Kamis, 25 Juli 2013

(pustaka) RINDU TANAH AIR, KANGEN KAMPUNG HALAMAN

Dodiek Adyttiya Dwiwanto


Sekali lagi, novel berbalut kisah peristiwa kelam 1965. Satu lagi karya terbaik Leila S. Chudori setelah 9 dari Nadira.

Judul buku: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan: pertama, Desember 2012
Tebal: 464 halaman
“Rumah adalah tempat keluargamu menetap,‘ aku menyusul Dimas ke teras. Mencoba mempertahankan pendirianku tanpa menyinggungnya.

“Rumah adalah tempat di mana aku bisa merasa bisa pulang,‘ jawab Dimas. Dingin. Datar. (halaman 201).

Dimas Suryo adalah eksil. Dia tidak bisa pulang setelah pecahnya Tragedi 30 September 1965. Dia adalah jurnalis yang menghadiri sebuah pertemuan jurnalis beraliran kiri di luar negeri. Dimas Suryo pun harus berpindah negara, berganti pekerjaan, dan lainnya hingga akhirnya tiba di Prancis.

Bersama sejumlah rekannya yang juga tidak bisa pulang lantaran bakal ditangkap oleh rezim Orde Baru, Dimas mendirikan restoran di Paris. Kisah hidupnya pun berlanjut dengan berjumpa perempuan Prancis, Vivienne Deveraux. Tidak lama berselang, dia ikut menyaksikan peristiwa besar lainnnya pada Mei 1968 di Prancis.

Kelak, putri Dimas dengan Vivienne, Lintang Utara juga menjadi saksi peristiwa besar lainnya, Mei 1998 saat Indonesia dilanda kerusuhan besar tidak lama setelah lengsernya Presiden Soeharto. Lintang berjumpa dengan Segara Alam, putra dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari. Hananto adalah senior Dimas, sementara Surti pernah dicintai oleh Dimas, namun kemudian dinikahi oleh Hananto.

Dimas dan sejumlah eksil lainnya tidak dapat pulang meskipun banyak   dari mereka bukan golongan kiri atau komunis. Mereka merasa bersalah lantaran sejumlah rekan atau keluarga mengalami perlakuan buruk dari aparat pemerintah.

Surti harus menjalani interogasi, Hananto akhirnya tertangkap dan dieksekusi, sedangkan ketiga putra putri mereka mengalami kisah kehidupan getir sejak belia. Sesekali, Dimas membantu Surti, masih ada cinta terpendam meski terkendala segalanya.

Sementara keluarga Dimas dan para eksil lainnya yang tinggal di tanah air juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Mereka dicap bagian dari golongan kiri. Ada yang berupaya menyembunyikan sejarah keluarganya, ada yang doyan berantem lantaran selalu diejek, ada yang bisa menerima, ada yang harus menjadi bulan-bulanan, dan lainnya.

Lintang yang kembali lagi ke Indonesia untuk membuat tugas akhir kuliahnya mendapati banyak hal. Dia berupaya menguak lagi pengalaman buruk para korban tragedi berdarah itu, plus mendapatkan hal lain soal kisah kasih ayahnya dengan Surti.

Inilah sisi lain dari Tragedi 30 September yang kadang terlupa dan dilupakan, soal orang-orang yang terbuang dari tanah air dan tidak bisa pulang. Atau soal orang-orang yang tidak punya kaitan apa-apa dengan tragedi itu dan hanya punya hubungan dengan para pelaku, tetapi malah mendapatkan dosa turunan dan cap buruk hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka tidak punya tanah air bagi eksil, sementara yang masih di sini berupaya menyembunyikan jejaknya agar bisa berbaur dengan masyarakat.

Tragedi 30 September 1965 memang masih menjadi “topik seksi‘ untuk dijadikan karya sastra terutama novel. Tapol (Ngarto Februana), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Kubah (Ahmad Tohari), Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira ANM Massardi), Para Priyayi & Jalan Menikung (Umar Kayam), hingga 65 & Blues Merbabu (Gitanyali) serta Amba (Laksmi Pamuntjak) menjadi sederetan novel yang menjadikan tragedi ini sebagai bagian dari kisahnya.

Pulang menjadi karya terbaru Leila S. Chudori setelah kumpulan cerita pendeknya 9 dari Nadira. Dua karya yang terbilang bagus. Pulang menjadi sebuah karya yang komplet dengan berkisah kemanusiaan, tidak hanya melulu berkisah soal cinta, keluarga, atau politik. Pulang mengungkapkan manusia-manusia yang tersingkir karena hanya peristiwa politik.   n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013

Tidak ada komentar: