K.MUHAMMAD HAKIKI.
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
JIKA kita menengok berbagai museum di Indonesia sungguh sangat memprihatinkan. Terutama museum yang menyimpan data manuskrip yang berbasis keislaman.
Kondisi manuskrip kita hingga kini masih terabaikan dan belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam. Padahal sebenarnya bidang kajian ini sangat potensial dan menarik. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa kajian-kajian seperti ini masih tergolong langka dan kurang diminati. Tentu jawaban klasik pasti akan tetap muncul.
Pertama, kurangnya pemahaman terhadap bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu dan bahasa lokal kuno di Indonesia. Kedua, sulitnya mancari naskah-naskah kuno karena masyarakat masih menganggap manuskrip sebagai benda warisan pusaka leluhur yang harus di sakralkan, bukan dikaji isi dan kandungannya.
Bukan Dokumen
Lalu apa sebenarnya manuskrip itu sendiri? Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang, tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Jika merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Jadi manuskrip berbeda dengan dokumen. Pengertian "manuskrip" dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.
Menurut hasil penelitian Oman Fathurrahman (pelopor kajian manuskrip Indonesia), sejumlah koleksi manuskrip Islam Nusantara sangat banyak yang ditulis dalam berbagai bahasa lokal, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab.
Tetapi, sebagian besar kondisi fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.
Kajian terhadap manuskrip Islam Nusantara, menurut Oman, mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat muslim lokal karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab ditulis dalam berbagai bahasa lokal. Bahasa lokal tersebut, antara lain Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda Kuna, Ternate, Wolio, bahasa-bahasa Indonesia Timur, bahasa-bahasa Kalimantan, dan bahasa-bahasa Sumatera. Sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam "jalan pintas" untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan antara Islam dan budaya-budaya lokal di Nusantara. Hal ini tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan dan kebangsaan. Juga menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun silam.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part) dari dunia Islam secara keseluruhan.
Akan tetapi sangat disayangkan fenomena yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya. Keberadaan manuskrip yang sejatinya menjadi kebanggaan negeri kita justru di sia-siakan. Bahkan yang lebih tragis selama ini banyak dijumpai tengkulak manuskrip kuno. Tengkulak tersebut, antara lain datang dari Malaysia, Belanda, Amerika. Para kolektor tersebut rela merogoh kocek untuk membeli manuskrip bersejarah dari masyarakat kemudian dijual lagi.
Jual-beli itu terjadi karena masyarakat membutuhkan uang. Sebab itu, tak heran jika manuskrip Nusantara lebih banyak dijumpai dan tersimpan di perpustakaan luar negeri dibandingkan di negeri kita sendiri.
Manuskrip Lampung?
Untuk melestarikan peninggalan sejarah tersebut, tak ada cara lain yang harus segera dilakukan saat ini, yakni upaya untuk merawat manuskrip-manuskrip Nusantara dari kepunahan, penjualan, dan pencurian. Pemerintah seyogianya lebih sigap memperhatikan kondisi manuskrip-manuskrip negeri kita.
Sampai saat ini justru upaya ke arah itu lebih sering dilakukan oleh pihak-pihak nonpemerintah. Seperti yang dilakukan Manassa yang dikomandoi Oman Fathurrahman yang mendukung Program Restorasi dan Digitalisasi Naskah. Misalnya, restorasi dan digitalisasi naskah-naskah Islam dari Aceh berkat kerja sama dengan Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, PKPM Aceh, dan Leipzig University.
Hasilnya, tercatat sejak 2007 hingga akhir 2009, sudah lebih dari 1.989 naskah yang direstorasi dan 1.223 naskah yang didigitalisasi. Lalu bagaimana dengan manuskrip Islam Lampung?
Upaya itu penting sekali untuk segera dilakukan mengingat naskah kuno (manuskrip) Nusantara merupakan salah satu bagian dari identitas bangsa Indonesia yang harus kita rawat. Jika kita tidak menyelamatkannya, bangsa ini dengan tinggal menunggu waktunya akan kehilangan salah satu identitas budayanya sendiri. (n)
Lampost : Sabtu 14 Juli 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar