oleh: NasrulAzwar
HANIFA (38), seorang warga asli Palembang, sulit membayangkan bagaimana kisah pewayangan yang selama ini dianggapnya hanya "milik" masyarakat Pulau Jawa. Kisah pewayangan ternyata pernah berkembang di Palembang yang menjadi ibu kota Sumatera Selatan itu.Selain pewayangan, cerita- cerita rakyat yang sebelumnya banyak berkembang di Pulau Jawa, juga dikisahkan di Palembang dengan modifikasi budaya setempat, misalnya kisah Raden Inu Kertapati atau Ande-Ande Lumut.
Cerita-cerita yang ditemukan dalam penelitian Yayasan Naskah Nusantara bekerja sama dengan Tokyo University of Foreign Studies, Agustus lalu, itu menunjukkan keterkaitan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sejarah Kesultanan Palembang bermula dari kemelut politik yang terjadi di Kesultanan Demak sesudah kematian Trenggana, Raja Demak setelah Raden Patah, serta pemindahan pusat kesultanan di Pajang oleh Prabu Adiwijaya.
Budayawan Sumatera Selatan Djohan Hanafiah menegaskan, para bangsawan Jawa yang berkeraton di Palembang pada akhirnya beradaptasi dengan budaya Melayu yang sudah tumbuh di daerah ini. Palembang juga merupakan kawasan kosmopolitan, dengan percampuran budaya berbagai bangsa yang datang seiring arus perdagangan.Artinya, sejarah ibu kota Provinsi Sumatera Selatan ini lebih panjang dari perjalanan sejarah Kota Baghdad di Irak yang didirikan tahun 762, lebih tua dari Kyoto di Jepang yang didirikan tahun 794, apalagi dibandingkan dengan Jakarta yang berdiri tahun 1527.
Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang jauh lebih muda dari masa Sriwijaya, meninggalkan jejak tak terputus dengan keberadaan Palembang masa kini. Namun, apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan warisan budaya yang paling kasat mata dari masa kesultanan ini terkesan memprihatinkan. Naskah yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, antara lain ditemukan disimpan saja dalam rak di kamar mandi. Substansi yang dipaparkan menyuguhkan wacana yang berkembang pada masa itu.
Oleh karena itu, penemuan naskah berperan penting dalam kegiatan apresiasi kebudayaan dan kesejarahan. Penelitian awal yang digelar Yayasan Naskah Nusantara bekerja sama dengan Tokyo University of Foreign Studies di Palembang, Agustus lalu, menemukan bukti produktivitas sastra Melayu di daerah ini pada masa kesultanan. Kegiatan penulisan mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang diyakini Djohan sebagai pemimpin masa keemasan Kesultanan Palembang. Mujib Ali, peneliti pada kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pernah mendalami penulisan naskah kuno di Palembang, menuturkan, SMB II memang memiliki perpustakaan yang diduga terlengkap di Palembang masa itu. Puluhan naskah yang ditemukan Mujib memang ditandai sebagai milik SMB II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar