukuhan guru besar ini, saya akan menyampaikan sumbangan pemikiran dan pandangan akade¬mik saya yang berjudul ”SUMBANGAN FILOLOGI DALAM PENYUSUNAN STRATEGI KEBUDAYAAN INDO¬NESIA”.
1. Pengertian Filologi
Di antara para hadirin tentu ada yang menyeruak pertanyaan dari dalam hati sanubari: ”Apakah gerangan yang dimaksud Filologi itu?” Filologi adalah cabang ilmu budaya berupa disiplin ilmu yang berorientasi pada naskah-naskah klasik. Sebagai disiplin ilmu, Filologi merupakan ilmu yang cukup tua. Setidaknya pada abad ke-3 sebelum Masehi, ilmu ini sudah berkembang di Iskandariyah, Yunani Kuna.
Secara etimologis, filologi dari bahasa Latin philos dan logos. Philos berarti cinta dan logos berarti kata. Filologi berarti “cinta kata”. Sebagai disiplin ilmu, ciri khas Filologi memang selalu berkutat pada hal-hal yang berkaitan dengan kata dan makna¬¬nya. Karena kata yang tersusun menjadi teks mengandung aneka pengetahuan yang luas, maka dewasa ini pengertian filologi di ber¬bagai tempat di dunia sering berbeda-beda (Sudardi, 2003: 5-6).
Di Indonesia filologi diartikan sebagai disiplin ilmu pengeta¬huan yang mempelajari kebudayaan masa lalu suatu bangsa melalui teks-teks klasik tertulis. Pengertian ini mirip pengertian yang ber¬kembang di negeri Belanda. Hal ini patut kita pahami karena sebagian perintis kegiatan filologi di Indonesia adalah orang-orang Belanda.
Kegiatan filologi berawal di Iskandariyah. Pusat kegiatan filologi tersebut berada di museum yang waktu itu merupakan tempat sakral. Museum berarti kuil untuk Dewi Muses. Menurut mitologi Yunani, Dewi Muses merupakan dewi kesenian dan ilmu pengetahuan (Reynold dan Wilson, 1968: 6). Pada masa itu, di Museum Iskan¬dariyah, terdapat kegiatan pengkajian terhadap naskah-naskah klasik. Salah satu tokoh yang disegani di Museum adalah Eratosthenes (295-214 sebelum Masehi). Ia banyak memiliki ilmu pengetahuan dan dikenal sebagai ahli sastra. Perpustakaan di Museum yang dikelolanya diperkirakan menyimpan 200 sampai 490 naskah. Kegiatan Filologi di tempat itu ialah menyimpan, mengoreksi, mengkopi, dan menyelamat¬kan naskah-naskah kuna. Berkat jasa Eratosthenes dan kawan-kawannya, teks-teks klasik Yunani Kuna dapat ditemukan sampai sekarang dalam keadaan yang baik (Reynold dan Wilson, 1968: 7-8).
Kegiatan Filologi pada saat itu mencakup semua bidang studi sehingga dapat dianggap sebagai studi kebudayaan secara umum karena yang dikaji adalah berbagai ilmu pengetahuan. Ahli Filologi di masa Yunani ini benar-benar sebagai ilmuwan yang mumpuni karena mengetahui hampir semua pengetahuan pada masanya.
2. Objek Penelitian Filologi
Telah diuraikan bahwa filologi mempelajari kebudayaan masa lalu melalui teks-teks tertulis. Teks-teks tertulis di atas suatu bahan yang disebut naskah. Jadi, objek penelitian filologi adalah teks dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai budaya.
Di dalam filologi dengan jelas dibedakan pengertian teks dan naskah. Teks adalah sesuatu yang tertulis yang berupa kode-kode bahasa. Teks dapat berupa teks lisan, teks tertulis, teks rekaman, dan sebagainya.Naskah adalah benda material tempat suatu teks dituliskan.
Filologi dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu budaya tentang masa lalu seperti paleografi, arkeologi, dan sejarah. Hanya saja di sini tampak perbedaan objek kajian. Paleografi mengkhususkan pada kajian tentang tulisan-tulisan kuna. Arkeologi meneliti benda-benda budaya dari masa lampau, sementara sejarah meneliti peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Filologi meneliti teks-teks masa lampau yang tertulis di atas naskah. Hal ini karena ada juga teks-teks masa lampau yang tidak tertulis di atas naskah, melainkan tertulis di media lain seperti prasasti yang tertulis di atas batu dan teks-teks lisan. Pengkhususan objek kajian pada teks-teks klasik tertulis dimaksudkan untuk membatasi lingkungan kerja agar beban yang disandang tidak terlalu berat dan kajian yang dilakukan dapat dikerjakan secara mendalam.
Perlu disadari bahwa untuk memahami teks-teks klasik, pem¬baca harus menghadapi beberapa kendala seperti jenis tulisan yang sudah tidak digunakan, bahasa yang mempunyai langgam berbeda, makna kata yang berubah, dan perubahan nilai-nilai budaya. Sebagai misal, kata ”cinta” yang dewasa ini bermakna ’suka sekali, sayang benar’, di dalam bahasa Melayu klasik kata ’cinta’ bermakna susah hati atau risau” (Alwi dkk., 2001: 215). Kata ”ranjau” yang sekarang berkonotasi dengan peledak dalam peperangan modern, dalam bahasa Melayu klasik bermakna sebagai ’pancang bambu atau besi untuk menjebak musuh atau binatang, (Alwi dkk, 2001: 931).
3. Tujuan Filologi
Sebagai suatu kegiatan filologi mempunyai tujuan tertentu di dalam bekerja. Secara garis besar tujuan filologi ialah memahami suatu kebudayaan masa lalu melalui teks tertulis (naskah). Filologi juga mempunyai tujuan khusus, yakni mendeskripsikan dan menya¬jikan suatu teks tertulis di dalam naskah dalam wujud yang paling tepat. Filologi mempunyai tugas untuk menjabarkan ide-ide, gagasan, peristiwa, dan pandangan hidup. Filologi berusaha mema¬hami sejauh mungkin kebudayaan masa lalu suatu bangsa melalui hasil sastranya (Baried dkk., 1985:5). Pengertian sastra di sini dalam arti yang luas berupa penyajian ilmu pengetahuan melalui bahasa (tekstual) yang di dalamnya berisi berbagai infor¬masi masa lalu seperti pandangan hidup, sastra, bahasa, sejarah, seni, religi, kepercayaan, adat istiadat, pengobatan, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, konsep sastra di sini mencakup segala sesuatu yang menggunakan bahasa dengan cara yang kreatif (Hussein, 1974: 12). Untuk mencapai tujuan tersebut, Filologi beru¬saha menyajikan teks (menyunting) setepat mungkin dengan cara melakukan penelitian secara seksama sesuai dengan dasar-dasar teoretis yang digunakan. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, Filologi juga berkewajiban mengungkap sejarah terjadi¬nya teks dan sejarah perkembangannya serta mengungkapkan resepsi (tang¬gapan) pembaca pada setiap kurun penerimaan (Baried, 1985: 6).
4. Relevansi Studi Filologi
Naskah klasik sering sudah tidak dikenal oleh masyarakat¬nya. Untuk membaca dan mengkajinya perlu waktu bersuntuk-suntuk, sementara masyarakat pemiliknya kadangkala sudah tidak memperhatikan lagi. Sebagai contoh, naskah klasik Jawa yang jumlahnya ribuan eksemplar mungkin sudah tidak dikenal lagi oleh generasi muda Jawa dewasa ini, bahkan kemungkinan besar mayo¬ritas generasi muda Jawa tidak memahami dengan baik tulisan Jawa (ha na ca ra ka). Ironisnya, seringkali orang-orang asing yang jauh dari negeri seberang yang lahir dari kebudayaan yang amat berbeda merelakan hidupnya untuk mempelajari naskah-naskah klasik kita, bahkan selanjutnya mereka menjadi guru-guru kita dalam menggali khasanah budaya masa lampau.
Pertanyaan yang mudah sekali muncul: Untuk apa naskah-naskah klasik dipelajari? Mempelajari naskah klasik memiliki relevansi secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawa¬nya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya (Soeratno, 2003). Secara praktis, Filologi juga dapat membantu menyediakan bahan-bahan bagi tujuan praktis seperti menyusun gambaran masa lampau untuk kepentingan per¬satuan, mencari nilai-nilai luhur masa lalu, membangun kebuda¬yaan, mencari inspirasi, dan sebagainya. Beberapa konsep yang sekarang kita kenal betul sebenarnya bersumber dari teks-teks klasik seperti bhineka tunggal ika, Pancasila, nusantara, adigang-adigung adiguna, tirakatan, dan sebagainya. Pengetahuan sejarah Indonesia masa lampau juga kita peroleh dengan agak lengkap berkat naskah-naskah klasik, misalnya tentang petualangan Ken Arok yang fantastis (Pararaton), kebesaran Majapahit (Negara kerta¬gama), masuknya Islam ke Aceh (Hikayat Raja-Raja Pasai), hubungan Jawa dan Kalimantan (Hikayat Banjar), ajaran Hamzah Fansuri dan Seh Siti Jenar, dan lain-lain. Pada kesempatan ini, akan dipaparkan mengenai urgensi studi filologi dalam rangka me¬nyusun strategi kebudayaan Indonesia.
5. Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan adalah suatu usaha manusia untuk menemu¬kan jawaban-jawaban tepat dan sikap yang paling dapat dipertanggungjawabkan mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia (Peursen, 1976: 19). Strategi kebudayaan bersifat abstrak yang menjiwai berbagai aktivitas keseharian. Strategi kebudayaan merupakan suatu hal yang dinamis dengan seiring tantangan-tantangan budaya yang muncul di masyarakat.
Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita kancil di Jawa yang dikenal suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat Jawa. Cerita tersebut merupakan bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara (Dipodjojo, 1966).
Cerita kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebu¬da¬yaan orang Jawa yang tidak suka konflik terbuka dan tidak ber¬terus terang. Di dalam budaya Jawa, menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis.
a. Menipu yang mulia yang disebut dora sembada (menipu untuk membela kebaikan dan
kebenaran).
b. Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa kebe¬run¬tungan yang dikenal
goroh nguripi. Perbuatan ini adalah per¬buatan pedagang dalam membujuk
pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan.
c. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misal¬nya sebenarnya
lapar, tetapi menyatakan kenyang, me¬nyata¬¬kan nggih (ya), tetapi sebenarnya
tidak, dan sebagainya.
d. Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh
tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan pribadi seperti
tercermin dalam ungkapan ”timbang mati ngantuk luwung mati umuk” (dari¬pada
mati mengantuk lebih baik mati sombong.
e. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama.
Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap perbuatan yang tidak dapat dimaafkan.
Demikian contoh kecil strategi kebudayaan yang diambil dari budaya Jawa. Bagi orang yang belum memahami budaya Jawa, perbuatan ”menipu” seperti itu mungkin dianggap perbuatan yang sangat menjengkelkan, tetapi bagi orang Jawa dianggap sesuatu yang biasa, wajar, bahkan termasuk kesopanan.
Sementara itu, pelanduk (kancil Melayu) yang bergelar Syah Alim Dirimba tidak lain merupakan refleksi strategi budaya Melayu yang condong ke falsafah Islam seperti tercermin dalam pepatah ”adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Artinya, adat Melayu berdasarkan pada syariat Islam, sementara syariat bersandar pada Al-Qur’an (Kitabullah). Karena itu, pelan¬duk Melayu fasih pula mensitir ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Strategi Kebudayaan Indonesia
Sebagai ilustrasi, kondisi strategi kebudayaan Indonesia budaya kita dewasa ini tampak belum menemukan format yang mantap. Dewasa ini, kebudayaan kita kehilangan orientasi yang berakibat timbulnya kebingungan di masyarakat. Masyarakat kita dijejali dengan konsep-konsep strategis yang tidak memiliki akar budaya dan menimbulkan interpretasi baru. Beberapa konsep seperti demokrasi, reformasi, otonomi, yang dewasa ini menjadi vital dalam orientasi kebudayaan Indonesia pada hakikatnya tidak betul-betul dipahami karena sebenarnya konsep tersebut berakar pada lingkungan budaya yang berbeda dan latar belakang sejarah yang berlainan. Baik di lapisan atas maupun lapisan bawah, pemahaman konsep-konsep tersebut semakin kabur. Demokrasi akan dimaknai sebagai ”hukum rimba”, yakni yang banyak anggota¬¬nya harus menang dan benar, reformasi berarti boleh melanggar hukum, melanggar norma, merusak tatanan, otonomi diartikan milik negara boleh dijadikan milik pribadi atau golongan.
Bangsa kita dewasa ini juga terjebak dalam paradoks-para¬doks, misalnya kita menolak pornografi dan pornoaksi, tetapi menolak apabila hal tersebut diatur dalam undang-undang. Pemi¬kiran budaya kita juga terjebak pada cara, bukan pada esensi. Yang namanya demokrasi, reformasi, otonomi, HAM (Hak Azasi Manusia), dan konsep-konsep lain dari luar sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi idiil. Di Indonesia cara tersebut hendak¬nya digunakan untuk menuju cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang terukir indah di dalam PANCASILA. Artinya, apa pun yang kita lakukan hendaknya diarahkan pada tercapainya kondisi idiil dalam Pancasila seperti berketuhanan yang mahaesa, ber¬kemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial”. Sebagai suatu cara, kita boleh memilih alternatif dan tidak menjadikan konsep-konsep asing sebagai ”agama baru” dengan harga mati. Alternatif yang paling sesuai ialah alternatif yang bersumberkan pada nilai-nilai luhur budaya Indonesia sendiri.
Sebagai ilustrasi patut diingat bahwa majelis kekuasaan tertinggi bangsa Indo¬nesia adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sesuai dengan nama¬nya unsur musyawarah hendaknya menjadi semangat. Hal ini sesuai dengan semangat luhur bangsa kita seperti dalam pepatah ”bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Untuk bisa men¬capai mufakat, harus terbentuk internalisasi diri atau pengendapan rohaniah seperti terungkap dalam pepatah Jawa ”bisa rumangsa, ora rumangsa bisa” (mampu berintstropeksi dan tidak menonjol¬kan diri”. Capaian mufakat merupakan sesuatu yang sangat bernilai daripada model voting, misalnya, karena mufakat lebih terasa ”nguwongke” (menghargai) dan sangat sesuai dengan prinsip ”kema¬¬nusiaan yang adil dan beradap”. Kemampuan mencapai mufakat merupakan cerminan dari ”kelonggaran hati dan kebesaran jiwa”. Orang yang berpikiran picik dan mementingkan diri sendiri tentu tidak akan mampu membangun esensi kemufakatan, yaitu terbentuknya harmoni baru yang menyejukkan.
Dewasa ini diperlukan kaji ulang mengenai berbagai pelak¬sanaan strategi budaya di segala bidang. Sebagai misal, budaya demokrasi yang pada mulanya diharapkan dapat menyelesaikan masalah bangsa, pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru. Demi demokrasi yang tidak betul-betul dipahami konsepnya oleh bangsa Indonesia, ternyata kita harus membayar mahal. Di samping biaya pesta demokrasi yang mahal dan melelahkan, kadang-kadang demokrasi menimbulkan dampak baru berupa terkotak-kotaknya bangsa ini dalam berbagai kelompok dan muncul¬nya permusuhan di kalangan rakyat. Sementara substansi demokrasi Pancasila yang mengedepankan ”hikmat kebijaksanaan” dan permusyawaratan menjadi semakin jauh dari kehidupan. Dalam kondisi demikian, pemikiran untuk membentuk masyarakat adil makmur akan terabaikan karena energi kita tersedot pada hal-hal yang bukan esensi.
Menurut hemat kami, bila bangsa Indonesia ingin maju dan tidak kehilangan energi untuk hal-hal yang tidak esensial, model strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan. Tampaknya kita perlu belajar dari bangsa Jepang. Tidak disangsikan bahwa dewasa ini Jepang telah mencapai kemajuan yang signifikan, tetapi strategi budaya yang dijalankan tetap berakar pada nilai-nilai asli bangsa tersebut. Sukses Jepang dalam percaturan bisnis global menjadi fenomena menarik untuk dikaji, bukan hanya oleh negara-negara berkem¬bang, melainkan juga oleh negara-negara maju. Bangsa Jepang memiliki kerangka 7 landasan dalam membangun budayanya, yaitu:
a. kompleksitas bahasa,
b. homogenistas ras dan budaya,
c. menjunjung harmoni,
d. sikap eksklusif,
e. kuatnya ikatan kelompok
f. komitmen kesejahteraan, dan
g. rasa superioritas (Khadiz, 2003: 205).
Perlu pula ditambahkan bahwa negara-negara yang suka meng¬gembar-gemborkan HAM dan demokrasi sekalipun, ternyata juga tidak konsisten memegang teguh prinsip tersebut. Serangan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak (dua negara berdaulat) adalah contoh nyata tentang hal itu.
7. Peran Filologi dalam Menyusun Strategi Kebudayaan
Peran Filologi dalam menyusun strategi kebudayaan Indo¬nesia pada dasarnya menyediakan bahan-bahan sebagai sarana refleksi dan instrospeksi. Filologi juga dapat membantu menggali nilai-nilai luhur sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik. Harus disadari bahwa bangsa Indoensia memiliki pengalaman dan sejarah masa lampau yang membentuk karakter. Tidak semua hal dari masa lampau sesuai dan baik untuk saat ini, tetapi beberapa di antaranya relevan dan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya:
a. Konsep Kepemimpinan
Krisis yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis kepemimpinan. Yang menjadi pusat perhatian kita hanyalah pada bagaimana ”memilih pemimpin” dan tidak menyinggung ”pemim¬pin yang bagaimana yang dipilih”. Naskah-naskah klasik mem¬berikan konsep pemimpin yang seharusnya ”hambeg adil para¬marta, bérbudi bawalekasana, bau denda nyakrawati” yang adil, murah hati, penyayang, taat menjalankan aturan, dan mampu menye¬lesaikan masalah”. Karena itu, gelaran raja Jawa adalah ”senapati ing alaga, amirul mukminin, kalifatuloh, sayidin panata¬gama” (panglima dalam peperangan. pimpinan orang beriman, penguasa kerajaan, pemimpin keagamaan”. Sementara itu, Sejarah Melayu menyatakan bahwa pemimpin adalah zilzullah fil alam (bayangan Allah di dunia). Sejarah Melayu menggambarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya berkasih sayang dengan bawahan¬nya. Sekali pemimpin berbuat aniaya pada bawahannya, maka itu sebagai tanda awal kehancurannya.
Nilai luhur ini di dalam Sejarah Melayu ini digambarkan dalam kisah ke-10, yaitu kisah tentang Singapura diserang ikan todak. Ikan todak adalah sejenis ikan cucut yang mampu naik ke darat dan menusuk manusia sehingga menimbulkan kematian. Men¬dapat serangan ikan ini, Raja Singapura menjadi bingung. Datanglah seorang anak yang memberi nasihat bahwa untuk mengalah¬kan ikan todak harus digunakan perisai dari batang pisang. Dengan cara itu, moncong ikan todak akan menancap di batang pisang sehingga tidak membahayakan lagi.
Pikiran anak yang kreatif tersebut justru menimbulkan iri hati dan kekhawatiran. Anak itu kemudian dibunuh oleh Raja Singapura. Pembunuhan ini merupakan awal hancurnya Singapura.
”Syahdan maka budak (= anak, pen) itupun disuruh bunuh oleh baginda, menjadi benar pada hatinya. Adapun tatkala budak itu dibunuh, maka hak rasanya ditanggungkan atas negeri Singapura” (Situmorang dan Teeuw, 1952: 75).
Kisah di atas menyampaikan pesan bahwa seorang pemim¬pin hendaknya mampu menerima pikiran-pikiran kreatif dari siapa pun dan tidak menerima dengan syak wasangka.
b. Alon-alon waton kelakon dan cukat trengginas kadya Srikatan nyamber walang
Ungkapan alon-alon waton kelakon sering dimaknai nega¬tif. Ungkapan tersebut sebenarnya merupakan salah satu bentuk strategi yang mencerminkan kesabaran. Hal ini dapat dilihat pada kisah dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut.
Danang Sutawijaya adalah seorang hamba Sultan Pajang. Karena kecerdasan otak dan kehalusan budinya, ia diangkat men¬jadi anak angkat Sultan Pajang. Babad Tanah Jawi menggam¬barkan kegigihan Danang Sutawijaya yang masih anak-anak dengan gagah berani melawan Harya Penangsang yang sakti. Dengan cara tersebut Danang Sutawijaya berhasil memenangkan sayembara memperoleh Alas Mentaok (Hutan Mentaok) yang angker kemudian bergelar Panembahan Senopati. Dengan sabar ia membangun hutan menjadi perdikan dan dengan sabar ia mem¬bina hubungan baik dengan penguasa di sekitarnya sehingga banyak penguasa takluk bukan karena perang, ”hamung kayungyun marganing kautaman” (hanya tertarik pada kebaikannya). Panembahan Sena¬pati menempuh hal tersebut dengan sabar (alon-alon waton kelakon). Ketika situasi memungkinkan, maka dengan cepat Panem¬bahan Senopati mendirikan dinasti Mataram yang sampai saat ini masih dapat disaksikan kemegahannya dengan Kraton Yogya, Kraton Surakarta, Pura Pakualaman, Pura Mangku¬negaran yang kesemuanya mengaku sebagai keturunan Panembahan Sena¬pati atau ”Darah Mataram”.
Kisah tersebut merupakan gambaran yang patut dicontoh bahwa dalam mencapai cita-cita kesabaran memang perlu. Panem¬bahan Senapati membangun Mataram dengan penuh kesabaran, tetapi pada saat-saat diperlukan ia mampu bertindak gesit yang digambarkan sebagai ”cukat trengginas kadya srikatan nyamber walang”.
Kalau sementara ini dikatakan bahwa Panembahan Senapati mengawini Ratu Kidul, yang patut dicatat adalah kronologi kisah yang disebutkan bahwa Ratu Kidul merasa kalah wibawa dengan Panembahan Senapati lalu Ratu Kidul mengabdi kepada¬nya. Serat Wedhatama menyebutkan ”pamrihe mung ameminta, supangate teki teki, nora ketang teken janggut suku jaja” (maksud¬nya hanya meminta, manfaat laku prihatin, meskipun dengan susah payah).
Karena itu, kalau dewasa ini ada orang-orang yang pergi ke Laut Selatan untuk meminta atau memuja pada Ratu Kidul, dari segi kebudayaan merupakan kemunduran dari apa yang telah dicapai pendahulu raja Mataram yang merupakan tuladha laku utama (contoh baik).
c. Membangun Keserasian
Membangun keserasian adalah salah satu strategi kebuda¬yaan yang patut ditanamkan pada tata kehidupan kita. Harmoni merupakan konsep yang sesuai dengan akar budaya Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kisah-kisah klasik yang menekankan penting¬nya harmoni. Di dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Ras, 1968) dikisahkan tentang Ampu Jatmaka yang tidak mau menjadi raja. Untuk membangun kerajaan dicarilah calon penurun raja. Calon permaisuri diperoleh dari bayi yang berada di air di atas buih yang bernama Putri Jumjum Buih. Calon raja diperoleh dari anak mata¬hari yang berasal dari Majapahit bernama Suryanata. Cerita ini menyiratkan bahwa untuk membangun kebudayaan yang kokoh harus dapat membangun harmoni. Dalam kisah di atas digambar¬kan harmoni yang diharapkan berupa perpaduan air (buih), tanah (tempat kerajaan), dan udara-api (matahari). Dengan kata lain, untuk membangun negara yang kokoh, persatuan dan kesatuan merupakan modal utama. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari suatu negara yang selalu kisruh.
d. Perencanaan dan Manajemen yang baik
Manajemen merupakan hal yang sangat vital dalam strategi kebudayaan. Secara kasat mata, dewasa ini banyak terjadi pemborosan di segala bidang karena manajemen yang tidak baik. Di dalam Hikayat Mahsyud Hak digambarkan bahwa tanpa manajemen yang baik, apalagi hanya didasari emosi, maka rencana dan cita-cita akan kandas berantakan.
Dikisahkan ada seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya. Ketika kekasihnya digigit nyamuk di kakinya, karena emosi pemuda tersebut mengambil kapak untuk membunuh nyamuk di kaki kekasihnya. Yang terjadi, nyamuk bisa lolos sementara kekasihnya kehilangan satu kaki. Kisah lain menyebut¬kan seorang hamba yang dipercaya menjaga lumbung majikannya. Ketika ia melihat seekor tikus bersembunyi dan makan di dalam lumbung, maka dengan emosi dibakarnya lumbung tersebut dengan maksud membakar tikus yang ada di dalamnya. Hasilnya, lumbung yang seharusnya dijaga justru lenyap menjadi abu (Jusuf dkk, 1984).
e. Pentingngnya Ilmu Pengetahuan
Asal mula budaya Jawa dan huruf Jawa di dalam naskah Jawa klasik bersumber dari cerita Aji Saka. Karena besarnya pengaruh cerita ini, tempat seperti Bledug Kuwu dipercaya munculnya pada zaman Aji Saka. Tahun Jawa juga disebut Tahun Saka. Tiang utama penyangga rumah Jawa disebut Saka Guru. Di dalam cerita Aji Saka disebutkan adanya raja asli Jawa bernama Dewata Cengkar. Raja ini tidak berbudaya dan kanibal. Aji Saka menewas¬kan raja ini dengan cara disuruh menggelar surban (penutup kepala). Surban Aji Saka mengembang sampai Laut Selatan. Di pinggir tebing laut Dewata Cengkar dikibaskan dan jatuh ke laut. Dewata Cengkar menjadi bajul (buaya) putih yang menjadi peng¬ganggu manusia
Cerita ini memberi gambaran bahwa pribumi akhirnya tersisih karena tidak memiliki ilmu pengetahuan yang disimbolkan “kalah dalam menggelar surban”. Relevansi bagi strategi kebu¬dayaan bahwa bangsa Indonesia apabila tidak memiliki ilmu pengetahuan akhirnya hanya akan menjadi bajul putih atau begajulan (berandalan) yang suka mengganggu orang saja. Alih ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang strategis dalam strategi kebudayaan dewasa ini.
Demikian uraian mengenai sumbangan Filologi bagi penyu¬sunan strategi kebudayaan Indonesia. Harapan saya, semoga pidato ini mampu menggugah kita semua untuk menengok kembali kekayaan rohani bangsa kita yang saat ini tersimpan di dalam naskah-naskah klasik dalam rangka membangun kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian kita. Semoga pidato ini juga menumbuhkan minat di kalangan mahasiswa untuk mau menekuni naskah-naskah klasik. Kondisi yang memprihatikan di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS ialah bahwa mahasiswa yang tertarik menekuni studi filologi setiap tahunnya hanya satu dua orang saja.
Hadirin yang saya hormati,
Pada penghujung pidato pengukuhan guru besar ini izin¬kan¬lah saya mengungkapkan hal-hal yang sifatnya pribadi dalam rangka mengungkapkan rasa syukur kepada Allah dan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang dijadikan Allah sebagai perantara saya mencapai kedudukan guru besar ini.
1. Sekali lagi, terima kasih kami sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia
melalui Menteri Pendidikand Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A. yang
telah menetapkan diri saya sebagai guru besar Ilmu Filologi secara loncat
jabatan.
2. Terima kasih juga kepada Bapak Rektor/Ketua Senat UNS dan para anggota Senat
Universitas, Bapak Dekan dan Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Sastra dan
Seni Rupa, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia, Segenap
Anggota Senat Fakultas dan Universitas, tim CCP, dan kawan-kawan seprofesi
yang telah mengusulkan dan memperjuangkan saya untuk men¬duduki jabatan yang
mulia ini. Saya sadar betul bahwa jabatan ini saya sandang berkat kerja keras
dan kerja sama unsur-unsur di UNS tercinta ini.
3. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Kunardi Harjo¬prawira, M.Pd. yang tidak
jemu-jemunya menasihati saya untuk mengusulkan diri sebagai guru besar secara
loncat jabatan. Langkah selanjut¬nya, kami sangat dibantu oleh Prof. Drs.
Sukiyo dan Prof. Drs. Anton Sukarno yang dengan tulus
ikhlas banyak memberi saran dan bantuan demi mulusnya usulan saya. Terima
kasih juga kepada Mas Willy yang menata berkas-berkas usulan.
4. Rasa terima kasih kami sampaikan juga kepada kedua orang tua saya, yaitu Ny.
Dalinah Karja Subiyantara dan almarhum Bapak Karja Subiyantara. Bagi saya
pribadi, kedua orang tua saya itulah manusia paling luar biasa dan paling saya
kagumi. Merekalah yang telah mendidik saya dengan penuh pengor¬banan dan
deraan ujian yang bertubi-tubi, tetapi semua dapat dijalani dengan selamat.
Mereka pula yang mengajarkan kepada saya untuk (1) tegar dalam berjuang (2)
teguh dalam meng¬hadapi tantangan, (3) rendah hati terhadap sesama,
serta (4) tidak takut untuk hidup prihatin.
5. Terima kasih juga kepada leluhur kami di alam kubur (yaitu mbah Kakung/Gimin
Karto Pawiro dan Pak Uwo/Marjan Marto Sentono) yang saya jelas-jelas merasakan
juga getaran kehadiran arwahnya di sini. Leluhur kami adalah keluarga petani
sederhana di desa. Saya melihat di mata batin saya, mereka tersenyum bangga
karena salah seorang cucunya dimuliakan Allah untuk berdiri di hadapan hadirin
dalam pengukuhan sebagai seorang guru besar di tempat sejauh sekitar 87
kilometer dari sebuah amben tempat kelahiran saya, di sebuah dusun kecil di
lereng Merapi, di kabupaten Sleman. Terima kasih kepada Bulik Jimah, Mas Dodo,
dan Pak Dhe Bud yang semasa saya kuliah banyak memberikan bantuan untuk
keberhasilan kuliah saya. Demikian juga kepada Mbakyu Asri dan Tabi.
6. Terima kasih pula kepada keluarga mertua (Bapak Tukiman dan Ibu Rubi) dan adik-
adik ipar yang banyak memberi bantuan untuk kesuksesan keluarga kami. Demikian
juga kepada almarhum Dodi Slamet Widodo SE yang banyak memberikan bantuan
ketika saya melakukan riset S3 di Jakarta.
7. Terima kasih pula kepada guru-guru saya, baik guru-guru di sekolah formal
(dari TK sampai Pascasarjana) maupun guru-guru spiritual yang membekali
ngelmu ”sejatining ngaurip” dan ”ngaurip sejati” sebagai bekal saya meniti
kehidupan.
8. Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. D.
Edi Subroto dan Drs. Sawu, S.U. Kedua beliau inilah yang menganjurkan dan
mendukung saya untuk mendaftarkan diri menjadi dosen di UNS pada tahun 1988.
9. Terima kasih juga kepada almarhum Prof. Dr. H. Suwito yang pada waktu itu
menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra, yang dalam perkenalan kami yang
singkat, telah memberi nasihat untuk tidak berhenti dalam melanjutkan studi.
Terima kasih juga kepada Bapak F.X. Soehardjo, yang pada periode beliau
menjadi ketua jurusan selalu mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi.
10. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Soeratno (promotor) dan
Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo (kopromotor) dari Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada yang telah ”melahirkan” saya sebagai doktor ilmu
budaya dan dengan gelar itu mempermudah saya mencapai jabatan guru besar.
11. Terima kasih juga kepada segenap redaksi Humaniora (Fakul¬tas Ilmu Budaya
UGM), Varidika (FKIP Universitas Muham¬madiyah Surakarta), SENI (ISI Yogya),
Kajian Linguistik dan Sastra (UMS) yang telah memuat tulisan saya di majalah
terakreditasi DIKTI yang menjadi salah satu syarat untuk dapat diusulkan
sebagai guru besar secara loncat jabatan.
12. Terima kasih kepada Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah
memberi beasiswa kepada saya melalui TMPD (S2) dan BPPS (S3) sehingga sangat
meringankan saya dalam mengikuti studi lanjut yang secara akumulatif telah
menjadi bagian terpenting dalam pengusulan guru besar.
13. Terima kasih juga kepada segenap pimpinan Masyararakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa) dan Oral Tradition Asso¬ciation (Masyarakat Tradisi Lisan) sebagai
organisasi profesi internasional yang telah ikut berjasa membentuk karakter
ilmiah saya dan memberi saya berbagai fasilitas dan sumbangan dana guna
pengembangan karir ilmiah saya. Terima kasih pula kepada Penerbit PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Badan Penerbit Sastra Indonesia, Jurnal Nuansa
Indonesia, Jurnal Etonografi, Jurnal Haluan Sastra, Jurnal Artikulasi dan
penerbit lainnya yang telah menerbitkan tulisan saya yang secara keseluruhan
memberikan nilai yang cukup tinggi untuk memperoleh angka kredit bagi
pengusulan ke guru besar.
14. Selanjutnya, yang sangat bermakna bagi hidup saya adalah ucapan terima kasih
saya kepada istri saya tercinta, Dra. Hj. Sri Mulyati, M.Hum sebagai teman
seperjalanan dalam panas dan hujan. Terima kasih atas segala pengertian yang
karena tugas saya harus berhari-hari meninggalkan rumah. Juga kepada keempat
anak saya tersayang, Insyirah Anwari, Umar Sidiq Syaifuddin, Hisyam Syaiful
Fatah, dan Khalid Alim Jauhari. Merekalah permata hati saya dan harapan
generasi masa depan saya. Tanpa pengertian dan dorongan mereka, tentu saya
tidak dapat menjalankan tugas sampai mencapai jabatan yang setinggi ini. Dan
tentunya jabatan ini tidak akan bermakna bila tidak mengantarkan kami ke dalam
kehidupan yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Saya menyadari bahwa jabatan ini
mengandung tanggung jawab yang besar yang harus saya pikul. Karena itu, saya
memohon doa hadirin semuanya, semoga jabatan yang mulia ini dijadikan Allah
sebagai sarana saya manembah dan ngibadah kepada Allah.
15. Terima kasih saya haturkan kepada segenap Panitia Pengu¬kuhan Guru Besar yang
telah menyelenggarakan acara ini dengan usaha yang maksimal.
16. Terima kasih pula kepada segenap wartawan yang meliput acara ini dan
memberitakan kepada khalayak yang lebih luas.
17. Akhirnya, saya haturkan terima kasih atas kehadiran dan kesabaran hadirin yang mulia untuk dalam mendengarkan pidato ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf bila ada hal yang tidak berkenan.
Alhamdulillahirabil'alamin.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara.
Casparis, J.D. 1975. De. Indonesia Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 . Leiden: E.J. Brill.
Dipodjojo, Asdi S. 1966. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Hussein, Ismail. 1974. The Study of Traditional Malay Literature with A Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.
Jusuf, Jumsari. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Khadiz, Antar Venus. 2003. “Jepang dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu Pendekatan Komunikasi Antar Budaya”. dalam Deddy Mulyana dkk. Komuniasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisus.
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff.
Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson . 1974. Scribes and Scholars : A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press.
Situmorang, T.D. dan Teeuw, A. 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Soeratna, Siti Chamamah. 2003. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: BPSI
Weddha Tama Jinarwa. Surakarta: Cendrawasih
Sumber : UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
SUMBANGAN FILOLOGI DALAM PENYUSUNAN STRATEGI KEBUDAYAAN INDONESIA
Pidato Guru Besar
Prof. Dr. H. BANI SUDARDI, M.Hum.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua
Yang terhormat.:
1. Bapak Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan para anggota Senat Universitas
Sebelas Maret.
2. Para Pejabat Pemerintah, baik sipil maupun militer
3. Para Ketua Lembaga, Kepala Biro, dan Ketua UPT di lingkungan Universitas
Sebelas Maret.
4. Para Dekan, Pembantu Dekan, Ketua Jurusan, Kepala Labo¬ra¬¬¬torium, Kepala
Bagian, Kepala Tata Usaha, dan Kasubbag di lingkungan Universitas Sebelas Maret
5. Para Dosen, Mahasiswa, serta Civitas Akademika Univer¬sitas Sebelas Maret
6. Para Tamu Undangan, Sanak Keluarga, dan handai taulan
7. Para wartawan, baik cetak maupun elektronik, yang meliput acara ini.
Marilah kita bersama-sama senatiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi kita karunia yang tak terbilang.
Pada awal Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Sidang Senat Terbuka, Universitas Sebelas Maret ini, izinkahlah saya mengung¬kapkan rasa syukur dan kegembiraan hati dengan cara memanjat¬kan puji syukur ke hadirat Allah dan menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional yang telah menghargai jerih payah, prestasi, dan potensi diri saya yang sejak 1 April 2006 telah mengangkat saya sebagai guru besar Filologi di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, secara loncat jabatan.
Selanjutnya, dalam rangka memenuhi tradisi akademik yang mulia lagi terpuji, dalam pidato pengukuhan guru besar ini, saya akan menyampaikan sumbangan pemikiran dan pandangan akade¬mik saya yang berjudul ”SUMBANGAN FILOLOGI DALAM PENYUSUNAN STRATEGI KEBUDAYAAN INDO¬NESIA”.
1. Pengertian Filologi
Di antara para hadirin tentu ada yang menyeruak pertanyaan dari dalam hati sanubari: ”Apakah gerangan yang dimaksud Filologi itu?” Filologi adalah cabang ilmu budaya berupa disiplin ilmu yang berorientasi pada naskah-naskah klasik. Sebagai disiplin ilmu, Filologi merupakan ilmu yang cukup tua. Setidaknya pada abad ke-3 sebelum Masehi, ilmu ini sudah berkembang di Iskandariyah, Yunani Kuna.
Secara etimologis, filologi dari bahasa Latin philos dan logos. Philos berarti cinta dan logos berarti kata. Filologi berarti “cinta kata”. Sebagai disiplin ilmu, ciri khas Filologi memang selalu berkutat pada hal-hal yang berkaitan dengan kata dan makna¬¬nya. Karena kata yang tersusun menjadi teks mengandung aneka pengetahuan yang luas, maka dewasa ini pengertian filologi di ber¬bagai tempat di dunia sering berbeda-beda (Sudardi, 2003: 5-6).
Di Indonesia filologi diartikan sebagai disiplin ilmu pengeta¬huan yang mempelajari kebudayaan masa lalu suatu bangsa melalui teks-teks klasik tertulis. Pengertian ini mirip pengertian yang ber¬kembang di negeri Belanda. Hal ini patut kita pahami karena sebagian perintis kegiatan filologi di Indonesia adalah orang-orang Belanda.
Kegiatan filologi berawal di Iskandariyah. Pusat kegiatan filologi tersebut berada di museum yang waktu itu merupakan tempat sakral. Museum berarti kuil untuk Dewi Muses. Menurut mitologi Yunani, Dewi Muses merupakan dewi kesenian dan ilmu pengetahuan (Reynold dan Wilson, 1968: 6). Pada masa itu, di Museum Iskan¬dariyah, terdapat kegiatan pengkajian terhadap naskah-naskah klasik. Salah satu tokoh yang disegani di Museum adalah Eratosthenes (295-214 sebelum Masehi). Ia banyak memiliki ilmu pengetahuan dan dikenal sebagai ahli sastra. Perpustakaan di Museum yang dikelolanya diperkirakan menyimpan 200 sampai 490 naskah. Kegiatan Filologi di tempat itu ialah menyimpan, mengoreksi, mengkopi, dan menyelamat¬kan naskah-naskah kuna. Berkat jasa Eratosthenes dan kawan-kawannya, teks-teks klasik Yunani Kuna dapat ditemukan sampai sekarang dalam keadaan yang baik (Reynold dan Wilson, 1968: 7-8).
Kegiatan Filologi pada saat itu mencakup semua bidang studi sehingga dapat dianggap sebagai studi kebudayaan secara umum karena yang dikaji adalah berbagai ilmu pengetahuan. Ahli Filologi di masa Yunani ini benar-benar sebagai ilmuwan yang mumpuni karena mengetahui hampir semua pengetahuan pada masanya.
2. Objek Penelitian Filologi
Telah diuraikan bahwa filologi mempelajari kebudayaan masa lalu melalui teks-teks tertulis. Teks-teks tertulis di atas suatu bahan yang disebut naskah. Jadi, objek penelitian filologi adalah teks dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai budaya.
Di dalam filologi dengan jelas dibedakan pengertian teks dan naskah. Teks adalah sesuatu yang tertulis yang berupa kode-kode bahasa. Teks dapat berupa teks lisan, teks tertulis, teks rekaman, dan sebagainya.Naskah adalah benda material tempat suatu teks dituliskan.
Filologi dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu budaya tentang masa lalu seperti paleografi, arkeologi, dan sejarah. Hanya saja di sini tampak perbedaan objek kajian. Paleografi mengkhususkan pada kajian tentang tulisan-tulisan kuna. Arkeologi meneliti benda-benda budaya dari masa lampau, sementara sejarah meneliti peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Filologi meneliti teks-teks masa lampau yang tertulis di atas naskah. Hal ini karena ada juga teks-teks masa lampau yang tidak tertulis di atas naskah, melainkan tertulis di media lain seperti prasasti yang tertulis di atas batu dan teks-teks lisan. Pengkhususan objek kajian pada teks-teks klasik tertulis dimaksudkan untuk membatasi lingkungan kerja agar beban yang disandang tidak terlalu berat dan kajian yang dilakukan dapat dikerjakan secara mendalam.
Perlu disadari bahwa untuk memahami teks-teks klasik, pem¬baca harus menghadapi beberapa kendala seperti jenis tulisan yang sudah tidak digunakan, bahasa yang mempunyai langgam berbeda, makna kata yang berubah, dan perubahan nilai-nilai budaya. Sebagai misal, kata ”cinta” yang dewasa ini bermakna ’suka sekali, sayang benar’, di dalam bahasa Melayu klasik kata ’cinta’ bermakna susah hati atau risau” (Alwi dkk., 2001: 215). Kata ”ranjau” yang sekarang berkonotasi dengan peledak dalam peperangan modern, dalam bahasa Melayu klasik bermakna sebagai ’pancang bambu atau besi untuk menjebak musuh atau binatang, (Alwi dkk, 2001: 931).
3. Tujuan Filologi
Sebagai suatu kegiatan filologi mempunyai tujuan tertentu di dalam bekerja. Secara garis besar tujuan filologi ialah memahami suatu kebudayaan masa lalu melalui teks tertulis (naskah). Filologi juga mempunyai tujuan khusus, yakni mendeskripsikan dan menya¬jikan suatu teks tertulis di dalam naskah dalam wujud yang paling tepat. Filologi mempunyai tugas untuk menjabarkan ide-ide, gagasan, peristiwa, dan pandangan hidup. Filologi berusaha mema¬hami sejauh mungkin kebudayaan masa lalu suatu bangsa melalui hasil sastranya (Baried dkk., 1985:5). Pengertian sastra di sini dalam arti yang luas berupa penyajian ilmu pengetahuan melalui bahasa (tekstual) yang di dalamnya berisi berbagai infor¬masi masa lalu seperti pandangan hidup, sastra, bahasa, sejarah, seni, religi, kepercayaan, adat istiadat, pengobatan, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, konsep sastra di sini mencakup segala sesuatu yang menggunakan bahasa dengan cara yang kreatif (Hussein, 1974: 12). Untuk mencapai tujuan tersebut, Filologi beru¬saha menyajikan teks (menyunting) setepat mungkin dengan cara melakukan penelitian secara seksama sesuai dengan dasar-dasar teoretis yang digunakan. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, Filologi juga berkewajiban mengungkap sejarah terjadi¬nya teks dan sejarah perkembangannya serta mengungkapkan resepsi (tang¬gapan) pembaca pada setiap kurun penerimaan (Baried, 1985: 6).
4. Relevansi Studi Filologi
Naskah klasik sering sudah tidak dikenal oleh masyarakat¬nya. Untuk membaca dan mengkajinya perlu waktu bersuntuk-suntuk, sementara masyarakat pemiliknya kadangkala sudah tidak memperhatikan lagi. Sebagai contoh, naskah klasik Jawa yang jumlahnya ribuan eksemplar mungkin sudah tidak dikenal lagi oleh generasi muda Jawa dewasa ini, bahkan kemungkinan besar mayo¬ritas generasi muda Jawa tidak memahami dengan baik tulisan Jawa (ha na ca ra ka). Ironisnya, seringkali orang-orang asing yang jauh dari negeri seberang yang lahir dari kebudayaan yang amat berbeda merelakan hidupnya untuk mempelajari naskah-naskah klasik kita, bahkan selanjutnya mereka menjadi guru-guru kita dalam menggali khasanah budaya masa lampau.
Pertanyaan yang mudah sekali muncul: Untuk apa naskah-naskah klasik dipelajari? Mempelajari naskah klasik memiliki relevansi secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawa¬nya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya (Soeratno, 2003). Secara praktis, Filologi juga dapat membantu menyediakan bahan-bahan bagi tujuan praktis seperti menyusun gambaran masa lampau untuk kepentingan per¬satuan, mencari nilai-nilai luhur masa lalu, membangun kebuda¬yaan, mencari inspirasi, dan sebagainya. Beberapa konsep yang sekarang kita kenal betul sebenarnya bersumber dari teks-teks klasik seperti bhineka tunggal ika, Pancasila, nusantara, adigang-adigung adiguna, tirakatan, dan sebagainya. Pengetahuan sejarah Indonesia masa lampau juga kita peroleh dengan agak lengkap berkat naskah-naskah klasik, misalnya tentang petualangan Ken Arok yang fantastis (Pararaton), kebesaran Majapahit (Negara kerta¬gama), masuknya Islam ke Aceh (Hikayat Raja-Raja Pasai), hubungan Jawa dan Kalimantan (Hikayat Banjar), ajaran Hamzah Fansuri dan Seh Siti Jenar, dan lain-lain. Pada kesempatan ini, akan dipaparkan mengenai urgensi studi filologi dalam rangka me¬nyusun strategi kebudayaan Indonesia.
5. Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan adalah suatu usaha manusia untuk menemu¬kan jawaban-jawaban tepat dan sikap yang paling dapat dipertanggungjawabkan mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia (Peursen, 1976: 19). Strategi kebudayaan bersifat abstrak yang menjiwai berbagai aktivitas keseharian. Strategi kebudayaan merupakan suatu hal yang dinamis dengan seiring tantangan-tantangan budaya yang muncul di masyarakat.
Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita kancil di Jawa yang dikenal suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat Jawa. Cerita tersebut merupakan bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara (Dipodjojo, 1966).
Cerita kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebu¬da¬yaan orang Jawa yang tidak suka konflik terbuka dan tidak ber¬terus terang. Di dalam budaya Jawa, menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis.
a. Menipu yang mulia yang disebut dora sembada (menipu untuk membela kebaikan dan
kebenaran).
b. Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa kebe¬run¬tungan yang dikenal
goroh nguripi. Perbuatan ini adalah per¬buatan pedagang dalam membujuk
pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan.
c. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misal¬nya sebenarnya
lapar, tetapi menyatakan kenyang, me¬nyata¬¬kan nggih (ya), tetapi sebenarnya
tidak, dan sebagainya.
d. Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh
tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan pribadi seperti
tercermin dalam ungkapan ”timbang mati ngantuk luwung mati umuk” (dari¬pada
mati mengantuk lebih baik mati sombong.
e. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama.
Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap perbuatan yang tidak dapat dimaafkan.
Demikian contoh kecil strategi kebudayaan yang diambil dari budaya Jawa. Bagi orang yang belum memahami budaya Jawa, perbuatan ”menipu” seperti itu mungkin dianggap perbuatan yang sangat menjengkelkan, tetapi bagi orang Jawa dianggap sesuatu yang biasa, wajar, bahkan termasuk kesopanan.
Sementara itu, pelanduk (kancil Melayu) yang bergelar Syah Alim Dirimba tidak lain merupakan refleksi strategi budaya Melayu yang condong ke falsafah Islam seperti tercermin dalam pepatah ”adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Artinya, adat Melayu berdasarkan pada syariat Islam, sementara syariat bersandar pada Al-Qur’an (Kitabullah). Karena itu, pelan¬duk Melayu fasih pula mensitir ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Strategi Kebudayaan Indonesia
Sebagai ilustrasi, kondisi strategi kebudayaan Indonesia budaya kita dewasa ini tampak belum menemukan format yang mantap. Dewasa ini, kebudayaan kita kehilangan orientasi yang berakibat timbulnya kebingungan di masyarakat. Masyarakat kita dijejali dengan konsep-konsep strategis yang tidak memiliki akar budaya dan menimbulkan interpretasi baru. Beberapa konsep seperti demokrasi, reformasi, otonomi, yang dewasa ini menjadi vital dalam orientasi kebudayaan Indonesia pada hakikatnya tidak betul-betul dipahami karena sebenarnya konsep tersebut berakar pada lingkungan budaya yang berbeda dan latar belakang sejarah yang berlainan. Baik di lapisan atas maupun lapisan bawah, pemahaman konsep-konsep tersebut semakin kabur. Demokrasi akan dimaknai sebagai ”hukum rimba”, yakni yang banyak anggota¬¬nya harus menang dan benar, reformasi berarti boleh melanggar hukum, melanggar norma, merusak tatanan, otonomi diartikan milik negara boleh dijadikan milik pribadi atau golongan.
Bangsa kita dewasa ini juga terjebak dalam paradoks-para¬doks, misalnya kita menolak pornografi dan pornoaksi, tetapi menolak apabila hal tersebut diatur dalam undang-undang. Pemi¬kiran budaya kita juga terjebak pada cara, bukan pada esensi. Yang namanya demokrasi, reformasi, otonomi, HAM (Hak Azasi Manusia), dan konsep-konsep lain dari luar sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi idiil. Di Indonesia cara tersebut hendak¬nya digunakan untuk menuju cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang terukir indah di dalam PANCASILA. Artinya, apa pun yang kita lakukan hendaknya diarahkan pada tercapainya kondisi idiil dalam Pancasila seperti berketuhanan yang mahaesa, ber¬kemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial”. Sebagai suatu cara, kita boleh memilih alternatif dan tidak menjadikan konsep-konsep asing sebagai ”agama baru” dengan harga mati. Alternatif yang paling sesuai ialah alternatif yang bersumberkan pada nilai-nilai luhur budaya Indonesia sendiri.
Sebagai ilustrasi patut diingat bahwa majelis kekuasaan tertinggi bangsa Indo¬nesia adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sesuai dengan nama¬nya unsur musyawarah hendaknya menjadi semangat. Hal ini sesuai dengan semangat luhur bangsa kita seperti dalam pepatah ”bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Untuk bisa men¬capai mufakat, harus terbentuk internalisasi diri atau pengendapan rohaniah seperti terungkap dalam pepatah Jawa ”bisa rumangsa, ora rumangsa bisa” (mampu berintstropeksi dan tidak menonjol¬kan diri”. Capaian mufakat merupakan sesuatu yang sangat bernilai daripada model voting, misalnya, karena mufakat lebih terasa ”nguwongke” (menghargai) dan sangat sesuai dengan prinsip ”kema¬¬nusiaan yang adil dan beradap”. Kemampuan mencapai mufakat merupakan cerminan dari ”kelonggaran hati dan kebesaran jiwa”. Orang yang berpikiran picik dan mementingkan diri sendiri tentu tidak akan mampu membangun esensi kemufakatan, yaitu terbentuknya harmoni baru yang menyejukkan.
Dewasa ini diperlukan kaji ulang mengenai berbagai pelak¬sanaan strategi budaya di segala bidang. Sebagai misal, budaya demokrasi yang pada mulanya diharapkan dapat menyelesaikan masalah bangsa, pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru. Demi demokrasi yang tidak betul-betul dipahami konsepnya oleh bangsa Indonesia, ternyata kita harus membayar mahal. Di samping biaya pesta demokrasi yang mahal dan melelahkan, kadang-kadang demokrasi menimbulkan dampak baru berupa terkotak-kotaknya bangsa ini dalam berbagai kelompok dan muncul¬nya permusuhan di kalangan rakyat. Sementara substansi demokrasi Pancasila yang mengedepankan ”hikmat kebijaksanaan” dan permusyawaratan menjadi semakin jauh dari kehidupan. Dalam kondisi demikian, pemikiran untuk membentuk masyarakat adil makmur akan terabaikan karena energi kita tersedot pada hal-hal yang bukan esensi.
Menurut hemat kami, bila bangsa Indonesia ingin maju dan tidak kehilangan energi untuk hal-hal yang tidak esensial, model strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan. Tampaknya kita perlu belajar dari bangsa Jepang. Tidak disangsikan bahwa dewasa ini Jepang telah mencapai kemajuan yang signifikan, tetapi strategi budaya yang dijalankan tetap berakar pada nilai-nilai asli bangsa tersebut. Sukses Jepang dalam percaturan bisnis global menjadi fenomena menarik untuk dikaji, bukan hanya oleh negara-negara berkem¬bang, melainkan juga oleh negara-negara maju. Bangsa Jepang memiliki kerangka 7 landasan dalam membangun budayanya, yaitu:
a. kompleksitas bahasa,
b. homogenistas ras dan budaya,
c. menjunjung harmoni,
d. sikap eksklusif,
e. kuatnya ikatan kelompok
f. komitmen kesejahteraan, dan
g. rasa superioritas (Khadiz, 2003: 205).
Perlu pula ditambahkan bahwa negara-negara yang suka meng¬gembar-gemborkan HAM dan demokrasi sekalipun, ternyata juga tidak konsisten memegang teguh prinsip tersebut. Serangan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak (dua negara berdaulat) adalah contoh nyata tentang hal itu.
7. Peran Filologi dalam Menyusun Strategi Kebudayaan
Peran Filologi dalam menyusun strategi kebudayaan Indo¬nesia pada dasarnya menyediakan bahan-bahan sebagai sarana refleksi dan instrospeksi. Filologi juga dapat membantu menggali nilai-nilai luhur sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik. Harus disadari bahwa bangsa Indoensia memiliki pengalaman dan sejarah masa lampau yang membentuk karakter. Tidak semua hal dari masa lampau sesuai dan baik untuk saat ini, tetapi beberapa di antaranya relevan dan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya:
a. Konsep Kepemimpinan
Krisis yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis kepemimpinan. Yang menjadi pusat perhatian kita hanyalah pada bagaimana ”memilih pemimpin” dan tidak menyinggung ”pemim¬pin yang bagaimana yang dipilih”. Naskah-naskah klasik mem¬berikan konsep pemimpin yang seharusnya ”hambeg adil para¬marta, bérbudi bawalekasana, bau denda nyakrawati” yang adil, murah hati, penyayang, taat menjalankan aturan, dan mampu menye¬lesaikan masalah”. Karena itu, gelaran raja Jawa adalah ”senapati ing alaga, amirul mukminin, kalifatuloh, sayidin panata¬gama” (panglima dalam peperangan. pimpinan orang beriman, penguasa kerajaan, pemimpin keagamaan”. Sementara itu, Sejarah Melayu menyatakan bahwa pemimpin adalah zilzullah fil alam (bayangan Allah di dunia). Sejarah Melayu menggambarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya berkasih sayang dengan bawahan¬nya. Sekali pemimpin berbuat aniaya pada bawahannya, maka itu sebagai tanda awal kehancurannya.
Nilai luhur ini di dalam Sejarah Melayu ini digambarkan dalam kisah ke-10, yaitu kisah tentang Singapura diserang ikan todak. Ikan todak adalah sejenis ikan cucut yang mampu naik ke darat dan menusuk manusia sehingga menimbulkan kematian. Men¬dapat serangan ikan ini, Raja Singapura menjadi bingung. Datanglah seorang anak yang memberi nasihat bahwa untuk mengalah¬kan ikan todak harus digunakan perisai dari batang pisang. Dengan cara itu, moncong ikan todak akan menancap di batang pisang sehingga tidak membahayakan lagi.
Pikiran anak yang kreatif tersebut justru menimbulkan iri hati dan kekhawatiran. Anak itu kemudian dibunuh oleh Raja Singapura. Pembunuhan ini merupakan awal hancurnya Singapura.
”Syahdan maka budak (= anak, pen) itupun disuruh bunuh oleh baginda, menjadi benar pada hatinya. Adapun tatkala budak itu dibunuh, maka hak rasanya ditanggungkan atas negeri Singapura” (Situmorang dan Teeuw, 1952: 75).
Kisah di atas menyampaikan pesan bahwa seorang pemim¬pin hendaknya mampu menerima pikiran-pikiran kreatif dari siapa pun dan tidak menerima dengan syak wasangka.
b. Alon-alon waton kelakon dan cukat trengginas kadya Srikatan nyamber walang
Ungkapan alon-alon waton kelakon sering dimaknai nega¬tif. Ungkapan tersebut sebenarnya merupakan salah satu bentuk strategi yang mencerminkan kesabaran. Hal ini dapat dilihat pada kisah dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut.
Danang Sutawijaya adalah seorang hamba Sultan Pajang. Karena kecerdasan otak dan kehalusan budinya, ia diangkat men¬jadi anak angkat Sultan Pajang. Babad Tanah Jawi menggam¬barkan kegigihan Danang Sutawijaya yang masih anak-anak dengan gagah berani melawan Harya Penangsang yang sakti. Dengan cara tersebut Danang Sutawijaya berhasil memenangkan sayembara memperoleh Alas Mentaok (Hutan Mentaok) yang angker kemudian bergelar Panembahan Senopati. Dengan sabar ia membangun hutan menjadi perdikan dan dengan sabar ia mem¬bina hubungan baik dengan penguasa di sekitarnya sehingga banyak penguasa takluk bukan karena perang, ”hamung kayungyun marganing kautaman” (hanya tertarik pada kebaikannya). Panembahan Sena¬pati menempuh hal tersebut dengan sabar (alon-alon waton kelakon). Ketika situasi memungkinkan, maka dengan cepat Panem¬bahan Senopati mendirikan dinasti Mataram yang sampai saat ini masih dapat disaksikan kemegahannya dengan Kraton Yogya, Kraton Surakarta, Pura Pakualaman, Pura Mangku¬negaran yang kesemuanya mengaku sebagai keturunan Panembahan Sena¬pati atau ”Darah Mataram”.
Kisah tersebut merupakan gambaran yang patut dicontoh bahwa dalam mencapai cita-cita kesabaran memang perlu. Panem¬bahan Senapati membangun Mataram dengan penuh kesabaran, tetapi pada saat-saat diperlukan ia mampu bertindak gesit yang digambarkan sebagai ”cukat trengginas kadya srikatan nyamber walang”.
Kalau sementara ini dikatakan bahwa Panembahan Senapati mengawini Ratu Kidul, yang patut dicatat adalah kronologi kisah yang disebutkan bahwa Ratu Kidul merasa kalah wibawa dengan Panembahan Senapati lalu Ratu Kidul mengabdi kepada¬nya. Serat Wedhatama menyebutkan ”pamrihe mung ameminta, supangate teki teki, nora ketang teken janggut suku jaja” (maksud¬nya hanya meminta, manfaat laku prihatin, meskipun dengan susah payah).
Karena itu, kalau dewasa ini ada orang-orang yang pergi ke Laut Selatan untuk meminta atau memuja pada Ratu Kidul, dari segi kebudayaan merupakan kemunduran dari apa yang telah dicapai pendahulu raja Mataram yang merupakan tuladha laku utama (contoh baik).
c. Membangun Keserasian
Membangun keserasian adalah salah satu strategi kebuda¬yaan yang patut ditanamkan pada tata kehidupan kita. Harmoni merupakan konsep yang sesuai dengan akar budaya Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kisah-kisah klasik yang menekankan penting¬nya harmoni. Di dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Ras, 1968) dikisahkan tentang Ampu Jatmaka yang tidak mau menjadi raja. Untuk membangun kerajaan dicarilah calon penurun raja. Calon permaisuri diperoleh dari bayi yang berada di air di atas buih yang bernama Putri Jumjum Buih. Calon raja diperoleh dari anak mata¬hari yang berasal dari Majapahit bernama Suryanata. Cerita ini menyiratkan bahwa untuk membangun kebudayaan yang kokoh harus dapat membangun harmoni. Dalam kisah di atas digambar¬kan harmoni yang diharapkan berupa perpaduan air (buih), tanah (tempat kerajaan), dan udara-api (matahari). Dengan kata lain, untuk membangun negara yang kokoh, persatuan dan kesatuan merupakan modal utama. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari suatu negara yang selalu kisruh.
d. Perencanaan dan Manajemen yang baik
Manajemen merupakan hal yang sangat vital dalam strategi kebudayaan. Secara kasat mata, dewasa ini banyak terjadi pemborosan di segala bidang karena manajemen yang tidak baik. Di dalam Hikayat Mahsyud Hak digambarkan bahwa tanpa manajemen yang baik, apalagi hanya didasari emosi, maka rencana dan cita-cita akan kandas berantakan.
Dikisahkan ada seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya. Ketika kekasihnya digigit nyamuk di kakinya, karena emosi pemuda tersebut mengambil kapak untuk membunuh nyamuk di kaki kekasihnya. Yang terjadi, nyamuk bisa lolos sementara kekasihnya kehilangan satu kaki. Kisah lain menyebut¬kan seorang hamba yang dipercaya menjaga lumbung majikannya. Ketika ia melihat seekor tikus bersembunyi dan makan di dalam lumbung, maka dengan emosi dibakarnya lumbung tersebut dengan maksud membakar tikus yang ada di dalamnya. Hasilnya, lumbung yang seharusnya dijaga justru lenyap menjadi abu (Jusuf dkk, 1984).
e. Pentingngnya Ilmu Pengetahuan
Asal mula budaya Jawa dan huruf Jawa di dalam naskah Jawa klasik bersumber dari cerita Aji Saka. Karena besarnya pengaruh cerita ini, tempat seperti Bledug Kuwu dipercaya munculnya pada zaman Aji Saka. Tahun Jawa juga disebut Tahun Saka. Tiang utama penyangga rumah Jawa disebut Saka Guru. Di dalam cerita Aji Saka disebutkan adanya raja asli Jawa bernama Dewata Cengkar. Raja ini tidak berbudaya dan kanibal. Aji Saka menewas¬kan raja ini dengan cara disuruh menggelar surban (penutup kepala). Surban Aji Saka mengembang sampai Laut Selatan. Di pinggir tebing laut Dewata Cengkar dikibaskan dan jatuh ke laut. Dewata Cengkar menjadi bajul (buaya) putih yang menjadi peng¬ganggu manusia
Cerita ini memberi gambaran bahwa pribumi akhirnya tersisih karena tidak memiliki ilmu pengetahuan yang disimbolkan “kalah dalam menggelar surban”. Relevansi bagi strategi kebu¬dayaan bahwa bangsa Indonesia apabila tidak memiliki ilmu pengetahuan akhirnya hanya akan menjadi bajul putih atau begajulan (berandalan) yang suka mengganggu orang saja. Alih ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang strategis dalam strategi kebudayaan dewasa ini.
Demikian uraian mengenai sumbangan Filologi bagi penyu¬sunan strategi kebudayaan Indonesia. Harapan saya, semoga pidato ini mampu menggugah kita semua untuk menengok kembali kekayaan rohani bangsa kita yang saat ini tersimpan di dalam naskah-naskah klasik dalam rangka membangun kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian kita. Semoga pidato ini juga menumbuhkan minat di kalangan mahasiswa untuk mau menekuni naskah-naskah klasik. Kondisi yang memprihatikan di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS ialah bahwa mahasiswa yang tertarik menekuni studi filologi setiap tahunnya hanya satu dua orang saja.
Hadirin yang saya hormati,
Pada penghujung pidato pengukuhan guru besar ini izin¬kan¬lah saya mengungkapkan hal-hal yang sifatnya pribadi dalam rangka mengungkapkan rasa syukur kepada Allah dan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang dijadikan Allah sebagai perantara saya mencapai kedudukan guru besar ini.
1. Sekali lagi, terima kasih kami sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia
melalui Menteri Pendidikand Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A. yang
telah menetapkan diri saya sebagai guru besar Ilmu Filologi secara loncat
jabatan.
2. Terima kasih juga kepada Bapak Rektor/Ketua Senat UNS dan para anggota Senat
Universitas, Bapak Dekan dan Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Sastra dan
Seni Rupa, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia, Segenap
Anggota Senat Fakultas dan Universitas, tim CCP, dan kawan-kawan seprofesi
yang telah mengusulkan dan memperjuangkan saya untuk men¬duduki jabatan yang
mulia ini. Saya sadar betul bahwa jabatan ini saya sandang berkat kerja keras
dan kerja sama unsur-unsur di UNS tercinta ini.
3. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Kunardi Harjo¬prawira, M.Pd. yang tidak
jemu-jemunya menasihati saya untuk mengusulkan diri sebagai guru besar secara
loncat jabatan. Langkah selanjut¬nya, kami sangat dibantu oleh Prof. Drs.
Sukiyo dan Prof. Drs. Anton Sukarno yang dengan tulus
ikhlas banyak memberi saran dan bantuan demi mulusnya usulan saya. Terima
kasih juga kepada Mas Willy yang menata berkas-berkas usulan.
4. Rasa terima kasih kami sampaikan juga kepada kedua orang tua saya, yaitu Ny.
Dalinah Karja Subiyantara dan almarhum Bapak Karja Subiyantara. Bagi saya
pribadi, kedua orang tua saya itulah manusia paling luar biasa dan paling saya
kagumi. Merekalah yang telah mendidik saya dengan penuh pengor¬banan dan
deraan ujian yang bertubi-tubi, tetapi semua dapat dijalani dengan selamat.
Mereka pula yang mengajarkan kepada saya untuk (1) tegar dalam berjuang (2)
teguh dalam meng¬hadapi tantangan, (3) rendah hati terhadap sesama,
serta (4) tidak takut untuk hidup prihatin.
5. Terima kasih juga kepada leluhur kami di alam kubur (yaitu mbah Kakung/Gimin
Karto Pawiro dan Pak Uwo/Marjan Marto Sentono) yang saya jelas-jelas merasakan
juga getaran kehadiran arwahnya di sini. Leluhur kami adalah keluarga petani
sederhana di desa. Saya melihat di mata batin saya, mereka tersenyum bangga
karena salah seorang cucunya dimuliakan Allah untuk berdiri di hadapan hadirin
dalam pengukuhan sebagai seorang guru besar di tempat sejauh sekitar 87
kilometer dari sebuah amben tempat kelahiran saya, di sebuah dusun kecil di
lereng Merapi, di kabupaten Sleman. Terima kasih kepada Bulik Jimah, Mas Dodo,
dan Pak Dhe Bud yang semasa saya kuliah banyak memberikan bantuan untuk
keberhasilan kuliah saya. Demikian juga kepada Mbakyu Asri dan Tabi.
6. Terima kasih pula kepada keluarga mertua (Bapak Tukiman dan Ibu Rubi) dan adik-
adik ipar yang banyak memberi bantuan untuk kesuksesan keluarga kami. Demikian
juga kepada almarhum Dodi Slamet Widodo SE yang banyak memberikan bantuan
ketika saya melakukan riset S3 di Jakarta.
7. Terima kasih pula kepada guru-guru saya, baik guru-guru di sekolah formal
(dari TK sampai Pascasarjana) maupun guru-guru spiritual yang membekali
ngelmu ”sejatining ngaurip” dan ”ngaurip sejati” sebagai bekal saya meniti
kehidupan.
8. Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. D.
Edi Subroto dan Drs. Sawu, S.U. Kedua beliau inilah yang menganjurkan dan
mendukung saya untuk mendaftarkan diri menjadi dosen di UNS pada tahun 1988.
9. Terima kasih juga kepada almarhum Prof. Dr. H. Suwito yang pada waktu itu
menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra, yang dalam perkenalan kami yang
singkat, telah memberi nasihat untuk tidak berhenti dalam melanjutkan studi.
Terima kasih juga kepada Bapak F.X. Soehardjo, yang pada periode beliau
menjadi ketua jurusan selalu mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi.
10. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Soeratno (promotor) dan
Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo (kopromotor) dari Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada yang telah ”melahirkan” saya sebagai doktor ilmu
budaya dan dengan gelar itu mempermudah saya mencapai jabatan guru besar.
11. Terima kasih juga kepada segenap redaksi Humaniora (Fakul¬tas Ilmu Budaya
UGM), Varidika (FKIP Universitas Muham¬madiyah Surakarta), SENI (ISI Yogya),
Kajian Linguistik dan Sastra (UMS) yang telah memuat tulisan saya di majalah
terakreditasi DIKTI yang menjadi salah satu syarat untuk dapat diusulkan
sebagai guru besar secara loncat jabatan.
12. Terima kasih kepada Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah
memberi beasiswa kepada saya melalui TMPD (S2) dan BPPS (S3) sehingga sangat
meringankan saya dalam mengikuti studi lanjut yang secara akumulatif telah
menjadi bagian terpenting dalam pengusulan guru besar.
13. Terima kasih juga kepada segenap pimpinan Masyararakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa) dan Oral Tradition Asso¬ciation (Masyarakat Tradisi Lisan) sebagai
organisasi profesi internasional yang telah ikut berjasa membentuk karakter
ilmiah saya dan memberi saya berbagai fasilitas dan sumbangan dana guna
pengembangan karir ilmiah saya. Terima kasih pula kepada Penerbit PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Badan Penerbit Sastra Indonesia, Jurnal Nuansa
Indonesia, Jurnal Etonografi, Jurnal Haluan Sastra, Jurnal Artikulasi dan
penerbit lainnya yang telah menerbitkan tulisan saya yang secara keseluruhan
memberikan nilai yang cukup tinggi untuk memperoleh angka kredit bagi
pengusulan ke guru besar.
14. Selanjutnya, yang sangat bermakna bagi hidup saya adalah ucapan terima kasih
saya kepada istri saya tercinta, Dra. Hj. Sri Mulyati, M.Hum sebagai teman
seperjalanan dalam panas dan hujan. Terima kasih atas segala pengertian yang
karena tugas saya harus berhari-hari meninggalkan rumah. Juga kepada keempat
anak saya tersayang, Insyirah Anwari, Umar Sidiq Syaifuddin, Hisyam Syaiful
Fatah, dan Khalid Alim Jauhari. Merekalah permata hati saya dan harapan
generasi masa depan saya. Tanpa pengertian dan dorongan mereka, tentu saya
tidak dapat menjalankan tugas sampai mencapai jabatan yang setinggi ini. Dan
tentunya jabatan ini tidak akan bermakna bila tidak mengantarkan kami ke dalam
kehidupan yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Saya menyadari bahwa jabatan ini
mengandung tanggung jawab yang besar yang harus saya pikul. Karena itu, saya
memohon doa hadirin semuanya, semoga jabatan yang mulia ini dijadikan Allah
sebagai sarana saya manembah dan ngibadah kepada Allah.
15. Terima kasih saya haturkan kepada segenap Panitia Pengu¬kuhan Guru Besar yang
telah menyelenggarakan acara ini dengan usaha yang maksimal.
16. Terima kasih pula kepada segenap wartawan yang meliput acara ini dan
memberitakan kepada khalayak yang lebih luas.
17. Akhirnya, saya haturkan terima kasih atas kehadiran dan kesabaran hadirin yang mulia untuk dalam mendengarkan pidato ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf bila ada hal yang tidak berkenan.
Alhamdulillahirabil'alamin.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara.
Casparis, J.D. 1975. De. Indonesia Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 . Leiden: E.J. Brill.
Dipodjojo, Asdi S. 1966. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Hussein, Ismail. 1974. The Study of Traditional Malay Literature with A Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.
Jusuf, Jumsari. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Khadiz, Antar Venus. 2003. “Jepang dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu Pendekatan Komunikasi Antar Budaya”. dalam Deddy Mulyana dkk. Komuniasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisus.
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff.
Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson . 1974. Scribes and Scholars : A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press.
Situmorang, T.D. dan Teeuw, A. 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Soeratna, Siti Chamamah. 2003. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: BPSI
Weddha Tama Jinarwa. Surakarta: Cendrawasih
Sumber : UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
Langganan:
Postingan (Atom)