Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Senin, 22 Oktober 2012
Hermeneutika Sebagai Alat Tafsir Naskah.
Membaca naskah kuno tidak tertutup dari perbedaan penafsiran, apalagi sebuah naskah yang ditulis oleh seseorang akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan, pristiwa yang mempengaruhi seorang penulis atau pencatat sesuatu yang kini dianggap sebagai naskah kuno. Ada naskah yang merupakan gejolak protes seseorang atau kelompok atas sesuatu ketidak adilan, atau sebaliknya naskah yang ditulis untuk kepentingan penguasa dalam mempertahankan dan bahkan mengembangkan atau melebarkan (ekspansi) kekuasaannya itu. Kesimpangsiuran itu harus dijernihkan dengan memanfaatkan berbagai ilmu bantu.
Mempelajari naskah kuno memang membutuhkan beberapa ilmu bantu, antara lain “Hermeneutika" Walaupun masih simpangsiur dalam pendefinisiannya, namun dapat kita tarik persamaanya, bahwa bahasan hermeneutika ada diseputar pentakwilan atau penafsiran sebuah teks. Namun ilmu ini tidak disukai oleh para mufassir Al-Quran, karena ada kekhawatiran akan terjebak dalam subjektivitas, yang sering dialami oleh pengguna hermeneutika dalam menakwilkan sesuatu. Karena untuk memberikan keharmonian atas sebuah tafsir, lalu kehilangan abjektifitas. Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi."
Pengertian .
Akar kata hermeneutik dalam fi'il Yunani "hermeneuein" bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir). Dalam karya Aristoteles dijumpai kata peri hermeneids yang menyangkut pembahasan proposisi-proposisi dan kemudian dihubungkan dengan takwil.
Kata ini dalam bentuk isim juga dijumpai dalam teodhisi udipus di kulunus dan juga dalam karya-karya Plato. Kedua kata "hermeneuein" dan "hermeneid" ini di nisbahkan pada Tuhan pembawa pesan yunani bernama "Hermes" dan secara lahiriah kata tersebut diambil darinya, dan mungkin juga sebaliknya.Nama Hermes berhubungan dengan tugas mengganti apa yang di atas pemahaman manusia ke dalam suatu bentuk di mana fikiran dan akal manusia dapat memahaminya.
Hermes, menggagas ilmu untuk memindahkan pemikiran kepada orang lain dengan kata kata bahasa dan tulisan. Perkembangan lebih lanjut adalah bagaimana memahami gagasan orang lain dengan memanfaatkan kata kata dan tulisan yang ditinggalkannya. Oleh sebab itu, asas dan sumber kata hermeneutik mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini. Aktivitas perantara dan pemahaman "pesan" atau "berita" sudah mencitrakan nama Hermes, dan ini mempunya tiga aspek penting:
1.Menjelaskan kalimat-kalimat dengan suara keras yakni berkata atau berucap.
2.Menjelaskan dan menguraikan agar dapat terpahami dan disertai dengan argumen-argumen.
3. Menjelaskan seperti penerjemahan dari bahasa asing.
Ketiga aspek di atas bisa diartikan dalam bahasa inggris dengan fi'il "to interpret". Oleh karena itu, kata hermeneutic atau takwil mempunyai tiga aspek yang berbeda:
-Berkata
-Menjelaskan agar dapat dipahami
-Menerjemahkan
Dan ketiga tugas di atas oleh orang-orang Yunani dihubungkan dengan Hermes.
"Berkata lebih kuat daripada tulisan, sebab di dalam berkata terdapat kekuatan hidup makna-makna, yang dalam tulisan kekuatan tersebut bisa menjadi hilang."
Definisi Hermeneutik
Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.
1. Paul Richor mendefinisikan hermeneutik: "Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks."
2. Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan.
3. Andrew Bovy, hermeneutik adalah keahlian interpretasi.
4. Richard Polmer berpendapat bahwa defenisi-defenisi hermeneutik dapat disatukan meskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan ini diutarakannya setelah ia mengungkap enam macam definisi hermeneutik.
Simpulan.
1. Hermeneutik adalah teori penafsiran kitab suci (definisi yang paling tua);
2. Hermeneutik adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa (zaman renaisains);
3. Hermeneutik adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa (Schleiermacher);
4. Hermeneutik adalah dasar epistemologi untuk ilmu-ilmu humaniora (Wilhelm Dilthey);
5. Hermeneutik adalah fenomena eksistensi dan fenomena pemahaman eksistensi (Martin Heidegger);
6. Hermeneutik adalah sistem-sistem interpretasi (Paul Richoer).
Dan pada akhirnya Richard Polmer juga mendefinisikan hermeneutik sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemehaman teks.
Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu-ilmu Lainnya
1. Hermeneutik dan Epistemologi
Hermeneutik dan epistemologi ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia, keduanya mempunyai hubungan yang dekat. Tapi kedua ilmu ini juga tidak bisa dikatakan satu, atau salah satu dari keduanya dikembalikan pada lainnya (dasar yang lainnya). Sebab hermeneutik adalah menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, syarat-syarat serta kaidah-kaidahnya; sedangkan epistemologi mempunyai permasalahan lain seperti:
a. Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori, atau hissi (panca indra), empirik dan aposteriori, dan atau kedua-duanya dari itu?
b. Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?
c. Hubungan apa yang terjadi antara subyek dan obyek?
d. Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia? Akal, hissi atau wijdân ( hati nurani) atau semuanya?
Permasalahan-permasalahan di atas tidaklah dibahas dalam hermeneutik. Memang terkadang dalam epistemologi masalah syarat dan penghalang mendapatkan pengetahuan juga dibahas, pembahasan seperti ini juga bisa dikembangkan dalam hermeneutik, sebab itu pada dasarnya pembahasan ini mempunyai warna hermeneutik.
2. Hermeneutik dan Logika
Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berfikir dan memahami adalah satu. Tetapi ilmu logika dengan berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat, merupakan persiapan ilmu, di mana di seluruh metode-metode pemikiran dan ilmiah menjadi tolok ukur. Dan hal ini tidak terlepas (berlaku juga) pada seluruh metode-metode hermeneutik yang beraneka ragam, sebab dalam posisi mengambil konklusi dan berargumen, hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutik yang berdasar (berfokus) penyusun, berdasar teks, atau berdasar penafsir.
Dengan kata lain dalam ilmu hermeneutik terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis, dan tafsiran suatu karya seni, atau bahkan dalam suatu fenomena natural berlaku syarat-syarat atau kaidah-kaidah, dimana hal itu berhubungan dengan pandangan dunia penyusun, dan atau syarat-syarat natural serta sosiologi dimana karya tersebut dihasilkan, dan atau keadaan, ruh serta syarat-syarat pemikiran dan kebudayaan si penafsir. Pengaruh apa yang diberikan (positif atau negatif) terhadap penafsiran dan pemahaman manusia? Tapi adapun bagaimana karya-karya manusia mendapatkan sistem keteraturan dan bagaimana dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) dihasilkan konklusi tidaklah dijelaskan dalam ilmu hermeneutik, dan ini merupakan tanggungjawab ilmu logika shuri (formal).
3.Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu Bahasa (linguistik)
Dari satu sisi hermeneutik mempunyai hubungan dengan teks, sedangkan di sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Maka, kedua ilmu ini memiliki hubungan yang kuat. Masalah ini juga dalam hermeneutik klasik dan juga dalam hermeneutik modern, lebih khusus pada hermeneutik Gadamer sampai Gadamer memandang bahwa bahasa tidak hanya sebagai wasilah pindahnya pemahaman tetapi juga pemberi keberadaan pemahaman, dengan kata lain dia memandang esensi pemahaman adalah bahasa.
Oleh sebab itu, ilmu hermeneutik dan ilmu bahasa mempunyai hubungan kuat, tetapi tetap keduanya merupakan ilmu yang berbeda sebab masing-masing mempunyai subyek, metode dan tujuan khusus. Pada hakikatnya ilmu hermeneutik mengambil pendapat dari ilmu bahasa, dengan kata lain ilmu bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa mempunyai hubungan dengan ilmu hermeneutik sebagaimana hubungan ilmu logika dengan ilmu hermeneutik.
4.Hermeneutik dan Ilmu Tafsir
Tidak diragukan bahwa di dunia Islam pandangan hermeneutik juga mewarnai pikiran-pikiran para ulama Islam. Sebab jika kita melihat bahwa Nabi Saw. beliau juga bertugas dan berperan sebagai penjelas dan penafsir al-Qur'an itu sendiri.
Allamah Thaba-thabai dalam menghubungkan ayat ini:
"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr (al-Qur'an) kepadamu, supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah Kami turunkan kepada mereka. Dan semoga mereka menjadi orang-orang yang berpikir" (Q.S: an-Nahl :44)
kepada ayat:"Sebagaimana Kami telah mengutus pada kamu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah"
Berdalil dan berkata : sejarah penafsiran dimulai pada zaman turunnya al-Qur'an.
Jadi sesudah turunnya al-Qur'an, kaum Muslimin dengan seksama memperhatikan pemahaman dan penafsirannya dan para sahabat Nabi Saw. menjadi penafsir dan orang yang mengetahui pada pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dimana Imam Ali As. merupakan yang terbaik di antara mereka.
Setelah berlalu zaman dan semakin jauh dari masa turunnya wahyu maka kebutuhan kaum Muslimin terhadap penafsiran, pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dirasakan lebih besar lagi. Dan ini menyebabkan perhatian ulama islam terhadap ilmu tafsir semakin tinggi sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang banyak di dunia Islam.
Dalam sejarah Ilmu tafsir di dunia Islam terdapat tiga metode tafsir umum:
1. Tafsir al-Qur'an dengan riwayat.
2. Tafsir al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan manusia
3. Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.
Kaidah Hermeneutik
1. Prinsip Makna dalam Teks
Para pemikir Islam (Penafsir, Ahli Fiqh, Teolog) mempunyai keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan makna-makna khusus. Makna-makna di mana maksud Allah Swt yang Mahatahu dan Mahabijaksana tertuang dalam bentuk bahasa Arab yang fasih dan baligh (elokuen) dalam ikhtiar manusia untuk memberi hidayah pada manusia.
Dan tugas para ilmuan agama serta ahli tafsir adalah menggunakan metode benar dan menjaga kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari makna-makna ayat suci al-Qur'an.
Prinsip tersebut tidak terkhususkan pada al-Qur'an tetapi juga untuk hadits-hadits maksum As dan juga setiap teks yang dipilih oleh setiap penyusun berakal dalam perkataan-perkataan dan tulisan-tulisannya.
Konstruksi kaidah ini berasal dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana mereka berkehendak memindahkan hasil pikiran dan konsepsinya, mereka pindahkan dengan jalan bahasa. Pada hakikatnya Sistem percakapan dan pemahaman manusia berdiri atas ini.
Di antara orang-orang berakal baik itu ilmuan maupun masyarakat biasa semuanya menerima asas ini, bahwa sipembicara dalam menjelaskan maksudnya dengan jalan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan atau tulisan-tulisan mereka lakukan. Berdasarkan ini maka setiap teks mempunyai makna khusus dimana si penulis menuangkan maksudnya.
Di dunia Barat berlaku juga teori ini pada abad-abad sebelumnya, dan itu tidak hanya berlaku untuk konteks percakapan biasa tapi juga pada pembahasan filsafat dan pembahasan ilmiah. Para ilmuan dan teoritis ilmu hermeneutik seperti Schleier Macher dan Wilhelm Dilthey masih perpijak pada teori ini sampai kemudian muncul fase postmoderisme yang meragukan prinsip dan asas rasional ini. Di antara yang menolak pandangan tersebut datang dari pengikut hermeneutik filsafat Gadamer dan pengikut dekonstruksi Derrida.
Derida melakukan kritik terhadap pandangan bahwa makna dalam perkataan mempunyai kehadiran sedangkan dalam tulisan adalah tersembunyi, tetapi ia juga tidak menerima kebalikan dari itu bahwa tulisan lebih baik dari pada perkataan dan makna hadir di dalamnya. Dia berpendapat bentuk keyakinan ini adalah fokus penulis namanya, dan ia berkeyakinan dalam teks tulisan makna juga adalah gaib. Darida tidak menerima "pemahaman makna akhir teks", sebab dalam pembacaan akan tecipta makna-makna yang tidak terhitung jumlahnya. Darida tidak bermaksud meruntuhkan teks, tetapi ia meruntuhkan dalil-dalil makna teks. Menurut pandangannya makna bukanlah suatu perkara yang tetap dan dahulu atas petunjuk atau tujuan, tetapi makna bahkan bergantung pada petunjuk yang secara esensial adalah tidak tetap dan tidak permanen. Dalam dekonstruksi dengan mengacak hubungan kata satu sama lain, dan dengan mendekonstruksi teks, memungkinkan perluasan nisbah makna-makna dan petunjuk-petujuk yang bermacam-macam, dan pada akhirnya tidak menerima adanya satu dalil dan makna khusus sebagai wajah akhir teks dan sebagai petunjuk akhir teks.
Dalam hermeneutik filsafat Gadamer, juga berpandangan kalau makna teks bukanlah sesuatu yang menjadi maksud penyusun, tetapi hasil persinggungan antara horizon makna penyusun dan horizon penafsir teks. Dan dalam hal ini asumsi-asumsi penafsir mempunyai dampak kunci, dan secara otomatis mengingkari makna sentral dan makna akhir teks. Gadamer juga tidak meyakini realitas makna dalm teks, tetapi ia berpandangan bahwa makna teks adalah menifestasi yang dihasilkan oleh pembaca atau si penafsir teks. Dan penampakan ini juga lebih dari segala sesuatunya yang mengikut pada alam rasional dan ruh si penafsir teks, hatta penyusun teks itu sendiri.
Dalam hermeneutik Gadamer titik penting bukan hasrat atau meksud penyusun dan bukan karya atau teks sebagai sesuatu fi nafsihi di luar dari sejarah, tetapi yang urgen adalah sesuatu yang menjadi arah berulang-ulang sejarah dalam memanifestasi. Menurut Gadamer dzihniyyat (alam pikiran) penyusun atau pembaca tidak ada satu pun menjadi rujukan realitas, tetapi makna sejarah itu sendiri dimana pengaruhnya dalam zaman sekarang untuk kita, yang menjadi rujukan realitas.
2. Penyusun sebagai Sentral dalam Tafsir (sentralisasi penyusun).
Untuk memahami makna teks yang menjadi perhatian dari si penyusun maka si pembaca berusaha memahami dan memahamkan hasrat dan maksud si penulis atau si penyusun. Kaidah hermeneutik ini berlaku secara mapan sebelumnya, yakni teks secara realitas dan nafsul amr menerangkan makna khusus yang meupakan niat , tujuan dan hasrat si penyusun, dan kaidah ini berhubungan dengan maqam penerapan dan pemahaman, yakni pemahaman fokus makna dalam teks harus memperhatikan maksud dan niat penyusun. Di sini pengikut hermeneutik filsafat juga melakukan penentangan, dari sudut pandang mereka pemahaman teks mengenyampingkan niat dan maksud penyusun atau dihasilkan dengan memadukan horizon makna penyusun dan pembaca teks.
Emilio Betty (Italia) dalam hal ini mengembalikan pada pandangan hermeneutik realistis. Sementara Eric (Amerika) pewaris pandangan Betty mengembalikan pada pandangan hermeneutik klasik, dan berkata: Jika makna tidak tetap dan permanen maka tidak akan ada realitas penafsiran.
Dalam hermeneutik fokus penyusun terdapat dua pandangan:
1. Pandangan fokus niat penyusun.
2. Pandangan fokus pribadi penyusun (penyusun secara kepribadian)
Yang pertama penafsir berusaha mendapatkan maksud dan niat penyusun dari karya dan ucapan ia dan jalan untuk memperoleh itu menjaga dan memelihara kaidah nahwu dan bahasa (Martin Kladinius). Yang kedua penafsir harus berusaha dengan jalan mengenal pribadi penyusun, sehingga mendapat makna yang menjadi perhatian ia (Schleier Macher). Yang pertama tidak bisa mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun, maksimalnya menyamai penyusun dalam pemahaman sedangkan yang kedua memungkinkan mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Munzir AF
Pengunaan hermeneutika untuk menafsirkan tulisan atau naskah,dimaksudkan agar apa yang di sampaikan oleh si penulis dapat dipahami oleh si penerima,dan yang menerimapun dapat memahami isi naskah tersebut,dan tidak adanya perbedaan pemikiran. ilmu hermeneutika sangatlah membantu dalam menafsirkan,karna ilmu ini yang berhubungan dengan penjelasan bagaimana keharmonian pemahaman manusia.
akan tetapi para penafsir al quran masih ragu apabila hermeneutika digunakan untuk menafsirkan al quran,karena hermeneutika ada kelemahannya.
santoro af: Di sini saya teringat dengan teori ilmu tafsir/ hermeneutika beserta aliran-aliran dan para penggagasnya. Ada dua aliran besar dalam hermeneutika, yakni hermeneutika intensionalisme yang digagas oleh Schleiermacher hingga Martin Heidegger dan hermeneutika Gadamerian yang digagas oleh Hans-Georg Gadamer dan para pengikutnya. Menurut hermeneutika intensionalisme, makna objektif teks hanya bisa ditelusur dari pengarangnya. Produser teks merupakan pihak yang paling sah menafsirkan teksnya, karena dia yang membuat, dan arena itu dia yang paling tahu.
Sebaliknya, hermeneutika Gadamerian berpandangan makna teks ada di tangan pembacanya. Sebab, hakikatnya ketika teks sudah di lempar di ruang publik, keberadaan produsernya tidak penting lagi. Karena itu, makna betul-betul tergantung pada bagaimana pembaca memahaminya. Hermeneutika Gadamerian merupakan sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas.
Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks berarti ditemukan (invented) . Perubahan makna Hermeneutika dari makna bahasa ke dalam makna konvensional (istilah), pada dasarnya merupakan perkembangan yang terjadi kemudian. Perubahan makna ini, disepakati oleh berbagai literatur perkamusan, dimulai sejak para teolog Yahudi dan Kristen berusaha mengevaluasi kembali teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah disertasi doktoral mengenai hermeneutika menyatakan(Asalnya, istilah Hermeneutika digunakan dalam bidang studi yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran kitab Injil. Selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, Hermeneutika menjadi Hermeneutika Umum oleh filsuf dan teolog Protestan, Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher telah menyulap Hermeneutika menjadi bidang kajian kefilsafatan, dengan mengangkatnya dari kajian yang secara spesifik hanya membahas bidang yang berkaitan dengan agama menjadi kajian yang mempunyai perhatian lebih tinggi terhadap filsafat umum tentang bahasa dan pemahamannya). obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektivitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyrî’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini. Kesimpulan Secara epistemologis, hermeneutika —sebagai teori interpretasi-epistemologis—bukan dari Islam, tetapi merupakan produk tsaqâfah Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam. Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang nota bene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan, sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an.
Fazri Al Fezar AF... ya, memang perlu menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menafsirkan sebuah teks pada umumnya dan terlebih lagi khususnya dalam hal ini adalah Naskah-naskah Kuno yang di tulis pada masa lalu, agar dapat di ketahui apa saja makna yang terkandung di dalam sebuah Teks tersebut,dan dapat di ketahui pula maksud si penulis teks tersebut dalam membuat teks tersebut.
Posting Komentar