Rabu, 26 September 2012

MAKNA SEMAR DALAM TRADISI MELAYU BETAWI



Bani Sudardi

Semiotic approach shows that actually Hikayat Agung Sakti is an icon (the description in broad sense) of leather puppet show. Semar is an index (something indicated its existence) of God power. This article tries to show that inside of simple, old, and valueless servant, there is a hidden high god power to guard the justice. The implication of it is to ask the authorities or kings to do justice rightfully to their servants or people if they want their long power. Indeed, people supports the power or the owner of power and authority. Without supporting people, the power is nothing. Semar also means that spiritual dimension (soul) is more valuable than bodily one. The Semar’s soul a glory and sacred power, although bodily Semar is just a servant. It teaches us not to see just physically, but more on the soul goodness to bring us to the truth-value. In Melayu-Betawi society, Semar is a culture hero.


1. Pendahuluan

Hikayat Agung Sakti merupakan karya sastra berbahasa Melayu yang secara nyata menokohkan Semar. Hikayat ini merupakan bentuk cerita sempalan, yakni cerita yang berdiri sendiri, hanya tokoh dan karakternya saja yang diambil dari lakon pokok (Arjunawiwaha, Bharatayuddha, dan sebagainya) (Holt, 1967:138).

Sampai saat ini, tokoh Semar masih dikenal di masyarakat Melayu-Betawi yang masih memiliki tradisi wayang kulit Betawi. Lakon-lakon tentang Semar pun beragam. Pada tahun 1989, dalam penelitiannya tentang sejarah wayang, Mutholib dkk. (1989) menemukan beberapa lakon tentang Semar yang masih digemari, yaitu

(1) Lakon Babad Alas Semar yang menceritakan Semar membangun negeri Amarta;

(2) Lakon Lahirnya Semar yang menceritakan kemunculan Semar sebagai dewa asli Ismaya;

(3) Lakon Semar Kawin yang menceritakan perkawinan Semar dengan Dewi Kanestren;

(4) Lakon Semar Kembar yang menceritakan para dewa menguji Pandawa dengan memunculkan dua Semar;

(5) Lakon Semar Potong Runcum yang menceritakan Semar marah besar karena Arjuna dan Sumbadra meminta Semar memotong runcum atau kuncung, yakni rambut di atas dahi (lihat Mutholib, 1989:19-23).

Uraian di atas menunjukkan bahwa Semar di dalam budaya Melayu-Betawi memiliki makna yang beragam. Tokoh Semar juga muncul sesuai dengan dinamika zaman dewasa ini. Semar merupakan tokoh yang menandai sesuatu. Karena itu, aspek tanda dan makna Semar perlu diungkapkan.



2. Pendekatan

Hikayat Agung Sakti merupakan hikayat yang menampilkan tokoh Semar tersebut dengan berbagai aspek maknanya. Karena permasalahan tersebut berkaitan dengan ketandaan, maka salah satu pendekatan yang dirasa cocok untuk mengkaji tanda Semar tersebut ialah pendekatan semiotik karena semiotik merupakan teori tentang kode-kode dan teori tentang produksi tanda-tanda (Eco, 1979:3).

Pendekatan semiotik dipilih karena dengan pendekatan semiotik, maka sistem komunikasi dan signifikasi dapat dipahami. Hikayat Agung Sakti sebagai produk kebudayaan adalah suatu unit semantik yang dapat diketahui maknanya dengan melalui kajian semiotik (Eco, 1979:27).

Semar yang bersumber padai wayang Jawa ternyata diterima masyarakat Melayu, khususnya Melayu-Betawi dan ditransformasi dalam karya sastra dan pementasan wayang. Hal ini merupakan proses resepsi. Selama ini pembicaraan tentang tokoh Semar selalu diikaitkan dengan budaya Jawa. Sebagai contoh, kajian tentang Semar yang dilakukan oleh Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul Apa Siapa Semar (1978). Dalam buku ini, Sri Mulyono menguraikan peran Semar, khususnya dalam tradisi Jawa. Dalam hal ini diuraikan peran Semar dalam teks Sudamala, makna Semar dari berbagai segi kehidupan (agama, filsafat, kebudayaan, mitologi, dan sebagainya), tetapi dalam ia sama sekali belum disinggung tentang peran Semar dalam wayang Melayu.



3. Hikayat Agung Sakti

Hikayat Agung Sakti disebutkan dalam beberapa hikayat sewaan milik Muhammad Baqir. Hikayat ini disebutkan di dalam Hikayat Maharaja Garebag Jagat sebagai salah satu naskah yang disewakan oleh Muhammad Baqir bin Sofyan bin Usman Fadli yang tinggal di Kampung Pacenongan, Langgar Tinggi. Disebutkan bahwa Hikayat Agung Sakti sebagai hikayat yang menceritakan “Semar Perang di Suralaya” (Sunardjo, 1989:21).

Dalam Syair Cerita Pandawa disebutkan bahwa salah satu naskah yang disewakan ialah Hikayat Agung Sakti , dengan tambahan keterangan “Semar punya gigi perang di Suralaya” (Gunawan, 1998:70).



Naskah Hikayat Agung Sakti yang selama ini berhasil ditemukan mula-mula dicatat dalam katalog Ronkel (1909:32) yang kemudian diikuti oleh katalog susunan Sutaarga dkk. (1972:16-17). Selama ini, Hikayat Agung Sakti dikenal sebagai naskah tunggal dan disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Beberapa katalog naskah Melayu tidak mencantumkan naskah Hikayat Agung Sakti di tempat lain (Howard, 1966, Juynboll, 1899, Ricklefs dan Voorhoeve, 1977, dan Ronkel, 1921). Hikayat ini merupakan jenis naskah otograf (ditulis langsung oleh pengarangnya).

Beberapa ahli pernah meneliti hikayat ini. Hikayat Agung Sakti secara selintas pernah disebut oleh Ikram (1975:15) sebagai hikayat yang menceritakan “Semar dan Sakutarama (?), mengalahkan Agung Sakti yang mengganggu ketentraman dunia dan dewa-dewa”. Keterangan Ikram bertentangan dengan gambaran dalam teks Hikayat Agung Sakti yang menggambar-kan Agung Sakti yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun dan Agung Sakti itu sendiri adalah jelmaan gigi Semar. Pada waktu itu Semar tertidur dan ketika Semar bangun, gigi Semar yang menjelma sebagai Agung Sakti kembali ke mulut Semar tanpa diketahui siapa pun. Setelah peristiwa ini, dalam naskah digambarkan gunungan sebagai penutup cerita. Namun, setelah gambar gunungan cerita masih dilanjutkan dengan cerita tentang anak-anak Semar yang bergembira bertemu dengan bapaknya. Mereka lalu memasak daging ayam curian.

Adegan jenaka di akhir cerita ini dalam cerita wayang dikenal dengan nama adegan gara-gara atau keluarnya panakawan yang biasanya terjadi di tengah-tengah alur. Namun, adegan ini di dalam wayang Betawi ternyata diletakkan di alur paling belakang. Teks ditutup dengan daftar 30 hikayat yang disewakan oleh Muhammad Baqir bin Usman Fadli dari Kampung Pacenongan, Langgar Tinggi (Hikayat Agung Sakti , Ml.260, hlm. 134-138).

Hikayat Agung Sakti adalah karya sastra dari abad ke-19 yang ditulis di Jakarta. Masalah jaringan pengarang menjadi pokok pembicaraan Chambert-Loir tentang Sastra Melayu abad ke-19, khususnya di Jakarta. Ia membicarakan tentang anak cucu Usman bin Fadli yang mengarang dan menyewakan karya sastra di daerah Pacenongan, Jakarta. Salah satu di antara cucu Usman bin Fadli adalah Muhammad Baqir yang mengarang Hikayat Agung Sakti ini. Muhamad Baqir aktif menulis tahun 1884 -1898. Di antara sekitar 76 judul dari keluarga Usman Fadli ini, setidaknya 25 buah dari Muhammad Baqir. Jenis sastra yang sangat populer pada masa itu ialah sastra wayang (Chambert-Loir, 1991:87-113).



4.. Makna Tanda-tanda Tekstual

Hikayat Agung Sakti menyajikan serangkaian tanda-tanda tekstual yang memiliki arti. Namun, arti tersebut di dalam karya sastra memiliki makna yang berkaitan dengan struktur karya sastra itu sendiri dan pandangan masyarakat pemiliknya. Makna-makna tanda-tanda tekstual tersebut diperoleh melalui dua tahap, yakni: (1) makna kebahasaan dan (2) makna sastra.



4.1. Trasnformasi Semar

Makna kebahasaan diperoleh melalui pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan. Pembacaan pada tingkat ini tidak menyinggung konvensi-konvensi di luar teks. Hasil pembacaan heuristik ini dapat dilihat dalam bentuk parafrase pada pengkajian struktur naratif berupa urutan tekstual.

Makna yang diperoleh melalui pembacaan heuristik adalah makna denotatif (lihat Pradopo, 2001:102). Makna denotatif merupakan makna pada sistem semiotik tingkat pertama. Makna tersebut bersifat lugas dan tidak dihubungkan dengan konvens-konvensi sosial budaya. Sebagai misal, kata “keris” hanya bermakna sebagai senjata dari besi pipih, tidak diberi makna sebagai kekuasaan, legitimasi, dan sebagainya. Dalam makalah ini makna kebahasaan tidak dibicarakan.

Semar yang bersumber pada wayang Jawa ternyata diterima masyarakat Melayu, khususnya Melayu-Betawi dan ditransformasi dalam karya sastra dan pementasan wayang. Hal ini merupakan proses resepsi. Karena itu, diterimanya Semar dalam sastra Melayu juga merupakan suatu fenomena yang perlu diteliti. Selama ini pembicaraan tentang tokoh Semar selalu diikaitkan dengan budaya Jawa. Sebagai contoh, kajian tentang Semar yang dilakukan oleh Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul Apa Siapa Semar (1978). Dalam buku ini, Sri Mulyono menguraikan peran Semar, khususnya dalam tradisi Jawa. Dalam hal ini diuraikan peran Semar dalam teks Sudamala, makna Semar dari berbagai segi kehidupan (agama, filsafat, kebudayaan, mitologi, dan sebagainya), tetapi dalam ia sama sekali belum disinggung tentang peran Semar dalam wayang Melayu.

Di dalam sastra Indonesia modern, yang dapat dikatakan sebagai kelanjutan sastra Melayu klasik, ternyata juga masih ditemukan transformasi tokoh Semar tersebut. Dalam penelitiannya tentang transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia ditemukan oleh Nurgiyanto (1998) munculnya tokoh Semar dalam novel Perang karya Putu Wijaya. Dalam novel ini digambarkan Semar bersifat pintar, berbakti kepada Pandawa, tetapi kadang-kadang ia berubah menjadi pemabuk, suka marah, suka kawin, perayu wanita, dan kemudian kembali ke karakter semula (Nurgiyanto, 1998:93). Dalam cerpen “Wawancara dengan Rahwana” karya Yudhistira ANM Massardi digambarkan Semar wawancara dengan Marilyn Monroe. (Nurgiyanto, 1998:315). Penelitian di atas menunjukkan adanya transformasi tokoh Semar ke dalam sastra Indonesia modern. Hal tersebut merupakan kelanjutan dari transformasi yang telah terjadi dalam sastra Melayu klasik.

Hikayat Agung Sakti adalah salah satu bentuk aktualisasi masuknya tokoh Semar dalam sastra Melayu klasik. Hikayat Agung Sakti adalah salah satu hikayat yang secara nyata menampilkan tokoh Semar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi wayang Jawa ke dunia cipta sastra Melayu perlu dikaji. Pengkajian ini memperlukan pemahaman sosial budaya masyarakat pemilikinya (Melayu-Betawi) karena Hikayat Agung Sakti sebagai bentuk seni merupakan suatu produk sosial. Karya seni merupakan hasil dari suatu peristiwa historis khusus dari suatu bagian kelompok sosial yang teridentifikasi dalam suatu kondisi tertentu. Karena itu, karya seni memiliki gambaran ide, nilai, dan kondisi dari eksistensi kelompok masyarakat tersebut dan representasinya pada seniman tertentu (Wolff, 1981:49). Dalam hal ini, Hikayat Agung Sakti harus dipahami sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Melayu-Betawi pinggiran pada abad ke-19 ketika hikayat tersebut muncul dan dibaca masyarakat pemiliknya.





4. 2. Makna Hikayat Agung Sakti

Makna karya sastra diperoleh melalui pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Untuk itu, harus dikenal secara mendalam sistem tanda yang merupakan konvensi sastra di luar teks (Pradopo, 2001:102).

Secara keseluruhan, teks Hikayat Agung Sakti merupakan ikon suatu pementasan wayang yang mengambil lakon Agung Sakti. Lakon itu sendiri, secara keseluruhan menampilkan ikon Semar, baik secara lahir yang berwujud sebagai hamba dan sangat patuh pada tuannya maupun secara batin bahwa ia adalah seorang batara yang “agung dan sakti” yang mampu untuk secara tersembunyi memberi pelajaran kepada Batara Guru yang telah mengaku paling berkuasa. Karena itu, Agung Sakti adalah simbol kepanjangan tangan Tuhan untuk mengingatkan mereka yang melakukan kesalahan.

Beberapa indikasi yang menunjukkan Hikayat Agung Sakti sebagai ikon suatu pementasan wayang setidaknya ada 2, yaitu:

(1) pada pembukaan disebutkan bahwa hikayat tersebut berisi lalakon wayang;

(2) nama tempat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya adalah nama-nama yang lazim ditemukan dalam cerita wayang (seperi Suralaya, Batara Guru, Narada, Pandawa, Rajuna, Semar, Sumbadra, Gatotkaca, Sakutram, dan lain-lain);

(3) pada halaman 134 ketika berakhir episode Agung Sakti, maka disisipkan secara visual gambar gunungan yang merupakan unsur yang dipakai dalam suatu pementasan wayang kulit purwa.

Dengan demikian, Hikayat Agung Sakti adalah suatu ikon pementasan wayang dengan lakon Agung Sakti yang menceritakan Semar yang sedang memberi pelajaran kepada Batara Guru akibat kesombongannya. Tindakan Semar tersebut dilakukan dengan cara menyamar yang dilakukan oleh giginya, sementara jasad Semar tertidur di Pandawa.



4.3. Makna Unsur-unsur Hikayat Agung Sakti

Hubungan antara teks sastra dengan realitas merupakan hubungan yang bersifat simbolis. Hubungan tersebut terbentuk berdasarkan konvensi. Namun, wayang sebagai suatu teks kadang-kadang dianggap sebagai gambaran dari dunia. Dengan kata lain, wayang adalah simbol dari gambaran makrokosmos.

Bila dihubungkan dengan unsur-unsur di luar teks, maka terdapat kesejajaran antara unsur-unsur luar teks dengan unsur-unsur di dalam teks sehingga peneliti menduga bahwa Hikayat Agung Sakti pada hakikatnya adalah suatu simbol dari realitas. Pembacaan hermeneutik mendapatkan unsur-unsur yang membangun Hikayat Agung Sakti sebagai berikut.

a. Unsur Batara Guru sebagai Simbol Belanda

Pokok masalah Hikayat Agung Sakti bermula ketika Batara Guru mengaku paling berkuasa. Namun, hal tersebut segera dibantah oleh Bagawan Narada dengan menyatakan bahwa meskipun Batara Guru berkuasa, ia bukanlah yang pertama. Unsur-unsur semiotik pembangun Batara Guru yang menjadikan cerita berjalan dapat dibuat skema sebagai berikut.
Penguasa Suralaya
Mengaku paling berkuasa
Batara Guru Penakut
Bukan yang pertama
Sukar dinasihati



Bagan-10 Unit Semiotik pembangun Batara Guru

Bila dihubungkan dengan realitas pada waktu hikayat tersebut ditulis, maka unsur-unsur tersebut merupakan unit makna yang menghubungkan Batara Guru dengan Belanda karena Belanda pun saat itu adalah unsur yang paling berkuasa di Batavia. Namun, lewat Hikayat Agung Sakti pengarang mencoba memberikan kritik bahwa meskipun Belanda sebagai unsur yang paling berkuasa, tetapi Belanda tidaklah yang pertama-tama ada di Batavia. Pengarang menyatakan bahwa ada yang lebih berkuasa daripada Batara Guru. Sifat berkuasa tersebut kemudian dilambangkan dengan wujud penjelmaan Batara Guru sebagai Raksasa Geringsang Jagat yang dapat diartikan sebagai ‘raksasa jagat yang sakit (gering’). Batara Guru adalah seorang raja dewa, tetapi dalam penggambarannya kelihatan sebagai tokoh penakut. Hal ini sesuai dengan keadaan Belanda yang selalu ketakutan dan lebih banyak di dalam beteng pertahanannya dan dalam hal kekuatan yang banyak dipakai sebagai prajurit adalah orang-orang pribumi. Dari uraian di atas tampak bahwa Hikayat Agung Sakti mengandung unsur-unsur terselubung memberikan kritik kepada Belanda secara simbolis. Hanya saja tidak diketahui secara pasti apakah pesan tersebut disengaja oleh pengarangnya dan sampai kepada Belanda ataukah tidak.

Karena Belanda pada saat itu tetap sebagai penguasa, maka Batara Guru, sebagai simbol dari Belanda, meskipun dalam keadaan salah, negatif, tetapi tetap didudukkan sebagai Batara yang terhormat yang akan menolong Pandawa bila Pandawa mengalami kesulitan karena nenek moyang Pandawa (Sakutram) pernah menolong Batara Guru. Hal ini adalah suatu simbol bahwa penguasa-penguasa pribumi dalam menegakkan kekuasaannya dapat tegak karena didukung Belanda. Hal ini tentu berkaitan dengan kondisi zaman itu.



b. Gambaran Dunia

Bila Batara Guru digambarkan sebagai Belanda, maka gambaran Suralaya tidak lain merupakan simbol dari kehidupan Belanda yang jauh dari masyarakat waktu itu, yang rapat, tertutup, dan mewah. Hal tersebut digambarkan sebagai Suralaya.

Suralaya ini mempunyai oposisi dengan marcapada yang dihuni oleh manusia, termasuk Semar. Marcapada adalah gambaran kehidupan luar beteng Belanda. Gambaran Batara Guru yang di dalam Suralaya tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri adalah gambaran Belanda juga yang dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada penguasa pribumi, orang marcapada, yang taat pada Belanda. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan yang nyata. Hanya saja, penduduk pribumi pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda melalui para penguasanya.

Dengan demikian, terjadilah suatu pergeseran dari cerita wayang menuju ke perang besar Bharatayuddha menjadi cerita simbolis kontemporer. Unsur asli cerita wayang yang mencapai titik klimaks pada perang Bharatayuddha sama sekali tidak disinggung.



c. Semar sebagai Aktualisasi Kekuatan Tersembunyi



Munculnya Agung Sakti yang merupakan penjelmaan gigi Semar merupakan salah satu bentuk aktualisasi kekuatan tersembunyi tersebut. Menurut kepercayaan di Nusantara, gigi dianggap memiliki kekuatan gaib dan kekuatan nyata. Sampai saat ini di dalam bahasa Indonesia masih ditemukan ungkapan “unjuk gigi” (Alwi, 2001:1248) yang berarti menunjukkan kekuatan. Sebagai kekuatan, gigi merupakan bagian dari tubuh manusia yang tersembunyi di dalam rongga mulut. Dengan demikian, pemilihan Agung Sakti sebagai penjelmaan gigi Semar bukan merupakan suatu kebetulan, melainkan merupakan bagian dari sistem tanda dalam kebudayaan Melayu-Betawi.

Aspek kekuatan tersembunyi tersebut secara struktural ditandai dengan tiga tanda sebagai berikut.

Tanda pertama dinyatakan dengan nama “Agung Sakti” yang mempunyai makna bahwa pemilik tersebut mempunyai keagungan dan kesaktian yang tidak lain merupakan kristalisasi dari unsur kekuatan. Agung Sakti adalah tokoh yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi kekuatannya tidak ada yang mampu menandinginya.
Tanda kedua dinyatakan dengan plot sorot balik. Plot sorot balik menjadikan tokoh Agung Sakti sampai dengan menjelang akhir cerita tidak dikenali identitasnya. Secara struktural, sampai akhir cerita, tokoh-tokoh lain dalam hikayat tersebut tidak mengenal Agung Sakti yang sebenarnya.
Tanda ketiga dinyatakan dalam bentuk penjelmaan yang bertingkat-tingkat dengan ciri adanya unsur “agung”. Agung Sakti sebenarnya merupakan penjelmaan dari gigi Semar. Namun, sebagai penjelmaan, Agung Sakti masih melakukan serangkaian penjelmaan dirinya sebagai Agung Pertapa, Agung Segara, Agung Buana, Agung Mengembara, dan Agung Negara.

Meskipun gigi Semar mengaktualisasikan kekuatan tersembunyi tersebut, tetapi Semar bukanlah pemilik kekuatan itu sendiri. Semar hanyalah kepanjangan tangan dari Yang Maha Kuasa. Hal tersebut dinyatakan oleh Agung Buana (penjelmaan gigi Semar) kepada Batara Guru seperti kutipan berikut.

Maka sahut raja dan pati: “Baiklah aku turut mana perminta`anmu itu/. Hartakah kamu kehendaki? Butu mas intankah kamu berhajat itu? Atawa kamu/ hendak berhajat minta` aku sembah padamu? Nanti aku turuti! Marilah/ katakan!” Maka kata Agung Buana: “Tiadalah yang demikian itu Tuanku karena/ hamba tiada berkehendak mas, dan intan, dan mata benda. Tiada perguna`an kepada /hamba dan hamba tiada berchajat minta` disemba karena yang lebi kuasah itu/ pada patutlah kita sembah karena hamba pun masi di bawa perinta` dan masi/ menjadi hamba dan hamba pun tiada bermaksud minta` dipuji”. (Hikayat Agung Sakti, Ml. 260:72).

Di samping itu, kedudukan Semar adalah sebagai hamba Pandawa. Secara struktural, para tokoh dalam Hikayat Agung Sakti sama sekali tidak mengetahui bahwa yang membuat gara-gara di Suralaya adalah hamba Pandawa tersebut. Hal ini makin menyempurnakan konsep “kekuatan tersembunyi” tersebut.

Jadi, Semar dapat dikatakan sebagai indeks perbuatan Yang Maha Kuasa yang nyata, tetapi ia bukanlah yang Maha Kuasa itu sendiri. Semar adalah indeks dari Yang Maha Kuasa.



d. Semar sebagai Culture Hero

Di dalam suatu kelompok masyarakat sering ditemukan tokoh-tokoh culture hero (pembawa kebudayaan) yang merintis atau memperkenalkan kebudayaan baru kepada masyarakat tersebut. Cerita tentang culture hero tersebut seringkali diwujudkan dalam bentuk mite (Danandjaja, 1986:52). Culture hero menurut pandangan ilmu antropologi adalah tokoh yang menjadi penyebab segala adat istiadat dan kepandaian manusia. Soderblom menyebut tokoh ini sebagai Urheber. Tokoh ini mempunyai watak dualistik, yakni dapat membawa kebaikan, tetapi juga dapat membawa bencana (Koentjaraningrat, 1987:79).

Namun, kehadiran hero tersebut di masyarakatnya akan diterima dengan berbagai sikap. Kadang-kadang hero tersebut dimuliakan, kadang-kadang tidak dikenal atau bahkan direndahkan. Hero hadir ketika dirinya atau dunia mengalami suatu kegoncangan simbolik (Cambell, 1956:37). Hero culture dapat dibagi menjadi dua, yakni (1) local hero/ tribal hero, yaitu hero yang berkahnya hanya meliputi suku tertentu seperti Huang Ti (Cina), Tezcatlipoca (Aztec) dan (2) universal hero, yaitu hero yang berkahnya meliputi seluruh dunia seperti Muhammad, Yesus, Musa, dan Buddha (Campbell, 1956:38).



Hikayat Agung Sakti memiliki pola separation-initiation-return. Hal ini ditunjukkan dengan tidurnya Semar yang kemudian mengalami petualangan misterius sebagai mimpinya. Sekembalinya petualangan tersebut, Semar telah membawa berkah berupa kemahiran membuat senjata serta munculnya suasah (besi kuning) yang dipercaya menjadi bahan pelapis senjata (pamor) yang paling baik. Petualangan Semar juga memberi jaminan kepada Pandawa bahwa mereka akan mendapat bantuan para batara kelak. Petualangan itu juga menjadikan nenek moyang Pandawa yang bernama Sakutram diangkat dari siksa serta didudukkan menjadi bagawan.

Cerita tentang Semar dapat disebut sebagai local hero karena berkah yang dibawa Semar hanya diperuntukkan kelompok masyarakat tertentu saja, dalam hal ini Pandawa yang merupakan simbol dari masyarakat pemilik cerita ini.

Hikayat Agung Sakti adalah suatu hikayat yang berasal dari masyarakat urban yang memiliki nenek moyang prajurit. Hal ini tampak dari pokok masalah yang menjadi hasil dari petualangan tersebut yang berupa senjata dan kesaktian. Petualangan Semar sebagai Agung Sakti dalam keduduk-kannya sebagai culture hero ditunjukkan dengan penyamaran-penyamaran misterius sebagai tabel berikut.


Agung Sakti Agung Sakti adalah seorang batara yang sakti sebagai penjelmaan gigi Semar.
Agung Dukat Petualangan Semar ke dasar bumi menemukan patung pujaan yang kemudian dihidupkan dan diberi nama Agung Dukat. Dukat mempunyai makna sebagai uang mas atau perak (Alwi, 2001:278). Kemunculan Agung Dukat menjadi penting karena dari Agung Dukat ini nanti terbentuknya suasah atau besi kuning yang menjadi pamor senjata yang paling ampuh.Bagian ini dengan jelas menunjukkan bahwa culture hero tersebut erat kaitannya dengan keprajuritan tradisionil yang menggunakan senjata-senjata dari besi yang menggu-nakan pamor untuk melapisnya. Hal ini menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi pada mulanya adalah para prajurit yang memperhatikan kesaktian suatu senjata berdasarkan pamornya. Hal ini dapat dimengerti bila diperhatikan asal-usul masyarakat Melayu-Betawi yang sebagian adalah sisa-sisa prajurit Mataram yang dikalahkan Belanda.
Agung Pertapa Tokoh-tokoh utama dalam naratif tradisionil bisanya mendahului dengan bertapa sebelum mereka mengerjakan sesuatu. Nama Agung Pertapa menunjukkan bahwa Agung Sakti mempunyai keunggulan dalam bertapa yang kepertapaannya tentu melebihi Batara Guru dan Narada.
Agung Segara Laut merupakan bagian penting dari sejarah masa lalu masyarakat Melayu-Betawi. Hal ini digambarkan dengan tokoh yang bernama Agung Segara yang diceritakan mampu menciptakan laut dan melenyapkan laut. Tindakan culture hero ini merupakan simbol dari penguasaan laut.
Agung Buana Di samping menguasai laut, keagungan juga ditunjukkan dengan menguasai dunia. Hal ini digambarkan dengan munculnya tokoh bernama Agung Buana. Yang menarik bahwa wujud Agung Buana ini adalah berupa Hanoman (kera putih). Munculnya tokoh ini memiliki hubungan intertekstualitas dengan cerita-cerita dari Ramayana. Munculnya tokoh yang seharusnya menguasai dunia, namun ternyata digambarkan sebagai kera menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi ini belum sepenuhnya dapat menguasai dunia (buana).
Agung Mengembara Mengembara merupakan bagian dari inisiasi. Dalam petualangannya, Agung Sakti mengambil nama Agung Me-ngembara yang memberi obat secara gratis kepada para dewa yang sakit. Mengembara yang demikian di dalam tradisi Jawa sering disebut tapa ngrame (bertapa di masyarakat). Hal ini memiliki makna bahwa figur seorang culture hero adalah tokoh yang mampu menolong masyarakat yang memerlu-kannya. Jadi, Hikayat Agung Sakti juga menawarkan konsep-konsep ideal mengenai seorang culture hero.
Agung Negara Bukti bahwa culture hero Melayu-Betawi berasal dari kalangan prajurit tampak dari petualangan Agung Sakti sebagai Agung Negara. Tokoh inilah yang mengajarkan pembuatan senjata dan cara berperang.



Agung Negara sebagai penjelmaan Agung Sakti telah mengajarkan ilmu-ilmu yang sebelumnya tidak diketahui oleh para batara. Ilmu-ilmu tersebut kemudian digunakan oleh para batara untuk melawan Agung Sakti dan berkat ilmu yang diajarkan tersebut peperangan mereka menjadi seimbang. Perhatikan kutipan berikut.

“Sebermula tersebutlah perangnya Agung Negara itu dengan/ beberapa batara-batara terlalu amat ramainya karena sebab batara-batara dapat menahan lama/ berperang pada Agung Negara. Itulah yang diceriterakan sebab Agung Negara juga/ yang suda mengajarkan padanya beberapa kesaktian dan beberapa ‘ilmu peperangan/ sebab kalau ia tiada mengajarkan tentu perang pun tiada ada yang tahan/ padanya lagi”. (Hikayat Agung Sakti, Ml. 260:112).

Agung Negara yang telah mengajarkan ilmu perang menjadikan para batara mampu melawan Agung Sakti dengan baik atau seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu perang sebagai salah satu bentuk kebudayaan baru saja diajarkan oleh Agung Negara. Agung Negara tidak lain adalah halus (roh) Semar yang menyamar.

Wujud Agung Negara adalah sebagai Kamajaya, seorang Batara yang terkenal katampanannya yang mirip dengan Arjuna. Hal ini menunjukkan bahwa culture hero Melayu-Betawi ini sebenarnya dipinjam dari konsep Jawa tentang satria-pertapa sebagai Arjuna yang di Jawa digambarkan sebagai satria dengan badan kecil kurus dan gerakan yang lamban. Konsep negara yang diajukan oleh culture hero di sini adalah konsep negara yang didukung oleh prajurit yang tangguh.

5. Penutup.

Jadi, Hikayat Agung Sakti adalah suatu hikayat yang merupakan reaktualisasi culture hero masyarakat Melayu-Betawi melalui tokoh Semar yang merupakan simbol dari tokoh yang memiliki kemampuan berperang.

Hikayat Agung Sakti berusaha menunjukkan bahwa di dalam diri hamba yang tampak lugu, tua, dan tidak berharga sebenarnya terkandung kekuatan ilahiah yang tersembunyi yang mampu menegakkan keadilan. Implikasi dari pesan ini adalah menuntut para penguasa/ raja untuk berbuat adil kepada hamba-hambanya (rakyat) bila menginginkan kekuasaannya abadi. Pendukung kekuasaan adalah pada hamba, bahkan sebenarnya hambalah yang membangun kekuatan dan kekuasaan tersebut. Tanpa hamba, kekuasaan tidak akan berarti apa-apa.

Semar juga dapat bermakna bahwa aspek batin (roh) mempunyai nilai dan kekuatan yang lebih tinggi daripada aspek lahir. Batin Semar digambarkan memiliki kekuatan yang “agung dan sakti”, meskipun lahir Semar hanyalah seorang hamba. Makna ini mengajarkan manusia untuk tidak melihat pada wujud fisik belaka, tetapi lebih baik memperhatikan pada kebaikan rohaninya yang membawa nilai kebenaran.

Semar adalah culture hero masyarakat Melayu-Betawi yang konsepnya telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Melayu-Betawi itu sendiri. Demikian makna yang dapat ditangkap dari tokoh Semar tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, Dendy Sugono, Sri Sukesi Adiwimarta (ed.) . 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

Chambert-Loir, Henri. 1991. “Malay Literature in the 19th Century: The Fadli Connection”. dalam J.J. Ras and S.O. Robson (ed.) Variation, Transformation and Meaning. Leiden: KITLV Press.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafitipers.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Gunawan, Teguh. 1998. “Syair Cerita Pandawa : Sebuah Suntingan Teks”. Karya Tulis Fak. Sastra UNS Surakarta.

Hikayat Agung Sakti, Ml.260 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)

Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Howard, H. Joseph. 1966. Malay Manuscripts : A Bibliographical Guide. Kuala Lumpur: University of Malay Library.

Ikram, A. 1975. “Memperkenalkan Naskah-naskah Wayang dalam Bahasa Melayu” dalam Bahasa dan Sastra. Tahun I No: 2.

Juynboll, H.H. 1899. Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschrifften der Leidsche Univer-siteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mulyono, Sri. 1978. Apa Siapa Semar. Jakarta: Gramedia.

Mutholib, Idik, Sutardjo, Sukendar, Sugiri, Suprapto. 1989. Penelitian dan Penulisan Wayang Kulit-Betawi. Jakarta: Proyek Penelitian/ Penggalian/ Penulisan Sejarah Dina Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Nurgiyanto, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” Dalam Jabrohim (ed.) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. Kajian Semiotika. Yogyakarta: Studi Sastra Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Ricklefs, M.C. dan P. Voorhoeve. 1977. Indonesian Manuscripts in Great Britain : a Catalogue of Manuscripts in Indonesia Language in Britain Public Collection. Oxford: Oxford University Press.

Ronkel, Ph. S. van. 1909. “Catalogus der Maleische Handscriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. dalam VBG 57.

Ronkel, Ph. S. van. 1909. 1921. Supplement Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

Sunardjo, Nikmah. 1989. Hikayat Maharaja Garebag Jagat. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunardjo, Nikmah dan Hani’ah. 1996. Hikayat Pandu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Sunardjo, Nikmah, Muhammad Fanani, Sri Sayekti, Putri Minerva Mutiara, ANurul Ainin. 1991. Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutaarga, Amir, Jumsari Jusuf, Tuti Munawar, Ratnadi Greha, S.Z. Hadisutjipto. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P&K. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York

Sumber : Buniuns blog

Tidak ada komentar: