Minggu, 16 Januari 2011

Membaca Sejarah secara Fiksional

Apresiasi Lampost : Minggu, 16 Januari 2011


Lamban Gedung Skala brak Belalau Lampung Barat

NOVEL " Perempuan Penunggang Harimau "

"...sebuah cincin Saibatin Sekala Bgha bergambar ukiran harimau kesayangannya yang tetap setia melingkari jari manis sang ratu merupakan tanda percumbuan imajiner itu. Kemesraan mistik itu pula yang membuat Sekeghumong tidak memilih kuda atau binatang peliharaan lainnya. Ia memilih bayi harimau jantan sebagai peliharaannya. Diasuhnya harimau itu dengan kasih seorang ibu."

BEGITULAH M. Harya Ramdhoni gaya M. Harya Ramdhoni menggambarkan secara fiksional sejarah Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat melalui novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau yang diterbitkan BE Press, Lampung, Januari 2011. Ia padukan antara fakta sejarah dan fiksi. Para tokoh dalam novelnya seperti La Laula, Taruda, Rakian Sekehandak, Dapunta Hyang Jayanaga dan lain-lain merupakan individu-individu yang pernah hidup pada masanya masing-masing. Begitu pula demikian dengan nama kerajaan, dinasti, tempat, aksara, suku, dan benda, semuanya fakta sejarah. Ramdhoni, pria yang lahir di Solo itu, menceritakan kehebatan Ratu Sekeghumong yang mempertahankan adat leluhurnya. Sekeghomong bangga dengan hidup kesederhanaan.

Mengapa menulis novel dan bukan buku sejarah, Ramdhoni menyatakan argumennya. "Pertama, saya bukan sejarawan. Kedua, karya sastra merupakan senjata yang ampuh untuk mentransfer ilmu," katanya saat peluncuran novel itu di aula Lampung Post, Sabtu (15-1) siang. Bukan tanpa bukti ia mengatakannya. Suatu hari, Ramdhoni pernah bertanya kepada teman-teman adiknya, mana lebih suka buku sejarah atau novel sejarah. Serempak mereka menjawab, "Novel!" Akhirnya, Ramdhoni memberikan mereka sebuah novel karya Pramoedya Ananta Tour. Hasilnya tak dinyana. Beberapa hari kemudian, anak-anak sekolah itu meminta novel lanjutannya. Dari situ, Ramdhoni berkesimpulan, ternyata karya sastra lebih memikat!

Krisis identitas dan budaya Lampung di kalangan kawula muda mengetuk juga mengetuk pintu hati Ramdhoni. Pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Kebangasaan Malaysia (UKM) itu ingin menyegarkan ingatan mereka. Namun, Ramdhoni ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Kebetulan, ia hobi menulis puisi. Bahkan, sebelumnya ia sudah pernah menulis novel, tetapi gagal karena aktivitasnya yang sibuk. Akhirnya, Ramdhoni mencoba menuliskan novel sejarah Kerajaan Skala Brak, Lampung Barat.

Selain itu, ia yakin karya sastra bisa membangkitkan gairah masyarakat. "Kenapa saya menulis Kerajaan Skala Brak? Karena saya orang sana. Menulis tentang asal-usul kita sendiri lebih emosional daripada dituliskan orang lain," kata Ramdhoni yang siang itu mengenakan kaus berkerah garis-garis.

Penyair Iswadi Pratama mengakui secara keseluruhan novel Perempuan Penunggang Harimau cukup komprehensif. Data-data yang dipaparkan teruji secara empirik. Sebab, penulisnya merupakan akademisi. Namun, ada beberapa bagian yang dikritiknya. Iswadi menjelaskan pada Bab I Halaman 1 dikatakan "ada seorang bayi perempuan dilahirkan". Lalu, pada halaman berikutnya dikatakan, "puluhan purnama ia menanti bayi itu". Menurut Iswadi, seorang perempuan mengandung hanya 9 bulan, bukan puluhan bulan. "Di sini ada ambiguitas. Masalahnya, kalimatnya diletakkan berdekatan," kritik Iswadi. "Mungkin maksudnya, saking terlalu lama. Dalam literer ini yang saya maksud ketaksaan berbahasa," katanya.

Pada bagian lainnya, kata Iswadi, Ramdhoni menuliskan “mereka berpelukan bahagia. ia mencium keningnya”. Lalu dikatakan, “air matanya menetes membasahi pipi ibunya”. Semestinya, kata Iswadi, air mata itu jatuh ke orang yang dipeluknya, bukan ibunya. Selain itu, bahagia dan sedih merupakan dua hal yang berlawanan. "Ini memang tidak penting tapi, lebay. Hanya, saya sebagai pribadi membayangkan pergolakan tokoh-tokoh di novel ini. Habisnya, tidak ada lagi sih yang bisa dikritik dari novel ini," ujar Iswadi terkekeh yang juga disambut gelak tawa peserta yang hadir dalam launching buku tersebut.

Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau ditulis secara konvensional. "Ada sinopsis, prolog, dan epilognya," ujar Djadjat.

Menurut Djadjat, novel ini penting karena bisa menjadi oasis bagi masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam "dedikasi" dari pengarangnya untuk mengingatkan pada masa lalu Lampung yang sudah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang. "Novel ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak bahwa banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif."

Menurut Djadjat, karya sastra bisa memengaruhi masyarakat. Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuliskan masalah pendidikan di Pulau Belitong, Bangka Belitung. Dampaknya, masyarakat Belitong khususnya, para siswa, menjadi rajin sekolah.

Djadjat mencatat ada beberapa hal yang mengganjal dari novel ini. Ketika asyik menikmati "tempo doeloe" dalam novel ini, tiba terselip kata-kata baru, bukan dari bahasa lama. "Misalnya, kata "sialan". Bukankah kata "sialan" lebih kita kenal sebagai ungkapkan dalam bahasa betawi. Saya masing ingat ketika ke Jakarta pada 1970-an. Saya mendengar perkataan itu, 'sialan loe'," kata Djadjat.

Begitu pula kata "Pakdalom". Namun, penyair Anton Kurniawan menolak kata "Pak" sebagai bahasa baru karena kata ini sering dipergunakan dalam khazanah bahasa Lampung.

Pujangga kelahiran Lampung Timur, Binhad Nurrohmat, mengatakan jarang sekali suku di Indonesia yang mempunyai aksara. Lampung merupakan salah satu provinsi yang kaya akan situs dan aksara. Dia percaya tradisi bercerita muncul dengan watak bahasa tertentu. Namun, ia mengaku kesulitan dengan bahasa latin. Pasalnya, kata Nurrohmat, kita tidak bisa melakukan modifikasi terhadap bahasa latin. "Saya curiga berhentinya budaya cerita di Indonesia karena kita berhenti dengan aksara pahlawan," ujarnya yang mengaku karya Ramdhoni menyelematkan masa silam.

Kehadiran novel Perempuan Penunggang Harimau adalah kembalinya tradisi cerita setelah sekian lama tenggelam. "Lampung punya potensi itu karena Lampung mempunyai aksara," tegasnya. Artinya, setelah ini kita pun berharap sastra Lampung semakin bersinar sebagaimana dikatakan budayawan Iwan Nurdaya Djafar, novel karya Ramdhoni menjadi semacam penyelamat bagi masa depan sastra klasik Lampung. Semoga. (HENDRY SIHALOHO/P-1)

Tidak ada komentar: