Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Jumat, 16 September 2011
30 Persen Kembali Buta Aksara
JAKARTA - Sebanyak 30 persen dari jumlah peserta program pemberantasan buta aksara kembali tidak bisa membaca dan menulis menggunakan bahasa Indonesia setiap tahunnya. Pada 2010, terdapat 250 ribu orang yang mengikuti program tersebut. Sedangkan 2011 mencapai 550 ribu orang. ”Hasil evaluasi data, 30 persen yang sudah melek aksara jadi buta aksara lagi karena tidak ada pembinaan di daerah khusus. Sarana dan pembinaan masih terbatas,” ungkap Direktur Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Ditjen PAUDNI Kemendiknas Wartanto di Jakarta kemarin (8/9). Menurutnya, kasus-kasus tersebut terjadi di daerah yang memiliki karakter khusus juga. Misalnya sangat terpencil dan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa ibu (daerah). Untuk itu, harus ada pemecahan masalah. ”Di pelosok komunikasi tidak pakai bahasa Indonesia.
Akhirnya yang sudah bisa tidak dipakai. Padahal, orang yang baru bisa membaca dan menulis ingin mempraktikan,’’ ujarnya. Tidak hanya itu, kata dia, terbatasnya buku bacaan membuat mereka sulit mempraktikannya. Sementara, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang dibentuk belum bisa mencakup seluruh daerah. ’’TBM yang dibangun hanya 500 unit per tahunnya. Padahal desa yang ada di seluruh Indonesia mencapai 70 ribu lebih. Karenanya perlu dukungan pemerintah daerah (pemda),’’ tegas Wartanto. Baginya, pemberantasan buta aksara hanya ditujukan bagi penduduk usia produktif, yaitu 15-44 tahun. Tapi, persoalannya setelah data masuk pada 2010 ternyata 70 persen di atas usia 45 tahun. ”Jumlah penderita buta aksara terakhir mencapai 8,3 juta orang. Atau hanya 4,79 persen dari total penduduk Indonesia. Kalau waktu terus berjalan, jumlah 2011 akan naik lagi.
Dengan keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar angka buta huruf makin berkurang. Kita tetap melakukan pembinaan dengan buta aksara dasar,’’ katanya. Persoalan mengapa sulitnya pengentasan di daerah, lanjutnya, akibat jumlah yang makin sedikit di satu desa. Misalnya desa A 3 orang, desa B 2 orang, dan desa C 3 orang. Sementara, pelaksanaan program tidak bisa sporadis. Untuk membuat 1 kelompok pengentasan buta aksara minimal ada 20 orang. ”Semakin menipisnya ini, di desa tidak mungkin bikin 1 kelompok. Terlalu besar biayanya,’’ katanya. Diakuinya, jumlah buta aksara di Indonesia sudah di bawah target 5 persen. Karenanya, Indonesia sering dirujuk negara lain dan UNESCO.
’’Pada 2011 melalui Inpres Nomor 3 kita dikasih kesempatan 550 ribu orang. Hampir 2 kali lipat target tahun ini yang ada di Renstra,’’ urai Wartanto. Kasubdit Pembelajaran dan Peserta Didik Direktorat Pendidikan dan Masyarakat Kemendiknas Elih Sudiapermana menjelaskan, bantuan dana yang disediakan per lembaga Rp 15 juta untuk TBM baru. Sedangkan pembinaan Rp 25 juta. Dari 550 lembaga yang dibantu, ada yang mendapatkan Rp 15 dan Rp 25 juta. Tergantung kebutuhan setempat, tidak hanya buku tapi juga sarana pendukung lainnya. Dari jumlah tersebut, untuk keaksaraan dasar bantuan Rp 360 ribu per orang. Dengan pembelajaran setara 114 jam. Kurang lebih 6 bulan dengan pertemuan per minggu 2 kali. Setelah dasar, ada keaksaraan mandiri masing-masing Rp 450 ribu per orang. (cdl)
Sumber : IndoPost.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar