SYEIKH Abdul Samad al-Falimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang, meninggal di Pattani, Thailand pada 1832. Nama lengkapnya ialah Abdul Samad bin Abdullah al-Jawi al-Falimbani. Sementara itu, sumber Arab pula menamakannya sebagai Sayyid Abdul al-Samad bin Abdul Rahman al-Jawi. Abdul Samad adalah panglima perang Pattani dan Kedah melawan tentara Siam (1828-1832).
Karya-karya dan al-Falimbani dalam bidang penulisan amat banyak, di antara karyanya ialah: Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, Hidayah al-Salikin Fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mukminin, Al-’Urwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, Ratib ‘Abdal-Samad, Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin.
Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani.
Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahwa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ‘wahdatul wujud’ Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ‘melihat’ Allah SWT sebagai ‘penguasa’ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.
Maka beliau merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan salat istikharah. Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Makkah.
Lantaran anti Belanda, beliau tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Makkah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya. Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. (fed/berbagi sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2010
Karya-karya dan al-Falimbani dalam bidang penulisan amat banyak, di antara karyanya ialah: Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, Hidayah al-Salikin Fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mukminin, Al-’Urwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, Ratib ‘Abdal-Samad, Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin.
Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani.
Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahwa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ‘wahdatul wujud’ Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ‘melihat’ Allah SWT sebagai ‘penguasa’ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.
Maka beliau merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan salat istikharah. Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Makkah.
Lantaran anti Belanda, beliau tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Makkah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya. Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. (fed/berbagi sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar