Data Buku:Kelisanan dan Keaksaraan Walter J. Ong Penerjemah: Rika Iffati Gading Publishing September 2013 xxvi + 314 hlm. |
BUDAYA lisan bahkan menghasilkan performa verbal yang kuat dan indah serta bernilai artistik dan kemanusiaan tinggi, yang tak mungkin ada lagi begitu tulisan telah menguasai psike. Meski demikian, tanpa tulisan, kesadaran manusia tak dapat mencapai potensinya yang lebih penuh, tak bisa menghasilkan karya-karya indah dan kuat lainnya. Dalam pengertian ini, kelisanan perlu menghasilkan dan ditakdirkan untuk menghasilkan tulisan.
Hal tersebut diungkap oleh Walter J. Ong dalam buku ini bahwa dalam budaya lisan, begitu diperoleh, pengetahuan harus terus-menerus diulang, kalau tidak ia akan hilang: pola pikiran yang baku dan berdasar formula sangat penting bagi pengetahuan dan administrasi yang efektif. Akan tetapi, pada era Plato (427-347 SM) muncul sebuah perubahan: masyarakat Yunani pada akhirnya menginternalisasi tulisan secara efektif–suatu proses yang memakan waktu beberapa abad setelah perkembangan aksara Yunani sekitar tahun 720-700 SM (Havelock, 1963:49, mengutip Rhys Carpenter).
Cara baru untuk menyimpan pengetahuan bukanlah dalam formula hafalan, melainkan dalam teks tertulis. Ini membebaskan otak untuk melakukan pemikiran yang lebih orisinal, lebih abstrak (Hal. 34).
Plato mengungkapkan keberatan serius dalam Phaedrus dan Seventh Letter-nya mengenai tulisan sebagai cara mekanis tak manusiawi untuk memproses pengetahuan, meskipun seperti yang kini kita ketahui, pemikiran filosofis yang diperjuangkan Plato bergantung sepenuhnya pada tulisan.
Tidak heran implikasi-implikasi ini tak muncul ke permukaan dalam kurun waktu yang begitu lama. Nilai penting peradaban Yunani bagi seluruh dunia mulai terlihat dari sudut pandang yang benar-benar berbeda: peradaban ini menandai titik dalam sejarah manusia ketika keaksaraan yang terinternalisasi secara mendalam pertama kali bertumbukan dengan kelisanan. Dan, di luar kegelisahan Plato, pada saat itu Plato maupun orang lain tak sadar dan mungkin sadar bahwa hal inilah yang tengah terjadi (Hlm. 35).
Sebagian besar orang terkejut, dan banyak orang risau, saat mengetahui bahwa keberatan dengan inti serupa dengan yang biasanya diajukan sekarang ini terhadap komputer telah diajukan oleh Plato terhadap tulisan dalam Phaedrus (27407) dan dalam Seventh Letter.
Plato membuat Sokrates berkata dalam Phaedrus bahwa tulisan tidaklah manusiawi, berpura-pura membangun di luar pikiran apa yang sebenarnya hanya mungkin ada dalam pikiran. Tulisan adalah benda, sebuah produk buatan.
Hal yang sama tentu saja dikatakan mengenai komputer. Sokrates dalam tulisan Plato menyatakan bahwa tulisan menghancurkan daya ingat. Orang-orang yang menggunakan tulisan menjadi mudah lupa, mengandalkan sumber luar untuk apa yang tidak mereka miliki dalam sumber internal mereka. Tulisan melemahkan pikiran. Selain itu, kalkulator juga akan melemahkan pikiran (Hlm. 119).
Memang dalam sejarah kelisanan dan keaksraan yang diungkap oleh Walter J. Ong ini tidak mulus lantaran Plato yang kontra dengan masyarakat Yunani yang menginternalisasi tulisan sebagai budaya hidupnya. Secara logika, budaya tulis memang menjadi racun pikiran agar mati perlahan, kegeniusan dan ketajaman dalam berpikir akan sirna dan larut dalam tulisan. Padahal sejatinya Plato tak akan bisa berpikir kritis dan memiliki kekuatan pikiran dengan nalar yang tinggi tanpa membaca yang ada di hadapannya.
Pada saat ini, antara pikiran dalam budaya lisan dan tulisan sudah mulai imbang dengan kesadaran manusia mengikuti arus zaman yang terus menuntut agar terus berpikir efektif untuk mengambangkan ilmu pengetahuan.
Keaksaraan membukakan berbagai peluang bagi kata dan bagi eksistensi manusia yang tak terbayangkan tanpa tulisan. Budaya-budaya tulisan saat ini menghargai tradisi lisan mereka dan meratapi hilangnya tradisi-tradisi ini, tetapi Walter J. Ong menyatakan bahwa dirinya tak pernah menjumpai atau mendengar budaya lisan yang tidak ingin mencapai keaksaraan secepat mungkin. Tentu saja beberapa orang memang menentang keaksaraan, tetapi sebagian besar segera hilang dari pandangan. Namun kelisanan tidaklah hina, ia tetap mulia.
Itu karena kelisanan dapat menghasilkan karya-karya di luar jangakauan orang-orang melek aksara, misalnya Odyssey. Kelisanan juga tak akan pernah sepenuhnya hilang: membaca satu teks berarti melisankannya. Baik kelisanan maupun perkembangan keaksaraan dari kelisanan diperlukan bagi evaluasi kesadaran (Hlm. 264).
Buku terjemahan ini merupakan salah satu buku yang menceriterakan perihal keaksaraan dan kelisanan yang hidup pada masa dulu, yaitu pada masa Yunani kuno dan terjadi kontroversi dengan pemikiran Plato yang tidak setuju mengenai internalisasi tulisan dengan alasan melemahkan pikiran. Hal itulah yang dianggap tidak manusiawi oleh Plato dalam tataran pemikiran.
Berbagai sejarahnya dengan ulasan dan pendekatan Walter J. Ong yang cukup jauh dan luas bisa kita dapati mengenai langkah perjalanan sejarah kebangkitan budaya tulis yang kini sudah sangat populer pada abad XX yang lebih maju dan transformatif.
Junaidi Khab, Wakil Direktur Gerakan UIN Sunan Ampel Menulis, UIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
Hal tersebut diungkap oleh Walter J. Ong dalam buku ini bahwa dalam budaya lisan, begitu diperoleh, pengetahuan harus terus-menerus diulang, kalau tidak ia akan hilang: pola pikiran yang baku dan berdasar formula sangat penting bagi pengetahuan dan administrasi yang efektif. Akan tetapi, pada era Plato (427-347 SM) muncul sebuah perubahan: masyarakat Yunani pada akhirnya menginternalisasi tulisan secara efektif–suatu proses yang memakan waktu beberapa abad setelah perkembangan aksara Yunani sekitar tahun 720-700 SM (Havelock, 1963:49, mengutip Rhys Carpenter).
Cara baru untuk menyimpan pengetahuan bukanlah dalam formula hafalan, melainkan dalam teks tertulis. Ini membebaskan otak untuk melakukan pemikiran yang lebih orisinal, lebih abstrak (Hal. 34).
Plato mengungkapkan keberatan serius dalam Phaedrus dan Seventh Letter-nya mengenai tulisan sebagai cara mekanis tak manusiawi untuk memproses pengetahuan, meskipun seperti yang kini kita ketahui, pemikiran filosofis yang diperjuangkan Plato bergantung sepenuhnya pada tulisan.
Tidak heran implikasi-implikasi ini tak muncul ke permukaan dalam kurun waktu yang begitu lama. Nilai penting peradaban Yunani bagi seluruh dunia mulai terlihat dari sudut pandang yang benar-benar berbeda: peradaban ini menandai titik dalam sejarah manusia ketika keaksaraan yang terinternalisasi secara mendalam pertama kali bertumbukan dengan kelisanan. Dan, di luar kegelisahan Plato, pada saat itu Plato maupun orang lain tak sadar dan mungkin sadar bahwa hal inilah yang tengah terjadi (Hlm. 35).
Sebagian besar orang terkejut, dan banyak orang risau, saat mengetahui bahwa keberatan dengan inti serupa dengan yang biasanya diajukan sekarang ini terhadap komputer telah diajukan oleh Plato terhadap tulisan dalam Phaedrus (27407) dan dalam Seventh Letter.
Plato membuat Sokrates berkata dalam Phaedrus bahwa tulisan tidaklah manusiawi, berpura-pura membangun di luar pikiran apa yang sebenarnya hanya mungkin ada dalam pikiran. Tulisan adalah benda, sebuah produk buatan.
Hal yang sama tentu saja dikatakan mengenai komputer. Sokrates dalam tulisan Plato menyatakan bahwa tulisan menghancurkan daya ingat. Orang-orang yang menggunakan tulisan menjadi mudah lupa, mengandalkan sumber luar untuk apa yang tidak mereka miliki dalam sumber internal mereka. Tulisan melemahkan pikiran. Selain itu, kalkulator juga akan melemahkan pikiran (Hlm. 119).
Memang dalam sejarah kelisanan dan keaksraan yang diungkap oleh Walter J. Ong ini tidak mulus lantaran Plato yang kontra dengan masyarakat Yunani yang menginternalisasi tulisan sebagai budaya hidupnya. Secara logika, budaya tulis memang menjadi racun pikiran agar mati perlahan, kegeniusan dan ketajaman dalam berpikir akan sirna dan larut dalam tulisan. Padahal sejatinya Plato tak akan bisa berpikir kritis dan memiliki kekuatan pikiran dengan nalar yang tinggi tanpa membaca yang ada di hadapannya.
Pada saat ini, antara pikiran dalam budaya lisan dan tulisan sudah mulai imbang dengan kesadaran manusia mengikuti arus zaman yang terus menuntut agar terus berpikir efektif untuk mengambangkan ilmu pengetahuan.
Keaksaraan membukakan berbagai peluang bagi kata dan bagi eksistensi manusia yang tak terbayangkan tanpa tulisan. Budaya-budaya tulisan saat ini menghargai tradisi lisan mereka dan meratapi hilangnya tradisi-tradisi ini, tetapi Walter J. Ong menyatakan bahwa dirinya tak pernah menjumpai atau mendengar budaya lisan yang tidak ingin mencapai keaksaraan secepat mungkin. Tentu saja beberapa orang memang menentang keaksaraan, tetapi sebagian besar segera hilang dari pandangan. Namun kelisanan tidaklah hina, ia tetap mulia.
Itu karena kelisanan dapat menghasilkan karya-karya di luar jangakauan orang-orang melek aksara, misalnya Odyssey. Kelisanan juga tak akan pernah sepenuhnya hilang: membaca satu teks berarti melisankannya. Baik kelisanan maupun perkembangan keaksaraan dari kelisanan diperlukan bagi evaluasi kesadaran (Hlm. 264).
Buku terjemahan ini merupakan salah satu buku yang menceriterakan perihal keaksaraan dan kelisanan yang hidup pada masa dulu, yaitu pada masa Yunani kuno dan terjadi kontroversi dengan pemikiran Plato yang tidak setuju mengenai internalisasi tulisan dengan alasan melemahkan pikiran. Hal itulah yang dianggap tidak manusiawi oleh Plato dalam tataran pemikiran.
Berbagai sejarahnya dengan ulasan dan pendekatan Walter J. Ong yang cukup jauh dan luas bisa kita dapati mengenai langkah perjalanan sejarah kebangkitan budaya tulis yang kini sudah sangat populer pada abad XX yang lebih maju dan transformatif.
Junaidi Khab, Wakil Direktur Gerakan UIN Sunan Ampel Menulis, UIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar