Minggu, 15 Juli 2012

PARODI DALAM PUISI, SEBUAH KRITIK

DAISI PRIYANTI


PARODI bersandar pada wilayah yang telah mapan. Penggunaan parodi, oleh karena itu, sering ditujukan untuk kritik. Membongkar wilayah kemapanan subyek. Sasaran dijatuhkan melalui perangkat kepemilikan sendiri. Semisal pertarungan silat, parodi persis ilmu "lampah lumpuh" dalam serial "Tutur Tinular", yakni tenaha untuk menjatuhkan dirinya sendiri.

Sebagai sebuah kritik, parodi merupakan "jalan pintas paling aman". Pihak yang dikritik jarang bisa marah, justru bisa jadi, tersenyum, bahkan terpingkal-pingkal. Ada dualisme posisi. Pertama, pihak terkritik merasa tersanjung karena pola operasional komunikasinya dipergunakan. Kedua, pihak terkritik merasa sedikit tersinggung karena kesalahannya dikuak. Disebabkan dualisme kontra- posisi itulah, pihak terkritik sulit menentukan sikap, dan pilihan paling spontan dari kebingungan menentukan sikap, adalah senyum lebar. Puisi Indonesia terkini banyak sekali menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi.

Puisi berjudul "Chanel 00" karya penyair Afrizal Malna berikut ini dapat dijadikan contoh menarik: Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar. Bunga dan bensin di halaman. Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.

Diksi "Chanel" adalah lambang yang biasa digunakan untuk stasiun televisi. Setiap stasiun menggunakan gelombang yang dapat ditangkap oleh layar televisi melalui operasional angka-angka gelombang. Setiap stasiun menggunakan angka yang berbeda, tetapi tidak satu pun yang menggunakan angka nol, yang berarti juga, kosong. Penggunaan angka di atas nol sebagai arti bahwa stasiun tersebut "ada" atau mengudara, dapat dicari dan ditemukan dalam deretan gelombang. Apakah kalimat "Chanel 00" telah memenuhi kriteria pemasangan stasiun televisi? Ada parodi dalam konvensi atau aturan gelombang, siapa pun orang tidak akan menemukan sebuah stasiun yang menggunakan angka nol. Apalagi angka 00.

Apabila masih kurang lucu, dapat dibayangkan sebuah iklan yang memasang kalimat, "Aktifkan televisi Anda dalam chanel 00!" Ditilik dari larik-lariknya, parodi yang terkandung tidak kurang. Aku lirik dalam puisi tersebut mengucap selamat tinggal untuk bunuh diri "sebentar". Bagaimana mungkin bunuh diri (mati) dapat sebentar atau sementara? Seseorang yang sudah mati, sewajarnya, tidak akan hidup (kembali) lagi.

Kegiatan bunuh diri adalah kegiatan yang tidak dapat diulang. Memang ada orang-orang tertentu yang dapat mati, hidup lagi, mati lagi, dan hidup lagi. Seperti kisah Mbah Soleh, tukang sapu pemakaman Sunan Ampel, yang katanya pernah mati sembilan kali. Atau, beberapa kisah dalam majalah mistik Liberty tentang orang-orang mati yang dapat kembali hidup.

Kesemuanya hanya konon, berbau metafisika, di luar nalar sehat manusia. Di dalam sebuah puisi, atau di dalam perbincangan intelektual formal, kejadian "bunuh diri sebentar" adalah lucu. Tragik humor. Mengada-ada.

Dan, mustahil. Tetapi, kiranya, ada kritik diri dalam puisi tersebut. Aku lirik menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terjebak dalam kondisi tragik humor. Mengaji, diksi yang merujuk pada pembacaan ayat-ayat suci Tuhan, disalah-pasangkan untuk tindak menonton televisi. Ataukah perlu dibaca-artikan "pembacaan ayat-ayat televisi"?

Tragik humor lagi. Bagi umat beragama, misalnya Islam, tindakan di luar kehendak ayat Al-Qur'an adalah dosa. Diksi "dosa" dalam dunia puisi, dunia metafor, dapat diartikan "kematian". Puisi di atas mengisyaratkan adanya orang-orang yang selalu mengaji televisi, menganggap televisi sebagai sumber religiusitas. Dan, aku lirik ada di dalam kumpulan orang-orang tersebut. Larik saya sedang bunuh diri menjadi sangat tragik, mentertawakan diri, seseorang yang hanya dapat hidup dalam bayang-bayang tawaran televisi. Meyakini diri "mati" apabila keluar dari pusaran chanel televisi. Parodi yang mengarah pada diri sendiri, membuka keburukan diri, memang kegiatan yang asyik-masyuk. Orang lain yang menyaksikan, bisa jadi, akan mentertawai, mencibir, mengeluhkan, atau menuntut pada aku lirik. Orang lain yang lebih peka, bisa jadi, akan melihat aku lirik-nya sendiri untuk kontemplasi. Apakah parodi juga menerpa diri pe-saksi? Keberhasilan parodi, untuk memparodi diri sendiri, dalam puisi sangat tergantung pada sublimasi ilustrasi. Bagaimana peristiwa yang dialami dan dirasa tokoh aku dapat juga dibayangkan pembaca.

Akan lebih baik lagi, mengingatkan bahwa pembaca juga mengalami dan sedang merasakan peristiwa serupa. Parodi menjadi kritik diri yang melompat menempuh tanggungan kritik universal. Aku lirik dalam puisi adalah aku pembaca dalam realitas. Puisi berjudul "Warisan Kita", karya lain dari Afrizal, kiranya menyajikan ilustrasi parodi berbeda. Tindak parodi yang agak sulit untuk menimbulkan tawa.

Seperti dalam bait pertama berikut: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, gegeretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. Dampak dari pembacaan puisi di atas, bisa jadi, pembaca tercerabut dari realitas sebuah dunia kalimat. Sulit mencari rujukan makna untuk dapat menjelaskan sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian kata benda.

Yasraf Amir Piliang menengarai, karya seni parodi memiliki ciri khas; tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata. Kata-kata, apapun bentuknya, telah memiliki makna parsial, entah artian literal, entah artian sosial. Sebuah puisi, yang terdiri dari kata-kata, otomatis, menyandang beban makna. Seperti yang dituliskan A. Teeuw, karya sastra (baca: puisi) tidak berangkat dari kekosongan. Sebuah puisi dengan begitu, apabila menggunakan logika terbalik, dapat diciptakan dengan "asal comot kata".

Toh, akan tetap ada makna terkandung. Puisi "Warisan Kita" sama sekali tidak menyiratkan kesulitan proses penciptaannya. Tinggal mengurutkan sejumlah kata benda. Seakan, setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia dapat mencipta puisi. Sangat beda dengan puisi-puisi model Amir Hamzah, yang sangat mendayu-dayu, penuh perhitungan lagu, terobosan makna, dan keagungan nuansa.

Atau, puisi Goenawan Mohamad yang teramat sarat reinterpretasi mitologi, tekanan psikologi, konflik sosial, dan kerumitan filsafat. Pengulangan yang intens terhadap diksi dan larik puisi "Warisan Kita" mengesankan pemakaian pola mantra. Pembacaan yang cepat dan berirama terhadap puisi tersebut, akan menghasilkan sugesti yang mengusai pendengar. Mantra, sebagai sebuah jenis uisi, telah ada sejak Indonesia berbentuk kerajaan kecil. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai bentuk mantra sendiri.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Juni 2012

Tidak ada komentar: