Oleh Welly Adi Tirta
Pekerja swasta
Mungkin tidak banyak yang mengetahui kalau tanggal 8 September yang lalu adalah Hari Aksara. Hari itu dimaksudkan untuk menggelorakan minat membaca di masyarakat. Namun, dari beragam data dan fakta, minat masyarakat kita untuk membaca memang rendah. Hal ini tentu saja diakibatkan oleh daya beli masyarakat terhadap buku yang rendah. Membeli buku masih merupakah aktivitas yang “mewah”.
Buku belum dipandang sebagai kebutuhan yang pokok, yang akan mengisi lambung pemikiran dalam otak dan kesadaran manusia. Buku masih dilihat sebagai bahan ajar yang saklek di sekolah. Itu pun buku dalam kerangka pemenuhan pelajaran yang acap “dipaksakan” dalam pembeliannya. Kita mesti jujur bahwa buku memang belum menjadi hal yang utama. Maka itu tidaklah mengehrankan kalau tingkat pembacaan karya di Indonesia masih sangat rendah. Apalagi buku-buku sastra dan ensiklopedia. Daya beli memang menjadi hal utama yang menjadi penyebab rendahnya minat membeli dan membaca buku. Memang kita bersama maklum bahwa orang yang tidak mampu tentu sulit membeli buku. Mereka dalam keseharian saja susah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, apalagi mesti sampai membeli buku. Yang primer saja mereka sulit mendapatkan, apalagi yang “sekunder”. Ini bisa kita maklumi bersama dan tak bisa dipaksakan bahwa harus membeli dan membaca buku supaya pandai. Yang harus dilakukan dalam tahap ini ada dua, pertama mendorong kesadaran masyarakat bahwa membaca buku itu penting, dan kedua, mendesak pemerintah “memurahkan” harga buku. Soal kesadaran barangkali tepat dilakukan di sekolah. Setiap guru di sekolah bisa men-support anak didiknya agar gemar membaca. Para siswa harus diberikan informasi bahwa membaca buku itu sangat penting. Ilmu yang ada di dalam buku akan menjadi bekal siswa di kehidupan mendatang. Dan, perlu juga disampaikan kepada murid, bahwa membaca buku tak mesti membeli. Ada beberapa perpustakaan di daerah yang bisa dijadikan sarana membaca buku. Siswa bisa meminjam buku di sana dan mengapresiasinya. Dengan begitu siswa akan tertarik dan mulai membiasakan membaca buku. Kedua, pemerintah mesti menggulirkan peraturan agar harga buku bisa terjangkau. Sudah itu, kesejahteraan buat para penulis bukunya juga mesti dipikirkan. Seperti kata novelis Indoensia, Helvy Tiana Rosa, pengarang buku mengalami dilema. Mereka hendak mencerdaskan bangsa tetapi karya mereka malah dikenai pajak. Bagaiman penulis buku hendak semangat kalau belum apa-apa sudah terkena kewajiban pajak. Nah hal inilah yang mesti mampu diatasi pemerintah. Misalnya saja dengan membeli hak siar buku dengan harga yang pantas kepada penulisnya. Kalau ini yang terjadi, akan terjadi simbiosis mutualisme. Masyarakat akan mendapatkan bacaan berkualitas yang harganya terjangkau, sedangkan penulis mendapatkan honor atau royalti yang manusiawi. Di sisi lain, pemerintah juga bisa menggulirkan program untuk memasyarakatkan budaya membaca. Achmad Fauzi, seperti penulis kutip di Koran Tempo, menjelaskan, bahwa budaya membaca ini bermanfaat besar dalam membangun peradaban bangsa. Fauzi menulis, menciptakan generasi gemar membaca merupakan jembatan menuju masyarakat ilmiah dan berperadaban. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Menciptakan generasi yang literat membutuhkan proses dan sarana kondusif dengan mensinergikan peran keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga sangat dominan dalam perkembangan literasi anak. Fauzi menambahkan, hasil riset menunjukkan, umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan gemar membaca jika melihat orang tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, koran atau majalah. Bahkan, anak yang dalam usia dua tahun acap dibacakan buku oleh orang tuanya, cenderung memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dibanding teman sebayanya. Kita sadar betapa buku bisa mendukung pendidikan kepada anak. Sekadar mengajak anak ke toko buku atau bahkan mungkin membeli buku bekas, adalah sarana yang baik menggelorakan kepahaman aksara kepada mereka. Buku memang tak murah, tapi juga bukan berarti tak bisa dibeli. Bergantung kepada pemahaman masyarakat terhadap buku itu sendiri. Dan mudaha-mudahan Hari Aksara yang baru lewat bisa menjadi momentum kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap arti pentingnya buku dan budaya membaca.
Sumber : Opini Lampost Sabtu 17 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar