Alquran adalah simbol dari Tuhan untuk manusia. Manusia adalah animal symbolicum. Atas dasar ini maka hermeneutika, sebagai ilmu tentang simbol, mutlak diaplikasikan dalam Alquran.
Selama ini kita keberatan bila Alquran “di-hermeneutik-an.” Karena Alquran itu ciptaan Tuhan, sedang hermeneutika adalah ilmu tafsir untuk kitab-kitab buatan manusia. Anggapan ini jelas salah, justru hermeneutika itu pada dasarnya ilmu spesial untuk kitab suci. Jauh sebelum eksegesis bibel, ilmu hermeneutika sudah jamak dipakai pada masyarakat Yunani untuk menterjemahkan pesan dewa-dewa kepada manusia.
Bahkan ilmu tafsir Alquran itu sendiri, baik bil ma’tsur atau pun bil ra’yi, adalah satu bentuk hermeneutika. Yaitu hermeneutika yang sudah ketinggalan zaman !
Kesimpulannya, hermeneutika itu wajib demi kemajuan ummat !
A. Tiga Pertanyaan Hermeneutika Alquran
Sesungguhnya seorang mufasir (ahli tafsir) saat berhadapan dengan teks Alquran, selalu dihadapkan pada tiga pertanyaan dasar.
Pertanyaan pertama berkaitan dengan konten teks Alquran. “Apa isi teks ini ?” Peran mufasir di sini adalah menerjemahkan teks Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan sekadar terjemah kata-perkata, tapi transfer “makna” teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Pertanyaan kedua berkaitan dengan konteks teks Alquran. “Situasi-kondisi seperti apa yang mendorong lahirnya teks ini ?” Peran mufasir di sini adalah memberi konteks sejarah dan kultural pada Alquran. Bukan semata kajian asbab an nuzul dan asbab al wurud, lebih dari itu menempatkan Alquran sebagai produk masyarakat dan budaya tertentu.
Pertanyaan ketiga berkaitan dengan kontekstualisasi Alquran. “Apa arti teks ini untuk saya ?” Tugas mufasir di sini adalah sebagai “kontekstor” yaitu menggabungkan konteks dan teks (konten) Alquran dengan konteks kekinian (situatedness). Untuk itu seorang “kontekstor” mesti memahami situasi-kondisi “dunia” yang ditempatinya.
B. Kontekstor Alquran
Jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua (pertanyaan konten dan konteks Alquran) bersifat obyektif. Sedang jawaban atas pertanyaan ketiga (pertanyaan kontekstualisasi Alquran) bersifat relatif.
Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua seorang mufasir mesti memiliki kemampuan linguistik, filologi dan sejarah yang mumpuni. Untuk itu pendidikan tafsir Alquran tradisional sudah pada arahnya (walau belum maksimal). Namun untuk menjawab pertanyaan ketiga, seorang mufasir juga mesti memenuhi kualifikasi sebagai kontekstor, yaitu ahli kontekstualisasi Alquran.
Lebih jauh, seorang kontekstor tidak mesti menguasai bahasa Arab, ilmu filologi, dan sejarah yang mumpuni. Cukup dengan memiliki terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta pemahaman sejarah Alquran secara garis besar. Syarat terpenting seorang kontekstor adalah pengetahuan dan pemahaman tentang situasi dan kondisi “dunia” yang ditempatinya (dunia kontemporer).
Kesimpulan akhirnya, siapapun bisa dan boleh menafsirkan Alquran. Tanpa pandang latar belakang pendidikan, negara dan agamanya. Dalam artian memberi “arti” pada Alquran untuk hidupnya sendiri. Dan dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Tuhan Nya.
Wallahu alam bi showab.
Sumber : Kompasiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar