Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Jumat, 07 Oktober 2011
Puisi yang Bukan Sekadar Puisi
Peluncuran buku "Kitab Radja--Ratoe Alit" yang ditulis oleh 50 penyair Indonesia, di Bandung, 30 September 2011. (MARISKA LUBIS)
Mariska Lubis
MENGHADIRI undangan peluncuran buku antologi puisi alit “Kitab Radja – Ratoe Alit” yang ditulis oleh 50 penyair Indonesia, memberikan kesan yang sangat luar biasa. Ternyata kekhawatiran dan keprihatinan atas apresiasi puisi di Indonesia sudah bukan lagi hanya masalah soal seni semata, tetapi menyangkut masalah politik dan nasionalisme di dalam berbangsa dan bernegara. Mengapa Negara yang kaya akan budaya bahasanya seperti Indonesia, tidak bisa melakukannya?!
Acara yang diadakan pada hari Jumat, 30 September 2011 di Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini diadakan oleh Komunitas Radja Kecil. Dihadiri oleh Walikota Bandung, Bapak Dada Rosada, Anggota MPR RI Dedy “Miink” Gumelar, Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Prof. Prijono Tjiptoherjijanto, Ph.D, dan para professor dari berbagai universitas, dan banyak pujangga terkenal Indonesia seperti Remy Silado, Handrawan Nadesul, Dharmadi, Linda Djalil, dan masih banyak lagi. Buku ini sendiri diprakarsai oleh Prof. Prijono Tjiptoherijanto, Ph.D, dengan tim kurator dan editornya terdiri dari Adri Darmadji Woko, Dharmadi, Kurniatan Junaedhie dan Rahadi Zakaria.
Yang menarik di dalam acara ini adalah adanya Orasi Budaya oleh Prof. Drs. Jakob Sumardjo. Beliau mempertanyakan mengapa apresiasi puisi di Indonesia sangatlah rendah. Apakah karena puisi yang dibuat tidaklah pantas untuk dihargai ataukan memang karena masyarakatnya dan bahkan pemimpinnya tidak memiliki kemampuan untuk membaca puisi dengan baik?! Hal ini mengingat banyak yang menulis puisi, tetapi tidak semua penulis dan puisinya bisa dinikmati dan memiliki arti dan makna. Begitu juga dengan pembaca puisi, tidak kurang banyaknya, tetapi seberapa banyak yang bisa mengerti arti dan makna dari puisi yang dibacanya?!
Bila hal ini dikaitkan dengan sejarah bangsa Indonesia, tentunya menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Seperti yang dikatakan oleh Handrawan Nadesul, seorang dokter yang telah menulis 78 buku kesehatan tetapi mengabdikan diri untuk menjadi seorang sastrawan, bahkan masuk ke dalam kelompok angkatan “80 versi HB. Jassin, bahwa sedari dulu, pujangga bukanlah sekedar pujangga. Pujangga adalah seorang penasehat bagi raja. Tidak mudah untuk bisa mendapatkan gelar dan predikat pujangga karena setiap kata yang diuraikannya selalu menjadi penting bagi kehidupan dan masa depan rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, puisi pun tidak bisa sekedar “hanya” berpuisi dan sudah sepatutnya puisi yang benar puisi itu dihargai dan diapresiasi.
Sejarah juga menunjukkan bahwa para seniman puisi Indonesia memiliki peranan yang sangat penting di dalam berjuang dan melakukan perubahan. Para pejuang kita dulu bahkan menurut saya, sangatlah romantis. Mereka memiliki pemikiran kritis namun sangat disiplin dan memperhatikan aturan serta etika sehingga kata-kata yang mereka ucapkan sangatlah puitis dan indah untuk didengar. Biarpun demikian, mampu membangkitkan semangat untuk terus berjuang dan melakukan perubahan.
Sekarang ini, mungkin banyak juga para pemimpin bangsa yang senang dengan puisi dan menghargainya. Tak sedikit juga yang menuliskannya, tetapi sekali lagi, puisi bukanlah sekedar puisi. Puisi yang dituliskan tanpa menggunakan “rasa” yang penuh dengan kebeningan hati serta ketulusan, maka hasilnya pun tidak akan pernah maksimal. Demikian juga dengan membaca puisi, bila hanya asal saja, maka penghayatan itu tidak akan pernah ada. Mungkinkah ini juga yang menyebabkan para pemimpin bangsa kita tidak lagi sensitif terhadap keadaan dan kondisi rakyat, bangsa, dan negaranya sendiri?!
Menurut saya, hal ini menjadi sebuah bukti bahwa kualitas daya baca dan bahasa kita sangatlah rendah. Pendidikan dan jabatan bisa saja tinggi, harta bisa saja bertumpuk, buku pun puluhan ribu sudah dibaca, tetapi bila tidak memiliki kualitas daya baca dan bahasa yang baik, menjadi percuma saja. Apa yang dibaca hanyalah sekedar aksara, sementara setiap kata di dalam tulisan sangatlah ambigu. Ada teks dan konteks yang keduanya harus benar dipahami dan dimengerti agar bisa menjadi benar “meresap” ke dalam jiwa. Hasil dari penyerapan setiap kata itu pun akan memberikan arti dan banyak manfaat bagi diri sendiri dan juga semua.
Hal ini juga disampaikan oleh Bapak Dedy “Miink Gumelar” saat hendak membacakan puisi dan saat saya bertanya padanya usai acara, bahwa beliau sangat prihatin sekali dengan pendidikan bahasa di Indonesia saat ini. Salah satu kritiknya antara lain adalah tidak dipelajarinya bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan baik, pendidikan bahasa justru lebih diprioritaskan pada bahasa asing terutama bahasa Inggris. Bahkan pemimpin pun tidak bisa menempatkan posisinya sebagai pemimpin bangsa dan menggunakan bahasa Inggris pada saat dan waktu yang tidak tepat.
Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menjadi kuat bila tidak mampu menghargai dirinya sendiri?! Bahasa yang jelas merupakan identitas bangsa pun diabaikan dan diremehkan sedemikian rupa. Bagaimana juga sebuah bangsa bisa menjadi maju dan memiliki kehidupan yang lebih baik bila tidak mampu untuk membaca dan berbahasa dengan baik?! Padahal, bahasa adalah buah dari pemikiran dan merupakan juga alat dan sarana untuk berpikir. Kondisi bahasa dan segala perubahannya menunjukkan bagaimana kondisi sosial, politik, budaya, dan psikologis bangsa itu sendiri.
“Astaga” adalah kata yang sangat tepat di dalam mengakhiri acara ini. Sama dengan judul puisi yang dibawakan oleh Remy Silado, sebuah puisi yang berisi kritikan dan keprihatinan terhadap bangsa dan Negara lewat bahasa dan berpuisi. Di bait-bait terakhirnya, kata-kata menggunakan bahasa Inggris digunakan dan bahkan dinyanyikannya. Yang bagi saya, seolah sedang berkata, “Beginilah jika pemimpin lebih bangga berbahasa Inggris dan hanya mampu melantunkan kata-kata indah tetapi tidak juga mampu untuk merasakannya”. Mengingatkan saya pada sebuah nama, siapa, ya?!
Sudah waktunya kita semua memikirkan hal ini bila memang mau keadaan berubah menjadi lebih baik. Apresiasi terhadap puisi sama artinya dengan apresiasi terhadap buah pikir dan rasa, dan belajar untuk meningkatkan kualitas daya baca dan bahasa sama artinya dengan belajar untuk menjadi lebih terdidik dan maju. Jangan pernah menundanya lagi!
Editor: Jodhi Yudono
Sumber: Oase Kompas.com, Sabtu, 1 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar