Sabtu, 24 Oktober 2015

Transmigrasi Dan Bahasa Daerah Lampung

Aktivitas transmigrasi dari Jawa ke Lampung terjadi sejak lama, 1905, dan berlangsung dalam jangka waktu yang demikian panjang baik resmi Pemerintah maupun spontanitas, sehingga Lampung menjadi nyaris identik dengan Jawa. Lampung tentu mendapatkan sekian banyak keuntungan dari program resmi Pemerintah dan berlanjut dengan transmigrasi spontan ini tetapi ada juga sisi ruginya. Jumlah yang mulai kurang seimbang antara enduduk asli dan pendatang antara lain berimbas dalam penggunaan bahasa daerah. Jumlah penutur bahasa Jawa lebih banyak dibanding penutur bahasa Lampung. Akhirnya belakangan baru disadari bahwa bahasa daerah Lampung kini termasuk salah satu bahasa daerah yang sedang terancam kepunahan, menyusul ratusan bahasa daerah yang telah punah sebelumnya, sementara hingga sekarang belum diketemukan antisipasinya. Dengan demikian maka berarti bangsa ini akan mengalami kerugian karena kehilangan kekayaan yang tak ternilai harganya.



Transmigrasi Lampung yang dimulai sejak zaman Kolonial Belanda ini
dilanjutkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, belum lagi transmigrasi spontan sehingga arus komunikasi dan transportasi Lampung - Jawa, Bali dan Madura demikian derasnya, serta diperparah oleh politik diskriminatip Orde Baru. Semula proses poitik Pemerintahan yang cenderung diskriminatif inidianggap sah sah saja. Para transmigran asal Jawa masing masing keluarga diberikan jatah dua hektar lahan perkebunan disertai pencetakan sawah baru oleh pemerintah Pusat ditambah pula dengan jatah hidup sekian lama untuk mendapatkan ransum.

Proyek transmigrasi ini selain ada program pematangan lahan, juga ada pembangunan daerah wilayah pemukiman, sehinga para penduduk baru tinggal menempati saja, pembangunan pemukiman ini diserta juga dengan pengadaan sarana umum seperti pembangunan pasar, tempat olahraga, rumah ibadah, sekolah,  puskesman dan lain lain yang didukung pula oleh pembangunan jalan dan jembatan atau gorong gorong, sementara wilayah pemukiman penduduk asli, yang belangan disebut tiyuh toho atau pemukiman tua, terlihat merana dengan tersedianya jalan peninggalan Belanda sebagai sara yang dapat diakses untuk menuju ke temapt iru.

Politik diskrimintaip Pemerintah Pusat di bawah rezim Orde Baru ini berlangsung hingga 30 tahun lamanya, dengan menghasilkan sejumlah hasil pembangunan yang sangat mengesankan di satu pihak serta  kerusakan parah bagi budaya dan bahasa daerah setempat di pihak yang lain. Semoga saya disebut berlebihan manakala saya ingin mengatakan bahwa politik diskriminatif  Orde Baru memiliki andil besar dalam proses kepunahan Bahasa daerah Lampung.

Ancaman  kepunahan bahasa daerah juga sejalan dengan  terbitnya  UU Pemerintahan Pedesaan, karena UU ini, secara tidak langsung juga membuat kewibawaan lembaga adat menjadi  agak terganggu, sementara anggah ungguh penggunaan bahasa sebenarnya tidak terlepas dari aktivitas adat, seperti upacara daur hidup, karena upacara adat dan bahasa daerah bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yang dengan mulai langkanya upacara itu diselenggarakan, maka secara otomatis penggunaan bahasa secara formal terkurangkan.

Dalam upacara adat itu selain dibutuhkan berbagai perlengkapan yang harus diadakan dalam upacara juga  ada para pihak yang berwenang dan ada pula pihak yang ditunjuk sebagai pelaku upacara, dan pelaku upacara selain harus melakukan suatu aktivitas juga diantaranya ada juga yang harus menyampaikan atau mengucapkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah dalam bahasa daerah.

Situasi tersebut di atas adalah sedikit contoh misal saja dari situasi yang tercipta yang berimbas pada terancamnya bahasa daerah Lampung mengalami kepunahan. Sejatinya Pemerintah sejak awal mengantisipasi kepunahan ini begitu struktur penduduk mengalami perubahan drastis akibat aktivitas transmigrasi penduduk Jawa baik resmi dan ditambah spontan. Tetapi sayang bukan antisipasi yang dilakukan tetapi justeru diskriminasi. Dan hasilnya kini jelas, yaitu ncaman kepunahan yang semakin hari semakin sulit dihindari.

Tidak ada komentar: