Selasa, 24 Desember 2013

[Buku] Ketika Anak Nagari Bersuara



Data Buku:
Suara Anak Nagari
Yohanes Wempi
Smart Writing Nusantara Institute
I, Oktober 2013
142 hlm.
MELIHAT sampul depan buku ini, terpampanglah foto penulisnya. Mengenakan baju putih seraya tersenyum disanding penggalan rumah gadang dan tabuik. Ini terlepas dari anggapan masyarakat yang beragam seputar tabuik dengan segala sudut pandangnya yang berbeda pula. Dalam konteks ini, khalayak lebih diarahkan dan diajak untuk melihat sisi baiknya, yakni kentalnya unsur budaya dan dinamika sosial serta gejolak politik yang terjadi di daerah Padang Pariaman itu?tergambar pada kover ini.

Deskripsi pemikiran yang tertuang dalam bentuk kumpulan esai-esai ini sudah bisa diterka pembaca, bahwa esai yang ditulis tak akan jauh berbeda dari pembicaraan seputar gagasan dan pengalaman penulis bergaul dengan masyarakat di tanah kelahirannya.

Manusia memiliki perspektif masing-masing dalam menyikapi suatu peristiwa. Pemikiran-pemikiran yang beragam itu menuai khasanah yang dapat dituangkan pada bentuk tulisan-tulisan yang dapat dibukukan pula. Demikian pula pada buku ini, sebuah pemikiran tentang kebangsaan yang dimulai dari ruang terkecil seperti nagari-nagari di Padang Pariaman.

Penulis telah berusaha mengukir kata-kata seputar Kabupaten Padang Pariaman dan seluk lekuk tanah kelahirannya itu. Meskipun demikian, sejatinya ini adalah cerminan kehidupan masyarakat Indonesia seutuhnya. Dari tulisannya dapat dilihat bahwa penulis tidak hanya kritis di ruang perkantoran atau kedinasan, tetapi juga ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kondisi yang sedang terjadi di tanah itu. Demikian dimaksudkan dalam upaya pembaca indonesia dalam pandangan masyarakat lokal.

Kalimat yang menjadi perenungan sejenak ?apa yang dilakukan penulis ini adalah upaya membaca Indonesia dalam pandangan masyarakat lokal.? Kedengarannya terkesan bahwa membaca tulisan demi tulisan dalam buku ini seolah membaca seutuhnya dari kondisi masyarakat Indonesia. Sebuah argumentasi yang patut diberikan tanda tanya-tanda tanya. Bagaimana bisa membaca Indonesia dalam pandangan masyarakat lokal, apalagi cakupan kajiannya lebih dikhususkan pada kehidupan dengan segala polemik yang ditemukan di Padang Pariaman. Bukan suatu hal yang mustahil pula, tetapi terlalu berani untuk membawa ?membaca Indonesia? hanya dengan pemaparan yang sederhana ini.

Kondisi membaca Indonesia bisa diambil apabila ada keterwakilan atau katakanlah sampel di masing-masing penjuru Tanah Air. Hal itu baru bisa dikatakan mampu membaca Indonesia secara jamak. Barangkali akan lebih tepat jika disederhanakan menjadi membaca kondisi dinamika yang terjadi di Sumatera Barat, meskipun belum ada daerah lain yang diekspos secara khusus pula di sini.

Terdapatnya penulis-penulis dari kabupaten dan kota lain yang ada di Indonesia sangat membantu untuk bisa turut memberikan gambaran konkret tentang realita kehidupan masyarakat, sehingga membaca Indonesia dapat diangsur-angsur perlahan.

Demikian tergambar dari isi. Isi semakin rapi bila diiringi penulisan yang rapi pula. Kini, kenikmatan meresapi isi esai ini menjadi terasa ketika membaca judul demi judulnya. Namun, akan lebih dihayati lagi apabila tidak ditemukan lagi kesalahan-kesalahan dalam proses pengetikan maupun pengeditannya. Penulisan yang masih terseok-seok menjadi perhatian yang tidak boleh diremehkan demi tulisan yang lebih sempuna lagi; tata bahasa dan ejaan tak boleh pula dilupakan.

Secara garis besar, buku ini berisi membaca Padang Pariaman beberapa tahun belakangan ini yang telah dipublikasikan di berbagai media setiap barisnya akan mengungkapkan bagaimana perjuangan anak muda ketika berhadapan dengan kekuasaan. Melihat terang cahaya tentu akan menyilaukan setidaknya tulisan ini mengajarkan untuk selalu konsisten terhadap komitmen perjuangan penulis melihat ke bawah realitas masyarakat Padang Pariaman untuk membentengi dirinya.

Beralih dari hal demikian, buku ini adalah cerminan seutuhnya dari kondisi masyarakat kita tidak hanya Kabupaten Padang Pariaman. Tetapi juga di penjuru negeri Indonesia lainnya. Tulisan dalam buku ini kesaksian atas apa yang dilihat di tengah-tengah masyarakat Padang Pariaman. Penulis mengabdi dan berbuat untuk tanah-tanah kelahiran ini dengan kesadaran dan atas dasar cinta yang sesungguhnya. Jalan ini memang jalan terjal yang penuh liku dan aral di sepanjang jalannya. Oleh sebab itu, kadang muncul kritik-kritik pedas dalan tulisan-tulisan penulis. Hal itu tentu saja bukan dengan masksud untuk menjatuhkan atau menohok lawan-lawan politik atau sebagainya, tetapi hal itu karena hal itu kecintaan kepada kampung halaman sehingga tak rela bila ada yang mengkhianati tanah kelahiran.

Esai-esai tentang Padang Pariaman ini memuat judul-judul; Ungku Salihah Ulama Besar Minangkabau, Baruak Piaman, Orang Minang Latah Obral Gelar Adat, Inilah Alasan Warga Pariaman Miskin, Perubahan dan Harmonisasi Legislatif Padang Pariaman, Menunggu Padang Pariaman Bangkit, Bupati Padang Pariaman 2010-2015, Pemimpin Padang Pariaman 2010-2015 Versi Lapau, Ali Mukni-Damsuar di Persimpangan, Bupati Padang Pariman Seratus Hari Lebih, Hati Nurani Anggota Dewan, Dicari...! Investor Ternak Itik di Padang Pariaman, Guru Honorer Tanpa Tanda Jasa, Polemik Zakat Padang Pariaman, Menuju Kemakmuran Padang Pariaman, Pembangunan Padang Pariaman Berkelanjutan, Catatan Penutup: Potensi Anak Nagari.

Dari tujuh belas judul-judul itu, setidaknya memberikan stimulus untuk turut merasakan pergolakan yang terjadi. Pembaca dibuat paham secara perlahan dan melihat pula kondisi di kampung halamannya masing-masing. Ada peluang untuk menulis pula deskripsi di kabupaten-kabupaten bahkan di kota lain sehingga buku ini menginisiasi lahirnya penulis lain yang juga menulis situasi dan kondisi serta dinamika yang terjadi.

Dengan demikian, lengkap sudahlah perjalanan anak-anak muda dalam membangun nagarinya sesuai versi tanah kelahirannya pula.

Dodi Saputra, bergiat di FLP dan Rumahkayu

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013

Tidak ada komentar: