KRISTIAN ADIPUTRA
Mahasiswa Pascasarjana English Language and Linguistics Program, the University of Arizona, Amerika Serikat.
Argumentasi tentang kepunahan Bahasa Lampung dimulai tahun 1994 oleh Asim Gunarwan, Guru Besar Linguistik dari Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pilihan penggunaan bahasa dalam keluarga bersuku Lampung yang tinggal di Bandar Lampung. Dari anggota keluarga dalam rentang usia di atas 41 tahun, ditemukan bahawa Bahasa Lampung masih digunakan secara konsisten. Tetapi, ketika melihat rentang usia 21-40 tahun, terlihat bahwa penggunaan Bahasa Lampung dan Bahasa Indonesia berimbang di tingkat rumah. Sementara pada rentang usia di bawah 20 tahun, Bahasa Indonesia tampak lebih mendominasi. Dengan hasil temuan ini, maka Asim Gunarwan memprediksi bahwa dalam 75-100 tahun semenjak penelitiannya dilakukan, Bahasa Lampung terancam punah.
Pada publikasi di Jurnal Aksara tahun 2009, Hartati Hasan, Dosen di FKIP Universitas Lampung, memeperkuat temuan Asim Gunarwan. Hartati Hasan mengungkapkan bahwa orangtua dalam keluarga bersuku Lampung memilih menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak mereka di rumah. Sehingga konsekuensinya, anak mereka tidak bisa berbahasa Lampung, karena memang tidak menemukan lagi komunitas di mana mereka bisa menggunakan Bahasa Lampung. Dalam masyarakat yang sangat multikultural di Bandar Lampung, tentu saja bisa dipastikan bahwa komunikasi umumnya dilakukan dalam Bahasa Indonesia, daripada bahasa daerah. Sehingga muncul prediksi kedua, bahwa setidaknya dalam tiga generasi ke depan, apabila pola ini terus berlanjut, kepunahan Bahasa Lampung ini benar-benar akan terjadi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pergeseran pilihan bahasa ini juga terjadi di daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung seperti Kotabumi, Talang Padang, Liwa, Tanggamus, Kalianda, dll. Dari hasil penelitian Katubi di tahun 2006 di daerah-daerah ini, ditemukan bahwa Bahasa Lampung masih dipilih untuk digunakan dalam ranah keluarga dan lingkungan. Tetapi, pergeseran mulai tampak dalam ranah penggunaan bahasa yang lebih tinggi, yaitu dalam ranah pendidikan, agama, acara-acara adat dan perdagangan, di mana Bahasa Lampung tidak lagi menjadi pilihan utama. Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah apabila pada saatnya nanti Bahasa Indonesia mulai secara bertahap digunakan dalam ranah rumah dan lingkungan di daerah-daerah ini akibat meluasnya persebaran penduduk non-suku Lampung di Lampung, seperti halnya yang telah terjadi di Bandar Lampung. Apabila Bahasa Indonesia mulai digunakan di tingkat rumah dan lingkungan, maka sudah bisa dipastikan bahwa kepunahan Bahasa Lampung tinggal menunggu waktu.
Maka kemudian beralasan apabila usaha-usaha pemertahanan Bahasa Lampung sudah menjadi bahan diskusi yang panjang, tetapi masih layak untuk kembali diangkat. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya rujukan penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia saat di kelas 1 – 3 SD dan diberikannya mata pelajaran Bahasa Daerah Lampung dua jam pelajaran dalam satu minggu mulai kelas 4 SD – 9 SMP. Pemerintah juga merekomendasikan penetapan satu hari berbahasa daerah di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Penggunaan istilah-istilah dan aksara dalam Bahasa Lampung dalam papan plang institusi, baik sekolah maupun kantor pemerintahan, juga terlihat, seperti misalkan “desa” yang diganti dengan istilah “pekon” dan “kepala desa” yang diganti dengan “kepala pekon.” Namun apakah usaha-usaha tersebut sudah menunjukkan hasilnya dan hambatan-hambatan apa yang ditemui dalam penerapan program tersebut memang kemudian menarik untuk dilihat lebih jauh.
Kita harus mengakui bahwa masyarakat bersuku Lampung saat ini adalah minoritas di Provinsi Lampung. Menurut data Kantor Bahasa Provinsi Lampung di tahun 2008, dikemukakan bahwa penutur Bahasa Jawa di Provinsi Lampung berkisar pada angka 61,88%, Bahasa Lampung 11,92%, Bahasa Sunda 11,27%, dan suku-suku lainnya seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis 11,35%. Maka definisi penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa kelas 1-3 SD bisa berbahasa Indonesia juga menjadi rancu. Bahasa daerah di sini kemudian tidak selalu harus diartikan Bahasa Lampung. Apabila bahasa ibu seorang anak adalah mayoritas Jawa, maka guru juga akan sepertinya lebih mudah mengajarkan siswa di kelas 1 dengan Bahasa Jawa daripada Bahasa Lampung.
Begitu juga dengan siswa-siswa di daerah kota, misalkan Bandar Lampung, yang mayoritas bahasa ibunya adalah Bahasa Indonesia. Maka juga wajar apabila guru kemudian langsung menggunakan Bahasa Indonesia saat mengajar siswa di kelas 1 SD. Sehingga dalam hal ini, pemerintah memang dituntut harus bersikap realistis dan humanis dalam membuat kebijakan, bahwa masyarakat non-Lampung pun berhak untuk belajar tentang bahasa dan budayanya sendiri. Penggunaan Bahasa lampung untuk mengajar siswa di kelas 1-3 SD pun idealnya dibatasi pada daerah-daerah yang memang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa peralihan siswa di kelas 1-3 SD ini pada dasarnya terbukti sebagai sebuah program yang sangat efektif, terutama terkait dalam usaha pemertahanan bahasa daerah yang terancam punah seperti Bahasa Lampung. Banyak contoh serupa dilakukan dan sudah menunjukkan hasil yang sangat positif di beberapa negara, misalkan Bahasa Yup’ik di Alaska, Bahasa Navajo di Arizona, Bahasa Maori di Selandia Baru dan Bahasa Hawaii di Hawaii. Penggunaan bahasa-bahasa daerah tersebut di kelas 1-3 SD terbukti mampu membuat siswa-siswa di sekolah yang menerapkan program tersebut memiliki kemampuan berbahasa daerah yang baik dan pada akhirnya mampu menekan laju pergeseran pilihan penggunaan bahasa pada anak-anak.
Tetapi, memang komitmen pemerintah dan masyarakat dalam usaha pembalikan pergeseran bahasa di Alaska, Hawaii, Arizona dan Selandia Baru tampak sangat maksimal. Tujuan utama program tersebut sebenarnya sederhana, membuat anak masih bisa berbahasa daerah. Karena apabila anak tidak lagi bisa berbahasa daerah dan cenderung lebih memilih berbahasa Indonesia, maka hal ini sebenarnya adalah tanda awal terancamnya suatu bahasa menuju kepunahan.
Permasalahan yang ada di Lampung adalah tidak adanya dukungan yang mencukupi dari pemerintah. Rujukan penggunaan bahasa daerah kita tampak hanya menjadi sebuah kebijakan yang tertulis di atas kertas. Pertama, anjuran penggunaan Bahasa Lampung untuk mengajar siswa kelas 1-3 SD hanya dimaksudkan untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia, belum sampai pada tahapan menggunakan kebijakan ini sebagai bagian dari usaha serius proteksi bahasa daerah, seperti misalnya penyediaan bahan ajar, kurikulum, dan juga materi ujian yang semuanya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Lampung dan kemudian menuntut guru untuk berbahasa Lampung secara penuh ketika mengajar siswa dari kelas 1-3 SD. Selanjutnya, Bahasa Indonesia bisa digunakan mulai kelas 4 SD dan seterusnya, dengan tetap memberikan pelajaran Bahasa Lampung 2 jam seminggu sampai kelas 9 SMP.
Kedua, penyediaan guru Bahasa Lampung yang berkualitas yang tampaknya sampai hari ini tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Semenjak Program Studi D III Bahasa Lampung di Universitas Lampung ditutup di tahun 2007, karena kurangnya peminat dan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk lulusannya, sekolah-sekolah pun terlihat bingung mencari guru yang memiliki kualifikasi mengajar Bahasa Lampung mulai kelas 4 SD sampai 9 SMP. Yang kemudian terjadi adalah meminta guru yang bersuku Lampung atau bisa berbahasa Lampung, tanpa memperdulikan latar belakang pendidikannya, untuk mengajar Bahasa lampung. Sudah bisa dipastikan kalau hasilnya pasti tidak akan maksimal, karena guru-guru tersebut tidak memiliki latar belakang pengajaran bahasa. Mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung bahkan mengatakan bahwa pengajaran Bahasa Lampung terjebak pada pembelajaran aksara dan bukan komunikasi dalam Bahasa Lampung.
Rasional memang apabila Universitas Lampung kemudian menutup program studi tersebut, karena membuka program studi tanpa tahu kemana lulusan mereka akan bekerja juga tampak sebagai sebuah keputusan yang memang tidak logis, mengingat syarat untuk menjadi guru sekarang harus S1 bukan D III. Proposal pengajuan pembukaan Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Lampung konon juga sudah diajukan, namun sampai hari ini tampak belum mendapatkan persetujuan. Tetapi apakah kemudian ketidaktersediaan guru ini akan terus dibiarkan?
Ada dua hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Universitas Lampung dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam penyediaan guru Bahasa Lampung. Pertama, melalui beasiswa penuh dari pemerintah, guru-guru yang mengajar Bahasa Lampung di sekolah saat ini meskipun tidak memiliki latar belakang pengajaran Bahasa tetapi bisa berbahasa Lampung dan diusulkan oleh sekolah bisa mengikuti program pelatihan atau sertifikasi guru Bahasa Lampung secara intensif selama satu semester yang dikelola oleh Universitas Lampung. Kedua, Universitas Lampung bisa memasukkan mata kuliah pengajaran Bahasa Lampung yang selama ini diajarkan di Program Studi D III Bahasa Lampung ke dalam mata kuliah mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sehingga ketika lulus, mereka juga secara tidak langsung memiliki hak, kewajiban dan kemampuan untuk mengajar Bahasa Lampung di sekolah.
Lagi, mempertahankan kelestarian Bahasa Lampung adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah dan akademisi, tetapi juga masyarakat secara umum. Mempertahankan Bahasa Lampung tidak cukup dengan memberikan anjuran penggunaan satu hari di sekolah-sekolah atau kantor-kantor pemerintahan dan mengajarkan aksaranya di sekolah. Harus ada pertimbangan-pertimbangan dan rencana-rencana yang matang dari pemerintah untuk hal ini. Langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah adalah bersikap realistis dengan memetakan daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung, merencanakan program pemertahanan Bahasa Lampung di daerah-daerah tersebut, menggandeng masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah, memastikan Bahasa lampung tetap digunakan di ranah-ranah penggunaan bahasa, mempersiapkan program bilingual di kelas 1-3 SD dan kelanjutannya di kelas 4 SD – 9 SMP dengan konsisten beserta kelengkapan bahan ajar yang mendukung dan guru-guru yang mampu menjalankan program tersebut.
Media baik cetak maupun elektronik dan instansi-instansi pemerintah seperti Kantor Bahasa, Dewan Kesenian Lampung, Dinas Pariwisata juga dituntut lebih aktif berpartisipasi membantu promosi penggunaan Bahasa Lampung. Tentu, biaya yang dibutuhkan untuk semua usaha ini tidaklah sedikit, tetapi kehilangan bahasa dan budaya juga sesuatu kerugian yang akan lebih kita sesali. Bila saat ini kita tidak memulai, maka kepunahan Bahasa Lampung adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan segera terjadi.
Mahasiswa Pascasarjana English Language and Linguistics Program, the University of Arizona, Amerika Serikat.
Argumentasi tentang kepunahan Bahasa Lampung dimulai tahun 1994 oleh Asim Gunarwan, Guru Besar Linguistik dari Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pilihan penggunaan bahasa dalam keluarga bersuku Lampung yang tinggal di Bandar Lampung. Dari anggota keluarga dalam rentang usia di atas 41 tahun, ditemukan bahawa Bahasa Lampung masih digunakan secara konsisten. Tetapi, ketika melihat rentang usia 21-40 tahun, terlihat bahwa penggunaan Bahasa Lampung dan Bahasa Indonesia berimbang di tingkat rumah. Sementara pada rentang usia di bawah 20 tahun, Bahasa Indonesia tampak lebih mendominasi. Dengan hasil temuan ini, maka Asim Gunarwan memprediksi bahwa dalam 75-100 tahun semenjak penelitiannya dilakukan, Bahasa Lampung terancam punah.
Pada publikasi di Jurnal Aksara tahun 2009, Hartati Hasan, Dosen di FKIP Universitas Lampung, memeperkuat temuan Asim Gunarwan. Hartati Hasan mengungkapkan bahwa orangtua dalam keluarga bersuku Lampung memilih menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak mereka di rumah. Sehingga konsekuensinya, anak mereka tidak bisa berbahasa Lampung, karena memang tidak menemukan lagi komunitas di mana mereka bisa menggunakan Bahasa Lampung. Dalam masyarakat yang sangat multikultural di Bandar Lampung, tentu saja bisa dipastikan bahwa komunikasi umumnya dilakukan dalam Bahasa Indonesia, daripada bahasa daerah. Sehingga muncul prediksi kedua, bahwa setidaknya dalam tiga generasi ke depan, apabila pola ini terus berlanjut, kepunahan Bahasa Lampung ini benar-benar akan terjadi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pergeseran pilihan bahasa ini juga terjadi di daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung seperti Kotabumi, Talang Padang, Liwa, Tanggamus, Kalianda, dll. Dari hasil penelitian Katubi di tahun 2006 di daerah-daerah ini, ditemukan bahwa Bahasa Lampung masih dipilih untuk digunakan dalam ranah keluarga dan lingkungan. Tetapi, pergeseran mulai tampak dalam ranah penggunaan bahasa yang lebih tinggi, yaitu dalam ranah pendidikan, agama, acara-acara adat dan perdagangan, di mana Bahasa Lampung tidak lagi menjadi pilihan utama. Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah apabila pada saatnya nanti Bahasa Indonesia mulai secara bertahap digunakan dalam ranah rumah dan lingkungan di daerah-daerah ini akibat meluasnya persebaran penduduk non-suku Lampung di Lampung, seperti halnya yang telah terjadi di Bandar Lampung. Apabila Bahasa Indonesia mulai digunakan di tingkat rumah dan lingkungan, maka sudah bisa dipastikan bahwa kepunahan Bahasa Lampung tinggal menunggu waktu.
Maka kemudian beralasan apabila usaha-usaha pemertahanan Bahasa Lampung sudah menjadi bahan diskusi yang panjang, tetapi masih layak untuk kembali diangkat. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya rujukan penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia saat di kelas 1 – 3 SD dan diberikannya mata pelajaran Bahasa Daerah Lampung dua jam pelajaran dalam satu minggu mulai kelas 4 SD – 9 SMP. Pemerintah juga merekomendasikan penetapan satu hari berbahasa daerah di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Penggunaan istilah-istilah dan aksara dalam Bahasa Lampung dalam papan plang institusi, baik sekolah maupun kantor pemerintahan, juga terlihat, seperti misalkan “desa” yang diganti dengan istilah “pekon” dan “kepala desa” yang diganti dengan “kepala pekon.” Namun apakah usaha-usaha tersebut sudah menunjukkan hasilnya dan hambatan-hambatan apa yang ditemui dalam penerapan program tersebut memang kemudian menarik untuk dilihat lebih jauh.
Kita harus mengakui bahwa masyarakat bersuku Lampung saat ini adalah minoritas di Provinsi Lampung. Menurut data Kantor Bahasa Provinsi Lampung di tahun 2008, dikemukakan bahwa penutur Bahasa Jawa di Provinsi Lampung berkisar pada angka 61,88%, Bahasa Lampung 11,92%, Bahasa Sunda 11,27%, dan suku-suku lainnya seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis 11,35%. Maka definisi penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa kelas 1-3 SD bisa berbahasa Indonesia juga menjadi rancu. Bahasa daerah di sini kemudian tidak selalu harus diartikan Bahasa Lampung. Apabila bahasa ibu seorang anak adalah mayoritas Jawa, maka guru juga akan sepertinya lebih mudah mengajarkan siswa di kelas 1 dengan Bahasa Jawa daripada Bahasa Lampung.
Begitu juga dengan siswa-siswa di daerah kota, misalkan Bandar Lampung, yang mayoritas bahasa ibunya adalah Bahasa Indonesia. Maka juga wajar apabila guru kemudian langsung menggunakan Bahasa Indonesia saat mengajar siswa di kelas 1 SD. Sehingga dalam hal ini, pemerintah memang dituntut harus bersikap realistis dan humanis dalam membuat kebijakan, bahwa masyarakat non-Lampung pun berhak untuk belajar tentang bahasa dan budayanya sendiri. Penggunaan Bahasa lampung untuk mengajar siswa di kelas 1-3 SD pun idealnya dibatasi pada daerah-daerah yang memang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa peralihan siswa di kelas 1-3 SD ini pada dasarnya terbukti sebagai sebuah program yang sangat efektif, terutama terkait dalam usaha pemertahanan bahasa daerah yang terancam punah seperti Bahasa Lampung. Banyak contoh serupa dilakukan dan sudah menunjukkan hasil yang sangat positif di beberapa negara, misalkan Bahasa Yup’ik di Alaska, Bahasa Navajo di Arizona, Bahasa Maori di Selandia Baru dan Bahasa Hawaii di Hawaii. Penggunaan bahasa-bahasa daerah tersebut di kelas 1-3 SD terbukti mampu membuat siswa-siswa di sekolah yang menerapkan program tersebut memiliki kemampuan berbahasa daerah yang baik dan pada akhirnya mampu menekan laju pergeseran pilihan penggunaan bahasa pada anak-anak.
Tetapi, memang komitmen pemerintah dan masyarakat dalam usaha pembalikan pergeseran bahasa di Alaska, Hawaii, Arizona dan Selandia Baru tampak sangat maksimal. Tujuan utama program tersebut sebenarnya sederhana, membuat anak masih bisa berbahasa daerah. Karena apabila anak tidak lagi bisa berbahasa daerah dan cenderung lebih memilih berbahasa Indonesia, maka hal ini sebenarnya adalah tanda awal terancamnya suatu bahasa menuju kepunahan.
Permasalahan yang ada di Lampung adalah tidak adanya dukungan yang mencukupi dari pemerintah. Rujukan penggunaan bahasa daerah kita tampak hanya menjadi sebuah kebijakan yang tertulis di atas kertas. Pertama, anjuran penggunaan Bahasa Lampung untuk mengajar siswa kelas 1-3 SD hanya dimaksudkan untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia, belum sampai pada tahapan menggunakan kebijakan ini sebagai bagian dari usaha serius proteksi bahasa daerah, seperti misalnya penyediaan bahan ajar, kurikulum, dan juga materi ujian yang semuanya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Lampung dan kemudian menuntut guru untuk berbahasa Lampung secara penuh ketika mengajar siswa dari kelas 1-3 SD. Selanjutnya, Bahasa Indonesia bisa digunakan mulai kelas 4 SD dan seterusnya, dengan tetap memberikan pelajaran Bahasa Lampung 2 jam seminggu sampai kelas 9 SMP.
Kedua, penyediaan guru Bahasa Lampung yang berkualitas yang tampaknya sampai hari ini tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Semenjak Program Studi D III Bahasa Lampung di Universitas Lampung ditutup di tahun 2007, karena kurangnya peminat dan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk lulusannya, sekolah-sekolah pun terlihat bingung mencari guru yang memiliki kualifikasi mengajar Bahasa Lampung mulai kelas 4 SD sampai 9 SMP. Yang kemudian terjadi adalah meminta guru yang bersuku Lampung atau bisa berbahasa Lampung, tanpa memperdulikan latar belakang pendidikannya, untuk mengajar Bahasa lampung. Sudah bisa dipastikan kalau hasilnya pasti tidak akan maksimal, karena guru-guru tersebut tidak memiliki latar belakang pengajaran bahasa. Mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung bahkan mengatakan bahwa pengajaran Bahasa Lampung terjebak pada pembelajaran aksara dan bukan komunikasi dalam Bahasa Lampung.
Rasional memang apabila Universitas Lampung kemudian menutup program studi tersebut, karena membuka program studi tanpa tahu kemana lulusan mereka akan bekerja juga tampak sebagai sebuah keputusan yang memang tidak logis, mengingat syarat untuk menjadi guru sekarang harus S1 bukan D III. Proposal pengajuan pembukaan Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Lampung konon juga sudah diajukan, namun sampai hari ini tampak belum mendapatkan persetujuan. Tetapi apakah kemudian ketidaktersediaan guru ini akan terus dibiarkan?
Ada dua hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Universitas Lampung dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam penyediaan guru Bahasa Lampung. Pertama, melalui beasiswa penuh dari pemerintah, guru-guru yang mengajar Bahasa Lampung di sekolah saat ini meskipun tidak memiliki latar belakang pengajaran Bahasa tetapi bisa berbahasa Lampung dan diusulkan oleh sekolah bisa mengikuti program pelatihan atau sertifikasi guru Bahasa Lampung secara intensif selama satu semester yang dikelola oleh Universitas Lampung. Kedua, Universitas Lampung bisa memasukkan mata kuliah pengajaran Bahasa Lampung yang selama ini diajarkan di Program Studi D III Bahasa Lampung ke dalam mata kuliah mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sehingga ketika lulus, mereka juga secara tidak langsung memiliki hak, kewajiban dan kemampuan untuk mengajar Bahasa Lampung di sekolah.
Lagi, mempertahankan kelestarian Bahasa Lampung adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah dan akademisi, tetapi juga masyarakat secara umum. Mempertahankan Bahasa Lampung tidak cukup dengan memberikan anjuran penggunaan satu hari di sekolah-sekolah atau kantor-kantor pemerintahan dan mengajarkan aksaranya di sekolah. Harus ada pertimbangan-pertimbangan dan rencana-rencana yang matang dari pemerintah untuk hal ini. Langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah adalah bersikap realistis dengan memetakan daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan Bahasa Lampung, merencanakan program pemertahanan Bahasa Lampung di daerah-daerah tersebut, menggandeng masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah, memastikan Bahasa lampung tetap digunakan di ranah-ranah penggunaan bahasa, mempersiapkan program bilingual di kelas 1-3 SD dan kelanjutannya di kelas 4 SD – 9 SMP dengan konsisten beserta kelengkapan bahan ajar yang mendukung dan guru-guru yang mampu menjalankan program tersebut.
Media baik cetak maupun elektronik dan instansi-instansi pemerintah seperti Kantor Bahasa, Dewan Kesenian Lampung, Dinas Pariwisata juga dituntut lebih aktif berpartisipasi membantu promosi penggunaan Bahasa Lampung. Tentu, biaya yang dibutuhkan untuk semua usaha ini tidaklah sedikit, tetapi kehilangan bahasa dan budaya juga sesuatu kerugian yang akan lebih kita sesali. Bila saat ini kita tidak memulai, maka kepunahan Bahasa Lampung adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan segera terjadi.
Lampung Post, 23 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar