BAHASA Jawa mulai ditinggalkan oleh orang Jawa, terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Melunturnya kebiasaan berbahasa Jawa jika dibiarkan semakin lama akan turut memudarkan budaya Jawa. Peneliti Balai Besar Bahasa Jawa Tengah, Suryo Handono, di Kota Semarang, Selasa (18/1), mengungkapkan, bahasa Jawa mulai ditinggalkan terutama oleh kalangan keluarga muda di Kota Semarang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suryo pada tahun 2003, di Kota Semarang hanya 26,3 persen orang Jawa yang masih setia berbahasa Jawa. ”Sebagian besar memandang bahasa Indonesia lebih mudah dan akrab karena tidak ada jenjang penggunaannya seperti bahasa Jawa,” kata Suryo. (UTI)
Sumber: Kompas, Rabu, 19 Januari 2011
Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Minggu, 23 Januari 2011
Senin, 17 Januari 2011
100 Turis disambut Pergelaran Wisata
Utama Lampost : Senin, 17 Januari 2011
PARIWISATA LAMBAR
MERAPAT DI KRUI. Kapal pesiar Odessy Clipper asal Amerika Serikat yang membawa 103 wisatawan mancanegara merapat di pantai Krui, Lampung Barat, Minggu (16-1). Pemkab Lambar menyambut rombongan wisatawan dengan menggelar acara budaya.
(LAMPUNG POST/HENDRI ROSADI)
LIWA (Lampost): Lebih dari 100 wisatawan mancanegara menikmati pergelaran budaya dan sejumlah objek wisata di Lampung Barat, Minggu (16-1).
Rombongan wisatawan berlabuh di Pelabuhan Kualastabas, Kecamatan Pesisir Tengah, Krui, sekitar pukul 07.00, dengan menumpang kapal pesiar Odessy Clipper asal Amerika Serikat.
Mereka disambut Camat Pesisir Tengah Edi Muktar dengan cara mengalungkan tapis kepada salah seorang perwakilan tamu ekseklusif tersebut. Kemudian mereka juga disambut tari Bedana.
Setelah itu, para turis melanjutkan perjalanan menggunakan enam bus menuju Lamban Gedung Kerajaan Paksi Pak Skala Brak di Kecamatan Batubrak. Ke-103 turis asing itu disambut Dalom Putri Arigina N.F.Z. Pernong, putri pertama Edwar Syah Pernong Gelar Sultan Skala Brak yang Dipertuan ke-23. Dalom Putri dengan bahasa Inggris yang lancar menjelaskan sejarah Kerajaan Skala Brak. "Lamban Gedung yang merupakan pusat Kerajaan Sekala Brak menyimpan sejarah berdirinya Kerajaan Sekala Brak serta banyaknya peninggalan sejarah," kata dia.
Setelah menerima penjelasan dari Dalom Putri, para pelancong asing itu melihat peninggalan-peninggalan bersejarah di Lamban Gedung. Mereka juga berbaur saat menikmati atraksi tari adat di halaman Lamban Gedung.
Di lamban gedung, wisatawan antusias dan mengabadikan sejumlah pusaka-pusaka Kerajaan Paksi Pak Skala Brak di Kecamatan Batu Brak dan kain tapis. Usai menyaksikan berbagai seni budaya di lamban gedung Kepaksian Buay Pernong itu, para turis diajak ke tempat pengolahan kopi luwak di Pekon Way Mengaku. Di tempat tersebut, selain menyaksikan cara pembuatan kopi luwak, para turis itu pun tidak ketinggalan untuk ikut mencicipi kopi luwak.
Tak lupa, mereka juga membawa pulang kopi itu ke negara mereka sebagai oleh-oleh. "Saya sangat merasakan perbedaan rasa dan aroma antara kopi biasa dengan kopi luwak," kata Richard, turis asal Australia.
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Pekon Pahmongan di Kecamatan Pesisir Tengah. Di tempat tersebut para turis itu menyaksikan atraksi panjat damar yang dilakukan warga, baik kaum ibu maupun kaum bapak. "Agar para tamu itu dapat menyaksikan serta mengetahui secara langsung tentang aneka seni budaya serta kekayaan alam yang dimiliki masyarakat Lampung Barat, sejumlah warga Pekon Pahmongan juga menyuguhkan atraksi panjat damar yang dilakukan bapak-bapak maupun ibu-ibu dengan lokasinya dipusatkan di repong damar milik masyarakat Pekon Pahmongan," kata Camat Pesisir Tengah Edi Muktar, kemarin.
Sementara, Tuch (64), wisatawan asal Amerika Serikat, mengakui telah berwisata lebih dari seratus negara. "Sudah lebih dari seratus negara yang saya kunjungi, tetapi Lambar memiliki karakter tersendiri baik alamnya maupun masyarakatnya," kata dia.
Selanjutnya, 103 pelancong itu menikmati keindahan alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan salah satu objek andalan anggrek yang banyak terdapat di kawasan hutan.
Sebelum mengakhiri safarinya, mereka dikenalkan dengan budi daya damar di Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah. "Kunjungan kami sehari di sini sangat terkesan dan banyak sekali potensi baik alam maupun budaya Lambar yang sangat menarik," kata Christian asal Spanyol. (HEN/ELI/U-1)
PARIWISATA LAMBAR
MERAPAT DI KRUI. Kapal pesiar Odessy Clipper asal Amerika Serikat yang membawa 103 wisatawan mancanegara merapat di pantai Krui, Lampung Barat, Minggu (16-1). Pemkab Lambar menyambut rombongan wisatawan dengan menggelar acara budaya.
(LAMPUNG POST/HENDRI ROSADI)
LIWA (Lampost): Lebih dari 100 wisatawan mancanegara menikmati pergelaran budaya dan sejumlah objek wisata di Lampung Barat, Minggu (16-1).
Rombongan wisatawan berlabuh di Pelabuhan Kualastabas, Kecamatan Pesisir Tengah, Krui, sekitar pukul 07.00, dengan menumpang kapal pesiar Odessy Clipper asal Amerika Serikat.
Mereka disambut Camat Pesisir Tengah Edi Muktar dengan cara mengalungkan tapis kepada salah seorang perwakilan tamu ekseklusif tersebut. Kemudian mereka juga disambut tari Bedana.
Setelah itu, para turis melanjutkan perjalanan menggunakan enam bus menuju Lamban Gedung Kerajaan Paksi Pak Skala Brak di Kecamatan Batubrak. Ke-103 turis asing itu disambut Dalom Putri Arigina N.F.Z. Pernong, putri pertama Edwar Syah Pernong Gelar Sultan Skala Brak yang Dipertuan ke-23. Dalom Putri dengan bahasa Inggris yang lancar menjelaskan sejarah Kerajaan Skala Brak. "Lamban Gedung yang merupakan pusat Kerajaan Sekala Brak menyimpan sejarah berdirinya Kerajaan Sekala Brak serta banyaknya peninggalan sejarah," kata dia.
Setelah menerima penjelasan dari Dalom Putri, para pelancong asing itu melihat peninggalan-peninggalan bersejarah di Lamban Gedung. Mereka juga berbaur saat menikmati atraksi tari adat di halaman Lamban Gedung.
Di lamban gedung, wisatawan antusias dan mengabadikan sejumlah pusaka-pusaka Kerajaan Paksi Pak Skala Brak di Kecamatan Batu Brak dan kain tapis. Usai menyaksikan berbagai seni budaya di lamban gedung Kepaksian Buay Pernong itu, para turis diajak ke tempat pengolahan kopi luwak di Pekon Way Mengaku. Di tempat tersebut, selain menyaksikan cara pembuatan kopi luwak, para turis itu pun tidak ketinggalan untuk ikut mencicipi kopi luwak.
Tak lupa, mereka juga membawa pulang kopi itu ke negara mereka sebagai oleh-oleh. "Saya sangat merasakan perbedaan rasa dan aroma antara kopi biasa dengan kopi luwak," kata Richard, turis asal Australia.
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Pekon Pahmongan di Kecamatan Pesisir Tengah. Di tempat tersebut para turis itu menyaksikan atraksi panjat damar yang dilakukan warga, baik kaum ibu maupun kaum bapak. "Agar para tamu itu dapat menyaksikan serta mengetahui secara langsung tentang aneka seni budaya serta kekayaan alam yang dimiliki masyarakat Lampung Barat, sejumlah warga Pekon Pahmongan juga menyuguhkan atraksi panjat damar yang dilakukan bapak-bapak maupun ibu-ibu dengan lokasinya dipusatkan di repong damar milik masyarakat Pekon Pahmongan," kata Camat Pesisir Tengah Edi Muktar, kemarin.
Sementara, Tuch (64), wisatawan asal Amerika Serikat, mengakui telah berwisata lebih dari seratus negara. "Sudah lebih dari seratus negara yang saya kunjungi, tetapi Lambar memiliki karakter tersendiri baik alamnya maupun masyarakatnya," kata dia.
Selanjutnya, 103 pelancong itu menikmati keindahan alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan salah satu objek andalan anggrek yang banyak terdapat di kawasan hutan.
Sebelum mengakhiri safarinya, mereka dikenalkan dengan budi daya damar di Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah. "Kunjungan kami sehari di sini sangat terkesan dan banyak sekali potensi baik alam maupun budaya Lambar yang sangat menarik," kata Christian asal Spanyol. (HEN/ELI/U-1)
PELUNCURAN BUKU: Novel yang Menyelamatkan Masa Silam Lampung
Utama Lampost : Minggu, 16 Januari 2011
NOVEL "Perempuan Penunggang Harimau"
BANDAR LAMPUNG—Beruntunglah Lampung karena novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni terbit. Setidaknya, novel ini mampu membangunkan kembali ingatan ulun Lampung terhadap masa lalu mereka. Tentu saja setelah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang terhadap sejarah.
Sastrawan Binhad Nurrohmat dalam peluncuran novel terbitan BE Press ini di aula Lampung Post, Sabtu (15-1), mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau telah menyelamatkan masa silam Lampung.
Menurut dia, dalam menulis, seorang pujangga tidak hanya mengandalkan konsep dan sistematika. Namun, ada misi yang hendak disampaikan penulis. "Di sinilah letak penting seorang pujangga," kata Binhad.
Kelebihan Ramdhoni dalam menulis novel ini, menurut dia, adalah adanya data-data empirik. "Seringkali penulis Indonesia bakat alam. Bung Dhoni (sapaan Ramdhoni) punya kelebihan. Karyanya ada kesamaan dengan Pramoedya Ananta Toer," kata penyair asal Lampung Timur ini.
M. Harya Ramdhoni mengakui kisah dalam novel karyanya merupakan percampuran antara fakta sejarah dan fiksi. "Tokoh-tokoh dalam novel ini merupakan individu yang pernah hidup di masanya masing-masing. Begitu juga dengan kerajaaan, dinasti, tempat, aksara, suku, benda, ritual adat, panggilan kebesaran, berbagai kesenian dan sastra lisan masyarakat Lampung Saibatin yang masih lestari," katanya.
Senada dengan itu, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan Lampung patut berbangga dengan novel tersebut. Sebab, belum ada novel yang menceritakan sejarah Lampung lengkap dengan data-datanya. Bahkan, Djadjat mengaku “jatuh cinta” ketika pertama kali membaca novel Perempuan Penunggang Harimau.
"Seperti kata Syahrir, jika kamu ingin mengetahui sejarah Barat, bacalah novelnya. Karena itu, lebih menghemat energi ketimbang kamu membaca buku-buku sosiologi. Sebab, novel bercerita tentang masyarakat," kata Djadjat.
Penyair Iswadi Pratama mengakui novel karya Ramdhoni tidak kekurangan data dalam menuliskan sejarah Lampung. Namun, karya ini harus tetap diperlakukan sebagai novel. "Masa silam yang diselamatkan novel ini diharapkan tidak menjadi museuminal belaka, tetapi bisa menjadi refleksi untuk masa depan," kata dia.
Dalam pembacaan Iswadi, Ramdhoni mampu menjaga harmonisasi tokoh-tokoh lama dalam novelnya kendati terdapat sedikit yang mesti dijelaskan. "Pada bagian-bagian tertentu Ramdhoni kuat sekali menuliskannya, tetapi di bagian lain, justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan," kata Iswadi.
Dari sudut lain, budayawan Iwan Nurdaya Djafar menyebut karya Ramdhoni justru menyelamatkan karya sastra Lampung klasik. "Kalau sebelumnya untuk puisi telah lahir puisi bebas, novel Perempuan Penunggang Harimau ini bisa menginspirasi bagi perkembangan prosa Lampung di masa depan." (HENDRY SIHALOHO/P-1)
NOVEL "Perempuan Penunggang Harimau"
BANDAR LAMPUNG—Beruntunglah Lampung karena novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni terbit. Setidaknya, novel ini mampu membangunkan kembali ingatan ulun Lampung terhadap masa lalu mereka. Tentu saja setelah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang terhadap sejarah.
Sastrawan Binhad Nurrohmat dalam peluncuran novel terbitan BE Press ini di aula Lampung Post, Sabtu (15-1), mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau telah menyelamatkan masa silam Lampung.
Menurut dia, dalam menulis, seorang pujangga tidak hanya mengandalkan konsep dan sistematika. Namun, ada misi yang hendak disampaikan penulis. "Di sinilah letak penting seorang pujangga," kata Binhad.
Kelebihan Ramdhoni dalam menulis novel ini, menurut dia, adalah adanya data-data empirik. "Seringkali penulis Indonesia bakat alam. Bung Dhoni (sapaan Ramdhoni) punya kelebihan. Karyanya ada kesamaan dengan Pramoedya Ananta Toer," kata penyair asal Lampung Timur ini.
M. Harya Ramdhoni mengakui kisah dalam novel karyanya merupakan percampuran antara fakta sejarah dan fiksi. "Tokoh-tokoh dalam novel ini merupakan individu yang pernah hidup di masanya masing-masing. Begitu juga dengan kerajaaan, dinasti, tempat, aksara, suku, benda, ritual adat, panggilan kebesaran, berbagai kesenian dan sastra lisan masyarakat Lampung Saibatin yang masih lestari," katanya.
Senada dengan itu, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan Lampung patut berbangga dengan novel tersebut. Sebab, belum ada novel yang menceritakan sejarah Lampung lengkap dengan data-datanya. Bahkan, Djadjat mengaku “jatuh cinta” ketika pertama kali membaca novel Perempuan Penunggang Harimau.
"Seperti kata Syahrir, jika kamu ingin mengetahui sejarah Barat, bacalah novelnya. Karena itu, lebih menghemat energi ketimbang kamu membaca buku-buku sosiologi. Sebab, novel bercerita tentang masyarakat," kata Djadjat.
Penyair Iswadi Pratama mengakui novel karya Ramdhoni tidak kekurangan data dalam menuliskan sejarah Lampung. Namun, karya ini harus tetap diperlakukan sebagai novel. "Masa silam yang diselamatkan novel ini diharapkan tidak menjadi museuminal belaka, tetapi bisa menjadi refleksi untuk masa depan," kata dia.
Dalam pembacaan Iswadi, Ramdhoni mampu menjaga harmonisasi tokoh-tokoh lama dalam novelnya kendati terdapat sedikit yang mesti dijelaskan. "Pada bagian-bagian tertentu Ramdhoni kuat sekali menuliskannya, tetapi di bagian lain, justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan," kata Iswadi.
Dari sudut lain, budayawan Iwan Nurdaya Djafar menyebut karya Ramdhoni justru menyelamatkan karya sastra Lampung klasik. "Kalau sebelumnya untuk puisi telah lahir puisi bebas, novel Perempuan Penunggang Harimau ini bisa menginspirasi bagi perkembangan prosa Lampung di masa depan." (HENDRY SIHALOHO/P-1)
Minggu, 16 Januari 2011
Membaca Sejarah secara Fiksional
Apresiasi Lampost : Minggu, 16 Januari 2011
Lamban Gedung Skala brak Belalau Lampung Barat
NOVEL " Perempuan Penunggang Harimau "
"...sebuah cincin Saibatin Sekala Bgha bergambar ukiran harimau kesayangannya yang tetap setia melingkari jari manis sang ratu merupakan tanda percumbuan imajiner itu. Kemesraan mistik itu pula yang membuat Sekeghumong tidak memilih kuda atau binatang peliharaan lainnya. Ia memilih bayi harimau jantan sebagai peliharaannya. Diasuhnya harimau itu dengan kasih seorang ibu."
BEGITULAH M. Harya Ramdhoni gaya M. Harya Ramdhoni menggambarkan secara fiksional sejarah Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat melalui novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau yang diterbitkan BE Press, Lampung, Januari 2011. Ia padukan antara fakta sejarah dan fiksi. Para tokoh dalam novelnya seperti La Laula, Taruda, Rakian Sekehandak, Dapunta Hyang Jayanaga dan lain-lain merupakan individu-individu yang pernah hidup pada masanya masing-masing. Begitu pula demikian dengan nama kerajaan, dinasti, tempat, aksara, suku, dan benda, semuanya fakta sejarah. Ramdhoni, pria yang lahir di Solo itu, menceritakan kehebatan Ratu Sekeghumong yang mempertahankan adat leluhurnya. Sekeghomong bangga dengan hidup kesederhanaan.
Mengapa menulis novel dan bukan buku sejarah, Ramdhoni menyatakan argumennya. "Pertama, saya bukan sejarawan. Kedua, karya sastra merupakan senjata yang ampuh untuk mentransfer ilmu," katanya saat peluncuran novel itu di aula Lampung Post, Sabtu (15-1) siang. Bukan tanpa bukti ia mengatakannya. Suatu hari, Ramdhoni pernah bertanya kepada teman-teman adiknya, mana lebih suka buku sejarah atau novel sejarah. Serempak mereka menjawab, "Novel!" Akhirnya, Ramdhoni memberikan mereka sebuah novel karya Pramoedya Ananta Tour. Hasilnya tak dinyana. Beberapa hari kemudian, anak-anak sekolah itu meminta novel lanjutannya. Dari situ, Ramdhoni berkesimpulan, ternyata karya sastra lebih memikat!
Krisis identitas dan budaya Lampung di kalangan kawula muda mengetuk juga mengetuk pintu hati Ramdhoni. Pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Kebangasaan Malaysia (UKM) itu ingin menyegarkan ingatan mereka. Namun, Ramdhoni ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Kebetulan, ia hobi menulis puisi. Bahkan, sebelumnya ia sudah pernah menulis novel, tetapi gagal karena aktivitasnya yang sibuk. Akhirnya, Ramdhoni mencoba menuliskan novel sejarah Kerajaan Skala Brak, Lampung Barat.
Selain itu, ia yakin karya sastra bisa membangkitkan gairah masyarakat. "Kenapa saya menulis Kerajaan Skala Brak? Karena saya orang sana. Menulis tentang asal-usul kita sendiri lebih emosional daripada dituliskan orang lain," kata Ramdhoni yang siang itu mengenakan kaus berkerah garis-garis.
Penyair Iswadi Pratama mengakui secara keseluruhan novel Perempuan Penunggang Harimau cukup komprehensif. Data-data yang dipaparkan teruji secara empirik. Sebab, penulisnya merupakan akademisi. Namun, ada beberapa bagian yang dikritiknya. Iswadi menjelaskan pada Bab I Halaman 1 dikatakan "ada seorang bayi perempuan dilahirkan". Lalu, pada halaman berikutnya dikatakan, "puluhan purnama ia menanti bayi itu". Menurut Iswadi, seorang perempuan mengandung hanya 9 bulan, bukan puluhan bulan. "Di sini ada ambiguitas. Masalahnya, kalimatnya diletakkan berdekatan," kritik Iswadi. "Mungkin maksudnya, saking terlalu lama. Dalam literer ini yang saya maksud ketaksaan berbahasa," katanya.
Pada bagian lainnya, kata Iswadi, Ramdhoni menuliskan “mereka berpelukan bahagia. ia mencium keningnya”. Lalu dikatakan, “air matanya menetes membasahi pipi ibunya”. Semestinya, kata Iswadi, air mata itu jatuh ke orang yang dipeluknya, bukan ibunya. Selain itu, bahagia dan sedih merupakan dua hal yang berlawanan. "Ini memang tidak penting tapi, lebay. Hanya, saya sebagai pribadi membayangkan pergolakan tokoh-tokoh di novel ini. Habisnya, tidak ada lagi sih yang bisa dikritik dari novel ini," ujar Iswadi terkekeh yang juga disambut gelak tawa peserta yang hadir dalam launching buku tersebut.
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau ditulis secara konvensional. "Ada sinopsis, prolog, dan epilognya," ujar Djadjat.
Menurut Djadjat, novel ini penting karena bisa menjadi oasis bagi masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam "dedikasi" dari pengarangnya untuk mengingatkan pada masa lalu Lampung yang sudah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang. "Novel ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak bahwa banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif."
Menurut Djadjat, karya sastra bisa memengaruhi masyarakat. Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuliskan masalah pendidikan di Pulau Belitong, Bangka Belitung. Dampaknya, masyarakat Belitong khususnya, para siswa, menjadi rajin sekolah.
Djadjat mencatat ada beberapa hal yang mengganjal dari novel ini. Ketika asyik menikmati "tempo doeloe" dalam novel ini, tiba terselip kata-kata baru, bukan dari bahasa lama. "Misalnya, kata "sialan". Bukankah kata "sialan" lebih kita kenal sebagai ungkapkan dalam bahasa betawi. Saya masing ingat ketika ke Jakarta pada 1970-an. Saya mendengar perkataan itu, 'sialan loe'," kata Djadjat.
Begitu pula kata "Pakdalom". Namun, penyair Anton Kurniawan menolak kata "Pak" sebagai bahasa baru karena kata ini sering dipergunakan dalam khazanah bahasa Lampung.
Pujangga kelahiran Lampung Timur, Binhad Nurrohmat, mengatakan jarang sekali suku di Indonesia yang mempunyai aksara. Lampung merupakan salah satu provinsi yang kaya akan situs dan aksara. Dia percaya tradisi bercerita muncul dengan watak bahasa tertentu. Namun, ia mengaku kesulitan dengan bahasa latin. Pasalnya, kata Nurrohmat, kita tidak bisa melakukan modifikasi terhadap bahasa latin. "Saya curiga berhentinya budaya cerita di Indonesia karena kita berhenti dengan aksara pahlawan," ujarnya yang mengaku karya Ramdhoni menyelematkan masa silam.
Kehadiran novel Perempuan Penunggang Harimau adalah kembalinya tradisi cerita setelah sekian lama tenggelam. "Lampung punya potensi itu karena Lampung mempunyai aksara," tegasnya. Artinya, setelah ini kita pun berharap sastra Lampung semakin bersinar sebagaimana dikatakan budayawan Iwan Nurdaya Djafar, novel karya Ramdhoni menjadi semacam penyelamat bagi masa depan sastra klasik Lampung. Semoga. (HENDRY SIHALOHO/P-1)
Lamban Gedung Skala brak Belalau Lampung Barat
NOVEL " Perempuan Penunggang Harimau "
"...sebuah cincin Saibatin Sekala Bgha bergambar ukiran harimau kesayangannya yang tetap setia melingkari jari manis sang ratu merupakan tanda percumbuan imajiner itu. Kemesraan mistik itu pula yang membuat Sekeghumong tidak memilih kuda atau binatang peliharaan lainnya. Ia memilih bayi harimau jantan sebagai peliharaannya. Diasuhnya harimau itu dengan kasih seorang ibu."
BEGITULAH M. Harya Ramdhoni gaya M. Harya Ramdhoni menggambarkan secara fiksional sejarah Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat melalui novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau yang diterbitkan BE Press, Lampung, Januari 2011. Ia padukan antara fakta sejarah dan fiksi. Para tokoh dalam novelnya seperti La Laula, Taruda, Rakian Sekehandak, Dapunta Hyang Jayanaga dan lain-lain merupakan individu-individu yang pernah hidup pada masanya masing-masing. Begitu pula demikian dengan nama kerajaan, dinasti, tempat, aksara, suku, dan benda, semuanya fakta sejarah. Ramdhoni, pria yang lahir di Solo itu, menceritakan kehebatan Ratu Sekeghumong yang mempertahankan adat leluhurnya. Sekeghomong bangga dengan hidup kesederhanaan.
Mengapa menulis novel dan bukan buku sejarah, Ramdhoni menyatakan argumennya. "Pertama, saya bukan sejarawan. Kedua, karya sastra merupakan senjata yang ampuh untuk mentransfer ilmu," katanya saat peluncuran novel itu di aula Lampung Post, Sabtu (15-1) siang. Bukan tanpa bukti ia mengatakannya. Suatu hari, Ramdhoni pernah bertanya kepada teman-teman adiknya, mana lebih suka buku sejarah atau novel sejarah. Serempak mereka menjawab, "Novel!" Akhirnya, Ramdhoni memberikan mereka sebuah novel karya Pramoedya Ananta Tour. Hasilnya tak dinyana. Beberapa hari kemudian, anak-anak sekolah itu meminta novel lanjutannya. Dari situ, Ramdhoni berkesimpulan, ternyata karya sastra lebih memikat!
Krisis identitas dan budaya Lampung di kalangan kawula muda mengetuk juga mengetuk pintu hati Ramdhoni. Pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Kebangasaan Malaysia (UKM) itu ingin menyegarkan ingatan mereka. Namun, Ramdhoni ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Kebetulan, ia hobi menulis puisi. Bahkan, sebelumnya ia sudah pernah menulis novel, tetapi gagal karena aktivitasnya yang sibuk. Akhirnya, Ramdhoni mencoba menuliskan novel sejarah Kerajaan Skala Brak, Lampung Barat.
Selain itu, ia yakin karya sastra bisa membangkitkan gairah masyarakat. "Kenapa saya menulis Kerajaan Skala Brak? Karena saya orang sana. Menulis tentang asal-usul kita sendiri lebih emosional daripada dituliskan orang lain," kata Ramdhoni yang siang itu mengenakan kaus berkerah garis-garis.
Penyair Iswadi Pratama mengakui secara keseluruhan novel Perempuan Penunggang Harimau cukup komprehensif. Data-data yang dipaparkan teruji secara empirik. Sebab, penulisnya merupakan akademisi. Namun, ada beberapa bagian yang dikritiknya. Iswadi menjelaskan pada Bab I Halaman 1 dikatakan "ada seorang bayi perempuan dilahirkan". Lalu, pada halaman berikutnya dikatakan, "puluhan purnama ia menanti bayi itu". Menurut Iswadi, seorang perempuan mengandung hanya 9 bulan, bukan puluhan bulan. "Di sini ada ambiguitas. Masalahnya, kalimatnya diletakkan berdekatan," kritik Iswadi. "Mungkin maksudnya, saking terlalu lama. Dalam literer ini yang saya maksud ketaksaan berbahasa," katanya.
Pada bagian lainnya, kata Iswadi, Ramdhoni menuliskan “mereka berpelukan bahagia. ia mencium keningnya”. Lalu dikatakan, “air matanya menetes membasahi pipi ibunya”. Semestinya, kata Iswadi, air mata itu jatuh ke orang yang dipeluknya, bukan ibunya. Selain itu, bahagia dan sedih merupakan dua hal yang berlawanan. "Ini memang tidak penting tapi, lebay. Hanya, saya sebagai pribadi membayangkan pergolakan tokoh-tokoh di novel ini. Habisnya, tidak ada lagi sih yang bisa dikritik dari novel ini," ujar Iswadi terkekeh yang juga disambut gelak tawa peserta yang hadir dalam launching buku tersebut.
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau ditulis secara konvensional. "Ada sinopsis, prolog, dan epilognya," ujar Djadjat.
Menurut Djadjat, novel ini penting karena bisa menjadi oasis bagi masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam "dedikasi" dari pengarangnya untuk mengingatkan pada masa lalu Lampung yang sudah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang. "Novel ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak bahwa banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif."
Menurut Djadjat, karya sastra bisa memengaruhi masyarakat. Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuliskan masalah pendidikan di Pulau Belitong, Bangka Belitung. Dampaknya, masyarakat Belitong khususnya, para siswa, menjadi rajin sekolah.
Djadjat mencatat ada beberapa hal yang mengganjal dari novel ini. Ketika asyik menikmati "tempo doeloe" dalam novel ini, tiba terselip kata-kata baru, bukan dari bahasa lama. "Misalnya, kata "sialan". Bukankah kata "sialan" lebih kita kenal sebagai ungkapkan dalam bahasa betawi. Saya masing ingat ketika ke Jakarta pada 1970-an. Saya mendengar perkataan itu, 'sialan loe'," kata Djadjat.
Begitu pula kata "Pakdalom". Namun, penyair Anton Kurniawan menolak kata "Pak" sebagai bahasa baru karena kata ini sering dipergunakan dalam khazanah bahasa Lampung.
Pujangga kelahiran Lampung Timur, Binhad Nurrohmat, mengatakan jarang sekali suku di Indonesia yang mempunyai aksara. Lampung merupakan salah satu provinsi yang kaya akan situs dan aksara. Dia percaya tradisi bercerita muncul dengan watak bahasa tertentu. Namun, ia mengaku kesulitan dengan bahasa latin. Pasalnya, kata Nurrohmat, kita tidak bisa melakukan modifikasi terhadap bahasa latin. "Saya curiga berhentinya budaya cerita di Indonesia karena kita berhenti dengan aksara pahlawan," ujarnya yang mengaku karya Ramdhoni menyelematkan masa silam.
Kehadiran novel Perempuan Penunggang Harimau adalah kembalinya tradisi cerita setelah sekian lama tenggelam. "Lampung punya potensi itu karena Lampung mempunyai aksara," tegasnya. Artinya, setelah ini kita pun berharap sastra Lampung semakin bersinar sebagaimana dikatakan budayawan Iwan Nurdaya Djafar, novel karya Ramdhoni menjadi semacam penyelamat bagi masa depan sastra klasik Lampung. Semoga. (HENDRY SIHALOHO/P-1)
Kamis, 13 Januari 2011
HERMENEUTIK : Seni Membaca Teks
Oleh: Ruhullah Syams
"Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi."
Akar kata "hermeneutik" dalam fi'il Yunani "hermeneuein" bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir).
Dalam karya Aristoteles dijumpai kata peri hermeneids yang menyangkut pembahasan proposisi-proposisi dan kemudian dihubungkan dengan takwil.
Kata ini dalam bentuk isim juga dijumpai dalam teodhisi udipus di kulunus dan juga dalam karya-karya Plato.
Kedua kata "hermeneuein" dan "hermeneid" ini di nisbahkan pada Tuhan pembawa pesan yunani bernama "Hermes" dan secara lahiriah kata tersebut diambil darinya, dan mungkin juga sebaliknya.
Nama Hermes berhubungan dengan tugas mengganti apa yang di atas pemahaman manusia ke dalam suatu bentuk di mana fikiran dan akal manusia dapat memahaminya.
Orang-orang Yunani menghubungkan penemuan bahasa dan tulisan pada Hermes, yakni dua hal tersebut (bahasa dan tulisan) merupakan alat bagi manusia untuk memahami makna-makna dan memindahkan pada orang lain.
Oleh sebab itu, asas dan sumber kata hermeneutik mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini.
Aktivitas perantara dan pemahaman "pesan" atau "berita" sudah mencitrakan nama Hermes, dan ini mempunya tiga aspek penting:
1.Menjelaskan kalimat-kalimat dengan suara keras yakni berkata atau berucap.
2.Menjelaskan dan menguraikan agar dapat terpahami dan disertai dengan argumen-argumen.
3. Menjelaskan seperti penerjemahan dari bahasa asing.
Ketiga aspek di atas bisa diartikan dalam bahasa inggris dengan fi'il "to interpret". Oleh karena itu, kata hermeneutic atau takwil mempunyai tiga aspek yang berbeda:
-Berkata
-Menjelaskan agar dapat dipahami
-Menerjemahkan
Dan ketiga tugas di atas oleh orang-orang Yunani dihubungkan dengan Hermes.
"Berkata lebih kuat daripada tulisan, sebab di dalam berkata terdapat kekuatan hidup makna-makna, yang dalam tulisan kekuatan tersebut bisa menjadi hilang."
Definisi Hermeneutik
Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.
Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.
Paul Richor mendefinisikan hermeneutik: "Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks."
Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan.
Andrew Bovy, hermeneutik adalah keahlian interpretasi.
Richard Polmer berpendapat bahwa defenisi-defenisi hermeneutik dapat disatukan meskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan ini diutarakannya setelah ia mengungkap enam macam definisi hermeneutik.
Keenam definisi tersebut:
1. Hermeneutik adalah teori penafsiran kitab suci (definisi yang paling tua);
2. Hermeneutik adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa (zaman renaisains);
3. Hermeneutik adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa (Schleiermacher);
4. Hermeneutik adalah dasar epistemologi untuk ilmu-ilmu humaniora (Wilhelm Dilthey);
5. Hermeneutik adalah fenomena eksistensi dan fenomena pemahaman eksistensi (Martin Heidegger);
6. Hermeneutik adalah sistem-sistem interpretasi (Paul Richoer).
Dan pada akhirnya Richard Polmer juga mendefinisikan hermeneutik sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemehaman teks.
Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu-ilmu Lainnya
1. Hermeneutik dan Epistemologi
Hermeneutik dan epistemologi ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia, keduanya mempunyai hubungan yang dekat. Tapi kedua ilmu ini juga tidak bisa dikatakan satu, atau salah satu dari keduanya dikembalikan pada lainnya (dasar yang lainnya). Sebab hermeneutik adalah menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, syarat-syarat serta kaidah-kaidahnya; sedangkan epistemologi mempunyai permasalahan lain seperti:
a. Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori, atau hissi (panca indra), empirik dan aposteriori, dan atau kedua-duanya dari itu?
b. Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?
c. Hubungan apa yang terjadi antara subyek dan obyek?
d. Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia? Akal, hissi atau wijdân ( hati nurani) atau semuanya?
Permasalahan-permasalahan di atas tidaklah dibahas dalam hermeneutik. Memang terkadang dalam epistemologi masalah syarat dan penghalang mendapatkan pengetahuan juga dibahas, pembahasan seperti ini juga bisa dikembangkan dalam hermeneutik, sebab itu pada dasarnya pembahasan ini mempunyai warna hermeneutik.
2. Hermeneutik dan Logika
Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berfikir dan memahami adalah satu. Tetapi ilmu logika dengan berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat, merupakan persiapan ilmu, di mana di seluruh metode-metode pemikiran dan ilmiah menjadi tolok ukur. Dan hal ini tidak terlepas (berlaku juga) pada seluruh metode-metode hermeneutik yang beraneka ragam, sebab dalam posisi mengambil konklusi dan berargumen, hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutik yang berdasar (berfokus) penyusun, berdasar teks, atau berdasar penafsir.
Dengan kata lain dalam ilmu hermeneutik terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis, dan tafsiran suatu karya seni, atau bahkan dalam suatu fenomena natural berlaku syarat-syarat atau kaidah-kaidah, dimana hal itu berhubungan dengan pandangan dunia penyusun, dan atau syarat-syarat natural serta sosiologi dimana karya tersebut dihasilkan, dan atau keadaan, ruh serta syarat-syarat pemikiran dan kebudayaan si penafsir. Pengaruh apa yang diberikan (positif atau negatif) terhadap penafsiran dan pemahaman manusia? Tapi adapun bagaimana karya-karya manusia mendapatkan sistem keteraturan dan bagaimana dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) dihasilkan konklusi tidaklah dijelaskan dalam ilmu hermeneutik, dan ini merupakan tanggungjawab ilmu logika shuri (formal).
3.Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu Bahasa (linguistik)
Dari satu sisi hermeneutik mempunyai hubungan dengan teks, sedangkan di sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Maka, kedua ilmu ini memiliki hubungan yang kuat. Masalah ini juga dalam hermeneutik klasik dan juga dalam hermeneutik modern, lebih khusus pada hermeneutik Gadamer sampai Gadamer memandang bahwa bahasa tidak hanya sebagai wasilah pindahnya pemahaman tetapi juga pemberi keberadaan pemahaman, dengan kata lain dia memandang esensi pemahaman adalah bahasa.
Oleh sebab itu, ilmu hermeneutik dan ilmu bahasa mempunyai hubungan kuat, tetapi tetap keduanya merupakan ilmu yang berbeda sebab masing-masing mempunyai subyek, metode dan tujuan khusus. Pada hakikatnya ilmu hermeneutik mengambil pendapat dari ilmu bahasa, dengan kata lain ilmu bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa mempunyai hubungan dengan ilmu hermeneutik sebagaimana hubungan ilmu logika dengan ilmu hermeneutik.
4.Hermeneutik dan Ilmu Tafsir
Tidak diragukan bahwa di dunia Islam pandangan hermeneutik juga mewarnai pikiran-pikiran para ulama Islam. Sebab jika kita melihat bahwa Nabi Saw. beliau juga bertugas dan berperan sebagai penjelas dan penafsir al-Qur'an itu sendiri.
Allamah Thaba-thabai dalam menghubungkan ayat ini:
"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr (al-Qur'an) kepadamu, supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah Kami turunkan kepada mereka. Dan semoga mereka menjadi orang-orang yang berpikir" (Q.S: an-Nahl :44)
kepada ayat:"Sebagaimana Kami telah mengutus pada kamu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah"
Berdalil dan berkata : sejarah penafsiran dimulai pada zaman turunnya al-Qur'an.
Jadi sesudah turunnya al-Qur'an, kaum Muslimin dengan seksama memperhatikan pemahaman dan penafsirannya dan para sahabat Nabi Saw. menjadi penafsir dan orang yang mengetahui pada pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dimana Imam Ali As. merupakan yang terbaik di antara mereka.
Setelah berlalu zaman dan semakin jauh dari masa turunnya wahyu maka kebutuhan kaum Muslimin terhadap penafsiran, pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dirasakan lebih besar lagi. Dan ini menyebabkan perhatian ulama islam terhadap ilmu tafsir semakin tinggi sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang banyak di dunia Islam.
Dalam sejarah Ilmu tafsir di dunia Islam terdapat tiga metode tafsir umum:
1. Tafsir al-Qur'an dengan riwayat.
2. Tafsir al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan manusia
3. Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.
Kaidah Hermeneutik
1. Prinsip Makna dalam Teks
Para pemikir Islam (Penafsir, Ahli Fiqh, Teolog) mempunyai keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan makna-makna khusus. Makna-makna di mana maksud Allah Swt yang Mahatahu dan Mahabijaksana tertuang dalam bentuk bahasa Arab yang fasih dan baligh (elokuen) dalam ikhtiar manusia untuk memberi hidayah pada manusia.
Dan tugas para ilmuan agama serta ahli tafsir adalah menggunakan metode benar dan menjaga kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari makna-makna ayat suci al-Qur'an.
Prinsip tersebut tidak terkhususkan pada al-Qur'an tetapi juga untuk hadits-hadits maksum As dan juga setiap teks yang dipilih oleh setiap penyusun berakal dalam perkataan-perkataan dan tulisan-tulisannya.
Konstruksi kaidah ini berasal dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana mereka berkehendak memindahkan hasil pikiran dan konsepsinya, mereka pindahkan dengan jalan bahasa. Pada hakikatnya Sistem percakapan dan pemahaman manusia berdiri atas ini.
Di antara orang-orang berakal baik itu ilmuan maupun masyarakat biasa semuanya menerima asas ini, bahwa sipembicara dalam menjelaskan maksudnya dengan jalan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan atau tulisan-tulisan mereka lakukan. Berdasarkan ini maka setiap teks mempunyai makna khusus dimana si penulis menuangkan maksudnya.
Di dunia Barat berlaku juga teori ini pada abad-abad sebelumnya, dan itu tidak hanya berlaku untuk konteks percakapan biasa tapi juga pada pembahasan filsafat dan pembahasan ilmiah. Para ilmuan dan teoritis ilmu hermeneutik seperti Schleier Macher dan Wilhelm Dilthey masih perpijak pada teori ini sampai kemudian muncul fase postmoderisme yang meragukan prinsip dan asas rasional ini. Di antara yang menolak pandangan tersebut datang dari pengikut hermeneutik filsafat Gadamer dan pengikut dekonstruksi Derrida.
Derida melakukan kritik terhadap pandangan bahwa makna dalam perkataan mempunyai kehadiran sedangkan dalam tulisan adalah tersembunyi, tetapi ia juga tidak menerima kebalikan dari itu bahwa tulisan lebih baik dari pada perkataan dan makna hadir di dalamnya. Dia berpendapat bentuk keyakinan ini adalah fokus penulis namanya, dan ia berkeyakinan dalam teks tulisan makna juga adalah gaib. Darida tidak menerima "pemahaman makna akhir teks", sebab dalam pembacaan akan tecipta makna-makna yang tidak terhitung jumlahnya. Darida tidak bermaksud meruntuhkan teks, tetapi ia meruntuhkan dalil-dalil makna teks. Menurut pandangannya makna bukanlah suatu perkara yang tetap dan dahulu atas petunjuk atau tujuan, tetapi makna bahkan bergantung pada petunjuk yang secara esensial adalah tidak tetap dan tidak permanen. Dalam dekonstruksi dengan mengacak hubungan kata satu sama lain, dan dengan mendekonstruksi teks, memungkinkan perluasan nisbah makna-makna dan petunjuk-petujuk yang bermacam-macam, dan pada akhirnya tidak menerima adanya satu dalil dan makna khusus sebagai wajah akhir teks dan sebagai petunjuk akhir teks.
Dalam hermeneutik filsafat Gadamer, juga berpandangan kalau makna teks bukanlah sesuatu yang menjadi maksud penyusun, tetapi hasil persinggungan antara horizon makna penyusun dan horizon penafsir teks. Dan dalam hal ini asumsi-asumsi penafsir mempunyai dampak kunci, dan secara otomatis mengingkari makna sentral dan makna akhir teks. Gadamer juga tidak meyakini realitas makna dalm teks, tetapi ia berpandangan bahwa makna teks adalah menifestasi yang dihasilkan oleh pembaca atau si penafsir teks. Dan penampakan ini juga lebih dari segala sesuatunya yang mengikut pada alam rasional dan ruh si penafsir teks, hatta penyusun teks itu sendiri.
Dalam hermeneutik Gadamer titik penting bukan hasrat atau meksud penyusun dan bukan karya atau teks sebagai sesuatu fi nafsihi di luar dari sejarah, tetapi yang urgen adalah sesuatu yang menjadi arah berulang-ulang sejarah dalam memanifestasi. Menurut Gadamer dzihniyyat (alam pikiran) penyusun atau pembaca tidak ada satu pun menjadi rujukan realitas, tetapi makna sejarah itu sendiri dimana pengaruhnya dalam zaman sekarang untuk kita, yang menjadi rujukan realitas.
2. Penyusun sebagai Sentral dalam Tafsir (sentralisasi penyusun).
Untuk memahami makna teks yang menjadi perhatian dari si penyusun maka si pembaca berusaha memahami dan memahamkan hasrat dan maksud si penulis atau si penyusun. Kaidah hermeneutik ini berlaku secara mapan sebelumnya, yakni teks secara realitas dan nafsul amr menerangkan makna khusus yang meupakan niat , tujuan dan hasrat si penyusun, dan kaidah ini berhubungan dengan maqam penerapan dan pemahaman, yakni pemahaman fokus makna dalam teks harus memperhatikan maksud dan niat penyusun. Di sini pengikut hermeneutik filsafat juga melakukan penentangan, dari sudut pandang mereka pemahaman teks mengenyampingkan niat dan maksud penyusun atau dihasilkan dengan memadukan horizon makna penyusun dan pembaca teks.
Emilio Betty (Italia) dalam hal ini mengembalikan pada pandangan hermeneutik realistis. Sementara Eric (Amerika) pewaris pandangan Betty mengembalikan pada pandangan hermeneutik klasik, dan berkata: Jika makna tidak tetap dan permanen maka tidak akan ada realitas penafsiran.
Dalam hermeneutik fokus penyusun terdapat dua pandangan:
1. Pandangan fokus niat penyusun.
2. Pandangan fokus pribadi penyusun (penyusun secara kepribadian)
Yang pertama penafsir berusaha mendapatkan maksud dan niat penyusun dari karya dan ucapan ia dan jalan untuk memperoleh itu menjaga dan memelihara kaidah nahwu dan bahasa (Martin Kladinius). Yang kedua penafsir harus berusaha dengan jalan mengenal pribadi penyusun, sehingga mendapat makna yang menjadi perhatian ia (Schleier Macher). Yang pertama tidak bisa mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun, maksimalnya menyamai penyusun dalam pemahaman sedangkan yang kedua memungkinkan mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun.
Teori-teori Hermeneutik
1. Frederic Ernest Schleier Macher (1768-1834) Teolog, sastrawan dan penerjemah karya-karya Plato.
Teori hermeneutik Schleier Macher didasari dengan pandangan filsafat dan Gnosis dimana secara umum menjelaskan metode tafsir teks. Dan teori ini tidak membatasi diri pada tafsiran teks tua dan teks kitab suci. Dia dengan mengganti pemahaman pada aturan hermeneutik untuk pemahaman kitab suci, tidak meyakini doktrin-doktrin gereja, dan menganggap metode hermeneutiknya universal dan menyeluruh.
Schleiermacher hidup di zaman di mana dua aliran filsafat, yaitu filsafat romantik dan filsafat kritik Kant berkembang; sebab itu hermeneutik ia tercampur dengan dua aliran filsafat tersebut. Maka dari itu hermeneutik ini memiliki penekanan pada aspek kondisi-kondisi kejiwaan dan emosional penyusun dan juga memiliki aspek kritik. Dia punya harapan meletakkan kaidah-kaidah universal untuk pemahaman sebagaimana Kant sebelumnya terhadap epistimologi dan penelitian keagamaan mengungkapkan kaidah universal.
Schleiermacher mengungkap dua teori penafsiran, yakni "Grammatical" (nahwu) dan "Technical" (Psychological) untuk menopang dasar-dasar hermeneutiknya.
Tafsir grammatical memperhatikan aspek-aspek kekhususan perkataan dan keanekaragaman kalimat-kalimat serta bentuk bahasa dan budaya dimana penyusun hidup dan membuat pikiran penulis terpengaruhi. Sedangkan tafsir technical atau Psichological terselip aspek aliran individu (subyetifitas) dalam pesan penyusun dan corak pikiran tulisan ia. Dengan kata lain setiap penjelasan (perkataan atau tulisan ) harus merupakan bagian dari sistem bahasa, dan untuk memahaminya tanpa mengenal sistem ini tidaklah mungkin. Tetapi penjelasan itu juga mempunyai dimensi insani dan harus dipahami dalam teks kehidupan orang yang memiliki kehendak tersebut.
Dalam tafsir grammatical terdapat dua unsur penting:
Pertama, yang dianggap sebagai takwil dalam suatu perkataan yakni apa yang berkembang dalam ilmu bahasa (pengetahuan bahasa) yang sama di antara penyusun dengan pembaca. Kedua, makna setiap kata dalam suatu kalimat diketahui dari hubungan kata tersebut degan kata-kata lain dalam kalimat tersebut.
Yang pertama memungkinkan hubungan penyusun dengan pembaca dan yang kedua memperjelas hubungan dalam sistem bahasa
Adapu tafsir technical meliputi metode Syuhûdi (penyaksian) dan qiyâsi (perbandingan). Metode syuhudi membimbing si penafsir menduduki posisi penyusun sehingga dia dapat memperoleh kondisi-kondisi penyusun. Metode qiyâsi membawa si penyusun sebagai bahagian dari keseluruhan, dan kemudian sesudah membandingkan penyusun tersebut dengan penyusun-penyusun lainnya (keseluruhan) menghadirkan spesifikasi-spesifikasi yang berbeda dengan yang lainnya. Kepribadian seseorang hanya bisa diperoleh dengan cara membandingkan perbedaan-perbedaannya dengan yang lain.
Schleiermacher tidak meyakini unsur niat penyusun sebagaimana pandangan Cladinus, dan berpendapat bahwa penyusun apa yang ia buat, ia tidak mengetahuinya, dan senantiasa ia tidak mengetahui dimensi-dimensi yang beraneka ragam dari yang dibuatnya.
Pengetahuan si penakwil dari si penyusun lebih besar ketimbang pengenalan si penyusun dari dirinya. Dia menggantikan keseluruhan kehidupan penyusun dengan mafhum (pemahaman) niat penyusun, sebab karya seni memperlihatkan dari keseluruhan kehidupan penyusun tidak hanya niat penyusun pada waktu khusus berkarya. Di sini terlihat Schleier Macher terpengaruh dengan konsep Frued "alam bawah sadar".
Dia menghakimi bahwa teks mempunyai makna akhir, asli dan pasti, dan berpandangan bahwa setiap kata dalam setiap kalimat mempunyai satu makna dimana makna tersebut adalah mendasar serta dia mengingkari suatu teks dapat ditakwilkan dari beberapa sudut pandang.
Schleiermacher berpandangan bahwa untuk mengenal ucapan seseorang harus mengenal seluruh kehidupannya, dan dari sisi lain untuk mengenal dia harus mengenal pembicaraannya.
Kritik:
1. Jika kekhususan seorang berdampak dalam
bahasa (sedangkan bahasa adalah tidak hanya perantara masyarakat bahkan kehidupan masyarakat itu sendiri), maka tidak perlu terjadi dialog dan saling memahamkan antara individu satu masyarakat dan orang-orang yang mengenal bahasa. Padahal kondisi ini terjadi sebaliknya, saling memahamkan dan saling kritik dan menjawab kritik.
2. emindahkan hasil pemikiran l dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana jia mereka berkehendak tiap tDia dalam tafsir technical yang terdiri dua metode: metode syuhudi dan qiyasi, dan dalam metode syuhudi penafsir mempunyai kedudukan penyusun. Problemnya perbuatan ini untuk penyusun yang sudah mati tidaklah memungkinkan dan untuk penyusun yang masih hidup yang sezaman dengan penafsir adalah sangat sulit, sebab setiap manusia melewati pendidikan dan pengajaran serta tarbiyah yang bermacam-macam yang kemudian membentuk kepribadian seorang individu.
3. Metode qiyasi (perbandingan) dalam tafsir technical bisa terjadi daur atau tasalsul, dan jika dari jalan induksi tidak memungkinkan terjadinya pengenalan yakin.
4. Dia tidak meyakini niat penyusun dan menggantinya dengan keseluruhan kehidupan penyusun dan informasi penafsir terhadap penyusun lebih besar dari informasi penyusun terhadap dirinya sendiri, padahal tujuan setiap penafsir adalah mengenal maksud dan niat penyusun meskipun dia mungkin memperoleh topik- topik baru.
5. Dia meyakini makna akhir dari pada tulisan, padahal jika suatu proposisi ditinjau dari sudut madlul mutâbiqi dan madlul iltizâmi, dan atau dalam ungkapan urafa meliputi batin dan derajat-derajat, maka bisa ditinjau suatu teks dengan berbagai sudut tinjauan.
2. Wilhelm Dilthey (1833-1912)
Dia berpendapat bahwa tugas seorang ahli hermeneutik melakukan analisis filsafat dan perubahan pemahaman serta takwil dalam ilmu-ilmu humaniora. Dia punya anggapan bahwa kehidupan itu adalah suatu mafhum (komprehensi) metafisika, kehidupan adalah suatu kekuatan yang menjelaskan keinginan-keinginan perasaan (emosi) dan ruh, dan ini dipahami dengan pengalaman. Dia berkata: kehidupan adalah suatu rentetan berkesinambungan dan yang lewat menyambungkan yang sekarang; dan horizon masa datang menggiring kita ke arahnya. Dilthry dengan mengutarakan metode logikanya dalam ilmu-ilmu humaniora mengambil langkah baru dalam hermeneutik dan takwil teks dan dengan perhatian terhadap kekhususan jiwa penyusun dan penyebaran sejarahnya, dia mengutarakan pandangan-pandangan baru dalam hal ini. Menurut ia takwil digunakan ketika kita menginginkan sesuatu yang asing dan tidak diketahui dengan cara faktor-faktor yang diketahui. Oleh sebab itu jika seseorang, seluruh bentuk-bentuk kehidupan baginya asing dan tidak diketahuinya atau secara mutlak dia tahu, maka dia tidak butuh pada takwil.
Dia melihat bahwa kata itu adalah hasil kontrak sebagaimana teriakan itu muncul dari rasa sakit sebagai alamat natural.
Dilthey berpendapat ukuran dasar makna dalam teks adalah niat penyusun dan bahkan makna teks itu menyatu dengan niat rasional penyusun. Dia berkata: seni berasal dari kehendak dan manfaat serta niat seniman dan tidak berpisah dari seniman, dan takwil adalah media untuk mengetahui niat ini. Dan dia menganggap bahwa teks itu merupakan manifestasi kehidupan dan secara nyata merupakan kehidupan ruh dan jiwa si penyusun.
Dia sebagaimana Schleier Macher, penafsir harus mendekatkan dirinya terhadap unsur penyusun bukan penyusun dan karyanya dikembalikan pada zamannya. Dan dengan hal ini, pengetahuan si penakwil terhadap perkataan penyusun lebih sempurna dihubungkan dengan penyusun sendiri. Oleh sebab itu Dilthry berpandangan bahwa hermeneutik bertujuan mengetahui lebih sempurna dari penyusun dari karyanya dimana si penyusun tidak mendapat pengetahuan itu sebelumnya. Dia juga berpendapat tentang kemungkinan menyingkap makna akhir suatu teks. Menurutnya tujuan penakwil menghilangkan jarak zaman dan sejarah antara dia dan penyusun dan syarat terciptanya itu melewatkan seluruh asumsi-asumsi dari zaman kekinian dan mecapai horizon pemikiran-pemikiran penyusun dan melepaskan seluruh ikatan-ikatan dan beban sejarah kekinian dan fanatisme serta asumsi-asumsi.
Kritik:
a. Sebagian kritik yang berlaku pada Schleier Macher juga berlaku untuk pandangannya seperti 1,4 dan 5.
b. Dilthey untuk mendekati horizon penyusun harus menghilangkan seluruh asumsi-asumsi dan ikatan serta beban sejarah kekinian, padahal setiap pengetahuan bersandar pada asumsi-asumsi, kecuali pengetahuan badihi (aksioma). Ilmu terhadap teks juga berdasar pada asumsi-asumsi yang jika dilalaikan akan membuat kepincangan pada makrifat agama.
3. Hans Lacory Gadamer ( Polandia 1901, murid Haddegger karyanya Truth and method). Hermeneutik Gadamer berhubungan dengan hermeneutik filsafat, hermeneutiknya sendiri merupakan upaya penggabungan pemikiran antara Heidegger dengan Dilthey.
a. Gadamer seperti Ludwig witgenstein salah satu dari tujuan hermeneutik adalah hubungan antara "pemahaman" dan praktek, dalam arti pemahaman bertumpu pada batasan makna khusus. Menurutnya pemahaman dan praktek tidak bisa berpisah satu sama lain.
b. Hermeneutik Gadamer lahir dari dasar pengetahuan ia bahwa hakikat mempunyai batin dan kisi-kisi, dan untuk memperolehnya harus dengan cara dialog. Menurutnya ukuran kebenaran bukanlah kesesuaian antara konsepsi dengan realitas (prinsipalitas realitas) dan bukan juga penyaksian bidahat dzati konsepsi (pengetahuan fitri mazhab Descartes), tetapi kebenaran adalah kesadaran antara partikular dan bagian-bagian serta keseluruhan.
c. Gadamer mengikuti Heidegger bahwa interpretasi selalu diawali dengan asumsi dan hipotesis, pandangan dan budaya. Interpretasi adalah sebuah pra pemahaman sejarah dan berkaitan erat dengan nilai-nilai tradisional, yakni mengasumsikan horizon intelektual yang melatarbelakangi asumsi dan hipotesis tidak menghalangi pemahaman, bahkan sebagai pra syarat yang menunjang.
Oleh sebab itu, setiap penafsiran berakhir pada fusi antara horizon masa lalu dan sekarang, atau antara horizon penafsir dengan horizon teks. Interpretasi menghasilkan keseimbangan tetap, tidak akan ada interpretasi yang absolut dan akhir, We can not be sure that our interpretation is correct or better than previous interpretations.
d. Gadamer, dengan memanfaatkan pasilitas teori-teori Plato dan Aristoteles, meyakini bahwa dalam peristiwa penting hermeneutik harus dilakukan proses dialog dengan suatu teks dan seperti proses dialog di antara dua orang, dan dialog tersebut dilakukan secara kontinuitas sampai mencapai kesepakatan di antara keduanya. Dia dalam menjelaskan proses interpretasi, meyakini bahwa setiap pemahaman adalah suatu penafsiran; sebab setiap pemahaman dalam kondisi khusus mempunyai akar; maka dari itu ia adalah manifestasi khusus dari suatu pandangan. Tidak satupun pandangan yang bersifat mutlak yang dapat ditinjau darinya seluruh manifestasi-manifestasi yang dimungkinkan. Tafsir secara dharuri adalah suatu proses sejarah; tetapi ia tidak hanya pengulangan masa silam; akan tetapi mempunyai kebersamaan dengan makna kekinian. Dari tinjauan ini maka "pandangan terdapat satu macam penafsiran yang sahih", adalah suatu dugaan yang batil. Menurut pandangan Gadamer, tafsir satu teks tidak dapat membatasi observasi maksud penyusun atau memahami zaman penyusun; sebab teks, bukanlah manifestasi dari kondisi rasionalitas penyusun; akan tetapi hanya dengan berasaskan dialog antara si penafsir dan teks eksistensi, akan diperoleh realitas dari itu.
Kritik:
1. Habermes dan lainnya memandang bahwa hermenetik Gadamer masuk dalam suatu bentuk relativisme; sebab Gadamer dengan mengungkapkan pandangannya tentang saling berhadapan dua horizon pemaknaan si penafsir dan teks, warisan-warisan kebudayaan, pertanyaan-pertanyaan dan pra anggapan-pra anggapan dalam tafsiran si penafsir, telah menghadirkan suatu bentuk relativisme yang menyerupai dengan relativisme Kant.
2. Kemestian dari ungkapan Gadamer, jalan untuk dapat saling kritik-mengeritik di dalam tafsiran-tafsiran, adalah tertutup; sebab setiap orang berasaskan suatu nisbah terhadap kondisi warisan kebudayaan, pra asumsi dan pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki, melakukan interpretasi kepada teks-teks dan karya-karya seni serta nilai kebenran dan kesalahn dari semua penafsir adalah satu, bahkan hatta kemungkinan keberadaan penafsiran sahih dan sempurna di sisi Gadamer, adalah tidak bermakna; padahal secara jelas dan terang kita saksikan bahwasanya terdapat kritik-kritik yang sangat banyak terhadap tafsir-tafsir yang bermacam-macam. Dan kritik-kritik ini juga meliputi wilayah tradisi-tradisi, kondisi-kondisi kebudayaan dan pra asumsi-pra asumsi.
3. Jika setiap pemahaman butuh kepada pra asumsi, maka akan terperangkapa kepada daur dan tasalsul; sebab pemahamannya terhadap pra asumsi juga butuh kepada pra asumsi lain dan rentetan ini sampai tiada akhir.[]
"Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi."
Akar kata "hermeneutik" dalam fi'il Yunani "hermeneuein" bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir).
Dalam karya Aristoteles dijumpai kata peri hermeneids yang menyangkut pembahasan proposisi-proposisi dan kemudian dihubungkan dengan takwil.
Kata ini dalam bentuk isim juga dijumpai dalam teodhisi udipus di kulunus dan juga dalam karya-karya Plato.
Kedua kata "hermeneuein" dan "hermeneid" ini di nisbahkan pada Tuhan pembawa pesan yunani bernama "Hermes" dan secara lahiriah kata tersebut diambil darinya, dan mungkin juga sebaliknya.
Nama Hermes berhubungan dengan tugas mengganti apa yang di atas pemahaman manusia ke dalam suatu bentuk di mana fikiran dan akal manusia dapat memahaminya.
Orang-orang Yunani menghubungkan penemuan bahasa dan tulisan pada Hermes, yakni dua hal tersebut (bahasa dan tulisan) merupakan alat bagi manusia untuk memahami makna-makna dan memindahkan pada orang lain.
Oleh sebab itu, asas dan sumber kata hermeneutik mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini.
Aktivitas perantara dan pemahaman "pesan" atau "berita" sudah mencitrakan nama Hermes, dan ini mempunya tiga aspek penting:
1.Menjelaskan kalimat-kalimat dengan suara keras yakni berkata atau berucap.
2.Menjelaskan dan menguraikan agar dapat terpahami dan disertai dengan argumen-argumen.
3. Menjelaskan seperti penerjemahan dari bahasa asing.
Ketiga aspek di atas bisa diartikan dalam bahasa inggris dengan fi'il "to interpret". Oleh karena itu, kata hermeneutic atau takwil mempunyai tiga aspek yang berbeda:
-Berkata
-Menjelaskan agar dapat dipahami
-Menerjemahkan
Dan ketiga tugas di atas oleh orang-orang Yunani dihubungkan dengan Hermes.
"Berkata lebih kuat daripada tulisan, sebab di dalam berkata terdapat kekuatan hidup makna-makna, yang dalam tulisan kekuatan tersebut bisa menjadi hilang."
Definisi Hermeneutik
Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.
Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.
Paul Richor mendefinisikan hermeneutik: "Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks."
Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan.
Andrew Bovy, hermeneutik adalah keahlian interpretasi.
Richard Polmer berpendapat bahwa defenisi-defenisi hermeneutik dapat disatukan meskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan ini diutarakannya setelah ia mengungkap enam macam definisi hermeneutik.
Keenam definisi tersebut:
1. Hermeneutik adalah teori penafsiran kitab suci (definisi yang paling tua);
2. Hermeneutik adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa (zaman renaisains);
3. Hermeneutik adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa (Schleiermacher);
4. Hermeneutik adalah dasar epistemologi untuk ilmu-ilmu humaniora (Wilhelm Dilthey);
5. Hermeneutik adalah fenomena eksistensi dan fenomena pemahaman eksistensi (Martin Heidegger);
6. Hermeneutik adalah sistem-sistem interpretasi (Paul Richoer).
Dan pada akhirnya Richard Polmer juga mendefinisikan hermeneutik sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemehaman teks.
Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu-ilmu Lainnya
1. Hermeneutik dan Epistemologi
Hermeneutik dan epistemologi ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia, keduanya mempunyai hubungan yang dekat. Tapi kedua ilmu ini juga tidak bisa dikatakan satu, atau salah satu dari keduanya dikembalikan pada lainnya (dasar yang lainnya). Sebab hermeneutik adalah menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, syarat-syarat serta kaidah-kaidahnya; sedangkan epistemologi mempunyai permasalahan lain seperti:
a. Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori, atau hissi (panca indra), empirik dan aposteriori, dan atau kedua-duanya dari itu?
b. Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?
c. Hubungan apa yang terjadi antara subyek dan obyek?
d. Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia? Akal, hissi atau wijdân ( hati nurani) atau semuanya?
Permasalahan-permasalahan di atas tidaklah dibahas dalam hermeneutik. Memang terkadang dalam epistemologi masalah syarat dan penghalang mendapatkan pengetahuan juga dibahas, pembahasan seperti ini juga bisa dikembangkan dalam hermeneutik, sebab itu pada dasarnya pembahasan ini mempunyai warna hermeneutik.
2. Hermeneutik dan Logika
Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berfikir dan memahami adalah satu. Tetapi ilmu logika dengan berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat, merupakan persiapan ilmu, di mana di seluruh metode-metode pemikiran dan ilmiah menjadi tolok ukur. Dan hal ini tidak terlepas (berlaku juga) pada seluruh metode-metode hermeneutik yang beraneka ragam, sebab dalam posisi mengambil konklusi dan berargumen, hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutik yang berdasar (berfokus) penyusun, berdasar teks, atau berdasar penafsir.
Dengan kata lain dalam ilmu hermeneutik terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis, dan tafsiran suatu karya seni, atau bahkan dalam suatu fenomena natural berlaku syarat-syarat atau kaidah-kaidah, dimana hal itu berhubungan dengan pandangan dunia penyusun, dan atau syarat-syarat natural serta sosiologi dimana karya tersebut dihasilkan, dan atau keadaan, ruh serta syarat-syarat pemikiran dan kebudayaan si penafsir. Pengaruh apa yang diberikan (positif atau negatif) terhadap penafsiran dan pemahaman manusia? Tapi adapun bagaimana karya-karya manusia mendapatkan sistem keteraturan dan bagaimana dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) dihasilkan konklusi tidaklah dijelaskan dalam ilmu hermeneutik, dan ini merupakan tanggungjawab ilmu logika shuri (formal).
3.Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu Bahasa (linguistik)
Dari satu sisi hermeneutik mempunyai hubungan dengan teks, sedangkan di sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Maka, kedua ilmu ini memiliki hubungan yang kuat. Masalah ini juga dalam hermeneutik klasik dan juga dalam hermeneutik modern, lebih khusus pada hermeneutik Gadamer sampai Gadamer memandang bahwa bahasa tidak hanya sebagai wasilah pindahnya pemahaman tetapi juga pemberi keberadaan pemahaman, dengan kata lain dia memandang esensi pemahaman adalah bahasa.
Oleh sebab itu, ilmu hermeneutik dan ilmu bahasa mempunyai hubungan kuat, tetapi tetap keduanya merupakan ilmu yang berbeda sebab masing-masing mempunyai subyek, metode dan tujuan khusus. Pada hakikatnya ilmu hermeneutik mengambil pendapat dari ilmu bahasa, dengan kata lain ilmu bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa mempunyai hubungan dengan ilmu hermeneutik sebagaimana hubungan ilmu logika dengan ilmu hermeneutik.
4.Hermeneutik dan Ilmu Tafsir
Tidak diragukan bahwa di dunia Islam pandangan hermeneutik juga mewarnai pikiran-pikiran para ulama Islam. Sebab jika kita melihat bahwa Nabi Saw. beliau juga bertugas dan berperan sebagai penjelas dan penafsir al-Qur'an itu sendiri.
Allamah Thaba-thabai dalam menghubungkan ayat ini:
"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr (al-Qur'an) kepadamu, supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah Kami turunkan kepada mereka. Dan semoga mereka menjadi orang-orang yang berpikir" (Q.S: an-Nahl :44)
kepada ayat:"Sebagaimana Kami telah mengutus pada kamu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah"
Berdalil dan berkata : sejarah penafsiran dimulai pada zaman turunnya al-Qur'an.
Jadi sesudah turunnya al-Qur'an, kaum Muslimin dengan seksama memperhatikan pemahaman dan penafsirannya dan para sahabat Nabi Saw. menjadi penafsir dan orang yang mengetahui pada pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dimana Imam Ali As. merupakan yang terbaik di antara mereka.
Setelah berlalu zaman dan semakin jauh dari masa turunnya wahyu maka kebutuhan kaum Muslimin terhadap penafsiran, pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dirasakan lebih besar lagi. Dan ini menyebabkan perhatian ulama islam terhadap ilmu tafsir semakin tinggi sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang banyak di dunia Islam.
Dalam sejarah Ilmu tafsir di dunia Islam terdapat tiga metode tafsir umum:
1. Tafsir al-Qur'an dengan riwayat.
2. Tafsir al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan manusia
3. Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.
Kaidah Hermeneutik
1. Prinsip Makna dalam Teks
Para pemikir Islam (Penafsir, Ahli Fiqh, Teolog) mempunyai keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan makna-makna khusus. Makna-makna di mana maksud Allah Swt yang Mahatahu dan Mahabijaksana tertuang dalam bentuk bahasa Arab yang fasih dan baligh (elokuen) dalam ikhtiar manusia untuk memberi hidayah pada manusia.
Dan tugas para ilmuan agama serta ahli tafsir adalah menggunakan metode benar dan menjaga kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari makna-makna ayat suci al-Qur'an.
Prinsip tersebut tidak terkhususkan pada al-Qur'an tetapi juga untuk hadits-hadits maksum As dan juga setiap teks yang dipilih oleh setiap penyusun berakal dalam perkataan-perkataan dan tulisan-tulisannya.
Konstruksi kaidah ini berasal dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana mereka berkehendak memindahkan hasil pikiran dan konsepsinya, mereka pindahkan dengan jalan bahasa. Pada hakikatnya Sistem percakapan dan pemahaman manusia berdiri atas ini.
Di antara orang-orang berakal baik itu ilmuan maupun masyarakat biasa semuanya menerima asas ini, bahwa sipembicara dalam menjelaskan maksudnya dengan jalan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan atau tulisan-tulisan mereka lakukan. Berdasarkan ini maka setiap teks mempunyai makna khusus dimana si penulis menuangkan maksudnya.
Di dunia Barat berlaku juga teori ini pada abad-abad sebelumnya, dan itu tidak hanya berlaku untuk konteks percakapan biasa tapi juga pada pembahasan filsafat dan pembahasan ilmiah. Para ilmuan dan teoritis ilmu hermeneutik seperti Schleier Macher dan Wilhelm Dilthey masih perpijak pada teori ini sampai kemudian muncul fase postmoderisme yang meragukan prinsip dan asas rasional ini. Di antara yang menolak pandangan tersebut datang dari pengikut hermeneutik filsafat Gadamer dan pengikut dekonstruksi Derrida.
Derida melakukan kritik terhadap pandangan bahwa makna dalam perkataan mempunyai kehadiran sedangkan dalam tulisan adalah tersembunyi, tetapi ia juga tidak menerima kebalikan dari itu bahwa tulisan lebih baik dari pada perkataan dan makna hadir di dalamnya. Dia berpendapat bentuk keyakinan ini adalah fokus penulis namanya, dan ia berkeyakinan dalam teks tulisan makna juga adalah gaib. Darida tidak menerima "pemahaman makna akhir teks", sebab dalam pembacaan akan tecipta makna-makna yang tidak terhitung jumlahnya. Darida tidak bermaksud meruntuhkan teks, tetapi ia meruntuhkan dalil-dalil makna teks. Menurut pandangannya makna bukanlah suatu perkara yang tetap dan dahulu atas petunjuk atau tujuan, tetapi makna bahkan bergantung pada petunjuk yang secara esensial adalah tidak tetap dan tidak permanen. Dalam dekonstruksi dengan mengacak hubungan kata satu sama lain, dan dengan mendekonstruksi teks, memungkinkan perluasan nisbah makna-makna dan petunjuk-petujuk yang bermacam-macam, dan pada akhirnya tidak menerima adanya satu dalil dan makna khusus sebagai wajah akhir teks dan sebagai petunjuk akhir teks.
Dalam hermeneutik filsafat Gadamer, juga berpandangan kalau makna teks bukanlah sesuatu yang menjadi maksud penyusun, tetapi hasil persinggungan antara horizon makna penyusun dan horizon penafsir teks. Dan dalam hal ini asumsi-asumsi penafsir mempunyai dampak kunci, dan secara otomatis mengingkari makna sentral dan makna akhir teks. Gadamer juga tidak meyakini realitas makna dalm teks, tetapi ia berpandangan bahwa makna teks adalah menifestasi yang dihasilkan oleh pembaca atau si penafsir teks. Dan penampakan ini juga lebih dari segala sesuatunya yang mengikut pada alam rasional dan ruh si penafsir teks, hatta penyusun teks itu sendiri.
Dalam hermeneutik Gadamer titik penting bukan hasrat atau meksud penyusun dan bukan karya atau teks sebagai sesuatu fi nafsihi di luar dari sejarah, tetapi yang urgen adalah sesuatu yang menjadi arah berulang-ulang sejarah dalam memanifestasi. Menurut Gadamer dzihniyyat (alam pikiran) penyusun atau pembaca tidak ada satu pun menjadi rujukan realitas, tetapi makna sejarah itu sendiri dimana pengaruhnya dalam zaman sekarang untuk kita, yang menjadi rujukan realitas.
2. Penyusun sebagai Sentral dalam Tafsir (sentralisasi penyusun).
Untuk memahami makna teks yang menjadi perhatian dari si penyusun maka si pembaca berusaha memahami dan memahamkan hasrat dan maksud si penulis atau si penyusun. Kaidah hermeneutik ini berlaku secara mapan sebelumnya, yakni teks secara realitas dan nafsul amr menerangkan makna khusus yang meupakan niat , tujuan dan hasrat si penyusun, dan kaidah ini berhubungan dengan maqam penerapan dan pemahaman, yakni pemahaman fokus makna dalam teks harus memperhatikan maksud dan niat penyusun. Di sini pengikut hermeneutik filsafat juga melakukan penentangan, dari sudut pandang mereka pemahaman teks mengenyampingkan niat dan maksud penyusun atau dihasilkan dengan memadukan horizon makna penyusun dan pembaca teks.
Emilio Betty (Italia) dalam hal ini mengembalikan pada pandangan hermeneutik realistis. Sementara Eric (Amerika) pewaris pandangan Betty mengembalikan pada pandangan hermeneutik klasik, dan berkata: Jika makna tidak tetap dan permanen maka tidak akan ada realitas penafsiran.
Dalam hermeneutik fokus penyusun terdapat dua pandangan:
1. Pandangan fokus niat penyusun.
2. Pandangan fokus pribadi penyusun (penyusun secara kepribadian)
Yang pertama penafsir berusaha mendapatkan maksud dan niat penyusun dari karya dan ucapan ia dan jalan untuk memperoleh itu menjaga dan memelihara kaidah nahwu dan bahasa (Martin Kladinius). Yang kedua penafsir harus berusaha dengan jalan mengenal pribadi penyusun, sehingga mendapat makna yang menjadi perhatian ia (Schleier Macher). Yang pertama tidak bisa mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun, maksimalnya menyamai penyusun dalam pemahaman sedangkan yang kedua memungkinkan mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun.
Teori-teori Hermeneutik
1. Frederic Ernest Schleier Macher (1768-1834) Teolog, sastrawan dan penerjemah karya-karya Plato.
Teori hermeneutik Schleier Macher didasari dengan pandangan filsafat dan Gnosis dimana secara umum menjelaskan metode tafsir teks. Dan teori ini tidak membatasi diri pada tafsiran teks tua dan teks kitab suci. Dia dengan mengganti pemahaman pada aturan hermeneutik untuk pemahaman kitab suci, tidak meyakini doktrin-doktrin gereja, dan menganggap metode hermeneutiknya universal dan menyeluruh.
Schleiermacher hidup di zaman di mana dua aliran filsafat, yaitu filsafat romantik dan filsafat kritik Kant berkembang; sebab itu hermeneutik ia tercampur dengan dua aliran filsafat tersebut. Maka dari itu hermeneutik ini memiliki penekanan pada aspek kondisi-kondisi kejiwaan dan emosional penyusun dan juga memiliki aspek kritik. Dia punya harapan meletakkan kaidah-kaidah universal untuk pemahaman sebagaimana Kant sebelumnya terhadap epistimologi dan penelitian keagamaan mengungkapkan kaidah universal.
Schleiermacher mengungkap dua teori penafsiran, yakni "Grammatical" (nahwu) dan "Technical" (Psychological) untuk menopang dasar-dasar hermeneutiknya.
Tafsir grammatical memperhatikan aspek-aspek kekhususan perkataan dan keanekaragaman kalimat-kalimat serta bentuk bahasa dan budaya dimana penyusun hidup dan membuat pikiran penulis terpengaruhi. Sedangkan tafsir technical atau Psichological terselip aspek aliran individu (subyetifitas) dalam pesan penyusun dan corak pikiran tulisan ia. Dengan kata lain setiap penjelasan (perkataan atau tulisan ) harus merupakan bagian dari sistem bahasa, dan untuk memahaminya tanpa mengenal sistem ini tidaklah mungkin. Tetapi penjelasan itu juga mempunyai dimensi insani dan harus dipahami dalam teks kehidupan orang yang memiliki kehendak tersebut.
Dalam tafsir grammatical terdapat dua unsur penting:
Pertama, yang dianggap sebagai takwil dalam suatu perkataan yakni apa yang berkembang dalam ilmu bahasa (pengetahuan bahasa) yang sama di antara penyusun dengan pembaca. Kedua, makna setiap kata dalam suatu kalimat diketahui dari hubungan kata tersebut degan kata-kata lain dalam kalimat tersebut.
Yang pertama memungkinkan hubungan penyusun dengan pembaca dan yang kedua memperjelas hubungan dalam sistem bahasa
Adapu tafsir technical meliputi metode Syuhûdi (penyaksian) dan qiyâsi (perbandingan). Metode syuhudi membimbing si penafsir menduduki posisi penyusun sehingga dia dapat memperoleh kondisi-kondisi penyusun. Metode qiyâsi membawa si penyusun sebagai bahagian dari keseluruhan, dan kemudian sesudah membandingkan penyusun tersebut dengan penyusun-penyusun lainnya (keseluruhan) menghadirkan spesifikasi-spesifikasi yang berbeda dengan yang lainnya. Kepribadian seseorang hanya bisa diperoleh dengan cara membandingkan perbedaan-perbedaannya dengan yang lain.
Schleiermacher tidak meyakini unsur niat penyusun sebagaimana pandangan Cladinus, dan berpendapat bahwa penyusun apa yang ia buat, ia tidak mengetahuinya, dan senantiasa ia tidak mengetahui dimensi-dimensi yang beraneka ragam dari yang dibuatnya.
Pengetahuan si penakwil dari si penyusun lebih besar ketimbang pengenalan si penyusun dari dirinya. Dia menggantikan keseluruhan kehidupan penyusun dengan mafhum (pemahaman) niat penyusun, sebab karya seni memperlihatkan dari keseluruhan kehidupan penyusun tidak hanya niat penyusun pada waktu khusus berkarya. Di sini terlihat Schleier Macher terpengaruh dengan konsep Frued "alam bawah sadar".
Dia menghakimi bahwa teks mempunyai makna akhir, asli dan pasti, dan berpandangan bahwa setiap kata dalam setiap kalimat mempunyai satu makna dimana makna tersebut adalah mendasar serta dia mengingkari suatu teks dapat ditakwilkan dari beberapa sudut pandang.
Schleiermacher berpandangan bahwa untuk mengenal ucapan seseorang harus mengenal seluruh kehidupannya, dan dari sisi lain untuk mengenal dia harus mengenal pembicaraannya.
Kritik:
1. Jika kekhususan seorang berdampak dalam
bahasa (sedangkan bahasa adalah tidak hanya perantara masyarakat bahkan kehidupan masyarakat itu sendiri), maka tidak perlu terjadi dialog dan saling memahamkan antara individu satu masyarakat dan orang-orang yang mengenal bahasa. Padahal kondisi ini terjadi sebaliknya, saling memahamkan dan saling kritik dan menjawab kritik.
2. emindahkan hasil pemikiran l dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana jia mereka berkehendak tiap tDia dalam tafsir technical yang terdiri dua metode: metode syuhudi dan qiyasi, dan dalam metode syuhudi penafsir mempunyai kedudukan penyusun. Problemnya perbuatan ini untuk penyusun yang sudah mati tidaklah memungkinkan dan untuk penyusun yang masih hidup yang sezaman dengan penafsir adalah sangat sulit, sebab setiap manusia melewati pendidikan dan pengajaran serta tarbiyah yang bermacam-macam yang kemudian membentuk kepribadian seorang individu.
3. Metode qiyasi (perbandingan) dalam tafsir technical bisa terjadi daur atau tasalsul, dan jika dari jalan induksi tidak memungkinkan terjadinya pengenalan yakin.
4. Dia tidak meyakini niat penyusun dan menggantinya dengan keseluruhan kehidupan penyusun dan informasi penafsir terhadap penyusun lebih besar dari informasi penyusun terhadap dirinya sendiri, padahal tujuan setiap penafsir adalah mengenal maksud dan niat penyusun meskipun dia mungkin memperoleh topik- topik baru.
5. Dia meyakini makna akhir dari pada tulisan, padahal jika suatu proposisi ditinjau dari sudut madlul mutâbiqi dan madlul iltizâmi, dan atau dalam ungkapan urafa meliputi batin dan derajat-derajat, maka bisa ditinjau suatu teks dengan berbagai sudut tinjauan.
2. Wilhelm Dilthey (1833-1912)
Dia berpendapat bahwa tugas seorang ahli hermeneutik melakukan analisis filsafat dan perubahan pemahaman serta takwil dalam ilmu-ilmu humaniora. Dia punya anggapan bahwa kehidupan itu adalah suatu mafhum (komprehensi) metafisika, kehidupan adalah suatu kekuatan yang menjelaskan keinginan-keinginan perasaan (emosi) dan ruh, dan ini dipahami dengan pengalaman. Dia berkata: kehidupan adalah suatu rentetan berkesinambungan dan yang lewat menyambungkan yang sekarang; dan horizon masa datang menggiring kita ke arahnya. Dilthry dengan mengutarakan metode logikanya dalam ilmu-ilmu humaniora mengambil langkah baru dalam hermeneutik dan takwil teks dan dengan perhatian terhadap kekhususan jiwa penyusun dan penyebaran sejarahnya, dia mengutarakan pandangan-pandangan baru dalam hal ini. Menurut ia takwil digunakan ketika kita menginginkan sesuatu yang asing dan tidak diketahui dengan cara faktor-faktor yang diketahui. Oleh sebab itu jika seseorang, seluruh bentuk-bentuk kehidupan baginya asing dan tidak diketahuinya atau secara mutlak dia tahu, maka dia tidak butuh pada takwil.
Dia melihat bahwa kata itu adalah hasil kontrak sebagaimana teriakan itu muncul dari rasa sakit sebagai alamat natural.
Dilthey berpendapat ukuran dasar makna dalam teks adalah niat penyusun dan bahkan makna teks itu menyatu dengan niat rasional penyusun. Dia berkata: seni berasal dari kehendak dan manfaat serta niat seniman dan tidak berpisah dari seniman, dan takwil adalah media untuk mengetahui niat ini. Dan dia menganggap bahwa teks itu merupakan manifestasi kehidupan dan secara nyata merupakan kehidupan ruh dan jiwa si penyusun.
Dia sebagaimana Schleier Macher, penafsir harus mendekatkan dirinya terhadap unsur penyusun bukan penyusun dan karyanya dikembalikan pada zamannya. Dan dengan hal ini, pengetahuan si penakwil terhadap perkataan penyusun lebih sempurna dihubungkan dengan penyusun sendiri. Oleh sebab itu Dilthry berpandangan bahwa hermeneutik bertujuan mengetahui lebih sempurna dari penyusun dari karyanya dimana si penyusun tidak mendapat pengetahuan itu sebelumnya. Dia juga berpendapat tentang kemungkinan menyingkap makna akhir suatu teks. Menurutnya tujuan penakwil menghilangkan jarak zaman dan sejarah antara dia dan penyusun dan syarat terciptanya itu melewatkan seluruh asumsi-asumsi dari zaman kekinian dan mecapai horizon pemikiran-pemikiran penyusun dan melepaskan seluruh ikatan-ikatan dan beban sejarah kekinian dan fanatisme serta asumsi-asumsi.
Kritik:
a. Sebagian kritik yang berlaku pada Schleier Macher juga berlaku untuk pandangannya seperti 1,4 dan 5.
b. Dilthey untuk mendekati horizon penyusun harus menghilangkan seluruh asumsi-asumsi dan ikatan serta beban sejarah kekinian, padahal setiap pengetahuan bersandar pada asumsi-asumsi, kecuali pengetahuan badihi (aksioma). Ilmu terhadap teks juga berdasar pada asumsi-asumsi yang jika dilalaikan akan membuat kepincangan pada makrifat agama.
3. Hans Lacory Gadamer ( Polandia 1901, murid Haddegger karyanya Truth and method). Hermeneutik Gadamer berhubungan dengan hermeneutik filsafat, hermeneutiknya sendiri merupakan upaya penggabungan pemikiran antara Heidegger dengan Dilthey.
a. Gadamer seperti Ludwig witgenstein salah satu dari tujuan hermeneutik adalah hubungan antara "pemahaman" dan praktek, dalam arti pemahaman bertumpu pada batasan makna khusus. Menurutnya pemahaman dan praktek tidak bisa berpisah satu sama lain.
b. Hermeneutik Gadamer lahir dari dasar pengetahuan ia bahwa hakikat mempunyai batin dan kisi-kisi, dan untuk memperolehnya harus dengan cara dialog. Menurutnya ukuran kebenaran bukanlah kesesuaian antara konsepsi dengan realitas (prinsipalitas realitas) dan bukan juga penyaksian bidahat dzati konsepsi (pengetahuan fitri mazhab Descartes), tetapi kebenaran adalah kesadaran antara partikular dan bagian-bagian serta keseluruhan.
c. Gadamer mengikuti Heidegger bahwa interpretasi selalu diawali dengan asumsi dan hipotesis, pandangan dan budaya. Interpretasi adalah sebuah pra pemahaman sejarah dan berkaitan erat dengan nilai-nilai tradisional, yakni mengasumsikan horizon intelektual yang melatarbelakangi asumsi dan hipotesis tidak menghalangi pemahaman, bahkan sebagai pra syarat yang menunjang.
Oleh sebab itu, setiap penafsiran berakhir pada fusi antara horizon masa lalu dan sekarang, atau antara horizon penafsir dengan horizon teks. Interpretasi menghasilkan keseimbangan tetap, tidak akan ada interpretasi yang absolut dan akhir, We can not be sure that our interpretation is correct or better than previous interpretations.
d. Gadamer, dengan memanfaatkan pasilitas teori-teori Plato dan Aristoteles, meyakini bahwa dalam peristiwa penting hermeneutik harus dilakukan proses dialog dengan suatu teks dan seperti proses dialog di antara dua orang, dan dialog tersebut dilakukan secara kontinuitas sampai mencapai kesepakatan di antara keduanya. Dia dalam menjelaskan proses interpretasi, meyakini bahwa setiap pemahaman adalah suatu penafsiran; sebab setiap pemahaman dalam kondisi khusus mempunyai akar; maka dari itu ia adalah manifestasi khusus dari suatu pandangan. Tidak satupun pandangan yang bersifat mutlak yang dapat ditinjau darinya seluruh manifestasi-manifestasi yang dimungkinkan. Tafsir secara dharuri adalah suatu proses sejarah; tetapi ia tidak hanya pengulangan masa silam; akan tetapi mempunyai kebersamaan dengan makna kekinian. Dari tinjauan ini maka "pandangan terdapat satu macam penafsiran yang sahih", adalah suatu dugaan yang batil. Menurut pandangan Gadamer, tafsir satu teks tidak dapat membatasi observasi maksud penyusun atau memahami zaman penyusun; sebab teks, bukanlah manifestasi dari kondisi rasionalitas penyusun; akan tetapi hanya dengan berasaskan dialog antara si penafsir dan teks eksistensi, akan diperoleh realitas dari itu.
Kritik:
1. Habermes dan lainnya memandang bahwa hermenetik Gadamer masuk dalam suatu bentuk relativisme; sebab Gadamer dengan mengungkapkan pandangannya tentang saling berhadapan dua horizon pemaknaan si penafsir dan teks, warisan-warisan kebudayaan, pertanyaan-pertanyaan dan pra anggapan-pra anggapan dalam tafsiran si penafsir, telah menghadirkan suatu bentuk relativisme yang menyerupai dengan relativisme Kant.
2. Kemestian dari ungkapan Gadamer, jalan untuk dapat saling kritik-mengeritik di dalam tafsiran-tafsiran, adalah tertutup; sebab setiap orang berasaskan suatu nisbah terhadap kondisi warisan kebudayaan, pra asumsi dan pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki, melakukan interpretasi kepada teks-teks dan karya-karya seni serta nilai kebenran dan kesalahn dari semua penafsir adalah satu, bahkan hatta kemungkinan keberadaan penafsiran sahih dan sempurna di sisi Gadamer, adalah tidak bermakna; padahal secara jelas dan terang kita saksikan bahwasanya terdapat kritik-kritik yang sangat banyak terhadap tafsir-tafsir yang bermacam-macam. Dan kritik-kritik ini juga meliputi wilayah tradisi-tradisi, kondisi-kondisi kebudayaan dan pra asumsi-pra asumsi.
3. Jika setiap pemahaman butuh kepada pra asumsi, maka akan terperangkapa kepada daur dan tasalsul; sebab pemahamannya terhadap pra asumsi juga butuh kepada pra asumsi lain dan rentetan ini sampai tiada akhir.[]
Senin, 10 Januari 2011
SERAT WULANG REH
PAKUBUWONO IV
Serat Wulang Reh, karya Jawa klasik bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768 – 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta.
Dari serat ini tampak bahwa krisis politik dan ekonomi yang melanda istana-istana
Jawa sejak permulaan abad ke 19 meluas ke bidang sosial dan kultural. Institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional mengalami erosi, sedangkan yang baru masih dalam proses pertumbuhan. Hal itu terjadi karena politik kolonial pemerintahan Belanda yang semakin intensif dan juga disebabkan oleh pergaulan istana-istana Jawa dengan orang-orang Eropa yang samakin meluas. Banyak adat-istiadat baru yang semula tidak dikenal akhirnya masuk istana. Sementara itu generasi mudanya lebih terbawa ke arus baru daripada menaati dan menjalani yang lama. Dengan demikian generasi muda dianggap kurang menghargai dan kurang menghormati adat istiadat dan nilai-nilai warisan luhur, kurang sopan santun, kurang prihatin, tidak mau mendengarkan dan menerima pendapat orang-orang tua.
Semua tinggkah laku dan cara berpikir mereka dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya yang sesuai dengan pedoman yang diwariskan oleh leluhur-leluhur pada masa yang lalu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang istana itu berusaha mempertahankan statusnya. Untuk itulah mereka menggali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika. Teks-teks lama yang digubah, isi dan bahasanya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku pada waktu. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.
Dengan demikian, niali seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadardapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.
Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram.
Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan awu’tali kekerabatan’. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkankewaspadaan batin. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “ reh “ bersabar hati dan “ ririh “ tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi.
Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang :
1. Deduga “ dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah.”
2. Prayoga “ dipertimbangkan baik buruknya “
3. Watara “ dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan “
4. Reringa “ sebelum yakin benar akan keputusan itu “
Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-laki yang tertua, Guru dan raja.
Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi :
1. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua
2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima
3. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran
4. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup.
5. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik.
6. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi.
Serat Wulang Reh
Serat Macapat Dandanggula
1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
Serat Wulang Reh, karya Jawa klasik bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768 – 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta.
Dari serat ini tampak bahwa krisis politik dan ekonomi yang melanda istana-istana
Jawa sejak permulaan abad ke 19 meluas ke bidang sosial dan kultural. Institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional mengalami erosi, sedangkan yang baru masih dalam proses pertumbuhan. Hal itu terjadi karena politik kolonial pemerintahan Belanda yang semakin intensif dan juga disebabkan oleh pergaulan istana-istana Jawa dengan orang-orang Eropa yang samakin meluas. Banyak adat-istiadat baru yang semula tidak dikenal akhirnya masuk istana. Sementara itu generasi mudanya lebih terbawa ke arus baru daripada menaati dan menjalani yang lama. Dengan demikian generasi muda dianggap kurang menghargai dan kurang menghormati adat istiadat dan nilai-nilai warisan luhur, kurang sopan santun, kurang prihatin, tidak mau mendengarkan dan menerima pendapat orang-orang tua.
Semua tinggkah laku dan cara berpikir mereka dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya yang sesuai dengan pedoman yang diwariskan oleh leluhur-leluhur pada masa yang lalu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang istana itu berusaha mempertahankan statusnya. Untuk itulah mereka menggali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika. Teks-teks lama yang digubah, isi dan bahasanya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku pada waktu. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.
Dengan demikian, niali seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadardapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.
Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram.
Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan awu’tali kekerabatan’. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkankewaspadaan batin. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “ reh “ bersabar hati dan “ ririh “ tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi.
Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang :
1. Deduga “ dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah.”
2. Prayoga “ dipertimbangkan baik buruknya “
3. Watara “ dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan “
4. Reringa “ sebelum yakin benar akan keputusan itu “
Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-laki yang tertua, Guru dan raja.
Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi :
1. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua
2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima
3. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran
4. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup.
5. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik.
6. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi.
Serat Wulang Reh
Serat Macapat Dandanggula
1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
Tafsir Tembang Dolanan " LIR ILIR "
Pada suatu saat yang waktu dan tempatnya aku lupa, atau buku apa aku lupa, atau radio, TV, koran dan majalah apa juga aku lupa. Tetap[i yang jelas narasumbernya adalah Kiyai Mbeling yang tak asing lagi Mas Ainun Najib.
Beliau mengatakan bahwa tembang dolanan Lir Ilir adalah cara cara dakwah para pimpinan masa itu. Simak syairnya :
Lir ilir - Lir ilir, Tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo, taksengguh penganten anyar
Cah angon cah angon, Penekno belimbing kuwi
Lunyu lunyu penekno, Tak enggo masuh dodot iro
Dodot iro dodot iro, kumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono, taknggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung jembar Rembulane
Surako surak hayo.
Syair tembang ini merupakan terjemahan atas wahyu yang diterima Nabi Muhammad ketika Ia sedang takut akibat wahyu yang pertama :
Hai orang yang berselimut
Bangunlah dan menyerulah
Nama Tuhanmu Agungkan
Pakaianmu bersihkan
dosamu tinggalkan
(Almudatsir 1-5)
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan tugas suci yaitu menyejahterakan ummat dengan memperbaiki cara berfikir terlebih dahulu, semua kegiatan berkiblat kepada Tuhan (Lillahi Ta'ala). Cara cara yang kotor, cara cara yang merusak keindahan, merobek persatuan dan mendatangkan kerusakan haruis segera diperbaiki untuk kebahaguiaan bersama.
Bumi yang indah dan kaya raya ini justeru akan berbalik menyengsarakan manakala para pemimpin tidak bersikap seperti anak pengembala yang siap memberikan layanan publik, dan apalagi meminta untuk dilayani, serta berusaha untuk menjadi orang yang pertama merasakan kenikmatan atas fasilitas kekayaan ini, dengan cara dan dalih apapun, termasuk melakukan kebohongan publik.
Petiklah belimbing yang bersegi lima itu, yaitu laksanakan rukun Islam yang lima. bersama komunitas yang engkau gembalakan itu, pasti kalian akan menemukan kebahagiaan sejati. Memang pohon kebahagiaan itu akan terasa licin, untuk mencapainya harus bersusah payah terlebih dahulu. Para pemimpin hendaknya lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan umum dibanding kepentingan dan kesejahteraan pribadi.
Di dunia yang kaya raya ini sejatinya kita bergembira, hidup makmur bukan justeru menjadi bangsa miskin yang seperti sekarang ini ...
====================================
MAKNA SPIRITUAL TEMBANG DOLANAN ILIR-ILIR
Kata-katanya demikian :
LIR ILIR, LIR ILIR, TANDURE WIS SUMILIR lir ilir, lir ilir, tanamannya sudah tumbuh st ubur
TAK IJO ROYO-ROYO, TAKSENGGUH PENGANTEN ANYAR sungguh sangat indah terhampar menghijau, seperti temantin baru
CAH ANGON, CAH ANGON, PENEKNA BLIMBING KUWI wahai, anak gembala, panjatkanlah buah belimbing itu
LUNYU LUNYU YA PENEKNA, TAKNGGO MASUH DODOTIRA panjatkanlah, biar licin sekali pun, untuk mencuci jarikmu
DODOTIRA DODOTIRA KUMITIR BEDHAH ING PINGGIR jarikmu robek di pinggir
DONDOMANA JLUMATANA, TAKNGGO SEBA MENGKO SORE jahitlah untuk saya pergunakan menghadap raja nanti sore
MUMPUNG JEMBAR KALANGANE selagi masih luas arenanya
MUMPUNG PADHANG REMBULANE selagi bulan masih bersinar terang
SUN SURAKA SURAK HORE aku pun bersorak gembira, bersorak horeee
Lagu tersebut di atas adalah lagu dolanan anak-anak yang dahulu setiap hari ditembangkan oleh anak-anak kecil dan anak-anak besar pada waktu sore hari menjelang malam. Mereka bermain di halaman rumah yang pada umumnya luas. Bergembira sampai kurang lebih jam makan malam.
Di sinilah letak kebijaksanaan para Leluhur Jawa. Mereka sungguh sangat mengerti mengenai laku hidup rohani dan tuntunan hidup rohani dari TUHAN yang selalu saja dibungkus di dalam SANEPA-SANEPA yang sangat halus sekali seperti halnya YESUS pun mengajar dengan mempergunakan CERITERA-CERITERA PERUMPAMAAN. Diturunkan di dalam bentuk tembang dolanan yang sederhana supaya mudah dihafal dan mudah diingat dari anak-anak kecil sampai orang-orang dewasa.
Ada pun makna spiritual Tembang ILIR ILIR adalah:
1. ILIR adalah tepas besar yang dipergunakan untuk mendinginkan nasi yang baru saja diangkat dari tempat menanak nasi. Hal ini mengajarkan bahwa kita harus selalu mendinginkan atau angleremake pakarti hawa nafsu yang panas, supaya semua pola berpikir, pola bertutur kata, serta pola peri laku hidup kita sehari-hari tidak ditunggangi hawa nafsu, yang akan selalu menjerumuskan kita di dalam hidup tidak beriman kepada TUHAN.
2. TANAMAN YANG TAMPAK TERHAMPAR MENGHIJAU mengajarkan apabila Iman sudah mulai tumbuh subur akan terwujudlah hidup manunggal utuh antara Roh Jiwa dan Raga, antara Raga Jiwa dan Roh. Roh memimpin seluruh pribadi, sehingga sungguh-sungguh terwujudlah hidup "LAHIR UTUSANING BATIN" kelahiran yang nampak adalah utusan batin satunya kata dan perbuatan satunya jiwa dan raga satunya Roh dan raga satunya dalam dan luar yang menumbuhkan PENGHARAPAN YANG TERANG BENDERANG AKAN HIDUP MENDATANG seperti halnya pengantin baru yang penuh harapan.
3. CAH ANGON CAH ANGON PENEKNA BLIMBING KUWI ..... WAHAI, ANAK GEMBALA, PANJATKANLAH BUAH BELIMBING ITU menunjukkan dialog antara Roh dan Raga ... LUNYU LUNYU YA PENEKNA TAKNGGO MASUH DODOTIRA ... PANJATKANLAH, WALAU PUN LICIN SEKALI PUN UNTUK MENCUCI JARIK ATAU AGEMAN .... Roh membimbing Raga untuk mau bersusah payah menjalani laku spiritual untuk memetik sarana untuk membersihkan seluruh diri dari segala kekotoran dosa..... DODOTIRA DODOTIRA KUMITIR BEDHAH ING PINGGIR DONDOMANA JLUMATANA TAKNGGO SEBA MENGKO SORE.....ageman itu robek di pinggir jahitlah untuk saya pergunakan menghadap Raja nanti sore .... Roh membimbing raga untuk menjalani laku spiritual untuk mempersatukan untuk membuat utuh kembali bagian-bagian yang terpisah yang tidak menyatu sehingga manunggal menyatu untuk menghadap TUHAN DI DALAM LAKU SAMADI ... PADA WAKTU SEBA MENGHADAP RAJA SEMUA KAWULA HANYA DIAM SIAP APABILA SEWAKTU-WAKTU RAJA BERTITAH ATAU BERTANYA SESUATU KEPADANYA .... YANG DIMAKSUDKAN ADALAH MENJALANI LAKU SAMADI ... ATAU SEMEDI SEMELEH ING GUSTI ....
4. MUMPUNG JEMBAR KALANGANE MUMPUNG PADHANG REMBULANE .... artinya selagi diberi kesempatan hidup yang luas dan bebas dan diberi Anugerah Limpahan Rahmat dan Berkat yang tak terbatas oleh TUHAN
5. SUN SURAKA SURAK HOREE ........ Roh bersuka cita selalu bersyukur menyembah memuji memuliakan TUHAN atas semua Anugerah yang selalu dilimpahkan TUHAN kepada seluruh diri ini ...........
TUHAN SELALU MENYERTAI DAN MEMBIMBING KITA SEMUA.amin.....
Sabtu, 08 Januari 2011
MENGENAL AKSARA BALI
WAWAN SUPRIADI
Aksara Bali, banyak sekali kemiripan dengan Aksara Jawa yang disebut Aksara Hanacaraka, tetapi ada beberapa perbedaan dalam aturan penulisan bisa di baca di SINI, saya cukup kesulitan untuk mencari bahan untuk mencari tata cara penulisan Aksara Bali ini, tapi saya mencoba mengenalkan Aksara Bali ini, dengan harapan ada orang Bali yang mengerti akan Aksara Bali membagi ilmunya untuk memperkaya khazanah kita dlam mengenal kebudayaan leluhur kita. Sebelum mempelajari penulisan Aksara Bali ini sebaiknya mendownolaod dulu Bali Simbar-B.ttf DI SINI
Aksara Wianjana (Konsonan)
Aksara wianjana adalah hurup konsonan, nama dan bentuknya mirip dengan HaNaCaraka, bentuk dan cara penulisan dengan komputer adalah sebagai berikut:
Aksara Suara (Vokal
a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD8eao3HeYL2tRlCYPClqokIkVm65EE5vrgQo6S-_tGFAJjOtTbDQI15e8rScsdYH1Gz5dhDi-88D4dpZXU4O1RCf08iCOoe2gHBK6tv-L-66IcuGOrLuSJutH8HJNp5IGkBXqYkGnMOC-/s1600/AKSARA+BALI+3.jpg">
Aksara Suara adalah hurup Vokal, bentuk dan cara penulisan dengan komputer adalah sebagai berikut:
Angka
Pangangge Suara
sebuah aksara Bali disebut lagna, dan berbunyi a, pangangge suara berfungsi untuk mengubah bunyi suara
Aksara Gantungan Atau Gampelan
berfungsi untuk mematikan hurup sebelumnya yang berada di awal kata atau di tengah kata, bentuk dan cara penulisan dengan komputer sebagai berikut
Aksara Bali adalah huruf suku kata. Tanpa mendapat ‘pangangge suara’, sudah dapat berfungsi sebagai suku kata. Aksara Bali yang belum mendapat ‘pangangge suara’ disebut lagna.
Suara a yang menyatu pada lagna itu akan hilang, bila :
Lagna tersebut mendapat pangangge suara
Lagna tersebut mendapat gantungan atau gampelan
Lagna tersebut diberi adeg-adeg
contoh lagna yang mendapat pangangge suara
Adeg adeg
berfungsi untuk mematikan huruf sebelumnya dan adeg-adeg ini dipakai pada akhir kataau akhir kalimat , cara penulisan adeg yaitu
apabila lagna yang akan dimatikan terletak di awal kata atau tengah kata digunakan gantungan atau gampelan contoh
Tangenan
Saat ini akhir tahun 2009 di alam Kompasiana pernah berdiri kerajaan yang bernama negeri ngocoleria. Negeri ngocoleria ini dipimpin oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana bernama Baginda ANDY SYOEKRY AMAL dengan permaisuri yang bernama Nyi Mas Ratu Kencana Inge. Baginda Raja memiliki dua orang selir yaitu Nyi Mas Rina Sulistiyoningsih dan Nyi Mas Siska Nanda. Kedua selir ini diincar oleh Menteri pertahanan ngocol yang bernama Adipati Aria Ibeng Suribeng. Untuk menjaga stabilitas negara dan stabilitas rumah tangga, sengaja Baginda Raja menikahkan putri satu-satunya yang bernama Nyi Mas kencana Wulung Nopey kepada Menteri Pertahanan Ngocol Adipati Aria Ibeng Suribeng. Semoga prasasti ini menjadi bahan pelajaran pada anak cucu jangan terlalu percaya pada menterinya
menjadi
Jumat, 07 Januari 2011
Islam di Pulau bali sejak Abad ke - 15
SEJARAH ISLAM DI BALI
Sejarah masuknya agama Islam ke Bali sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan latarbelakang sendiri dari masing-masing komunitas Islam yang kini ada di Bali,” kata Drs Haji Mulyono, seorang tokoh Islam di Bali.
Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Provinsi Bali itu menjelaskan, penyebaran agama Islam ke Bali antara lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV.
Dalem Waturenggong
Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.
Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.
H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).
Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. “Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” tutur Haji Mulyono.
ISLAM DI BALI MASA KINI
Ibukota Provinsi Bali, Kota Denpasar dilihat dari monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Tengoklah desa-desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim di Kepaon di Badung.
Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali.
Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.
Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.
Konon, jika diantara warga muslim Kepaon terlibat gesekan-gesekan dengan komunitas lain, Raja Pemecutan turun tangan membela mereka. “Mereka cukup disegani. Bahkan, jika ada masalah-masalah dengan komunitas lain, Raja Pemecutan membelanya,” ujar Shobib, aktivis Mesjid An Nur.
Masjid Al Hikmah di Denpasar Timur dengan ornamen khas Hindu Bali
Di Denpasar, komunitas muslim juga dapat dijumpai di Kampung Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Konon, nenek moyang mereka adalah para nelayan yang terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Badung dengan Mengwi, mereka dijadikan prajurit. Setelah mendapat kemenangan, kemudian diberi tanah.
Umat Hindu dan Islam Bali
Di Pegayaman, sebagian warga muslim menambahkan nama Bali Wayan, Made, Nyoman dan Ketut pada nama-nama Islam mereka, seperti Wayan Abdullah, misalnya.
Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi dan ini membuat mereka tetap hidup.
Keturunan mereka yang menghuni kampung-kampung ini dengan damai, dan tetap menjaga nilai-nilai tradisi keislaman mereka secara utuh.
Keberadan komunitas muslim di Bali, ditandai adanya mesjid di lingkungan kampung mereka. Selain itu, rumah-rumah warga muslim tidak dilengkapi tempat untuk sesaji di depan rumah.
Beberapa kampung itu hanya contoh kecil bagaimana dulu, masyarakat Hindu dan Muslim serta agama lain bisa hidup berdampingan di Pulau Bali.
Orang Bali sendiri secara umum menyebut warga muslim dengan istilah selam. Istilah selam ini sudah sangat umum di Bali untuk menjelaskan tentang umat Islam.
Sama sekali tak ada konotasi negatif, apalagi penghinaan. Justru istilah ini mempertegas kerukunan karena dikaitkan dengan ikatan persaudaraan yang di Bali dikenal dengan istilah manyama-braya. Dalam kaitan manyama-braya ini umat Hindu melahirkan istilah nyama selam (saudara Islam) dan nyama Kristen (saudara Kristen).
Ketika Ramadhan datang, umat Hindu menghormati orang Islam yang berpuasa, dan pada saat berbuka puasa umat Hindu ada yang ngejot (memberikan dengan ikhlas) ketupat.
Apalagi saat Idul Fitri datang. Umat Hindu memberi buah-buahan kepada saudaranya yang muslim, sementara pada saat Galungan, umat Islam memberikan ketupat (minimal anyaman ketupat).
Perkembangan Islam di Bali Bagian Utara
Desa Pegayaman
Pagayam-eds
ALUNAN nyanyian sekelompok lelaki itu terdengar seperti tembang kidung Wargasari –lagu pujaan yang biasa dilantunkan umat Hindu. Namun, syairnya dalam bahasa Arab, bukan bahasa Bali atau Jawa Kuno. Musik pengiringnya juga bukan tetabuh gong atau gamelan Bali, melainkan rebana, yang bentuknya mirip dengan kendang Bali.
Lirik lagu itu berisi salawat dan kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Inilah kesenian khas Desa Pegayaman, yang disebut burda. Mengiringi lagu ini, seorang pria menari dalam pakaian adat Bali. Kepalanya diikat udeng, dengan memakai kamben mekancut, kain yang melilit pinggang dan ujungnya terjurai dengan ujung meruncing sampai di bawah lutut.
Penari itu meliak-liukkan badan, dan memainkan mata serta jemarinya, seperti lazimnya dalam tarian Bali. Tapi, dalam gerakannya terbaca kombinasi antara tari Bali dan pencak silat. Inilah tari taman, satu di antara sejumlah tarian khas desa ini. Ada juga tari perkawinan, yang –tentu saja– khusus digelar pada upacara pernikahan.
Lagu dan tarian ini memang sangat Islami, tapi kental dengan nuansa Bali. Sebab, para ”pelaku”-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sebagian besar penduduk desa ini muslim. Mereka disebut ”Nyama Slam”, atau ”Saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya.
Pegayaman terhampar di lereng Bukit Gigit, satu di antara jajaran perbukitan yang memagari Bali Utara dengan daerah selatan. Jaraknya sekitar 70 km dari Denpasar, di tengah jalur menuju Singaraja. Wilayah seluas 1.584 hektare ini dihuni 999 kepala keluarga –sama dengan jumlah ayat di dalam Al-Quran– dengan 4.821 jiwa. Hanya 477 orang penghuni desa ini beragama Hindu.
Pegayaman dibagi menjadi empat banjar –atau dusun: Banjar Dauh Rurung (Barat Jalan), Banjar Dangin Rurung (Timur Jalan), Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian, alias kepala banjar –tak berbeda dengan desa adat di seluruh Bali.
Tak sulit mencari lokasi desa ini, meskipun ia berada di lereng bukit dan dikelilingi kebun cengkeh dan kopi. Menjelang jalan masuk ke Pegayaman, dipasang papan penunjuk arah yang cukup mencolok. Jalan raya menuju desa itu seluruhnya diaspal mulus. Sedangkan jalan-jalan yang lebih sempit diperkeras dengan semen.
Memeluk Islam tak membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman lain sama sekali dengan yang menganut Hindu. Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak memakai hiasan ukir-ukiran, yang pada bangunan milik warga Bali seakan wajib hukumnya. Juga tidak ada bangunan sanggah, tempat pemujaan keluarga yang umum terdapat di setiap rumah penduduk Bali beragama Hindu.
Dalam memberikan nama, mereka tetap mengikuti tradisi. Anak pertama disebut Wayan, anak kedua Nengah, anak ketiga dan keempat masing-masing Nyoman dan Ketut. Ketika mereka saling memberikan salam, terdengarlah ”bunyi” yang unik: ”Assalamu’alaikum, Pak Ketut Ahmad Ibrahim!,” yang dibalas ”Wa’alaikumsalam, Wayan Arafat!”
Penduduk muslim Pegayaman memang penduduk ”asli” Bali. Bukan ”orang Islam pendatang”, yang diasumsikan sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa sekitarnya, pekerjaan pokok mereka berkebun. ”Kami bukan pendatang, kami penduduk Bali asli,” kata I Ketut Ahmad Ibrahim, 80 tahun, Kepala Desa Pegayaman.
Sudah belasan tahun pensiunan anggota TNI ini memimpin Pegayaman. Dia tak punya masalah dengan umat lain agama. ”Kami tidak merasa berbeda, kecuali dalam syariat,” katanya. Perbedaan itu pun tak membuat mereka berjarak, apalagi menjadi eksklusif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, boneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
Mereka juga ikut menghentikan kegiatan sehari-hari, dan hanya berdiam di rumah pada hari Nyepi. Pada hari raya Hindu, Galungan, umat Hindu juga tetap ngejot, tradisi mengantarkan makanan ke rumah tetangga, meskipun tetangganya muslim. ”Yang diantarkan juga makanan halal,” kata Nyoman Nesa, 65 tahun, penduduk setempat. Sebaliknya, pada Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Pegayaman ngejot ke para tetangga Hindu.
Pada Idul Adha, penduduk yang beragama Islam tetap membuat penjor, yaitu bambu berhias yang ditancapkan di depan rumah. Tentu saja tanpa sesajen. Dalam pembuatannya, warga Hindu ikut membantu, menghias, sampai memancangkannya. Umat Islam hanya membuat penjor pada Idul Adha, yang perayaannya lebih meriah ketimbang Idul Fitri.
Mereka menggelar tari-tarian khas daerah itu, memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru. ”Bagi anak-anak, bukan Idul Fitri yang ditunggu-tunggu, melainkan Idul Adha,” kata Wayan Arafat, 22 tahun, seorang pemuda setempat. Pada Idul Fitri, mereka hanya menjalankan salat id dan bersilaturahmi. Tidak ada kemeriahan lainnya.
”Saya tidak tahu sejarah,” kata Arafat tentang perbedaan itu. ”Kami hanya menjalankan apa yang diwariskan kepada kami.” Ia juga tidak tahu asal muasal leluhurnya hingga sampai bermukim di Pegayaman –yang punya beberapa versi. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, umat Islam di Pegayaman sudah ada sejak zaman kekuasaan Raja Buleleng, Panji Sakti, yaitu pada abad ke-15.
Ketut Ibrahim lalu mengutip sebuah riwayat. ”Katanya raja di Solo menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Panji Sakti sebagai tanda persahabatan,” tutur Ibrahim. Nah, para prajurit dari Jawa Tengah ini kemudian ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan, seperti Raja Mengwi dan Badung.
Para prajurit ini kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya. ”Itu cerita yang saya terima turun-temurun,” Ibrahim menambahkan. Cerita Ibrahim memang tidak didukung bukti tertulis. Dalam berbagai lontar sejarah Bali yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai sejarah Islam Pegayaman.
Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di Bali, pun hanya tertulis masuknya Islam ke Bali secara umum. Disebutkan, agama Islam masuk di Bali pada abad ke-5, dalam masa pemerintahan Raja Gelgel, Kelungkung, sekitar 32 km sebelah timur kota Denpasar. Raja Gelgel mendapat bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit.
Sayang, nama Raja Majapahit tak dicantumkan dalam lontar. Kedatangan para prajurit Jawa itu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis, dan Sasak, Lombok. Beberapa dari mereka inilah yang kemudian menetap di Pegayaman. Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok imigran Islam yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, 1850.
Rombongan ini diduga berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sebab, sampai sekarang, tetua desa Pegayaman masih mengaku keturunan Bugis. Imigran ini menetap di Desa Pegayaman, yang hanya berjarak 9 km di selatan Singaraja, ibu kota Buleleng. Di desa ini mereka kemudian berbaur, dan terjadilah kawin campur.
Dalam masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut sistem patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.
Bila seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung. Sang cewek tetap berada di dalam kamar, sedangkan si pria di luar. ”Kami ngobrol lewat sela-sela daun pintu atau jendela yang tetap tertutup,” kata Wayan Jamil, 20 tahun, pemuda setempat. Tapi, pasangan yang tak punya hubungan asmara malah boleh bertemu langsung.
”Kencan” tak boleh dilakukan malam hari. Sebab, ada aturan, gadis atau remaja putri tidak boleh keluar rumah setelah magrib. Tidak disebutkan hukuman bagi pelanggar aturan itu. ”Saya tak tahu hukumannya, karena belum pernah mendengar ada yang melanggar,” kata Jamil.
Pembangunan masjid di Bali mengalami akulturasi dengan seni budaya setempat, sehingga tempat suci umat Islam di daerah tujuan wisata ini tampak berbeda dengan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
“Proses akulturasi sejak masuknya Islam ke Bali yang diperkirakan 500 tahun silam, memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” kata Kasi Bina Ibadah Sosial, Produk Halal dan Kemitraan Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali, Haji Mudzakkir di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, dalam pembangunan masjid tidak ada ketentuan menggunakan unsur aristektur tertentu, namun yang penting ada ruangan untuk melaksanakan ibadah. “Terjadinya akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur seni budaya itu tetap dipertahankan hingga sekarang,” ujar Mudzakkir, kelahiran kampung Bugis Sesetan, Denpasar Selatan.
Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan, bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.
Kesamaan itu antara lain terdapat pada buku dan “Geguritan” (pembacaan ayat-ayat suci Hindu), yang ternyata di dalamnya mengandung unsur nuansa Islam. Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu adalah di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.
Di Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya, sehingga muncul nama seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Ia menambahkan, dalam budaya, umat Islam Bali telah “berbaur” dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Pulau Dewata, sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Sistem pengairan bidang pertanian tradisional (subak) misalnya, umat muslim menerapkan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata.
Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak untuk lebih menciptakan ’kemesraan’ dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.
Berbagai keunikan itu menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai segi, baik oleh wisatawan mancanegara, sosiolog maupun budayawan dari berbagai negara di belahan dunia, ujar Haji Mudzakkir.
Sejarah masuknya agama Islam ke Bali sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan latarbelakang sendiri dari masing-masing komunitas Islam yang kini ada di Bali,” kata Drs Haji Mulyono, seorang tokoh Islam di Bali.
Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Provinsi Bali itu menjelaskan, penyebaran agama Islam ke Bali antara lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV.
Dalem Waturenggong
Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.
Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.
H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).
Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. “Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” tutur Haji Mulyono.
ISLAM DI BALI MASA KINI
Ibukota Provinsi Bali, Kota Denpasar dilihat dari monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Tengoklah desa-desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim di Kepaon di Badung.
Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali.
Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.
Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.
Konon, jika diantara warga muslim Kepaon terlibat gesekan-gesekan dengan komunitas lain, Raja Pemecutan turun tangan membela mereka. “Mereka cukup disegani. Bahkan, jika ada masalah-masalah dengan komunitas lain, Raja Pemecutan membelanya,” ujar Shobib, aktivis Mesjid An Nur.
Masjid Al Hikmah di Denpasar Timur dengan ornamen khas Hindu Bali
Di Denpasar, komunitas muslim juga dapat dijumpai di Kampung Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Konon, nenek moyang mereka adalah para nelayan yang terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Badung dengan Mengwi, mereka dijadikan prajurit. Setelah mendapat kemenangan, kemudian diberi tanah.
Umat Hindu dan Islam Bali
Di Pegayaman, sebagian warga muslim menambahkan nama Bali Wayan, Made, Nyoman dan Ketut pada nama-nama Islam mereka, seperti Wayan Abdullah, misalnya.
Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi dan ini membuat mereka tetap hidup.
Keturunan mereka yang menghuni kampung-kampung ini dengan damai, dan tetap menjaga nilai-nilai tradisi keislaman mereka secara utuh.
Keberadan komunitas muslim di Bali, ditandai adanya mesjid di lingkungan kampung mereka. Selain itu, rumah-rumah warga muslim tidak dilengkapi tempat untuk sesaji di depan rumah.
Beberapa kampung itu hanya contoh kecil bagaimana dulu, masyarakat Hindu dan Muslim serta agama lain bisa hidup berdampingan di Pulau Bali.
Orang Bali sendiri secara umum menyebut warga muslim dengan istilah selam. Istilah selam ini sudah sangat umum di Bali untuk menjelaskan tentang umat Islam.
Sama sekali tak ada konotasi negatif, apalagi penghinaan. Justru istilah ini mempertegas kerukunan karena dikaitkan dengan ikatan persaudaraan yang di Bali dikenal dengan istilah manyama-braya. Dalam kaitan manyama-braya ini umat Hindu melahirkan istilah nyama selam (saudara Islam) dan nyama Kristen (saudara Kristen).
Ketika Ramadhan datang, umat Hindu menghormati orang Islam yang berpuasa, dan pada saat berbuka puasa umat Hindu ada yang ngejot (memberikan dengan ikhlas) ketupat.
Apalagi saat Idul Fitri datang. Umat Hindu memberi buah-buahan kepada saudaranya yang muslim, sementara pada saat Galungan, umat Islam memberikan ketupat (minimal anyaman ketupat).
Perkembangan Islam di Bali Bagian Utara
Desa Pegayaman
Pagayam-eds
ALUNAN nyanyian sekelompok lelaki itu terdengar seperti tembang kidung Wargasari –lagu pujaan yang biasa dilantunkan umat Hindu. Namun, syairnya dalam bahasa Arab, bukan bahasa Bali atau Jawa Kuno. Musik pengiringnya juga bukan tetabuh gong atau gamelan Bali, melainkan rebana, yang bentuknya mirip dengan kendang Bali.
Lirik lagu itu berisi salawat dan kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Inilah kesenian khas Desa Pegayaman, yang disebut burda. Mengiringi lagu ini, seorang pria menari dalam pakaian adat Bali. Kepalanya diikat udeng, dengan memakai kamben mekancut, kain yang melilit pinggang dan ujungnya terjurai dengan ujung meruncing sampai di bawah lutut.
Penari itu meliak-liukkan badan, dan memainkan mata serta jemarinya, seperti lazimnya dalam tarian Bali. Tapi, dalam gerakannya terbaca kombinasi antara tari Bali dan pencak silat. Inilah tari taman, satu di antara sejumlah tarian khas desa ini. Ada juga tari perkawinan, yang –tentu saja– khusus digelar pada upacara pernikahan.
Lagu dan tarian ini memang sangat Islami, tapi kental dengan nuansa Bali. Sebab, para ”pelaku”-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sebagian besar penduduk desa ini muslim. Mereka disebut ”Nyama Slam”, atau ”Saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya.
Pegayaman terhampar di lereng Bukit Gigit, satu di antara jajaran perbukitan yang memagari Bali Utara dengan daerah selatan. Jaraknya sekitar 70 km dari Denpasar, di tengah jalur menuju Singaraja. Wilayah seluas 1.584 hektare ini dihuni 999 kepala keluarga –sama dengan jumlah ayat di dalam Al-Quran– dengan 4.821 jiwa. Hanya 477 orang penghuni desa ini beragama Hindu.
Pegayaman dibagi menjadi empat banjar –atau dusun: Banjar Dauh Rurung (Barat Jalan), Banjar Dangin Rurung (Timur Jalan), Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian, alias kepala banjar –tak berbeda dengan desa adat di seluruh Bali.
Tak sulit mencari lokasi desa ini, meskipun ia berada di lereng bukit dan dikelilingi kebun cengkeh dan kopi. Menjelang jalan masuk ke Pegayaman, dipasang papan penunjuk arah yang cukup mencolok. Jalan raya menuju desa itu seluruhnya diaspal mulus. Sedangkan jalan-jalan yang lebih sempit diperkeras dengan semen.
Memeluk Islam tak membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman lain sama sekali dengan yang menganut Hindu. Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak memakai hiasan ukir-ukiran, yang pada bangunan milik warga Bali seakan wajib hukumnya. Juga tidak ada bangunan sanggah, tempat pemujaan keluarga yang umum terdapat di setiap rumah penduduk Bali beragama Hindu.
Dalam memberikan nama, mereka tetap mengikuti tradisi. Anak pertama disebut Wayan, anak kedua Nengah, anak ketiga dan keempat masing-masing Nyoman dan Ketut. Ketika mereka saling memberikan salam, terdengarlah ”bunyi” yang unik: ”Assalamu’alaikum, Pak Ketut Ahmad Ibrahim!,” yang dibalas ”Wa’alaikumsalam, Wayan Arafat!”
Penduduk muslim Pegayaman memang penduduk ”asli” Bali. Bukan ”orang Islam pendatang”, yang diasumsikan sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa sekitarnya, pekerjaan pokok mereka berkebun. ”Kami bukan pendatang, kami penduduk Bali asli,” kata I Ketut Ahmad Ibrahim, 80 tahun, Kepala Desa Pegayaman.
Sudah belasan tahun pensiunan anggota TNI ini memimpin Pegayaman. Dia tak punya masalah dengan umat lain agama. ”Kami tidak merasa berbeda, kecuali dalam syariat,” katanya. Perbedaan itu pun tak membuat mereka berjarak, apalagi menjadi eksklusif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, boneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
Mereka juga ikut menghentikan kegiatan sehari-hari, dan hanya berdiam di rumah pada hari Nyepi. Pada hari raya Hindu, Galungan, umat Hindu juga tetap ngejot, tradisi mengantarkan makanan ke rumah tetangga, meskipun tetangganya muslim. ”Yang diantarkan juga makanan halal,” kata Nyoman Nesa, 65 tahun, penduduk setempat. Sebaliknya, pada Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Pegayaman ngejot ke para tetangga Hindu.
Pada Idul Adha, penduduk yang beragama Islam tetap membuat penjor, yaitu bambu berhias yang ditancapkan di depan rumah. Tentu saja tanpa sesajen. Dalam pembuatannya, warga Hindu ikut membantu, menghias, sampai memancangkannya. Umat Islam hanya membuat penjor pada Idul Adha, yang perayaannya lebih meriah ketimbang Idul Fitri.
Mereka menggelar tari-tarian khas daerah itu, memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru. ”Bagi anak-anak, bukan Idul Fitri yang ditunggu-tunggu, melainkan Idul Adha,” kata Wayan Arafat, 22 tahun, seorang pemuda setempat. Pada Idul Fitri, mereka hanya menjalankan salat id dan bersilaturahmi. Tidak ada kemeriahan lainnya.
”Saya tidak tahu sejarah,” kata Arafat tentang perbedaan itu. ”Kami hanya menjalankan apa yang diwariskan kepada kami.” Ia juga tidak tahu asal muasal leluhurnya hingga sampai bermukim di Pegayaman –yang punya beberapa versi. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, umat Islam di Pegayaman sudah ada sejak zaman kekuasaan Raja Buleleng, Panji Sakti, yaitu pada abad ke-15.
Ketut Ibrahim lalu mengutip sebuah riwayat. ”Katanya raja di Solo menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Panji Sakti sebagai tanda persahabatan,” tutur Ibrahim. Nah, para prajurit dari Jawa Tengah ini kemudian ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan, seperti Raja Mengwi dan Badung.
Para prajurit ini kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya. ”Itu cerita yang saya terima turun-temurun,” Ibrahim menambahkan. Cerita Ibrahim memang tidak didukung bukti tertulis. Dalam berbagai lontar sejarah Bali yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai sejarah Islam Pegayaman.
Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di Bali, pun hanya tertulis masuknya Islam ke Bali secara umum. Disebutkan, agama Islam masuk di Bali pada abad ke-5, dalam masa pemerintahan Raja Gelgel, Kelungkung, sekitar 32 km sebelah timur kota Denpasar. Raja Gelgel mendapat bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit.
Sayang, nama Raja Majapahit tak dicantumkan dalam lontar. Kedatangan para prajurit Jawa itu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis, dan Sasak, Lombok. Beberapa dari mereka inilah yang kemudian menetap di Pegayaman. Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok imigran Islam yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, 1850.
Rombongan ini diduga berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sebab, sampai sekarang, tetua desa Pegayaman masih mengaku keturunan Bugis. Imigran ini menetap di Desa Pegayaman, yang hanya berjarak 9 km di selatan Singaraja, ibu kota Buleleng. Di desa ini mereka kemudian berbaur, dan terjadilah kawin campur.
Dalam masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut sistem patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.
Bila seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung. Sang cewek tetap berada di dalam kamar, sedangkan si pria di luar. ”Kami ngobrol lewat sela-sela daun pintu atau jendela yang tetap tertutup,” kata Wayan Jamil, 20 tahun, pemuda setempat. Tapi, pasangan yang tak punya hubungan asmara malah boleh bertemu langsung.
”Kencan” tak boleh dilakukan malam hari. Sebab, ada aturan, gadis atau remaja putri tidak boleh keluar rumah setelah magrib. Tidak disebutkan hukuman bagi pelanggar aturan itu. ”Saya tak tahu hukumannya, karena belum pernah mendengar ada yang melanggar,” kata Jamil.
Pembangunan masjid di Bali mengalami akulturasi dengan seni budaya setempat, sehingga tempat suci umat Islam di daerah tujuan wisata ini tampak berbeda dengan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
“Proses akulturasi sejak masuknya Islam ke Bali yang diperkirakan 500 tahun silam, memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” kata Kasi Bina Ibadah Sosial, Produk Halal dan Kemitraan Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali, Haji Mudzakkir di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, dalam pembangunan masjid tidak ada ketentuan menggunakan unsur aristektur tertentu, namun yang penting ada ruangan untuk melaksanakan ibadah. “Terjadinya akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur seni budaya itu tetap dipertahankan hingga sekarang,” ujar Mudzakkir, kelahiran kampung Bugis Sesetan, Denpasar Selatan.
Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan, bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.
Kesamaan itu antara lain terdapat pada buku dan “Geguritan” (pembacaan ayat-ayat suci Hindu), yang ternyata di dalamnya mengandung unsur nuansa Islam. Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu adalah di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.
Di Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya, sehingga muncul nama seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Ia menambahkan, dalam budaya, umat Islam Bali telah “berbaur” dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Pulau Dewata, sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Sistem pengairan bidang pertanian tradisional (subak) misalnya, umat muslim menerapkan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata.
Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak untuk lebih menciptakan ’kemesraan’ dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.
Berbagai keunikan itu menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai segi, baik oleh wisatawan mancanegara, sosiolog maupun budayawan dari berbagai negara di belahan dunia, ujar Haji Mudzakkir.
Sejarah Kampung Islam Gelgel
Masuknya Agama Islam Ke Bali
MIMBAR bersejarah milik Masjid Nurulhuda Gelgel Bali.
Masuknya Agama Islam ke Bali dimulai dari daerah Klungkung setelah runtuhnya Majapahit. Klungkung merupakan kerajaan Hindu yang terbesar dan berwibawa di Bali.
Menurut cerita rakyat sekitar tahun 1500 M datanglah Raja Dalem Ketut (saudara Raja Dalem pasuruan) masih termasuk dinasti Majapahit, dari Jawa ke Bali. Kedatangannya ke Bali pada waktu itu karena Majapahit sudah masuk Islam Raja Dalem Ketut mendirikan kerajaan di Klungkung.
Tak lama kemudian datanglah Ratu Dewi Fatimah dari Majapahit yang telah menjadi seorang muslimah. Ratu Dewi Fatimah selain sebagai saudara sepupu adalah kekasih Raja Dalem Ketut sewaktu masih di Jawa. Oleh keyakinan agamanya dan cintanya kepada Raja Dalem Ketut, maka Ratu Dewi Fatimah dating ke Bali, tepatnya Klungkung dengan niatnya untuk berusaha mengajak Raja Dalem Ketut memeluk agama Islam, menjadi istri Raja Dalem Ketut setelah Raja Dalem Ketut menjadi muslim, bersama Raja Dalem Ketut mendirikan kerajaan Islam.
Raja Dalem Ketut yang bertemu dengan Ratu Dewi Fatimah adalah Dalem Ketut Sri Krisna Kepakisan. Pada Babad Bali menyebutkan bahwa Dalem Ketut Sri Krisna Kepakisan beristana di Samperangan daerah Gianyar-Bali. Ia memerintah di Bali atas pengangkatan Maha Patih Gajah Mada. Ada juga berpendapat bahwa yang mula-mula dating ke Istana Gelgel untuk menghadap Sri Waturenggong (Raja waktu itu) adalah Fatahhillah (Raden Fatah) seperti yang ditulis oleh Gorasirikan dalam buku “Dung Paman Cangah” dimana pada tahun Candra Sangkala yaitu tahun Saka 1400 atau tahun 1478 M. kerajaan Majapahit jatuh karena diserang oleh pasukan Girindera Wardana dari Kediri. Pada kesempatan itulah Raden Patah, Putra Raja Brawijaya, Raja Majapahit terakhir yang lahir dari seorang Padmi dari Palembang oleh para Wali dan Alim Ulama’ dinobatkan menjadi Sultan Demak (Jawa Tengah)
Raja Bali yang bernama Sri Dalem Waturenggong memerintah dari tahun 1460-1550 M yang beristana di Gelgel. Beliau sangat sakti dan bijaksana mengatur pemerintahan. Ini terbukti beliau memerintah sangat lama ± 90 tahun. Wilayahnya yang dikuasainya meliputi seluruh Bali, Sasak (Lombok), Sumbawa, Belambangan hingga Kugar.
Dengan menggunakan politik pendekatan Raja-Raja pada saat pemerintahannya itu datanglah serombongan orang Islam ke istana Gelgel. Ternyata waktu itu baginda masih muda, datanglah utusan dari Mekkah membawa gunting dan pisau cukur hendak mengislamkan baginda. Baginda amat marah. Pisau cukur langsung dicukurkan pada telapak kaki baginda (Sri Dalem Waturenggong) dan tumpullah pisau cukur itu. Guntingnya diguntingkan pada jari tangan baginda namun gunting itu terpisah.
Utusan dari Mekkah dimaksud adalah orang-orang dari Demak yang beragama Islam. Karena gagal mengislamkan Raja, maka rombongan kembali ke Demak (Jawa). Beberapa orang pengiringnya masih tinggal di Gelgel. Rombongan dari Demak datang ke Gelgel diperkirakan 1460 M, yaitu semasa pemerintahan Raden Fatah di Demak. Orang-orang yang tinggal di Gelgel inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Islam di Gelgel sampai saat ini.
MIMBAR bersejarah milik Masjid Nurulhuda Gelgel Bali.
Masuknya Agama Islam ke Bali dimulai dari daerah Klungkung setelah runtuhnya Majapahit. Klungkung merupakan kerajaan Hindu yang terbesar dan berwibawa di Bali.
Menurut cerita rakyat sekitar tahun 1500 M datanglah Raja Dalem Ketut (saudara Raja Dalem pasuruan) masih termasuk dinasti Majapahit, dari Jawa ke Bali. Kedatangannya ke Bali pada waktu itu karena Majapahit sudah masuk Islam Raja Dalem Ketut mendirikan kerajaan di Klungkung.
Tak lama kemudian datanglah Ratu Dewi Fatimah dari Majapahit yang telah menjadi seorang muslimah. Ratu Dewi Fatimah selain sebagai saudara sepupu adalah kekasih Raja Dalem Ketut sewaktu masih di Jawa. Oleh keyakinan agamanya dan cintanya kepada Raja Dalem Ketut, maka Ratu Dewi Fatimah dating ke Bali, tepatnya Klungkung dengan niatnya untuk berusaha mengajak Raja Dalem Ketut memeluk agama Islam, menjadi istri Raja Dalem Ketut setelah Raja Dalem Ketut menjadi muslim, bersama Raja Dalem Ketut mendirikan kerajaan Islam.
Raja Dalem Ketut yang bertemu dengan Ratu Dewi Fatimah adalah Dalem Ketut Sri Krisna Kepakisan. Pada Babad Bali menyebutkan bahwa Dalem Ketut Sri Krisna Kepakisan beristana di Samperangan daerah Gianyar-Bali. Ia memerintah di Bali atas pengangkatan Maha Patih Gajah Mada. Ada juga berpendapat bahwa yang mula-mula dating ke Istana Gelgel untuk menghadap Sri Waturenggong (Raja waktu itu) adalah Fatahhillah (Raden Fatah) seperti yang ditulis oleh Gorasirikan dalam buku “Dung Paman Cangah” dimana pada tahun Candra Sangkala yaitu tahun Saka 1400 atau tahun 1478 M. kerajaan Majapahit jatuh karena diserang oleh pasukan Girindera Wardana dari Kediri. Pada kesempatan itulah Raden Patah, Putra Raja Brawijaya, Raja Majapahit terakhir yang lahir dari seorang Padmi dari Palembang oleh para Wali dan Alim Ulama’ dinobatkan menjadi Sultan Demak (Jawa Tengah)
Raja Bali yang bernama Sri Dalem Waturenggong memerintah dari tahun 1460-1550 M yang beristana di Gelgel. Beliau sangat sakti dan bijaksana mengatur pemerintahan. Ini terbukti beliau memerintah sangat lama ± 90 tahun. Wilayahnya yang dikuasainya meliputi seluruh Bali, Sasak (Lombok), Sumbawa, Belambangan hingga Kugar.
Dengan menggunakan politik pendekatan Raja-Raja pada saat pemerintahannya itu datanglah serombongan orang Islam ke istana Gelgel. Ternyata waktu itu baginda masih muda, datanglah utusan dari Mekkah membawa gunting dan pisau cukur hendak mengislamkan baginda. Baginda amat marah. Pisau cukur langsung dicukurkan pada telapak kaki baginda (Sri Dalem Waturenggong) dan tumpullah pisau cukur itu. Guntingnya diguntingkan pada jari tangan baginda namun gunting itu terpisah.
Utusan dari Mekkah dimaksud adalah orang-orang dari Demak yang beragama Islam. Karena gagal mengislamkan Raja, maka rombongan kembali ke Demak (Jawa). Beberapa orang pengiringnya masih tinggal di Gelgel. Rombongan dari Demak datang ke Gelgel diperkirakan 1460 M, yaitu semasa pemerintahan Raden Fatah di Demak. Orang-orang yang tinggal di Gelgel inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Islam di Gelgel sampai saat ini.
Rabu, 05 Januari 2011
PENGARUH DINASTI PALLAWA DI INDONESIA HINGGA MUNCULNYA AKSARA KAWI
Dalam naskah-naskah Nusantara, keadaannya tidak seberuntung naskah-naskah yang berbentuk buku pada jaman sekarang. Kebanyakan materialnya terbuat dari bahan organik yaitu dluwang, lontar, kulit kayu, bambu, dan rotan. Warisan intelektual Indonesia terekam pada media-media yang telah disebutkan diatas termasuk batu. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki kelimpahan naskah-naskah yang berharga nilainya. Seperti tulisan Thomas M. Hunter Jr., para sarjana telah lama menduga bahwa jaringan perdagangan internasional menghubungkan Cina dan Asia tenggara dengan India. Kemudian berkembang sampai permulaan millenium.
Bagaimanapun, penentuan tanggal paling awal tentang tradisi tulis di Indonesia adalah tetap pada prasasti Yupa dari Kutai pada abad V. Hal itu berhubungan dengan prasasti dari dinasti Palawa India Selatan dan prasasti Vietnam pada tahun 350 M. Kesemua itu mengindikasikan bahwa Indonesia telah mempunyai koneksi yang luas ke utara dan ke barat dari waktu itu. Penggunaan bahasa Sanskerta pada prasasti Yupa adalah sebuah potongan kecil dari fakta dan bukti diantara banyak hal lain yang meliputi daya tarik peradaban India dan agama Hindu-Buddha untuk aristrokrasi atau kebangsawanan Asia Tenggara. Fakta ini antara lain untuk pengadopsian tulisan India kepada bahasa pribumi dalam sebuah wilayah. Di Jawa, tulisan yang berkembang tersebut pada umumnya dikenal dengan istilah Kawi. Tulisan ini juga menjadi tulisan induk untuk berbagai masyarakat pada waktu sekarang di Indonesia.
Peziarah Cina bernama I Ching mengatakan pada kita, dalam laporannya, mengenai pendeta Buddha di Sriwijaya yang belajar keseluruhan kurikulum tentang India, termasuk dalam hal bahasa. Dia sendiri berhenti di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa saat perjalananya ke India tahun 671M dan akhirnya kembali dan menetap empat tahun untuk menyelesaikan sebuah terjemahan baru dari kitab agama ke dalam bahasa Cina. Peziarah Cina lainya yaitu Hui Ning pergi ke Walaing di Jawa Tengah pada tahun 664 dan menerjemahkan teks Sanskerta pada Theravada ke dalam bahasa Cina dibawah tuntunan rahib Jawa. Selama kebutaan aksara di Jawa mulai berkurang dan melek aksara menyebar luas, maka penggunaan Sanskerta sebagai bahasa pada prasasti berangsur-angsur digantikan oleh bahasa pribumi. Di Jawa, prasasti dalam bahasa Jawa Kuna dimulai atau muncul pada awal abad ke-9 M. Di Bali, penggunaan bahasa Bali Kuna diperkirakan mulai digunakan pada akhir abad ke-9 M.
Pengaruh Kerajaan Pallawa di Indonesia
Sementara sampai saat ini sebagian besar dokumen Indonesia yang ditulis dalam alfabet Romawi, sejumlah besar masih diproduksi baik dalam beberapa bentuk tulisan Arab atau dalam aksara daerah seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang memiliki asal mula yang sama dalam sistem penulisan kuno India asalnya. Sebuah warisan yang kaya teks-teks dalam naskah tidak lagi umum digunakan, seperti Batak dan Bugis, juga menegaskan penyebaran teknologi penulisan di seluruh Asia Tenggara selama era perdagangan maritim yang membawa serta penyebaran agama Hindu dan Budha.
Cendekiawan telah lama menduga bahwa jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan Cina dan Asia Tenggara dengan India dan Timur Dekat telah dikembangkan pada awal milenium pertama. Tahun 1918, J.P. Vogel dalam studi mendetail mengenai prasasti Yupa dari Kutai, Kalimantan Barat , menunjukkan bahwa mereka berhubungan dengan naskah prasasti dari dinasti Pallava India Selatan serta situs-situs seperti prasasti di Vo-Canh Vietnam modern (bagian Cam kuno kerajaan yang berada di eksistensi pada awal abad kedua Masehi.) dan Anuradhapura di Sri Lanka. Ia juga menunjukkan bahwa Asia Tenggara mencerminkan contoh Pallawa perbaikan ke tulisan yang hanya kemudian dimasukkan ke dalam dinasti Pallava dari daratan India. Vogel memperkirakan tanggal dari prasasti Vo-Canh pada 350 M, prasasti Yupa pada 400 M, dan yang berhubungan erat Ci-Aruten, prasasti Jawa Barat pada 450 M memberikan kronologi kasar dari perkembangan awal apa yang sekarang kita kenal sebagai tulisan Pallawa Awal Asia Tenggara.
Kerajaan Pallawa merupakan kerajaan terbesar dan terkuat di seluruh Asia Tenggara pada masanya. Kerajaan Pallawa menduduki salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah dunia. Pallawa mengacu pada periode sejarah ketika sebuah dinasti dimana prajurit serta raja memerintah di bagian tenggara India. Perkiraan tahun masuknya kira-kira abad ke-3 M hingga abad ke-5 M, dan kehadirannya terasa sampai jauh seperti di Filipina dan Kalimantan. Hal ini dilakukan ketika tidak sedang melakukan kegiatan keprajuritan atau perdagangan, mungkin juga karena aktivitasnya di tanah asing. Mereka mengembangkan dan mempengaruhi tulis menulis. Awalnya tulisan tersebut itu digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta. Tetapi sesuatu tentang tulisan ini pasti sangat mengesankan, dan kemudian berkembang sebagai tulisan dalam monumen batu yang berisikan tentang politik dan agama. selama 500 tahun berikutnya, variasi dan evolusi itu sedang digunakan untuk menulis sebagian besar bahasa Asia Tenggara.
Secara langsung maupun tidak langsung, tulisan pallawa berpengaruh :
1. Di India : Telugu, Tamil, Sinhala, kannada
2. Di seluruh Asia meliputi : Burma, Khmer (Kamboja), Thailand, Champ (Vietman), Kawi (Javanese, Balinese, Buginese), Sundanese
Tulisan palawa masih dalam kondisi baik. Tulisan ini ditemukan dalam prasasti Yupa. Sementara sejumlah tulisan lain asal India yang memberikan pengaruh pada evolusi huruf di daratan Asia Tenggara, tulisan pallawa tetap memperoleh pijakan di daratan Asia Tenggara.
Munculnya masa tulisan Kawi
Pada pertengahan abad kedelapan, bagian dalam Jawa yang mulai berkembang sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pembentukan negara. Ini juga masa ketika ditulis keaksaraan telah dikembangkan ke titik di mana sebuah gaya tulisan mulai menggantikan gaya monumental tulisan awal dan akhir palawa. Sarjana seperti Kern, menyebutkan gaya penulisan baru ini "tulisan kawi" karena sering berhubungan dengan dokumen yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi.
Tulisan palawa jelas merupakan tulisan yang digunakan untuk tujuan monumental. Tulisan kawi awal merupakan tulisan yang digunakan untuk menulis pada daun lontar. Dc Casparis membedakan "kuno" dan "standar" bentuk tulisan kawi awal. Fase kuno diwakili oleh contoh Jawa diawali dengan prasasti Lingga dari Dinoyo pada tahun 760M. Pada pertengahan abad kesembilan, penggunaan tulisan kawi awal yang standar di Jawa sudah tetap. Satu set lempengan tembaga dari kekuasaan Balitung menggambarkan kesederhanaan yang menandai bentuk awal Standar Kawi. Menjelang akhir milenium pertama, Jawa kuna berkembang dari bahasa dengan tujuan arsip menjadi bahasa sastra yang sangat fleksibel dan halus, kemudian kekuatan politik bergeser dari Tengah ke Jawa Timur. Ini membawa evolusi lebih lanjut tulisan kawi.
Daftar Pustaka
Casparis, J.G.1975. Indonesian Palaeography. Leiden/Koln : E.J. BRILL.
Prijohutomo, 1953. Sedjarah Kebudajaan Indonesia. Djakarta : Groningen.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Djambatan.
Daftar Gambar
http://www.ancientscripts.com/kawi.html
http://www.kamat.com/kalranga/deccan/pallavas.htm
http://www.omniglot.com/writing/pallava.htm
http://www.iranchamber.com/history/articles/india_parthian_colony1.php
http://skyknowledge.com/pallava.htm
sUMBER : hendiyuniarto.blogspot.com/
Bagaimanapun, penentuan tanggal paling awal tentang tradisi tulis di Indonesia adalah tetap pada prasasti Yupa dari Kutai pada abad V. Hal itu berhubungan dengan prasasti dari dinasti Palawa India Selatan dan prasasti Vietnam pada tahun 350 M. Kesemua itu mengindikasikan bahwa Indonesia telah mempunyai koneksi yang luas ke utara dan ke barat dari waktu itu. Penggunaan bahasa Sanskerta pada prasasti Yupa adalah sebuah potongan kecil dari fakta dan bukti diantara banyak hal lain yang meliputi daya tarik peradaban India dan agama Hindu-Buddha untuk aristrokrasi atau kebangsawanan Asia Tenggara. Fakta ini antara lain untuk pengadopsian tulisan India kepada bahasa pribumi dalam sebuah wilayah. Di Jawa, tulisan yang berkembang tersebut pada umumnya dikenal dengan istilah Kawi. Tulisan ini juga menjadi tulisan induk untuk berbagai masyarakat pada waktu sekarang di Indonesia.
Peziarah Cina bernama I Ching mengatakan pada kita, dalam laporannya, mengenai pendeta Buddha di Sriwijaya yang belajar keseluruhan kurikulum tentang India, termasuk dalam hal bahasa. Dia sendiri berhenti di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa saat perjalananya ke India tahun 671M dan akhirnya kembali dan menetap empat tahun untuk menyelesaikan sebuah terjemahan baru dari kitab agama ke dalam bahasa Cina. Peziarah Cina lainya yaitu Hui Ning pergi ke Walaing di Jawa Tengah pada tahun 664 dan menerjemahkan teks Sanskerta pada Theravada ke dalam bahasa Cina dibawah tuntunan rahib Jawa. Selama kebutaan aksara di Jawa mulai berkurang dan melek aksara menyebar luas, maka penggunaan Sanskerta sebagai bahasa pada prasasti berangsur-angsur digantikan oleh bahasa pribumi. Di Jawa, prasasti dalam bahasa Jawa Kuna dimulai atau muncul pada awal abad ke-9 M. Di Bali, penggunaan bahasa Bali Kuna diperkirakan mulai digunakan pada akhir abad ke-9 M.
Pengaruh Kerajaan Pallawa di Indonesia
Sementara sampai saat ini sebagian besar dokumen Indonesia yang ditulis dalam alfabet Romawi, sejumlah besar masih diproduksi baik dalam beberapa bentuk tulisan Arab atau dalam aksara daerah seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang memiliki asal mula yang sama dalam sistem penulisan kuno India asalnya. Sebuah warisan yang kaya teks-teks dalam naskah tidak lagi umum digunakan, seperti Batak dan Bugis, juga menegaskan penyebaran teknologi penulisan di seluruh Asia Tenggara selama era perdagangan maritim yang membawa serta penyebaran agama Hindu dan Budha.
Cendekiawan telah lama menduga bahwa jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan Cina dan Asia Tenggara dengan India dan Timur Dekat telah dikembangkan pada awal milenium pertama. Tahun 1918, J.P. Vogel dalam studi mendetail mengenai prasasti Yupa dari Kutai, Kalimantan Barat , menunjukkan bahwa mereka berhubungan dengan naskah prasasti dari dinasti Pallava India Selatan serta situs-situs seperti prasasti di Vo-Canh Vietnam modern (bagian Cam kuno kerajaan yang berada di eksistensi pada awal abad kedua Masehi.) dan Anuradhapura di Sri Lanka. Ia juga menunjukkan bahwa Asia Tenggara mencerminkan contoh Pallawa perbaikan ke tulisan yang hanya kemudian dimasukkan ke dalam dinasti Pallava dari daratan India. Vogel memperkirakan tanggal dari prasasti Vo-Canh pada 350 M, prasasti Yupa pada 400 M, dan yang berhubungan erat Ci-Aruten, prasasti Jawa Barat pada 450 M memberikan kronologi kasar dari perkembangan awal apa yang sekarang kita kenal sebagai tulisan Pallawa Awal Asia Tenggara.
Kerajaan Pallawa merupakan kerajaan terbesar dan terkuat di seluruh Asia Tenggara pada masanya. Kerajaan Pallawa menduduki salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah dunia. Pallawa mengacu pada periode sejarah ketika sebuah dinasti dimana prajurit serta raja memerintah di bagian tenggara India. Perkiraan tahun masuknya kira-kira abad ke-3 M hingga abad ke-5 M, dan kehadirannya terasa sampai jauh seperti di Filipina dan Kalimantan. Hal ini dilakukan ketika tidak sedang melakukan kegiatan keprajuritan atau perdagangan, mungkin juga karena aktivitasnya di tanah asing. Mereka mengembangkan dan mempengaruhi tulis menulis. Awalnya tulisan tersebut itu digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta. Tetapi sesuatu tentang tulisan ini pasti sangat mengesankan, dan kemudian berkembang sebagai tulisan dalam monumen batu yang berisikan tentang politik dan agama. selama 500 tahun berikutnya, variasi dan evolusi itu sedang digunakan untuk menulis sebagian besar bahasa Asia Tenggara.
Secara langsung maupun tidak langsung, tulisan pallawa berpengaruh :
1. Di India : Telugu, Tamil, Sinhala, kannada
2. Di seluruh Asia meliputi : Burma, Khmer (Kamboja), Thailand, Champ (Vietman), Kawi (Javanese, Balinese, Buginese), Sundanese
Tulisan palawa masih dalam kondisi baik. Tulisan ini ditemukan dalam prasasti Yupa. Sementara sejumlah tulisan lain asal India yang memberikan pengaruh pada evolusi huruf di daratan Asia Tenggara, tulisan pallawa tetap memperoleh pijakan di daratan Asia Tenggara.
Munculnya masa tulisan Kawi
Pada pertengahan abad kedelapan, bagian dalam Jawa yang mulai berkembang sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pembentukan negara. Ini juga masa ketika ditulis keaksaraan telah dikembangkan ke titik di mana sebuah gaya tulisan mulai menggantikan gaya monumental tulisan awal dan akhir palawa. Sarjana seperti Kern, menyebutkan gaya penulisan baru ini "tulisan kawi" karena sering berhubungan dengan dokumen yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi.
Tulisan palawa jelas merupakan tulisan yang digunakan untuk tujuan monumental. Tulisan kawi awal merupakan tulisan yang digunakan untuk menulis pada daun lontar. Dc Casparis membedakan "kuno" dan "standar" bentuk tulisan kawi awal. Fase kuno diwakili oleh contoh Jawa diawali dengan prasasti Lingga dari Dinoyo pada tahun 760M. Pada pertengahan abad kesembilan, penggunaan tulisan kawi awal yang standar di Jawa sudah tetap. Satu set lempengan tembaga dari kekuasaan Balitung menggambarkan kesederhanaan yang menandai bentuk awal Standar Kawi. Menjelang akhir milenium pertama, Jawa kuna berkembang dari bahasa dengan tujuan arsip menjadi bahasa sastra yang sangat fleksibel dan halus, kemudian kekuatan politik bergeser dari Tengah ke Jawa Timur. Ini membawa evolusi lebih lanjut tulisan kawi.
Daftar Pustaka
Casparis, J.G.1975. Indonesian Palaeography. Leiden/Koln : E.J. BRILL.
Prijohutomo, 1953. Sedjarah Kebudajaan Indonesia. Djakarta : Groningen.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Djambatan.
Daftar Gambar
http://www.ancientscripts.com/kawi.html
http://www.kamat.com/kalranga/deccan/pallavas.htm
http://www.omniglot.com/writing/pallava.htm
http://www.iranchamber.com/history/articles/india_parthian_colony1.php
http://skyknowledge.com/pallava.htm
sUMBER : hendiyuniarto.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)