Minggu, 23 September 2012

HIKAYAT BAYAN BUDIMAN



Pesan Moral Seekor Burung Nuri

Judul buku : Hikajat Bajan Boediman
Penerbit : Balai Poestaka, Batavia Centrum, 1934
Tebal : 213 halaman

Cara apa yang biasanya dipilih orangtua untuk mengajarkan moralitas kepada anaknya? Untuk mempermudah pemahaman tentang nilai-nilai moral yang hendak disampaikan, bentuk dongeng sering kali dipilih oleh para orangtua. Dongeng diyakini cukup efektif untuk menyampaikan berbagai nilai baik dan buruk dalam kehidupan.

Salah satu dongeng terkenal yang sarat pelajaran tentang berbagai aspek perilaku baik dan buruk manusia adalah dongeng tentang burung nuri yang lebih dikenal dengan sebutan Hikayat Bayan Budiman atau dalam versi bahasa Inggris disebut dengan Tales of A Parrot. Dongeng ini berasal dari sebuah karya berisi kumpulan cerita berbahasa Sansekerta berjudul Sukasaptati, yang artinya tujuh puluh cerita dari burung nuri. Di dalam cerita ini, dikisahkan tentang seekor burung nuri yang berhasil mencegah istri tuannya berbuat zina selama tuannya pergi berdagang ke negeri lain, dengan cara menuturkan 70 rangkaian cerita kepada si istri.

< kepada tentang yang dongeng Dongeng berbagai baik dan buruk dalam>

Cerita ini diyakini disebarkan melalui tradisi oral di India dan lantas dituliskan ke dalam bahasa Sansekerta oleh penulis yang tidak diketahui namanya. Dari naskah bahasa Sansekerta inilah seorang penyair dari Persia, Ziya’ud-din Nakhshabi, menerjemahkannya ke dalam bahasa Parsi pada tahun 1329 dan cerita itu diberi nama Tuti Nameh. Dari salinan Nakhshabi ini lantas lahir beragam versi naskah cerita lainnya dalam berbagai bahasa tentang dongeng-dongeng yang dituturkan oleh seekor burung nuri, seperti versi terjemahan bahasa Turki yang dikerjakan oleh Sari Abdullah Effendi, teks bahasa Parsi lainnya oleh Hamid Lahori, dan versi prosa pendek dan sederhana yang ditulis oleh Mohammad Qadiri. Ketiga versi cerita tersebut dapat dibaca di dalam buku karya Gladwin berjudul The Tooti Nameh or Tales of a Parrot in the Persian Language with an English Translation, yang diterbitkan di Calcutta tahun 1800 dan di London tahun 1801. Menurut catatan RO Winstedt, seorang pakar sastra Melayu dari Inggris, penulis lain yaitu Abu-al-fadl juga menyalin dongeng ini ke dalam bahasa Parsi jauh setelah teks Nakhshabi selesai.

Cerita ini pun diterjemahkan oleh Kadi Hasan ke dalam bahasa Jawa. Salinan dalam bahasa Jawa ada dalam bentuk prosa maupun sajak. Menurut Winstedt, cerita roman Jawa berjudul Angling Darma memetik dua buah cerita dari Hikajat Bajan Boediman, yaitu Hikajat Zahid (pertapa-Red) dengan Serimala (tukang kayu-Red) dan Pandai Emas dan Pandai Tenoen, serta Tjerita Radja Gementar Sjah Memindahkan Njawa Kepada Sesoeatoe Tempat. Naskah Nakhshabi itu juga diterjemahkan ke beberapa bahasa lain seperti Dakhani, Hindi, Kamil, Bugis, Makassar, maupun bahasa-bahasa Eropa.

Kepopuleran dongeng ini menginspirasikan para seniman untuk menciptakan karya lukis berdasarkan naskah tulisan tangan Nakhshabi. Pada abad 16 misalnya, di masa Dinasti Mughal di India, terutama saat kekuasaan Kaisar Akbar tahun 1556-1605, dibuatlah lukisan-lukisan mini berdasarkan hikayat Tuti Nameh. Lukisan-lukisan ini memakai gaya lukisan Dinasti Mughal yang memadukan gaya India maupun Persia dengan detail yang sangat halus dan teliti. Ilustrasi Tuti Nameh ini merupakan karya lukis pertama di masa-masa awal perkembangan seni Dinasti Mughal di India sekitar pertengahan tahun 1560-an. Karya lukisan mini tersebut masih tersimpan di Cleveland Museum of Art, Amerika Serikat.

Buku Hikajat Bajan Boediman terbitan Balai Poestaka di Batavia tahun 1934 ini disalin dari buku terbitan Singapura tahun 1920, berjudul Hikayat Bayan Budiman atau Cherita Khojah Maimun dengan editor dan pemberi kata pengantar RO Winstedt. Menurut Winstedt, terjemahan naskah itu dalam bahasa Melayu yang berhasil ditemukan paling awal merupakan sebuah penggalan berisi 14 halaman yang disimpan di Bodleian Library di Oxford, Inggris. Ke-14 halaman itu berisi petikan Tjerita Bajan jang Ditjaboet Boeloenja oleh istri saudagar, Tjerita Taifah, dan Seorang Perempoean Nikah dengan Soeami Tjemboeroean. Versi terjemahan Melayu ini muncul dengan beragam judul yaitu Hikayat Khojah Maimun, Hikayat Khojah Mubarak, dan Cherita Taifah.

Naskah terjemahan berbahasa Melayu yang bertahun 1600 Masehi itu adalah koleksi Edward Pococke, seorang ahli budaya timur dari Inggris yang hidup tahun 1604-1691. Pococke pernah menjadi pendeta Inggris untuk para pedagang Turki di Aleppo tahun 1630-1635 dan pendeta di Constantinople dari tahun 1637-1640. Pada masa itulah ia mengoleksi berbagai manuskrip dari beragam bahasa seperti Arab, Ibrani, Armenia, dan Samaritan.

Pada awalnya, menurut Winstedt, versi terjemahan Melayu ini mengambil pokok isi dari terjemahan bahasa Parsi. Namun, dalam versi Melayu lainnya, banyak yang mengadaptasi terjemahan Kadi Hasan yang dikerjakan sekitar tahun 1371 Masehi. Dengan demikian Hikayat Bayan Budiman versi Melayu ini tidak sepenuhnya mirip dengan naskah Nakhshabi. Beberapa cerita rakyat di daerah Melayu bahkan diadaptasi dari dongeng asli tentang burung nuri yang dituliskan di dalam Sukasaptati dan bukan dari Hikayat Bayan Budiman, seperti cerita Musang Berjanggut serta Hikayat Kalila dan Damina.

Di dalam buku terbitan Balai Pustaka tahun 1934 koleksi Perpustakaan Nasional dituliskan 24 kisah yang dituturkan oleh burung nuri. Sementara di dalam buku terbitan Singapura tahun 1920, selain 24 kisah tersebut dicantumkan juga penggalan naskah dari Bodleian Library sebagai lampiran, yang masih menggunakan aksara Arab gundul serta varian dari kisah ke-13 berjudul Tjerita Saboer, ke-14 dengan judul Tjerita Radja Kilan Sjah serta Poeteranja, dan kisah ke-15 berjudul Tjerita Radja Harman Sjah.

Suatu hari Maimun mengatakan kepada kedua unggasnya bahwa ia akan pergi berniaga ke negeri lain selama beberapa waktu. Maka ia menitipkan istrinya kepada mereka. Setelah beberapa lama ditinggal suaminya, Bibi Zainab merasa kesepian. Suatu hari di depan rumahnya lewatlah putra raja negeri itu. Zainab merasa tertarik hatinya. Begitu pula si putra raja. Maka Zainab pun berniat pergi menemuinya untuk memenuhi hasratnya pada malam hari. Sebelum berangkat, Zainab bertanya kepada Tiung Rencana tentang niatnya itu. Tiung menasihati Zainab untuk membatalkan niatnya karena hal itu melanggar ajaran Tuhan. Zainab pun marah besar dan membunuh Tiung. Demi melihat perbuatan Zainab, Bayan pun khawatir ia akan dibunuh juga. Maka ketika Zainab meminta pendapatnya tentang apa yang akan diperbuatnya, Bayan mulai berkisah tentang sebuah hikayat. Zainab sangat tertarik mendengarkan cerita Bayan sehingga ia tidak sadar hari telah menjelang pagi ketika cerita itu selesai dikisahkan. Keesokan harinya, saat Zainab berniat pergi menemui putra raja, Bayan menuturkan satu hikayat lagi dan Zainab dengan sukacita mendengarkan hingga pagi menjelang. Begitu seterusnya sehingga Zainab lupa memenuhi hasratnya untuk berzina. Bayan menuturkan sebuah kisah setiap malam kepada Zainab hingga mencapai 24 malam. Cerita berantai ini serupa dengan kisah seribu satu malam di mana sang permaisuri menuturkan berbagai cerita setiap malam sehingga sang raja lupa akan niat membunuh istrinya itu.

Dua puluh empat kisah yang dituturkan oleh burung nuri kepada Zainab berisikan pesan moral untuk berbuat baik dan tetap berada di jalan Tuhan, apa pun godaan yang muncul menghadang. Beberapa pesan moral yang disampaikan antara lain, pesan untuk tidak berzina; pesan untuk setia dan berbuat kebajikan; pesan untuk tidak bersikap cemburuan kepada istri atau suami; pesan untuk tidak serakah atau mengambil bagian orang lain; pesan untuk patuh kepada orangtua; pesan untuk tidak sombong atau mau mendengarkan kata-kata orang yang lebih rendah kedudukannya; pesan kepada penguasa untuk memerhatikan kepentingan anak buahnya, tidak mau menang sendiri, dan masih banyak pesan moral lainnya.

Kisah pertama yang dituturkan Bayan Budiman adalah tentang burung yang dicabut bulunya oleh istri saudagar. Alkisah seorang saudagar di negeri Istanbul pergi berlayar meninggalkan istrinya. Sang istri pun lalu berzina selama suaminya pergi. Ketika suaminya pulang, sang suami mengetahui perbuatan istrinya. Maka keduanya pun sering bertengkar. Sang Istri menebak bahwa burung itulah yang memberi tahu perzinaannya kepada suaminya. Si istri pun dendamlah kepada burung itu. Ketika sang suami pergi ke pasar, ditangkapnya burung itu dan dicabutnyalah bulu di seluruh badan si burung. Lalu burung itu pun bersembunyi di dalam saluran air. Si istri saudagar menyangka burung itu telah mati. Ketika suaminya datang, ia berpura-pura menangisi burung itu yang dikatakan telah dimakan kucing. Saudagar itu tidak percaya perkataan istrinya. Sang istri lalu diusirnya dari rumah. Si istri itu lalu tinggal di kuburan seorang syekh dan membersihkan kubur itu setiap hari sambil berdoa agar bisa kembali kepada suaminya. Sementara itu, si burung yang telah kehilangan bulu di sekujur badannya akhirnya pulih kembali. Bulu-bulu telah tumbuh di badannya. Ia lalu terbang ke kubur tempat istri saudagar itu tinggal. Di sana si burung bersembunyi di balik nisan dan berbicara seolah-olah si syekh yang mendengar doa-doa si istri saudagar. Istri saudagar itu menyesal telah berzina dan berjanji untuk tidak berzina lagi serta ingin kembali kepada suaminya. Maka si burung itu pun pergi kepada saudagar dan mengatakan bahwa dirinya dirawat oleh istri saudagar setelah seekor kucing berusaha menangkapnya sehingga bulu-bulunya rontok. Demi mendengar cerita si burung, saudagar itu merasa telah berbuat dosa kepada istrinya yang tidak bersalah. Ia lalu menyusul ke kubur syekh itu dan meminta maaf kepada istrinya serta mengajaknya pulang kembali.

Kisah pertama ini merupakan pemberi nasihat awal kepada Zainab untuk mengurungkan niatnya berzina. Ini berarti, pesan moral yang ada di dalam cerita berhasil ditangkap oleh Zainab. Pada malam-malam berikutnya, Zainab sangat tertarik mendengarkan cerita Bayan Budiman sehingga ia setengah memaksa si Bayan untuk bercerita meskipun Bayan mengingatkan niat Zainab untuk mengunjungi putra raja. Ini menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan cerita-cerita si Bayan Budiman memberikan pelajaran berharga kepada Zainab dan hal itu berhasil disampaikan secara menarik melalui cerita-cerita hikayat atau dongeng oleh si burung nuri.

Dalam berbagai cerita hikayat ini, konteks cerita adalah masyarakat Muslim. Awalnya, di dalam Sukasaptati cerita-cerita yang dikisahkan berasal dari tradisi masyarakat Hindu. Ketika terjemahan ke dalam bahasa Parsi dilakukan, tokoh- tokoh Hindu berganti dengan tokoh-tokoh Muslim. Namun demikian, nilai-nilai yang disampaikan cukup relevan untuk seluruh kelompok masyarakat.

Kisah ke-24 dari hikayat ini bercerita tentang putri laut. Alkisah seorang raja Hindustan bernama Gair Malik yang empunya dua anak laki-laki bernama Sahil dan Naim. Permaisuri raja meninggal tujuh tahun lalu, tapi sang raja belum juga menikah kembali. Suatu hari, Gair Malik bermimpi bertemu seorang putri cantik rupawan yang muncul dari dalam laut. Ia lalu meminta kepada kedua anaknya untuk mencari putri itu agar dapat dikawinnya. Sahil dan Naim pun berlayar ke negeri seberang. Dalam perjalanan, topan badai menghancurkan kapal keduanya. Sahil berhasil selamat, sementara Naim tak tentu rimbanya. Sahil pun kembali pulang dengan berita sedih. Sementara itu, Naim berhasil selamat dan mendarat di sebuah negeri. Ia bertemu seorang syekh dan menceritakan ihwal perjalanannya. Syekh itu lalu memberi tahu bahwa putri itu adalah putri Raja Jin Afrit yang sedang berperang dengan Raja Jin kafir Arkas. Syekh membekali Naim dengan doa taju’s-Sulaiman untuk menghadapi jin itu. Singkatnya, Naim berhasil mengalahkan Raja Jin kafir Arkas sehingga Raja Jin Afrit mengucapkan terima kasih dengan menyerahkan putrinya untuk dipersunting oleh ayahanda Naim. Setelah perkawinan putri raja jin dengan Raja Gair Malik, hubungan kedua kerajaan jin tadi menjadi sangat baik, tidak ada lagi peperangan, masing-masing menghormati kerajaan lainnya. Moral yang ingin disampaikan kisah ini adalah pertama, anak haruslah patuh dan hormat kepada orangtuanya, serta agar saling hormat kepada sesama manusia maupun manusia dengan makhluk lainnya.

Setelah kisah ke-24 ini, Khojah Maimun akhirnya pulang ke negerinya. Dengan berteman nasihat Bayan, Zainab bersabar menunggu kedatangannya. Maka ketika Maimun akhirnya datang, Zainab tidak pernah berzina dan suaminya pun senang karena si istri tetap setia kepadanya. Sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Bayan, Zainab memohon kepada suaminya untuk melepaskan Bayan agar dapat kembali kepada anak istrinya di hutan. Namun demikian, Bayan tetap mengunjungi kedua suami istri itu setiap enam hari sekali.

Versi Melayu ini agak berbeda dari naskah Nakhshabi maupun Muhammad Qadiri dalam bahasa Parsi. Dalam versi bahasa Parsi, menurut Winstedt, si burung nuri memberi tahu kepada saudagar tentang niat istrinya untuk berzina sehingga si saudagar akhirnya membunuh istrinya sendiri.

(BI Purwantari/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: