Data buku
Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Muhammad Harya Ramdhoni. Koekoesan, Depok, April 2012. v + 100 hlm.
SETELAH berhasil mencuri perhatian kita melalui novel debutannnya Perempuan Penunggang Harimau (BE Press, 2011), Muhammad Harya Ramdhoni (MHR) kembali hadir bersama segabung cerpennya Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (Penerbit Koekoesan, April 2012) yang memuat sembilan cerpen. Orang [di] Lampung tentu saja lebih karib dengan nama Buway Lapah di Way atau Buway Bejalan di Way untuk frasa “Orang-orang yang Berjalan di Atas Air” yang tercantum pada titel buku, yaitu satu di antara paksi (kesatuan beberapa kerabat di masa kekuasaan Banten) Sekala Brak dalam masyarakat adat Lampung Sai Batin (Pesisir) di Lampung Barat yang memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak.
Melalui segabung cerita ini, sejatinya MHR ingin menuturkan asal-usul mitologis buay-nya (keturunannya) seperti terpantul dari cerpen “Kitab Nyeghupa,” “Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air,” “Sesiah Terakhir,” “Ikhau,” “Tambo Kuno dalam Lemari Tua,” “Riwayat yang Ditutukan oleh Hembusan Angin.”
Namun, pada dua cerpen selebihnya, MHR menggubah cerita yang diangkat dari realitas historis-biografis seperti terpantul pada cerpen “Firasat Bu Lik Koem,” dan “Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak-Sepancar.” Sementara pada cerpen “Tentang Seorang Lelaki yang Mati Tertimpa Tembok” yang berupa cerpen mini (short short story), MHR bercerita tentang tokoh Mat Top, seorang lelaki pendurhaka.
Dua cerpen yaitu “Kitab Nyeghupa” dan “Kitab Hikayat Orang-orang yang berjalan di Atas Air” mengambil bentuk hikayat, yaitu jenis cerita rekaan yang menggambarkan keagungan dan kepahlawanan. Cerpen “Kitab Nyeghupa” bertutur tentang Umpu Nyeghupa alias Imam Maulana ibn Maulana Yamiza Rahmat, satu di antara Perserikatan Paksi Pak [Maulana Bersaudara] bersama-sama dengan Pernong, Belunguh, dan Lapah di Way.
Sebagai pelayan di rumah Ratu Sekeghumong, Nyeghupa muda tak hendak menuruti perintah Pangeran Umpu Betawang untuk memanggang babi kesukaaannya, dan sebagai penggantinya dia memasak daging sapi, karena babi hewan yang diharamkan. Hal ini menimbulkan kemarahan Pangeran Umpu Betawang, yang menimbulkan dendam kesumat pada diri Nyeghupa, sehingga ketika memasak sup kepala kerbau untuk pangeran congkak itu dia mencampurnya dengan getah beracun sebukau pohon melasa kepappang serta bisa kalajengking hitam dan empedu kecing hutan. Maka, Pangeran Umpu Betawang pun tewas. Perbuatannya itu memaksa dia bersama ayahnya harus meninggalkan lamban dalom (istana) itu dan menjadi buronan, dan itu berarti menggagalkan misi dakwah mereka di istana Sekala Bhga.
Cerpen “Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air” bertutur tentang Dr. Erik Liber Sonata yang menjadikan kitab yang tersimpan di Perpustakaan School of Oriental and Africa Studies University of London itu sebagai kajian disertasinya.
Dalam perjalanan menuju Liwa di atas kendaraan yang dikemudikan oleh Jamauddin sepupunya dia terus membaca kitab itu hingga halaman terakhir. Kedatangannya ke sana untuk mencari pembenaran perihal kitab kuno itu dari mulut para tetua adat Sai Batin Paksi Buay Lapah di Way di Kembahang. Di daerah Sumber Jaya, mobil mereka dicegat oleh selusin lelaki dengan senjata api di tangan yang meminta paksa menyerahkan salinan kitab itu dan mengancam akan membenamkan Erik dan sepupunya di Danau Ranau. Di antara selusin lelaki itu terdapat seorang lelaki bermata sipit yang ternyata keturunan Ratu Sekeghumong (yang merupakan musuh Umpu Lapah di Way, leluhur Erik) dari garis Pangeran Kekuk Suik yang bermaksud membakar kitab yang dirampasnya dari tangan Erik itu seraya berkata, “Masih ada satu lembar lagi. Kau mencari ini bukan? Halaman terakhir kitab Lapah di Way…” Dia mendapatkan halaman terakhir itu dari Perpustakaan Henry Sang Navigator di Portugal. Dia sendiri sudah bertahun-tahun memburu kitab itu, kitab “yang telah merenggut kesetiaan rakyat dari bawah duli kekuasaan Puyang Dalom Ratu Sekeghumong disebabkan keahlian ilmu mistik nenek moyangmu” (hlm 22).
Saat Erik dan sepupunya dilemparkan ke Danau Ranau, sesosok tubuh berpakaian dan bersorban putih muncul dari arah barat Danau Ranau. Ia berlari di atas air! Sosok misterius itu dengan ringannya menangkap tubuh Erik dan Jamauddin kemudian menaruh mereka di pinggir danau. Sosok itu tak lain adalah Maulana Bahruni Ibn Maulana Yamiza Rahmat alias Umpu Lapah di Way. Lalu Umpu Lapah di Way mengajarkan Erik berjalan dan berlari di atas air dan membacakan isi halaman terakhir kitabnya yang berbunyi, “Kebersihan jiwa setiap pengikut Jalan Yang Lurus adalah mutlak sebelum memasrahkan diri kepada Allah dan mengamalkan isi kitab Lapah di Way, Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air.”
Pada cerpen “Sesiah Terakhir” dan “Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin” yang menampilkan tokoh perempuan yaitu Seperdu dan Sekeghumong, MHR masih berpandangan bias gender dan patriarkhis dalam hal relasi suami-istri dan/atau lelaki-perempuan, dan karenanya perlu dilakukan kritik sastra feminis. Kita kutip ucapan Seperdu, “Bawalah sikindua pergi, Pun Beliau. Sikindua akan membaktikan seluruh hidup dan jiwa hanya untuk Pun Beliau seorang. Terimalah bakti seorang istri kepada suami. Semoga dewa-dewi merestui perkawinan ini.” (hlm 34-35) Pernyataan ini bias gender karena tidak mendudukkan istri dalam posisi yang setara dengan suami. Seolah-olah hanya pihak istri yang mesti berbakti kepada suami, namun tidak sebaliknya. Di sini saya ingin memperkenalkan nilai baru yang setara dan adil gender seperti digagas pasangan Kate-Williams dari Kerajaan Inggris yang di dalam janji perkawinan mereka justru bertekad untuk saling menjaga di antara mereka, seraya mencampakkan nilai lama yang meminta istri berbakti kepada sang suami.
Begitu pula pada cerpen ”Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin” terdapat pernyataan bias gender berikut ini, “Ajaran Jalan Yang Lurus tak membenarkan perempuan sebagai pemimpin!” ujar lelaki tua itu dengan kesombongan yang tak berkurang sedikit pun.” (hlm 92) Benarkah menurut agama Islam perempuan tak boleh menjadi pemimpin? Sikap demikian hanyalah pantulan dari fiqih lama yang mesti didekonstruksi.
Menurut K.H. Husein Muhammad, kiai-feminis dari Ponpes Arjawinangun Cirebon, perempuan boleh menjadi pemimpin publik dan bahkan menjadi imam salat. Hal itu didasarkan atas penyelidkannya QS an-Nisa [4]: 34, yang harus dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Kehebatan intelektual dan profesi menurut Husein adalah dua hal yang menjadi syarat bagi sebuah kepimpinan dalam berbagai wilayahnya, domestik maupun publik. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi publik, termasuk menjadi presiden.
Terhadap hadis Nabi yang menuturkan tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan, KH Husein menyatakan bahwa hal itu sebuah informasi yang disampaikan Nabi Saw semata, dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Tegasnya, hadis ini tidak memiliki relevansi hukum. Husein Muhammad lebih jauh menuturkan bahwa hadis ini harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, dalam arti bahwa hadis tersebut lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu yang kepemimpinannya boleh jadi bersifat sentralistik, tiranik, dan otokratik.
Demikian pula kepemimpinan perempuan dalam salat. Menurut Husein Muhammad (2007: 37-44), terdapat pandangan yang menyatakan keabsahan imam perempuan yang juga didukung oleh hadis Nabi Saw tentang Ummu Waraqah. Ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salam menyimpulkan dari hadis Ummu Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Ummu Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Sebab, secara eksplisit (menurut lahiriahnya) hadis ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya. Untuk menyebut contoh kontemporer imam perempuan adalah Amina Wadud yang menjadi imam untuk salat Jumat di Amerika Serikat.
Cerpen “Tambo Kuno dalam Lemari Tua” adalah sebuah cerpen indah yang menuturkan kebahagiaan sebuah keluarga kaya beranak lima. Teknik membuka, mengembangkan dan mengakhiri yang dilakukan MHR secara piawai merupakan nilai yang perlu diacungi jempol buat cerpen ini. Kebahagiaan keluarga itu terusik oleh kehadiran Tambo kuno yang menyatakan bahwa suami-istri itu berasal dari dua keturunan yang saling bermusuhan dan berbunuhan. Sang suami adalah keturunan Pangeran Umpu Betawang, suami Ratu Sekeghumong, sedangkan sang istri keturunan Lapah di Way. “Ada bara tersimpan dalam sekam selama kehidupan perkawinan Ayah dan Ibu. Api dalam sekam berusia nyaris satu milenium,” tutur putri bungsunya sepeninggal mati ayah-ibunya.
Secara umum, gaya bertutur MHR berkualitas prosa lirik. MHR benar-benar mementingkan bagaimana bisa bertutur secara memikat dan berhasil menjangkau langit sastrawi seperti dimaksudkan Danarto dalam penulisan cerpen-cerpennya. Namun, sayangnya, di tengah penuturan nan memikat itu, MHR abai dalam kerapian berbahasa.
Cerpen-cerpen MHR terutama pada enam cerpen yang menuturkan asal-usul mitologis membubuhkan warna lokal (warna tempatan, corak setempat), yaitu penggambaran corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakaian bahasa/kata-kata daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat. Ini tampak misalnya pada kata-kata daerah sikindua (saya), sikam (saya), sesiah (kencan), benatat (beruk), semanda, ikhau, ka ga nga, tabuh canang, putri dalom, pepadun (singgasana), akan (ayah), pun (kakak lelaki tertua), jurai lurus (keturunan langsung), pekon (kampung), dan lain-lain.
Cerpen “Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak-Sepancar” berkisah tentang penembak jitu Pauline Gobee, seorang gadis berdarah Indo-Belanda, yang bergabung dengan Tentara Republik dalam pertempuran di Kemelak-Sepancar, Baturaja pada 17 Agustus 1947 melawan tentara NICA. Bersama Moeis, dia ditugasi Kolonel Ahmad Wahab untuk menembak mati penembak misterius dari tentara NICA yang telah menembak mati beberapa mata-mata tentara republik. Alhasil, Pauline berhasil menembak mati sang penembak misterius, namun ternyata penembak misterius yang dibunuh Pauline Gobee adalah seorang lelaki Indo-Belanda kekasihnya sendiri.” (hlm 72) Sungguh sebuah akhir yang mengejutkan! Melalui cerpen ini yang dipersembahkan kepada almarhum kakeknya Hi. Abdoel Moeis (1930-2003) – yang tak lain adalah tokoh Moeis -- MHR berhasil memotret sisi manusiawi sebuah perang.
Cerpen “Firasat Bu Lik Koem” menuturkan tentang tokoh Untung yang tercatat dalam sejarah kontemporer Indonesia sebagai salah seorang tokoh yang berperan dalam Gerakan 30 September [Gestapu] atau Gerakan Satu Oktober [Gestok] (1965) yang membunuh para jenderal. Cerpen ini mengangkat sisi manusiawi tokoh Untung yang mencintai Tutik, gadis belia awal dua puluhan, mahasiswi sebuah sekolah kebidanan negeri di Solo. Saat itu, Untung berusia pertengahan tiga puluhan, seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat mayor. Cinta mereka yang tumbuh berkat witing tresno jalaran soko kulino (cinta bermula dari kebiasaan) terputus di tengah jalan karena lamaran Untung ditolak oleh Bu Lik Koem, yang bersama suaminya Pak Lik Tanto, mengasuh Tutik sejak kecil tanpa pamrih.
Bu Lik Koem memiliki firasat tajam bahwa Untung bin Syamsuri bukanlah pria baik-baik dan berolok-olok bahwa nama Untung justru bermakna ‘buntung.’ “Ke mana perginya sikap welas asih-mu, Mas? Mengapa bertukar wajah menjadi pembunuh biadab?” gumam Tutik terdengar lirih ketika putusan hukuman mati terhadap Untung diumumkan secara nasional. (hlm 62) “Nama itu tak seberuntung nasib dan kisah hidupnya yang tragis,” tulis MHR di akhir cerpen (hlm 62); yang mempersembahkan cerpen ini kepada bibinya, almarhumah Bu Dhe Hastoeti Soekirno.
Jika cerita pendek dimaksudkan untuk memberikan kesan tunggal, maka membaca cerpen “Tentang Seorang Lelaki yang Mati Tertimpa Tembok” saya justru tidak beroleh kesan tunggal yang dominan karena MHR mengacaukan antara tokoh Mat Top dengan tokoh pemuda. Begitu pula saya tidak menemukan tikaian dramatik, yang justru merupakan inti cerita pendek.
Akhirnya, pembaca juga bisa menempatkan kumpulan cerpen ini, terutama untuk enam cerpen yang menuturkan asal-usul mitologis, sebagai post scriptum atas novel Perempuan Penunggang Harimau karya MHR. Karena narasi yang diusung keenam cerita itu sangat bertalian dengan pokok-soal PPH dan juga dapat menjadi semacam penjelasan lebih jauh atas novel itu.[]
Iwan Nurdaya-Djafar, pembaca buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar