Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Rabu, 21 Desember 2011
BERDAKWAH DENGAN BERNYANYI & MENDONGENG
De yayi sorahing Hadis,
sing sapa bendu wong ika,
mring wong alim sawijine
aprasasat bendu marang
Jeng Nabi Rasulullah,
sing sapa bendu mring Rasul,
sasat bendu maring Allah.
Sing sapa bendu ing Widdhi,
nggone pesti neng neraka,
sing sapa ngujung maring,
wong alim sawiji,
prasasat ngujung Jeng Rasulullah,
sing sapa ngujung mring Rasul
sasat ngujung maring Allah.
Dua bait di atas adalah bait atau ayat ke 70 dan 71 dari Serat Centhini Surat 362, yang menguraikan sikap dan akhlak pergaulan seorang muslim terhadap sesama muslim, terutama terhadap ulama, Kanjeng Nabi dan Gusti Allah. Ajaran tersebut sesuai dengan kitab Ihya ‘Ulumiddin karya ulama dan pujangga besar Al-Ghazali, yang menjadi salah satu bacaan wajib di pesantren-pesantren salaf di pulau Jawa.
Serat Centini adalah judul sebuah kitab “ensiklopedi Jawa” yang disusun oleh tim yang diprakarsai serta dipimpin sendiri oleh Raja Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono V, dan selesai ditulis pada tahun 1823.
Centini konon berasal dari kata Cantik yang kemudian diubah lafalnya menjadi Centini agar terasa lebih indah dan enak di telinga. Centini bisa juga disebut sebuah kitab dakwah tentang syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat yang merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah satu sama lain, yang disusun dalam bentuk novel roman percintaan antara seorang da’i muda dengan isterinya, yang dikemas dalam bentuk berbagai tembang nan indah, lembut, merdu mendayu-dayu.
Sang Da’i yaitu Syeh Amongraga, mengajarkan pokok-pokok peribadatan dan akhlak mulia terlebih dahulu sebelum menggauli isterinya, agar hubungan suami isterinya diridhoi, diberkahi dan dirahmati Gusti Allah. Agar hubungan suami-isterinya dapat dijalaninya sebagai ibadah.
Terjemahan bebas kedua bait tembang tersebut adalah sebagai berikut:
Begitulah dinda petunjuk Hadis,
barang siapa membenci seorang alim
maka sama dengan membenci Kanjeng Nabi (Muhammad Saw)
dan barang siapa membenci Rasulullah
sama juga dengan membenci Gusti Allah.
Barang siapa membenci Gusti Allah
tempatnya di neraka
barang siapa menghormati seorang alim
maka sama dengan memuliakan Kanjeng Rasul
dan siapa yang memuliakan Rasulullah
maka sama dengan memuliakan Gusti Allah
Begitu indah dan halus perangai serta budi pekerti orang-orang zaman dulu. Pelajaran tentang akhlak pergaulan, tentang nilai penghormatan terhadap orang serta dzat yang dimuliakan, ditanamkan melalui nyanyian-nyanyian merdu yang menembus kalbu. Bukan semata-mata dengan pidato atau ceramah yang bernada menggurui, apalagi secara paksa. Semoga kita, generasi-generasi sekarang dan di masa mendatang, bisa mengambil hikmah yang positif dari pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut. Amin.
Dunia Jawa dalam Serat Centhini
Andi Nur Aminah
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai pengetahuan dan kehidupan masyakat Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat.
SEBUAH tempat makan sederhana menyajikan menu yang unik. Tongseng bajing mlumpat atau tongseng bajing melompat. Biasanya, jenis masakan ini, umumnya menggunakan daging kambing yang dimasak menggunakan kuah berwarna kuning kecokelatan. Rasanya cukup bisa menghangatkan badan dengan perpaduan rempah, seperti kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan merica.
Tapi, Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang ada di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta, menyajikannya lain. Seperti namanya, masakan ini terbuat dari bajing atau tupai. “Saya pernah mencobanya, disarankan oleh teman ke sana karena makanan ini sebagai obat,” ujar Ika Saraswati, seorang ibu asal Bandung. Ibu dua anak ini memiliki penyakit asma yang cukup berat. Menurut Ika, informasi tentang hidangan tongseng tupai ini diperolehnya dari rekannya. “Katanya bagus untuk mengurangi sesak dan bisa menyembuhkan asma,” ujar dia.
Menu masakan tongseng tupai adalah salah satu racikan makanan yang diambil dari naskah kuno Serat Chentini. Sewaktu mengetahui informasi tersebut, Ika pun makin bersemangat berburu kuliner unik itu. “Kalau memang racikan masakannya diambil dari Serat Centhini, saya yakin ampuh.
Orang-orang dulu kan kuat-kuat dan ini pasti resep turun temurun,” ujarnya. Entah karena keyakinannya yang begitu besar dengan efek memakan tongseng tupai itu, sesak napas yang langganan menyerang Ika perlahan berkurang. Dan, setiap ada kesempatan, Ika yang bermukim di Solo, kerap datang ke Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk makan tongseng tupai.
Serat Centhini atau lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia yang berisikan berbagai hal tentang dunia masyarakat Jawa. Dalam berbagai literatur disebutkan, Serat Centhini mulai ditulis pada 1814 hingga 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V). Ini merupakan sebuah karya sastra besar di dunia.
Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai macam pengetahuan dan kehidupan masyarakat Jawa. Di antaranya, tentang agama, sastra, situs, primbon, keris, obat-obatan, resep masakan, juga seks. Kitab ini bahkan lebih banyak dikenali khalayak sebagai kitab ‘kamasutra Jawa’. Salinan kitab Serat Centhini, yang pasti ditulis menggunakan huruf Jawa kuno, merupakan kesusastraan Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat.
Yang dimaksud macapat adalah tembang Jawa yang diiringi irama tertentu. Jumlah suku katanya pun tertentu, memiliki akhir kata tertentu dalam satu bait tembang. Tembang macapat ini sangat popular merefleksikan suatu peristiwa melalui tembang.
Di beberapa daerah, macapat dikenali pula namun dengan istilah yang lain. Tembang berisikan puisi berirama ini bisa ditemukan pada masyarakat di Bali, Sa sak, Madura, Sunda, dan beberapa wila yah di Sumatra, seperti di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya, diartikan sebagai membaca empat-empat karena untuk membacanya terjalin tiap suku empat-empat. Kisah inti dari kitab ini menceritakan tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga, putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia.
Jayengresmi adalah tokoh yang penuh dengan sisi kekhawatiran, kecemasan, dan keingintahuan. Di sisi lain, saat menjadi Amongraga, ia memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.
Dalam salah satu bagian kitab tersebut dikisahkan dalam pelariannya mencari adik-adiknya, Jayengresmi yang telah berubah nama menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Pada bagian lainnya, Amongraga pun bertemu dan jatuh cinta pada perempuan cantik bernama Tembangraras, putri seorang Kyai. Setelah menikahi Tembangraras, Amongraga banyak memberikan wejangan pada istrinya yang selalu diikuti oleh Centhini, pembantu setianya.
Adalah Elizabeth D Inandiak, penyair Prancis yang juga mantan wartawan yang cukup berjasa menerjemahkan Serat Centhini. Pada 1999, Elizabeth mulai menerjemahkan Centhini dengan bantuan murid rekannya, PJ Zoetmulder, yakni Sunaryati Sutarto, yang piawai berbahasa Jawa klasik.
Ia kemudian menyadur naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis yang diberi judul Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini. Buku tersebut terbit pada 2002. Setelah memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada 2003, Elizabeth kemudian mengalihbahasakan karyanya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi yang diterbitkan pada Juli 2008.
Saat ini, naskah Serat Centhini sudah mulai diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Indonesia. Sunardian Wirodono termasuk salah satu yang menggeluti naskah-naskah Centhini yang kemudian disadurnya dalam bentuk buku. Sunardian, pada April lalu, telah meluncurkan terjemahan Serat Centhini yang dikemasnya dalam judul Serat Centhini Dwi Lingua.
Tak ada yang menyangsikan tingginya peradaban Jawa kuno di zaman terciptanya karya sastra nan indah dalam Serat Centhini. Lantas, pada sebuah pameran buku yang digelar baru-baru ini, seorang kurator dan kolektor buku-buku kuno, Daud, mengaku memiliki salinan naskah kuno Serat Centhini. Naskah kuno tersebut ditemukannya pada 2006 dari seorang purnawirawan yang bermukim di kawasan Menteng. Setelah menyimpan dan merawatnya selama lima tahun, kini Daud berniat menjual naskah tersebut dengan harga Rp 5 miliar.
Mahal? Beragam pendapat bermunculan. Menurut kolektor buku, Andriani Primardiana, jika ditinjau dari segi keilmuwan dan tingginya nilai budaya dari karya pujangga yang telah menulisnya sejak berabad-abad silam, harga Rp 5 miliar adalah wajar. Tidak terlalu mahal untuk sebuah karya yang sangat luar biasa seperti Serat Centhini yang mengandung pengetahuan dan karya seni, Rp 5 miliar itu sangat murah, ujarnya.
Sementara itu, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Joe Marbun mengigatkan, terkait naskah Serta Centhini sebagai salah satu warisan budaya, merupakan warisan yang dilindungi UU No 11/2010 tentang cagar budaya. Sesuai dengan UU tersebut, maka warisan budaya melalui proses penetapan bisa dimiliki individu atau kelompok.
Sesuai UU tersebut, memang dimungkinkan terjadi proses jual beli selama hal itu dilakukan untuk kelestarian warisan budaya tersebut dan tidak dibawa keluar wilayah NKRI. Artinya, negara sebagai regulator terciptanya proses jual beli tersebut, ujarnya.
Dalam UU Cagar budaya, kata Joe, juga disebutkan bahwa proses jual-beli, diprioritaskan pertama kali kepada pihak pemerintah. Apalagi, yang berkaitan dengan warisan budaya yang sangat penting.
Kepala Balai Bahasa, Sugiyono, mengatakan, upaya penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, kata Sugiyono, uang negara terbatas untuk membeli naskah kuno, contohnya Serat Centhini yang dibandrol Daud dengan harga Rp 5 miliar.
Sugiyono pun mengatakan, salinan naskah Serat Centhini saat ini ada tersimpan di Solo dan Yogyakarta. Balai Bahasa sendiri, kata dia, hanya memiliki sadurannya.
Sebagai naskah kuno yang kerap dipakai sebagai referensi sejarah oleh akademisi untuk mengungkap banyak pengetahuan dari berbagai perspektif, Joe mengatakan, adanya patokan harga yang diberikan oleh kolektor terhadap naskah kuno Serat Centhini, merupakan ujian sekaligus kritik kepada berbagai pihak. Terutama kepada pemerintah agar lebih proaktif melihat permasalahan seputar warisan budaya yang sangat kompleks.
Cerita di Balik Rp 5 M Serat Centhini
Terobsesi membangun museum pribadi berisi literatur Tionghoa. Itulah keinginan Daud, kurator dan kolektor buku-buku langka, yang kini me mi liki naskah Serat Centhini. Di tengah hiruk pikuk pameran buku 2011 di Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu, stan Samudra miliknya cukup menarik minat pengunjung.
Stan Samudra menyediakan cukup banyak buku-buku langka. Warna-warna kertasnya sudah mulai menguning dan aroma khas buku tua cukup menggelitik hidung. Beberapa buku diberi sampul plastik lagi. Tapi, di antara buku-buku yang mulai menguning itu ada juga terselip buku-buku baru terbitan medio 2000-an.
Di salah satu pojok ruangan, ada lagi tulisan yang cukup mencolok. Di atas kertas berwarna kuning, tertera : Tan Malaka, Bapak Republika Indonesia, Rp 150 juta; di atas kertas berwarna merah, tertera: Album Foto Orisinil Kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang 1968, Rp 200 juta. Dan, di atas kertas berwarna hitam tertera: gSerat Centhini, Rp 5 Miliar!
Harga fantastis untuk sebuah buku. Daud memiliki alasan tersendiri, membandrol buku Serat Centhini ini seharga dengan mobil sedan supersport keluaran Inggris, Bentley Continental GT, keluaran terbaru. Demi membangun museum pribadi, itulah alasannya. Menurut Daud, koleksi literatur Tionghoa miliknya sudah cukup banyak. Beragam jenis buku, majalah, surat kabar, atau cetakan lainnya yang berbau Tionghoa sudah dikumpulkannya lebih dari 10 tahun lalu. Koleksi-koleksi ini tidak saya jual, justru saya yang membelinya, kata Daud.
Diakuinya, butuh anggaran tak sedikit untuk memenuhi obsesinya itu. Karena itu, jika Serat Centhini yang disimpannya itu akhirnya berpindah tangan dengan harga Rp 5 miliar, hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun museum pribadi, melengkapi koleksi-koleksi literatur Tionghoanya dan tentu saja pemeliharaannya.
Ayah tiga putra ini memilih literatur Tionghoa karena menilai belum banyak orang yang fokus menyimpan dan mengumpulkan literatur Tionghoa. gSaya tidak muluk-muluk, hanya ingin suatu hari kelak, anak-anak kita jika ingin tahu banyak tentang Tionghoa dengan mudah mendapatkannya. Banyak hal yang bisa kita pelajari tentang Tionghoa ini, bahkan sejarah keberadaan kita di Indonesia pun masih terkait ke sana. Apalagi, kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujar Daud.
Menurutnya, pada 2010 lalu, ia pernah dihubungi oleh perwakilan dari Dinas Purbakala Jakarta yang ingin membeli Serat Centhini. Ketika itu, naskah tersebut masih dijual dengan harga Rp 3 miliar. Namun, karena kendala pendanaan, transaksi antara Daud dan pihak resmi negara yang bertugas menyelamatkan naskah-naskah kuno itu tidak terjadi.
Sejumlah Balai Lelang juga pernah mendatangi Daud untuk melihat Serat Centhini miliknya. Namun, semuanya mundur teratur mendengar penawaran harga yang dipatok Daud.
Naskah kuno salinan Serat Centhini diperoleh Daud pada 2006 lalu. Ia mengaku membelinya dari seorang yang tinggal di kawasan Menteng. Awalnya, Daud sendiri tak tahu apa itu Centhini. Dia hanya melihat naskahyang sudah sedikit lusuh tersebut bertuliskan bahasa Jawa kuno. Ia lantas menunjukkan buku itu pada seorang kawan yang mengerti bahasa Jawa. Saat diberi tahu bahwa itu adalah Serat Centhini, Daud pun terkejut bercampur senang.
Naskah yang diperoleh itu diyakini Daud sebagai salah satu dari tiga salinan naskah kuno Serat Centhiniyang ada di dunia. Di dunia ini hanya ada tiga, satu di Keraton Solo, satu di Keraton Yogyakarta, dan satunya ada pada saya, ujar lelaki jebolan teknik sipil ini.
Semakin ke depan, naskah ini akan semakin tinggi nilainya. Soal harga, Daud mengaku mematok harga berdasarkan survei nilai sebuah buku yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun lebih. Menurutnya, di Indonesia tak ada lembaga yang memiliki otoritas menentukan harga buku, maka ia menentukannya sendiri.
Daud yakin, harga yang dipasangnya untuk naskah sekelas Serat Centhini, sudah selayaknya. Kolektor filatelis saja, kata Daud, harganya bisa lebih mahal daripada harga buku yang dibandrolnya. Kalau tidak laku dengan harga itu, ya tidak apa-apa. Saya simpan saja, ujarnya enteng.
Jika tahun lalu dia memasang harga Rp 3 miliar dan tak laku, tahun ini mematok harga Rp 5 miliar dan juga belum laku, maka tahun depan dan seterusnya, nilai naskah ini akan semakin mahal. Karena sebagai sebuah naskah kuno, semakin tua usia nya, semakin tinggi pula nilainya.
Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai pengetahuan dan kehidupan masyakat Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat.
SEBUAH tempat makan sederhana menyajikan menu yang unik. Tongseng bajing mlumpat atau tongseng bajing melompat. Biasanya, jenis masakan ini, umumnya menggunakan daging kambing yang dimasak menggunakan kuah berwarna kuning kecokelatan. Rasanya cukup bisa menghangatkan badan dengan perpaduan rempah, seperti kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan merica.
Tapi, Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang ada di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta, menyajikannya lain. Seperti namanya, masakan ini terbuat dari bajing atau tupai. “Saya pernah mencobanya, disarankan oleh teman ke sana karena makanan ini sebagai obat,” ujar Ika Saraswati, seorang ibu asal Bandung. Ibu dua anak ini memiliki penyakit asma yang cukup berat. Menurut Ika, informasi tentang hidangan tongseng tupai ini diperolehnya dari rekannya. “Katanya bagus untuk mengurangi sesak dan bisa menyembuhkan asma,” ujar dia.
Menu masakan tongseng tupai adalah salah satu racikan makanan yang diambil dari naskah kuno Serat Chentini. Sewaktu mengetahui informasi tersebut, Ika pun makin bersemangat berburu kuliner unik itu. “Kalau memang racikan masakannya diambil dari Serat Centhini, saya yakin ampuh.
Orang-orang dulu kan kuat-kuat dan ini pasti resep turun temurun,” ujarnya. Entah karena keyakinannya yang begitu besar dengan efek memakan tongseng tupai itu, sesak napas yang langganan menyerang Ika perlahan berkurang. Dan, setiap ada kesempatan, Ika yang bermukim di Solo, kerap datang ke Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk makan tongseng tupai.
Serat Centhini atau lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia yang berisikan berbagai hal tentang dunia masyarakat Jawa. Dalam berbagai literatur disebutkan, Serat Centhini mulai ditulis pada 1814 hingga 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V). Ini merupakan sebuah karya sastra besar di dunia.
Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai macam pengetahuan dan kehidupan masyarakat Jawa. Di antaranya, tentang agama, sastra, situs, primbon, keris, obat-obatan, resep masakan, juga seks. Kitab ini bahkan lebih banyak dikenali khalayak sebagai kitab ‘kamasutra Jawa’. Salinan kitab Serat Centhini, yang pasti ditulis menggunakan huruf Jawa kuno, merupakan kesusastraan Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat.
Yang dimaksud macapat adalah tembang Jawa yang diiringi irama tertentu. Jumlah suku katanya pun tertentu, memiliki akhir kata tertentu dalam satu bait tembang. Tembang macapat ini sangat popular merefleksikan suatu peristiwa melalui tembang.
Di beberapa daerah, macapat dikenali pula namun dengan istilah yang lain. Tembang berisikan puisi berirama ini bisa ditemukan pada masyarakat di Bali, Sa sak, Madura, Sunda, dan beberapa wila yah di Sumatra, seperti di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya, diartikan sebagai membaca empat-empat karena untuk membacanya terjalin tiap suku empat-empat. Kisah inti dari kitab ini menceritakan tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga, putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia.
Jayengresmi adalah tokoh yang penuh dengan sisi kekhawatiran, kecemasan, dan keingintahuan. Di sisi lain, saat menjadi Amongraga, ia memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.
Dalam salah satu bagian kitab tersebut dikisahkan dalam pelariannya mencari adik-adiknya, Jayengresmi yang telah berubah nama menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Pada bagian lainnya, Amongraga pun bertemu dan jatuh cinta pada perempuan cantik bernama Tembangraras, putri seorang Kyai. Setelah menikahi Tembangraras, Amongraga banyak memberikan wejangan pada istrinya yang selalu diikuti oleh Centhini, pembantu setianya.
Adalah Elizabeth D Inandiak, penyair Prancis yang juga mantan wartawan yang cukup berjasa menerjemahkan Serat Centhini. Pada 1999, Elizabeth mulai menerjemahkan Centhini dengan bantuan murid rekannya, PJ Zoetmulder, yakni Sunaryati Sutarto, yang piawai berbahasa Jawa klasik.
Ia kemudian menyadur naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis yang diberi judul Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini. Buku tersebut terbit pada 2002. Setelah memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada 2003, Elizabeth kemudian mengalihbahasakan karyanya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi yang diterbitkan pada Juli 2008.
Saat ini, naskah Serat Centhini sudah mulai diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Indonesia. Sunardian Wirodono termasuk salah satu yang menggeluti naskah-naskah Centhini yang kemudian disadurnya dalam bentuk buku. Sunardian, pada April lalu, telah meluncurkan terjemahan Serat Centhini yang dikemasnya dalam judul Serat Centhini Dwi Lingua.
Tak ada yang menyangsikan tingginya peradaban Jawa kuno di zaman terciptanya karya sastra nan indah dalam Serat Centhini. Lantas, pada sebuah pameran buku yang digelar baru-baru ini, seorang kurator dan kolektor buku-buku kuno, Daud, mengaku memiliki salinan naskah kuno Serat Centhini. Naskah kuno tersebut ditemukannya pada 2006 dari seorang purnawirawan yang bermukim di kawasan Menteng. Setelah menyimpan dan merawatnya selama lima tahun, kini Daud berniat menjual naskah tersebut dengan harga Rp 5 miliar.
Mahal? Beragam pendapat bermunculan. Menurut kolektor buku, Andriani Primardiana, jika ditinjau dari segi keilmuwan dan tingginya nilai budaya dari karya pujangga yang telah menulisnya sejak berabad-abad silam, harga Rp 5 miliar adalah wajar. Tidak terlalu mahal untuk sebuah karya yang sangat luar biasa seperti Serat Centhini yang mengandung pengetahuan dan karya seni, Rp 5 miliar itu sangat murah, ujarnya.
Sementara itu, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Joe Marbun mengigatkan, terkait naskah Serta Centhini sebagai salah satu warisan budaya, merupakan warisan yang dilindungi UU No 11/2010 tentang cagar budaya. Sesuai dengan UU tersebut, maka warisan budaya melalui proses penetapan bisa dimiliki individu atau kelompok.
Sesuai UU tersebut, memang dimungkinkan terjadi proses jual beli selama hal itu dilakukan untuk kelestarian warisan budaya tersebut dan tidak dibawa keluar wilayah NKRI. Artinya, negara sebagai regulator terciptanya proses jual beli tersebut, ujarnya.
Dalam UU Cagar budaya, kata Joe, juga disebutkan bahwa proses jual-beli, diprioritaskan pertama kali kepada pihak pemerintah. Apalagi, yang berkaitan dengan warisan budaya yang sangat penting.
Kepala Balai Bahasa, Sugiyono, mengatakan, upaya penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, kata Sugiyono, uang negara terbatas untuk membeli naskah kuno, contohnya Serat Centhini yang dibandrol Daud dengan harga Rp 5 miliar.
Sugiyono pun mengatakan, salinan naskah Serat Centhini saat ini ada tersimpan di Solo dan Yogyakarta. Balai Bahasa sendiri, kata dia, hanya memiliki sadurannya.
Sebagai naskah kuno yang kerap dipakai sebagai referensi sejarah oleh akademisi untuk mengungkap banyak pengetahuan dari berbagai perspektif, Joe mengatakan, adanya patokan harga yang diberikan oleh kolektor terhadap naskah kuno Serat Centhini, merupakan ujian sekaligus kritik kepada berbagai pihak. Terutama kepada pemerintah agar lebih proaktif melihat permasalahan seputar warisan budaya yang sangat kompleks.
Cerita di Balik Rp 5 M Serat Centhini
Terobsesi membangun museum pribadi berisi literatur Tionghoa. Itulah keinginan Daud, kurator dan kolektor buku-buku langka, yang kini me mi liki naskah Serat Centhini. Di tengah hiruk pikuk pameran buku 2011 di Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu, stan Samudra miliknya cukup menarik minat pengunjung.
Stan Samudra menyediakan cukup banyak buku-buku langka. Warna-warna kertasnya sudah mulai menguning dan aroma khas buku tua cukup menggelitik hidung. Beberapa buku diberi sampul plastik lagi. Tapi, di antara buku-buku yang mulai menguning itu ada juga terselip buku-buku baru terbitan medio 2000-an.
Di salah satu pojok ruangan, ada lagi tulisan yang cukup mencolok. Di atas kertas berwarna kuning, tertera : Tan Malaka, Bapak Republika Indonesia, Rp 150 juta; di atas kertas berwarna merah, tertera: Album Foto Orisinil Kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang 1968, Rp 200 juta. Dan, di atas kertas berwarna hitam tertera: gSerat Centhini, Rp 5 Miliar!
Harga fantastis untuk sebuah buku. Daud memiliki alasan tersendiri, membandrol buku Serat Centhini ini seharga dengan mobil sedan supersport keluaran Inggris, Bentley Continental GT, keluaran terbaru. Demi membangun museum pribadi, itulah alasannya. Menurut Daud, koleksi literatur Tionghoa miliknya sudah cukup banyak. Beragam jenis buku, majalah, surat kabar, atau cetakan lainnya yang berbau Tionghoa sudah dikumpulkannya lebih dari 10 tahun lalu. Koleksi-koleksi ini tidak saya jual, justru saya yang membelinya, kata Daud.
Diakuinya, butuh anggaran tak sedikit untuk memenuhi obsesinya itu. Karena itu, jika Serat Centhini yang disimpannya itu akhirnya berpindah tangan dengan harga Rp 5 miliar, hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun museum pribadi, melengkapi koleksi-koleksi literatur Tionghoanya dan tentu saja pemeliharaannya.
Ayah tiga putra ini memilih literatur Tionghoa karena menilai belum banyak orang yang fokus menyimpan dan mengumpulkan literatur Tionghoa. gSaya tidak muluk-muluk, hanya ingin suatu hari kelak, anak-anak kita jika ingin tahu banyak tentang Tionghoa dengan mudah mendapatkannya. Banyak hal yang bisa kita pelajari tentang Tionghoa ini, bahkan sejarah keberadaan kita di Indonesia pun masih terkait ke sana. Apalagi, kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujar Daud.
Menurutnya, pada 2010 lalu, ia pernah dihubungi oleh perwakilan dari Dinas Purbakala Jakarta yang ingin membeli Serat Centhini. Ketika itu, naskah tersebut masih dijual dengan harga Rp 3 miliar. Namun, karena kendala pendanaan, transaksi antara Daud dan pihak resmi negara yang bertugas menyelamatkan naskah-naskah kuno itu tidak terjadi.
Sejumlah Balai Lelang juga pernah mendatangi Daud untuk melihat Serat Centhini miliknya. Namun, semuanya mundur teratur mendengar penawaran harga yang dipatok Daud.
Naskah kuno salinan Serat Centhini diperoleh Daud pada 2006 lalu. Ia mengaku membelinya dari seorang yang tinggal di kawasan Menteng. Awalnya, Daud sendiri tak tahu apa itu Centhini. Dia hanya melihat naskahyang sudah sedikit lusuh tersebut bertuliskan bahasa Jawa kuno. Ia lantas menunjukkan buku itu pada seorang kawan yang mengerti bahasa Jawa. Saat diberi tahu bahwa itu adalah Serat Centhini, Daud pun terkejut bercampur senang.
Naskah yang diperoleh itu diyakini Daud sebagai salah satu dari tiga salinan naskah kuno Serat Centhiniyang ada di dunia. Di dunia ini hanya ada tiga, satu di Keraton Solo, satu di Keraton Yogyakarta, dan satunya ada pada saya, ujar lelaki jebolan teknik sipil ini.
Semakin ke depan, naskah ini akan semakin tinggi nilainya. Soal harga, Daud mengaku mematok harga berdasarkan survei nilai sebuah buku yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun lebih. Menurutnya, di Indonesia tak ada lembaga yang memiliki otoritas menentukan harga buku, maka ia menentukannya sendiri.
Daud yakin, harga yang dipasangnya untuk naskah sekelas Serat Centhini, sudah selayaknya. Kolektor filatelis saja, kata Daud, harganya bisa lebih mahal daripada harga buku yang dibandrolnya. Kalau tidak laku dengan harga itu, ya tidak apa-apa. Saya simpan saja, ujarnya enteng.
Jika tahun lalu dia memasang harga Rp 3 miliar dan tak laku, tahun ini mematok harga Rp 5 miliar dan juga belum laku, maka tahun depan dan seterusnya, nilai naskah ini akan semakin mahal. Karena sebagai sebuah naskah kuno, semakin tua usia nya, semakin tinggi pula nilainya.
Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011
[Teraju] Dari Centhini, Cendana, Hingga Flash Gordon
ANDI NUR AMINAH
Dana terbesar yang dikeluarkan sang kolektor pernah nyaris mencapai Rp 100 juta untuk sebuah komik!
SECARIK kertas berwarna kuning sedikit lusuh terpajang di dalam etalase kaca. Tulisan tangan di atasnya terlihat begitu halus. Jumlahnya ada beberapa lembar. Lembaran-lembaran surat yang ditulis dengan tinta cina berwarna hitam tersebut adalah tulisan tangan Husein Djajadiningrat.
Husein adalah doktor dan profesor pertama di Indonesia. Dia merupakan keturunan puun Cibeo, Kanekes, Ba duy. Putra Raden Wirasuta ini yang pernah diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) menjadi puna ka wan dan prajurit ini lahir pada 8 Desember 1886 di Kramat Watu, Serang.
Husein cukup beruntung memiliki ayah yang berpikiran maju. Ia bisa berseko lah dan mengecap pendidikan Barat yang hanya bisa dinikmati segelintir anak pembesar pribumi di awal abad 20. Selain Husein, sekolah terbatas itu juga dinikmati kakak dan adiknya, Ahmad Djajadiningrat dan Hasan Djajadiningrat.
Namun di antara semua saudaranya, hanya Huseinlah yang berhasil mencapai gelar doktor di Leiden, Belan da. Husein menulis disertasi berjudul Critische Beschouwning van de Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten).
Sementara kakak Husein, Ahmad, kemudian menjadi seorang bupati di Serang. Sedangkan adiknya, Hasan, cukup dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa Barat di awal masa pergerakan nasional.
Surat-surat Husein tersebut, menurut Daud, diperolehnya dari seorang fila telis. Ternyata, saat amplop dibuka di dalamnya masih terdapat surat-surat tulisan tangan Husein. Surat tersebut ada yang ditulis Husein di usia 15 ta hun. Surat-surat tersebut berisi korespondensi Husein kepada orang tuanya. Selain itu ada pula surat yang dibuatnya saat ia kuliah di Leiden. Beberapa surat juga berasal dari kolega Husein di Prancis dan Inggris.
Album Soeharto
Koleksi cukup unik lainnya yang dimiliki Daud adalah sebuah album foto yang berisi foto-foto kunjungan Presiden ke Jepang pada 1968. Dalam album berisi puluhan foto tersebut meng gambarkan keramahtamahan yang terjalin antara Kaisar Hirohito dan Soeharto saat melakukan kunjungan kenegaraan.
Dalam foto tersebut terlihat jelas wajah Soeharto masih sangat muda dan didampingi Tien Soearto, istrinya. Beberapa foto terlihat suasana saat Soeharto dan Tien Soeharto turun dari tangga pesawat kepresidenan, suasana makan malam, suasana kunjungan ke beberapa lokasi startegis di Jepang, hingga suasana saat Soeharto dan istri melambaikan tangan dan akan naik ke pesawat yang akan membawa rombongan kepresidenan ke Indonesia.
Album yang menyimpan foto-foto tersebut terlihat unik, dibungkus semacam kain bermotif bunga-bunga kecil berwarna keemasan. Albumnya ini juga orisinal, sangat unik, ujar Daud.
Dari mana Daud memperoleh album tersebut? Percaya atau tidak, ternyata dia mendapatkannya hanya dari seorang anak pendorong gerobak. Ini koleksi yang sangat berharga tentu saja buat keluarga Cendana, ujarnya.
Lawatan Soeharto ke Jepang ini juga akan dijual Daud. Harganya Rp 200 juta. Saat menemukan album ter sebut, Daud cukup kaget. Sementara anak pendorong gerobak yang menyerahkan album itu sama sekali tidak mengetahui siapa yang ada di foto-foto itu.
Album yang baru sekitar tiga bulan melengkapi koleksi Daud itu didapatnya di kawasan Menteng. Dia pun tak tahu dari mana album itu berasal. Namun yang pasti, album tersebut akan bernilai sejarah, minimal bagi keluarga Cendana.
Komik termahal
Seorang kolektor atau hobbies kadang suka melakukan hal-hal yang sulit diterima oleh masyarakat umum. Berapa pun nilai yang dipatok untuk sebuah barang yang menjadi buruan, itu bisa diupayakan.
Sebagai pemburu buku-buku, Daud pun melakukan hal serupa. Menurutnya, ia pernah menghabiskan uang ham pir Rp 100 juta untuk memburu sebuah komik. Komik? Ya, itulah benda termahal yang harus dibayar Daud dari sederet koleksi yang kini dimilikinya.
Komik yang dibayarnya seharga hampir Rp 100 juta itu merupakan kum pulan komik Indonesia. Salah satunya berjudul Mentjari Poetri Hidjau oleh komikus Nasroen AS. Komik-komik itu terbitan periode 1930 hingga 1980-an.
Di Indonesia, komik baru mulai dikenal pada 1930-an, yang bisa ditemukan dalam media-media Belanda, di antaranya De Java Bode dan D'orient. Tokoh komik yang tercipta adalah Flippie Flink atau Flash Gordon.
Kehadiran komik di Indonesia bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yak ni komik strip dan buku komik. Komik strip merupakan rangkaian gambar yang berisi cerita dan penerbitannya secara berkala dan teratur. Biasanya muncul di koran-koran dan terbit harian atau mingguan. Kisah yang dihadirkan biasanya bersambung hingga tiga halaman atau lebih. Sedangkan buku komik adalah gambar yang bercerita dan ceritanya bersambung hingga tuntas dalam satu buku.
Daud memiliki kedua jenis koleksi komik itu. Komik Flash Gordon, salah satu komik strip yang dipunyainya. Lembar demi lembar komik tersebut dikumpul menjadi satu dengan bantuan biasanya berupa benang hingga menyerupai buku. Setelah komik ter kumpul lengkap, Daud mulai mengalihkan perhatiannya pada komik-komik asing.
Salah satu koleksi komik itu adalah Flash Gordon. Komik yang belakangan kita kenal setelah dianimasikan ke film kartun dengan judul sama itu berbahasa Belanda dan ditulis oleh Alex Raymond. Selain komik yang hitam putih, beberapa komik terbitan luar negeri juga dimiliki Daud, dan cukup mena rik terlihat karena sudah berwarna.
Koleksi lain yang dibanggakan Daud adalah kumpulan jurnal Parin dra. Jurnal ini adalah media yang didirikan khusus untuk menyuarakan Partai Indonesia Raya pada 1935. Sejumlah nama-nama tokoh yang ikut ber gabung dengan Parindra, antara lain, Woeryaningrat, Panji Soeroso, dan Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Nama yang terakhir tak lain adalah kakek Prabowo Subianto, yang kini mendirikan partai Gerindra.
Beberapa majalah mode tahun 1930-an, iklan-iklan koran, termasuk koran Suluh Indonesia edisi perdana pun dimilikinya. Tentu saja, dengan kertas yang semuanya hampir menguning termakan usia. Daud mengaku cukup tersita perhatiannya untuk menjaga koleksinya terutama perawatan. Dan perawatan naskah-naskah lama inilah biaya termahal yang harus ditebusnya.
Berburu Buku-Buku Langka
Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan Daud saat berhasil memboyong naskah kuno atau buku-buku langka. Tak jarang, pria berkulit agak gelap ini berburu ke daerah hingga keluar negeri. Daud bisa mengeluar kan dana berpuluh-puluh juta hingga ratusan juta.
Selain berburu berbagai literatur, sehari-hari sarjana teknik sipil ini juga kerap bergelut di proyek-proyek pembangunan perumahan. Ketertarikannya pada naskah kuno dilakoninya sejak sepuluh tahun yang lalu. Menurutnya, perhatian negara terhadap naskah-naskah kuno yang bernilai sejarah tinggi memang kurang. Namun, dia tak ingin menyalahkan negara atau siapa pun. Saya ingin mengapresiasi saja. Kalau saya bisa, saya saja yang mengapresiasikannya, kata Daud.
Untuk berburu berbagai literatur langka dan kuno, Daud mengaku memang menganggarkan bujet khusus. Meski tak mau menyebutkan jumlahnya, yang pasti bujet utamanya adalah untuk membeli buku.
Menemukan naskah-naskah yang kini melengkapi koleksinya bisa di mana saja. Selain berburu ke berbagai wilayah, kaki lima, pasar-pasar loak, pemulung yang menggunakan gerobak, atau ajang pameran, tak jarang Daud dipanggil ke rumah-rumah untuk mengambil buku. Paling sering ka lau ada orang yang mau pindah rumah. Semua per abotan sudah diangkut, buku-buku kadang disisakan. Nah, saya bagian yang mem bersihkannya, ujar Daud.
Pada saat menyortir buku-buku, di situlah biasa Daud mendapatkan koleksi yang kadang dia pun tidak tahu apa itu. Nama Daud agaknya sudah mulai dikenal sebagai kolektor buku-buku langka. Ia mengaku pernah mendapat hibah buku dari keluarga pakar hukum internasional, Sidargo Gautama atau Gouw Giok Siong.
Koleksi dari pakar hukum UI tersebut baru diperolehnya sekitar dua bulan lalu. Daud datang ke rumah Gouw yang akan dijual, yang berlokasi tak jauh dari RS Pertamina Pusat. Dari situ, Daud mendapatkan berbagai buku-buku tentang hokum yang kebanyakan berbahasa Belanda. Ada satu buku yang panjangnya satu meter. Wah, mungkin di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi pun tidak punya buku itu, ujarnya.
Koleksi buku-buku militer juga pernah dia dapatkan dari rumah seorang mantan pangdam Mulawarman di bilangan Kuningan. Buku-buku militer tersebut diborong Daud dengan harga miring, tentu saja.
Kini, ribuan koleksi hasil buruan Daud disimpan di dua perpustakaan pribadi miliknya di kawasan Serpong, Tanggerang. Sebuah ruko berlantai tiga dan bangunan rumahnya sudah menjadi perpustakaan. Salah satu kamar miliknya dikhususkan menyimpan koleksi literatur Tionghoa. Dari semua buku yang dicarinya, Daud memang mengumpulkan dan menjualnya kembali, kecuali beragam literatur Tionghoa. Karena khusus yang satu ini, Daud memiliki obsesi untuk membuat museum sendiri. andi nur aminah
Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011
Dana terbesar yang dikeluarkan sang kolektor pernah nyaris mencapai Rp 100 juta untuk sebuah komik!
SECARIK kertas berwarna kuning sedikit lusuh terpajang di dalam etalase kaca. Tulisan tangan di atasnya terlihat begitu halus. Jumlahnya ada beberapa lembar. Lembaran-lembaran surat yang ditulis dengan tinta cina berwarna hitam tersebut adalah tulisan tangan Husein Djajadiningrat.
Husein adalah doktor dan profesor pertama di Indonesia. Dia merupakan keturunan puun Cibeo, Kanekes, Ba duy. Putra Raden Wirasuta ini yang pernah diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) menjadi puna ka wan dan prajurit ini lahir pada 8 Desember 1886 di Kramat Watu, Serang.
Husein cukup beruntung memiliki ayah yang berpikiran maju. Ia bisa berseko lah dan mengecap pendidikan Barat yang hanya bisa dinikmati segelintir anak pembesar pribumi di awal abad 20. Selain Husein, sekolah terbatas itu juga dinikmati kakak dan adiknya, Ahmad Djajadiningrat dan Hasan Djajadiningrat.
Namun di antara semua saudaranya, hanya Huseinlah yang berhasil mencapai gelar doktor di Leiden, Belan da. Husein menulis disertasi berjudul Critische Beschouwning van de Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten).
Sementara kakak Husein, Ahmad, kemudian menjadi seorang bupati di Serang. Sedangkan adiknya, Hasan, cukup dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa Barat di awal masa pergerakan nasional.
Surat-surat Husein tersebut, menurut Daud, diperolehnya dari seorang fila telis. Ternyata, saat amplop dibuka di dalamnya masih terdapat surat-surat tulisan tangan Husein. Surat tersebut ada yang ditulis Husein di usia 15 ta hun. Surat-surat tersebut berisi korespondensi Husein kepada orang tuanya. Selain itu ada pula surat yang dibuatnya saat ia kuliah di Leiden. Beberapa surat juga berasal dari kolega Husein di Prancis dan Inggris.
Album Soeharto
Koleksi cukup unik lainnya yang dimiliki Daud adalah sebuah album foto yang berisi foto-foto kunjungan Presiden ke Jepang pada 1968. Dalam album berisi puluhan foto tersebut meng gambarkan keramahtamahan yang terjalin antara Kaisar Hirohito dan Soeharto saat melakukan kunjungan kenegaraan.
Dalam foto tersebut terlihat jelas wajah Soeharto masih sangat muda dan didampingi Tien Soearto, istrinya. Beberapa foto terlihat suasana saat Soeharto dan Tien Soeharto turun dari tangga pesawat kepresidenan, suasana makan malam, suasana kunjungan ke beberapa lokasi startegis di Jepang, hingga suasana saat Soeharto dan istri melambaikan tangan dan akan naik ke pesawat yang akan membawa rombongan kepresidenan ke Indonesia.
Album yang menyimpan foto-foto tersebut terlihat unik, dibungkus semacam kain bermotif bunga-bunga kecil berwarna keemasan. Albumnya ini juga orisinal, sangat unik, ujar Daud.
Dari mana Daud memperoleh album tersebut? Percaya atau tidak, ternyata dia mendapatkannya hanya dari seorang anak pendorong gerobak. Ini koleksi yang sangat berharga tentu saja buat keluarga Cendana, ujarnya.
Lawatan Soeharto ke Jepang ini juga akan dijual Daud. Harganya Rp 200 juta. Saat menemukan album ter sebut, Daud cukup kaget. Sementara anak pendorong gerobak yang menyerahkan album itu sama sekali tidak mengetahui siapa yang ada di foto-foto itu.
Album yang baru sekitar tiga bulan melengkapi koleksi Daud itu didapatnya di kawasan Menteng. Dia pun tak tahu dari mana album itu berasal. Namun yang pasti, album tersebut akan bernilai sejarah, minimal bagi keluarga Cendana.
Komik termahal
Seorang kolektor atau hobbies kadang suka melakukan hal-hal yang sulit diterima oleh masyarakat umum. Berapa pun nilai yang dipatok untuk sebuah barang yang menjadi buruan, itu bisa diupayakan.
Sebagai pemburu buku-buku, Daud pun melakukan hal serupa. Menurutnya, ia pernah menghabiskan uang ham pir Rp 100 juta untuk memburu sebuah komik. Komik? Ya, itulah benda termahal yang harus dibayar Daud dari sederet koleksi yang kini dimilikinya.
Komik yang dibayarnya seharga hampir Rp 100 juta itu merupakan kum pulan komik Indonesia. Salah satunya berjudul Mentjari Poetri Hidjau oleh komikus Nasroen AS. Komik-komik itu terbitan periode 1930 hingga 1980-an.
Di Indonesia, komik baru mulai dikenal pada 1930-an, yang bisa ditemukan dalam media-media Belanda, di antaranya De Java Bode dan D'orient. Tokoh komik yang tercipta adalah Flippie Flink atau Flash Gordon.
Kehadiran komik di Indonesia bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yak ni komik strip dan buku komik. Komik strip merupakan rangkaian gambar yang berisi cerita dan penerbitannya secara berkala dan teratur. Biasanya muncul di koran-koran dan terbit harian atau mingguan. Kisah yang dihadirkan biasanya bersambung hingga tiga halaman atau lebih. Sedangkan buku komik adalah gambar yang bercerita dan ceritanya bersambung hingga tuntas dalam satu buku.
Daud memiliki kedua jenis koleksi komik itu. Komik Flash Gordon, salah satu komik strip yang dipunyainya. Lembar demi lembar komik tersebut dikumpul menjadi satu dengan bantuan biasanya berupa benang hingga menyerupai buku. Setelah komik ter kumpul lengkap, Daud mulai mengalihkan perhatiannya pada komik-komik asing.
Salah satu koleksi komik itu adalah Flash Gordon. Komik yang belakangan kita kenal setelah dianimasikan ke film kartun dengan judul sama itu berbahasa Belanda dan ditulis oleh Alex Raymond. Selain komik yang hitam putih, beberapa komik terbitan luar negeri juga dimiliki Daud, dan cukup mena rik terlihat karena sudah berwarna.
Koleksi lain yang dibanggakan Daud adalah kumpulan jurnal Parin dra. Jurnal ini adalah media yang didirikan khusus untuk menyuarakan Partai Indonesia Raya pada 1935. Sejumlah nama-nama tokoh yang ikut ber gabung dengan Parindra, antara lain, Woeryaningrat, Panji Soeroso, dan Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Nama yang terakhir tak lain adalah kakek Prabowo Subianto, yang kini mendirikan partai Gerindra.
Beberapa majalah mode tahun 1930-an, iklan-iklan koran, termasuk koran Suluh Indonesia edisi perdana pun dimilikinya. Tentu saja, dengan kertas yang semuanya hampir menguning termakan usia. Daud mengaku cukup tersita perhatiannya untuk menjaga koleksinya terutama perawatan. Dan perawatan naskah-naskah lama inilah biaya termahal yang harus ditebusnya.
Berburu Buku-Buku Langka
Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan Daud saat berhasil memboyong naskah kuno atau buku-buku langka. Tak jarang, pria berkulit agak gelap ini berburu ke daerah hingga keluar negeri. Daud bisa mengeluar kan dana berpuluh-puluh juta hingga ratusan juta.
Selain berburu berbagai literatur, sehari-hari sarjana teknik sipil ini juga kerap bergelut di proyek-proyek pembangunan perumahan. Ketertarikannya pada naskah kuno dilakoninya sejak sepuluh tahun yang lalu. Menurutnya, perhatian negara terhadap naskah-naskah kuno yang bernilai sejarah tinggi memang kurang. Namun, dia tak ingin menyalahkan negara atau siapa pun. Saya ingin mengapresiasi saja. Kalau saya bisa, saya saja yang mengapresiasikannya, kata Daud.
Untuk berburu berbagai literatur langka dan kuno, Daud mengaku memang menganggarkan bujet khusus. Meski tak mau menyebutkan jumlahnya, yang pasti bujet utamanya adalah untuk membeli buku.
Menemukan naskah-naskah yang kini melengkapi koleksinya bisa di mana saja. Selain berburu ke berbagai wilayah, kaki lima, pasar-pasar loak, pemulung yang menggunakan gerobak, atau ajang pameran, tak jarang Daud dipanggil ke rumah-rumah untuk mengambil buku. Paling sering ka lau ada orang yang mau pindah rumah. Semua per abotan sudah diangkut, buku-buku kadang disisakan. Nah, saya bagian yang mem bersihkannya, ujar Daud.
Pada saat menyortir buku-buku, di situlah biasa Daud mendapatkan koleksi yang kadang dia pun tidak tahu apa itu. Nama Daud agaknya sudah mulai dikenal sebagai kolektor buku-buku langka. Ia mengaku pernah mendapat hibah buku dari keluarga pakar hukum internasional, Sidargo Gautama atau Gouw Giok Siong.
Koleksi dari pakar hukum UI tersebut baru diperolehnya sekitar dua bulan lalu. Daud datang ke rumah Gouw yang akan dijual, yang berlokasi tak jauh dari RS Pertamina Pusat. Dari situ, Daud mendapatkan berbagai buku-buku tentang hokum yang kebanyakan berbahasa Belanda. Ada satu buku yang panjangnya satu meter. Wah, mungkin di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi pun tidak punya buku itu, ujarnya.
Koleksi buku-buku militer juga pernah dia dapatkan dari rumah seorang mantan pangdam Mulawarman di bilangan Kuningan. Buku-buku militer tersebut diborong Daud dengan harga miring, tentu saja.
Kini, ribuan koleksi hasil buruan Daud disimpan di dua perpustakaan pribadi miliknya di kawasan Serpong, Tanggerang. Sebuah ruko berlantai tiga dan bangunan rumahnya sudah menjadi perpustakaan. Salah satu kamar miliknya dikhususkan menyimpan koleksi literatur Tionghoa. Dari semua buku yang dicarinya, Daud memang mengumpulkan dan menjualnya kembali, kecuali beragam literatur Tionghoa. Karena khusus yang satu ini, Daud memiliki obsesi untuk membuat museum sendiri. andi nur aminah
Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011
Selasa, 06 Desember 2011
Sastra Tulis Lampung Berkembang sejak Lama
KOTABUMI (Lampost.com): Tradisi kepenulisan dalam dunia sastra Lampung telah berkembang sejak lama. Beberapa karya sastra yang kemudian diterbitkan seperti Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu adalah sastra tulis, bukan sekadar sastra lisan.
Pandangan ini mengemuka dalam peluncuran dan bedah tiga buku sastra Lampung di STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Sabtu (19-11). Tampil sebagai pembicara dalam acara ini budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dan sastrawan Udo Z. Karzi dengan moderator penyair yang juga dosen STKIP Muhammadiyah Kotabumi Djuhardi Basri.
Ketiga buku tersebut adalah Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung), Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya La-Uddin dkk dan diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar (Ilagaligo Publisher), dan Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (BE Press).
"Warahan Radin Jambat adalah cerita rakyat yang ditulis dengan huruf Lampung dengan bahasa Lampung Sungkai dan Way Kanan. Karena itu dia bukan sastra lisan, melainkan sastra tulis," kata budayawan Iwan Nurdaya-Djafar.
Mengutip pendapat A. Teeuw, Iwan menyebutkan jumlaah masyarakat (suku) yang menggunakan tulisan untuk membuat sastranya lestari relatif sedikit. "Di antaranya di Sumatera, tradisi tulisan sebelum Islam, utamanya diwakili orang Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing memperlihatkan ciri khasnya dalam sastra."
Orang Lampung, menurut Iwan yang juga Asisten II Pemkab Lampung Timur ini, sejak lama mengenal tiga aksara (transliterasi), yaitu huruf Kaganga, huruf Arab Melayu, dan huruf Latin. "Maka sudah sewajarnya jika kita meneruskan tradisi kepenulisan ini, termasuk menulis sastra dengan bahasa Lampung," kata dia.
Udo Z. Karzi menambahkan, di tengah arus globalisasi, ternyata kekuatan lokal menjadi kata kunci untuk memenangkan persaingan bangsa-bangsa. "Bahasa dan sastra Lampung boleh dibilang sebagai petensi lokal yang menjadi modal penting dalam pergaulan antarbangsa," kata peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 ini.
Udo berharap pelestarian sastra tradisi lisan Lampung harus sejalan dengan pengembangan sastra Lampung tulis. "Saya kira ini bukan hal baru. Hikayat Nakhoda Muda yang ditulis La-Uddin dkk tahun 1778 atau Warahan Radin Jambat yang ditulis jauh sebelum itu menunjukkan kepada kita bahwa tradisi tulis kita sudah berlangsung lama. Kita hanya meneruskan tradisi ini," kata dia.
Sedangkan Djuhardi Basri mengatakan, pengembangan bahasa dan sastra Lampung harus didukung dengan kebijakan pemerintah (daerah). "Tanpa itu hanya akan ada individu-individu yang bekerja. Tapi tidak menjadi gerakan yang lebih besar dan masif," ujarnya. (MG1/D-2)
Lampost Minggu 20 Nov 2011
Senin, 28 November 2011
Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan
Syaukani Al Karim
SECARA kejiwaan, seorang anak manusia, selalu merasa lebih nyaman dan terlindungi, ketika berada di tengah-tengah komunitas yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga sedarah, kawan sekampung, teman bermain, serta hal-hal lain yang mendekatkan secara batiniah. Kondisi dan sikap inilah, yang kemudian membuat orang, sejak dahulu kala, mulai mengurus perkara puak, kaum, suku, ras, atau bani. Lalu bertebaranlah komunitas dengan dasar pengelompokan tersebut, seperti bani Isra-El, Kaum ‘Ad, Ras Arya, dan sebagainya.
Meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai diperkatakan, bahkan ada kecenderungan semakin mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan. Di Amerika Serikat saja, persoalan ini baru “selesai” dalam beberapa dekade terakhir, dan itu pun masih dimainkan dengan sejumlah catatan. Di Isra-El, persoalan kaum dan bani, yang berhubungan langsung dengan agama, bahkan menjadi mata air peperangan dengan kawasan sekitarnya, yang entah bila akan berhenti menyembur.
Dalam risalahnya, Megatrend 2000, Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyebutkan bahwa pada abad ke-21, ada kecenderungan yang kuat untuk terjadi pengelompokan gerakan ekonomi maupun politik, melalui kesamaan ras atau suku. Naisbitt menyebut bahwa MEE, AFTA, NAFTA, dan sebagainya, merupakan indikator kebenaran, di samping maraknya semangat pulang ke rumah mimpi kebudayaan masa lalu yang melanda banyak negara (atau munculnya mata uang Euro, seakan membenarkan hal itu). Jika kita lihat pula pertikaian di beberapa tempat, seperti di Afrika dan Timur Tengah dewasa ini, pada akhirnya selalu berujung pada pertarungan gengsi antar puak dan suku. Terakhir, media massa melaporkan, bahwa Jerman mulai memperkarakan ihwal eksistensi ras mereka [Arya] dalam hubungan perkauman di negara itu.
Lalu bagaimana dengan Melayu? Bagaimana dengan Riau? Siapakah Melayu? Hendak ke manakah Melayu? Pertanyaan ini sudah kita dengar berulang-ulang dari berbagai orang awam dan sejumlah kalangan lain. Terakhir, hal ini juga menjadi pertanyaan (mungkin kegelisahan) Kawan Sastrawan Marhalim Zaini, ketika menyampaikan orasi budaya, “Akulah Melayu yang Berlari”, sempena Anugerah Sagang, 28 Oktober yang lalu. Marhalim juga sempat menyebut “kacukan”, sebagai kemungkinan identitas Melayu itu sendiri.
Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai. Naskah-naskah lama, katakanlah seperti Sejarah Melayu, sudah menjawab persoalan itu secara tuntas dan terang-benderang. Ketika orang Melayu melakukan kaji asal keturunannya, yang bermula dari Iskandar Zulkarnain dari Makaduniyah (Alexander the Great dari Macedonia), dari nasab Sulaiman ‘alaihis salam hingga ke Nusyirwan Adil raja masyriq dan maghrib, atau kajian akademis tentang kedatangan sang nenek moyang dari Yunan Selatan, dari Teluk Tongkin dan Selat Hoabin, maka batang tubuh Melayu yang “kacukan” sudah menemukan maqam-nya.
Saya kira, persoalan kacukan ini, bukan hanya soal Melayu, tapi juga puak lain, karena memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari. Pun, sebuah komunitas, kaum dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis nan bersilang, setidaknya itulah yang kita baca tentang ihwal keturunan dalam kisah-kisah kitab suci. Soal penyukuan, apakah Melayu, Jawa, Tapanuli, dan seterusnya, adalah soal penamaan pasca kacukan, yang dibuat berdasar atau berangkat dari sejumlah variabel non jasadi, seperti persoalan geografis, bahasa, perilaku, estetika, dan tindakan komunitas. Melayu, dengan demikian tak lagi soal tubuh, tapi lebih mengarah pada variabel dalaman.
Begitu pula hanya dengan identitas jasadi makhluk Riau. Ketika provinsi Riau berdiri pada tahun 1957, juga telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orang tuanya bukan Melayu. Dengan demikian, persoalan batang-tubuh, baik Melayu, maupun Riau, sudah demikian terang, bagai bersuluh matahari.
Berangkat dari batang-tubuh Melayu yang seperti itu, maka upaya memaknai Melayu sebagai “rumah yang terbuka”, tapi bertingkap dan berdaun pintu, seperti yang disarankan oleh kawan Marhalim Zaini, adalah sesuatu yang sudah demikian adanya dalam dunia Melayu zaman berzaman. Melayu tidak pernah gamang dalam soal itu. Keberanian Demang Lebar Daun menyerahkan kuasa kepada Sang Sapurba, keberanian menjadikan Karmawijaya asal Lasem sebagai Mahapatih oleh Raja Melaka, Menjadikan Daeng Kemboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau (perdana menteri), menjadikan nama Tanah Datar, Pesisir, dan Lima Puluh, sebagai nama suku di Siak Sri Inderapura, dan seterusnya, menunjukkan bahwa sedikitpun tak ada kegamangan orang Melayu dalam menjadikan dirinya sebagai rumah yang terbuka. Seorang kawan, secara berseloroh mengatakan bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap, dan siapapun bisa masuk dari celah-celah tiang yang berbeda dan terbuka lebar, baik sekedar untuk berteduh, pun berdiam lama.
Keterbukaan orang Melayu ini terbentuk karena sejak lama orang Melayu (kemaharajaan Melayu) telah bersentuhan dengan dunia luar, misalnya ketika Melaka menjadi pusat perdagangan internasional pasca jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki. Begitu pula ketika Riau-Lingga menjadikan pelabuhannya, sebagai pelabuhan bebas. Kondisi itu, dan interaksi yang tumbuh akibat bertemunya sejumlah wajah dalam perdagangan, membuat masyarakat Melayu sejak masa lampau menjelma menjadi makhluk kosmopolitan yang apresiatif.
Selain itu, keterbukaan juga menjadi sifat dasar orang Melayu. Ada sejumlah kajian dan catatan yang menjelaskan tentang keterbukaan Melayu tersebut. Hasan Junus dalam bukunya Karena Emas di Bunga Lautan (Unri Press, 2002), mengutip pandangan Emanuel Godhino de Eredia yang dimuat oleh JV Mills dalam Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, terbitan April 1930. Orang Melayu, menurut Eredia, memiliki selera yang baik dalam berpakaian, apresiatif, dan menggembirakan dalam menjalin hubungan persahabatan. Lebih menyukai sesuatu yang estetis daripada saintis. Tentu saja ada pandangan-pandangan yang buruk, tapi dalam konteks keterbukaan itu, bagi Melayu, memang sudah tabiat luhur.
Lalu ke manakah kita hendak menghala atau mengheret kemelayuan ini? Dalam perbincangan-perbincangan kebudayaan di Riau, sejak tahun 1980-an, atau yang sempat saya ikuti mulai pertengahan tahun 1990-an, bahwa semangat kemelayuan tidak lagi bermain dalam ranah penetapan jasadi, tapi lebih mengarah pada tindakan-tindakan kemelayuan itu sendiri. Beberapa kalangan berpendapat, bahwa hal yang esensi dari gerakan kemelayuan, lebih menjurus, pada bagaimana agar orang Melayu dapat bertindak sebagai orang Melayu, dalam hal yang lebih subtantif, bukan sekadar berbaju kurung atau yang serba kulit lainnya. Jika secara spiritual, kemelayuan itu sudah kukuh, maka barulah balutan baju kurung berkain samping itu, terlihat elok dan sanggam.
Tindakan kemelayuan yang subtantif itu, menurut simpulan saya dari tahun-tahun perbincangan kebudayaan yang diikuti, adalah bagaimana setiap orang Melayu memasukkan kembali sikap kemelayuan (sebuah batang yang sempat terendam) ke dalam diri, seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kesungguhan atau kegigihan, sebagai jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, sebagai laluan menuju matlamat pengabdian kepada negeri. Sikap ini, dalam pandangan saya, sama dengan gerakan kebudayaan di Jepang, yang ingin agar masyarakat Jepang pulang ke jalan Bushi (bushi-do) dan hidup dengan semangat samurai atau semangat mengabdi (saburau), tanpa perlu setiap hari berkimono dan menonton kabuki.
Ikhtiar menjadi Melayu semacam inilah yang hendak kita lakukan, selain dari mempertahankan bahasa dan wilayah estetika lainnya. Sepanjang seseorang berikhtiar melakukan hal-hal yang inti atau sari, dari semangat kemelayuan, maka ia atau dia, sudah menjadi Melayu, meski secara jasadi sebenarnya ia belum lama singgah di rumah Melayu. Selamat menjadi Melayu.***
Syaukani Al Karim, sastrawan Riau. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 20 November 2011
SECARA kejiwaan, seorang anak manusia, selalu merasa lebih nyaman dan terlindungi, ketika berada di tengah-tengah komunitas yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga sedarah, kawan sekampung, teman bermain, serta hal-hal lain yang mendekatkan secara batiniah. Kondisi dan sikap inilah, yang kemudian membuat orang, sejak dahulu kala, mulai mengurus perkara puak, kaum, suku, ras, atau bani. Lalu bertebaranlah komunitas dengan dasar pengelompokan tersebut, seperti bani Isra-El, Kaum ‘Ad, Ras Arya, dan sebagainya.
Meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai diperkatakan, bahkan ada kecenderungan semakin mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan. Di Amerika Serikat saja, persoalan ini baru “selesai” dalam beberapa dekade terakhir, dan itu pun masih dimainkan dengan sejumlah catatan. Di Isra-El, persoalan kaum dan bani, yang berhubungan langsung dengan agama, bahkan menjadi mata air peperangan dengan kawasan sekitarnya, yang entah bila akan berhenti menyembur.
Dalam risalahnya, Megatrend 2000, Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyebutkan bahwa pada abad ke-21, ada kecenderungan yang kuat untuk terjadi pengelompokan gerakan ekonomi maupun politik, melalui kesamaan ras atau suku. Naisbitt menyebut bahwa MEE, AFTA, NAFTA, dan sebagainya, merupakan indikator kebenaran, di samping maraknya semangat pulang ke rumah mimpi kebudayaan masa lalu yang melanda banyak negara (atau munculnya mata uang Euro, seakan membenarkan hal itu). Jika kita lihat pula pertikaian di beberapa tempat, seperti di Afrika dan Timur Tengah dewasa ini, pada akhirnya selalu berujung pada pertarungan gengsi antar puak dan suku. Terakhir, media massa melaporkan, bahwa Jerman mulai memperkarakan ihwal eksistensi ras mereka [Arya] dalam hubungan perkauman di negara itu.
Lalu bagaimana dengan Melayu? Bagaimana dengan Riau? Siapakah Melayu? Hendak ke manakah Melayu? Pertanyaan ini sudah kita dengar berulang-ulang dari berbagai orang awam dan sejumlah kalangan lain. Terakhir, hal ini juga menjadi pertanyaan (mungkin kegelisahan) Kawan Sastrawan Marhalim Zaini, ketika menyampaikan orasi budaya, “Akulah Melayu yang Berlari”, sempena Anugerah Sagang, 28 Oktober yang lalu. Marhalim juga sempat menyebut “kacukan”, sebagai kemungkinan identitas Melayu itu sendiri.
Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai. Naskah-naskah lama, katakanlah seperti Sejarah Melayu, sudah menjawab persoalan itu secara tuntas dan terang-benderang. Ketika orang Melayu melakukan kaji asal keturunannya, yang bermula dari Iskandar Zulkarnain dari Makaduniyah (Alexander the Great dari Macedonia), dari nasab Sulaiman ‘alaihis salam hingga ke Nusyirwan Adil raja masyriq dan maghrib, atau kajian akademis tentang kedatangan sang nenek moyang dari Yunan Selatan, dari Teluk Tongkin dan Selat Hoabin, maka batang tubuh Melayu yang “kacukan” sudah menemukan maqam-nya.
Saya kira, persoalan kacukan ini, bukan hanya soal Melayu, tapi juga puak lain, karena memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari. Pun, sebuah komunitas, kaum dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis nan bersilang, setidaknya itulah yang kita baca tentang ihwal keturunan dalam kisah-kisah kitab suci. Soal penyukuan, apakah Melayu, Jawa, Tapanuli, dan seterusnya, adalah soal penamaan pasca kacukan, yang dibuat berdasar atau berangkat dari sejumlah variabel non jasadi, seperti persoalan geografis, bahasa, perilaku, estetika, dan tindakan komunitas. Melayu, dengan demikian tak lagi soal tubuh, tapi lebih mengarah pada variabel dalaman.
Begitu pula hanya dengan identitas jasadi makhluk Riau. Ketika provinsi Riau berdiri pada tahun 1957, juga telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orang tuanya bukan Melayu. Dengan demikian, persoalan batang-tubuh, baik Melayu, maupun Riau, sudah demikian terang, bagai bersuluh matahari.
Berangkat dari batang-tubuh Melayu yang seperti itu, maka upaya memaknai Melayu sebagai “rumah yang terbuka”, tapi bertingkap dan berdaun pintu, seperti yang disarankan oleh kawan Marhalim Zaini, adalah sesuatu yang sudah demikian adanya dalam dunia Melayu zaman berzaman. Melayu tidak pernah gamang dalam soal itu. Keberanian Demang Lebar Daun menyerahkan kuasa kepada Sang Sapurba, keberanian menjadikan Karmawijaya asal Lasem sebagai Mahapatih oleh Raja Melaka, Menjadikan Daeng Kemboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau (perdana menteri), menjadikan nama Tanah Datar, Pesisir, dan Lima Puluh, sebagai nama suku di Siak Sri Inderapura, dan seterusnya, menunjukkan bahwa sedikitpun tak ada kegamangan orang Melayu dalam menjadikan dirinya sebagai rumah yang terbuka. Seorang kawan, secara berseloroh mengatakan bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap, dan siapapun bisa masuk dari celah-celah tiang yang berbeda dan terbuka lebar, baik sekedar untuk berteduh, pun berdiam lama.
Keterbukaan orang Melayu ini terbentuk karena sejak lama orang Melayu (kemaharajaan Melayu) telah bersentuhan dengan dunia luar, misalnya ketika Melaka menjadi pusat perdagangan internasional pasca jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki. Begitu pula ketika Riau-Lingga menjadikan pelabuhannya, sebagai pelabuhan bebas. Kondisi itu, dan interaksi yang tumbuh akibat bertemunya sejumlah wajah dalam perdagangan, membuat masyarakat Melayu sejak masa lampau menjelma menjadi makhluk kosmopolitan yang apresiatif.
Selain itu, keterbukaan juga menjadi sifat dasar orang Melayu. Ada sejumlah kajian dan catatan yang menjelaskan tentang keterbukaan Melayu tersebut. Hasan Junus dalam bukunya Karena Emas di Bunga Lautan (Unri Press, 2002), mengutip pandangan Emanuel Godhino de Eredia yang dimuat oleh JV Mills dalam Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, terbitan April 1930. Orang Melayu, menurut Eredia, memiliki selera yang baik dalam berpakaian, apresiatif, dan menggembirakan dalam menjalin hubungan persahabatan. Lebih menyukai sesuatu yang estetis daripada saintis. Tentu saja ada pandangan-pandangan yang buruk, tapi dalam konteks keterbukaan itu, bagi Melayu, memang sudah tabiat luhur.
Lalu ke manakah kita hendak menghala atau mengheret kemelayuan ini? Dalam perbincangan-perbincangan kebudayaan di Riau, sejak tahun 1980-an, atau yang sempat saya ikuti mulai pertengahan tahun 1990-an, bahwa semangat kemelayuan tidak lagi bermain dalam ranah penetapan jasadi, tapi lebih mengarah pada tindakan-tindakan kemelayuan itu sendiri. Beberapa kalangan berpendapat, bahwa hal yang esensi dari gerakan kemelayuan, lebih menjurus, pada bagaimana agar orang Melayu dapat bertindak sebagai orang Melayu, dalam hal yang lebih subtantif, bukan sekadar berbaju kurung atau yang serba kulit lainnya. Jika secara spiritual, kemelayuan itu sudah kukuh, maka barulah balutan baju kurung berkain samping itu, terlihat elok dan sanggam.
Tindakan kemelayuan yang subtantif itu, menurut simpulan saya dari tahun-tahun perbincangan kebudayaan yang diikuti, adalah bagaimana setiap orang Melayu memasukkan kembali sikap kemelayuan (sebuah batang yang sempat terendam) ke dalam diri, seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kesungguhan atau kegigihan, sebagai jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, sebagai laluan menuju matlamat pengabdian kepada negeri. Sikap ini, dalam pandangan saya, sama dengan gerakan kebudayaan di Jepang, yang ingin agar masyarakat Jepang pulang ke jalan Bushi (bushi-do) dan hidup dengan semangat samurai atau semangat mengabdi (saburau), tanpa perlu setiap hari berkimono dan menonton kabuki.
Ikhtiar menjadi Melayu semacam inilah yang hendak kita lakukan, selain dari mempertahankan bahasa dan wilayah estetika lainnya. Sepanjang seseorang berikhtiar melakukan hal-hal yang inti atau sari, dari semangat kemelayuan, maka ia atau dia, sudah menjadi Melayu, meski secara jasadi sebenarnya ia belum lama singgah di rumah Melayu. Selamat menjadi Melayu.***
Syaukani Al Karim, sastrawan Riau. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 20 November 2011
Kongres Bahasa Jawa Diikuti Peserta dari Luar Negeri
SURABAYA -- Peneliti Bahasa Jawa dari Australia, Suriname (Amerika Selatan), Malaysia, dan Belanda akan mengikuti Kongres Bahasa Jawa ke-5 di Surabaya pada 27-30 November.
"Mereka akan menghadiri Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya yang dibuka Mendikbud Mohammad Nuh pada 27 November malam," kata anggota panitia bidang dokumentasi, informasi, dan publikasi kongres tersebut, Aryo Tumoro di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, peserta KBJ-5 mencapai 600 orang, namun pembukaan akan dihadiri sekitar 1.200 orang. Mereka terdiri atas sinden, guru dan dosen/akademisi, mahasiswa, pengarang, budayawan, sastrawan, instansi, dan elemen lainnya.
"Para peserta akan dibagi dalam lima komisi yang membahas 50 makalah yang merupakan makalah terpilih dari 108 makalah yang diterima panitia, namun ada juga 25 makalah yang dimasukkan prosiding, di antaranya makalah peneliti dan pejabat," tuturnya.
"Sastra Jawa seperti tembang macapat, ilir-ilir Sunan Kalijogo, dan juga dolanan Jawa serta pengembangan Bahasa Jawa di kalangan gereja (Katolik) dan pesantren (Islam) juga akan dikaji dalam KBJ-5, termasuk pemasyarakatan Bahasa Jawa melalui media `online` (dalam jaringan)," ujarnya, menjelaskan.
Ia menambahkan pelaksanaan KBJ sudah berlangsung lima kali yakni KBJ-1 dilaksanakan di Semarang (Jateng), KBJ-2 di Batu (Jatim), KBJ-3 di Yogyakarta, KBJ-4 di Semarang (Jateng), dan KBJ-5 di Surabaya (Jatim).
Sumber: Antara, Kamis, 24 November 2011
"Mereka akan menghadiri Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya yang dibuka Mendikbud Mohammad Nuh pada 27 November malam," kata anggota panitia bidang dokumentasi, informasi, dan publikasi kongres tersebut, Aryo Tumoro di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, peserta KBJ-5 mencapai 600 orang, namun pembukaan akan dihadiri sekitar 1.200 orang. Mereka terdiri atas sinden, guru dan dosen/akademisi, mahasiswa, pengarang, budayawan, sastrawan, instansi, dan elemen lainnya.
"Para peserta akan dibagi dalam lima komisi yang membahas 50 makalah yang merupakan makalah terpilih dari 108 makalah yang diterima panitia, namun ada juga 25 makalah yang dimasukkan prosiding, di antaranya makalah peneliti dan pejabat," tuturnya.
"Sastra Jawa seperti tembang macapat, ilir-ilir Sunan Kalijogo, dan juga dolanan Jawa serta pengembangan Bahasa Jawa di kalangan gereja (Katolik) dan pesantren (Islam) juga akan dikaji dalam KBJ-5, termasuk pemasyarakatan Bahasa Jawa melalui media `online` (dalam jaringan)," ujarnya, menjelaskan.
Ia menambahkan pelaksanaan KBJ sudah berlangsung lima kali yakni KBJ-1 dilaksanakan di Semarang (Jateng), KBJ-2 di Batu (Jatim), KBJ-3 di Yogyakarta, KBJ-4 di Semarang (Jateng), dan KBJ-5 di Surabaya (Jatim).
Sumber: Antara, Kamis, 24 November 2011
Kamis, 24 November 2011
Kitab Kuntara Rajaniti
Boleh jadi Kitab Kuntara Rajaniti merupakan kitab zaman silam di Lampung yang paling lengkap isinya. Banyak pihak yang mengaku menyimpan kitab ini, tetapi sejauh itu belum ada yang mentranskrip serta mentranslitasinya, sehingga isinya masih tetap saja gelap. Para pemilik nampaknya masih belum memiliki keternukaan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kitab tua ini guna kepentingan umum.
Dan nampaknya kitab ini juga luput dari upaya Inventarisasi Benda Cagar Budaya (IBCB) yang dilaksanakan selama beberapa tahun era akhir 80-an dan awal 90-an. Proyek yang didanai oleh APBN itu memang tidak maksimal menginventarisasi berbagai naskah kuno yang ada di lampung, tim lebih banyak emginventarisasi artefak yang insitu. Pemegang naskah kuno cenderung merahasiakan kepemilikannya terhadap benda itu.
Nampaknya kurang matang dalam sosialisasi Undang Undang Benda Cagar Budaya (BCB) sehingga para pemegang naskah cenderung merahasiakan kepemilikan terhadap berbagai naskah kono. Mereka pastinya menghawatirkan benda benda penting itu akan diambil alih oleh Pemerintah. Sementara kepemilikan terhadap benda itu justeru dianggap penting sebagai bukti syah akan hak kewarisan tahta kebuayan dan bahkan eksistensi dari kebuaian itu sendiri.
Sebagaimana gejala yang ada bahwa hanya masing masing pewaris kebuayan yang berusaha menjaga dan mempertahankan eksistensi kebuayan masing masing, sekalipun bukan berarti menidakkan kebuaian yang lainnya. Seyogyanya masyarakat mentradisikan untuk memuliakan semua kebuayan yang ada, serta membuka berbagai bukti bukti sejarah yang mereka miliki guna kepentingan kemajuan sejarah daerah Lampung secara keseluruhan.
Kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diekspose oleh Susilowaty melalui Begawi Hehamma Blog, yaitu blog yang dikelolanya. Kitab Kuntara Raja Niti merupakan kitab adat yang menjadi rujukan bagi adat istiadat orang Lampung. Kitab ini digunakan hampir tiap-tiap subsuku Lampung, baik Pepadun maupun Pesisir. Di masing-masing kebuaian (keturunan) dari subsuku tersebut pun mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab rujukan adat Lampung.
Sayangnya, tidak semua punyimbang (pemangku adat) menyimpan manuskrip kitab tersebut. Apalagi masyarakat Lampung kebanyakan. Karena kekayaan peninggalan adat, baik yang berupa benda maupun tulisan biasanya berada di kediaman pemangku adat dari setiap kebuaian. Jika di tempat pemangku adat tidak ada, kecil kemungkinan akan didapat di tempat lain.
Sebagian para punyimbang di daerah Kotaagung mengakui kalau yang dijadikan rujukan adat istiadat mereka adalah kitab Kuntara Raja Niti, tapi mereka tidak memiliki manuskripnya. Konon manuskrip kitab tersebut telah terbakar di daerah muasal mereka, yaitu Liwa. Mereka menerima peraturan adat istiadat secara turun temurun dari pemangku adat dan tua-tua sebelumnya. Mereka menurunkan kepada generasi berikutnya pun secara lisan pula.
Sedangkan untuk daerah Kurungan Nyawa, adat istiadat mereka, baik tata cara kehidupan sehari-hari maupun acara seremonial merujuk pada kitab Kuntara Raja Niti yang sudah mengalami banyak revisi sesuai dengan tuntutan zaman. Revisi ini dilakukan oleh para pemangku adat demi keberlangsungan adat itu sendiri. Sehingga tidak menyusahkan masyarakat adat sebagai para pelaku adat. Kitab Kuntara Raja Niti yang ada di sana sudah berupa draf peraturan adat yang di ketik dan difotokopi yang sudah mengalami perubahan dan penyesuaian melalui musyawarah-musyawarah adat. Sedangkan manuskripnya tidak ada lagi.
Untuk daerah Krui yang mempunyai 16 marga, para punyimbang juga mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab adat yang berlaku di sana. Tapi hingga kini para punyimbang pun tidak tahu keberadaannya. Adat istiadat yang dipakai selama ini ditularkan melalui lisan secara turun-temurun pula. Selain Kuntara Raja Niti, di Pesisir Krui juga adat istiadatnya berdasarkan Kitab Simbur Cahya yang dipakai masyarakat adat Sumatera bagian Selatan. Para punyimbang di Krui juga sudah tidak tahu lagi akan keberadaan Kitab Simbur Cahya (KSC).
Lalu, daerah Pubian Telusuku, menggunakan Kitab Ketaro Berajo Sako (KKBS). Kitab tersebut dialihaksarakan sekaligus diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H.A. Rifai Wahid (almarhum). Semasa hidupnya, penerjemah mengatakan kitab tersebut juga merujuk kepada Kuntara Raja Niti. Sedang manuskrip Kuntara Raja Niti bisa didapat di kediaman Hasan Basri (alm.), yang bergelar Raden Imba atau secara adat disebut Dalom Kusuma Ratu. Ia merupakan keturunan Ratu Darah Putih, asal muasal dari Raden Intan II. Kediamannya di Desa Kuripan, Penengahan, Lampung Selatan. Manuskrip tersebut bernama lengkap kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda. Ditulis sekitar abad ke-17--18. Ini bisa dilihat dari jenis tulisan yang digunakan.
Kitab Kuntara Rajaniti yang diwariskan oleh Ratu darah Putih ditulis dengan hurup pegon atau pego’ yaitu aksara Arab berbahasa Banten, namun Kitab itu memang diperuntukkan bagi anak keturunan darah Putih. Kopy kitab ini pernah dipamerkan pada waktu Pameran Pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Provinsi sekitar 10 tahun yang lalu, dan ada beberapa pengunjung stand Pemerintah Lampung selatan yang diberikan kesempatan untuk mengkopynya. Kitab itulah nampaknya yang beredari di tangan masyarakat umum, tetapi hingga sekarang belum ada yang mentranskrip dan mentransliterasinya, serta mempublikasikannya.
Tetapi melalui blognya Susilawati menuliskan prihal Kitab Kuntara Tajaniti ini antara lain diceritakan bahwa kitab itu dibagi dalam dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung kuno, bagian kedua ditulis dengan huruf pegon. Sebagian dari rujukan penulisan kitab itu sendiri sebenarnya adalah perundang undangan yang pernah diberlakukan di majapahit, lalu penulisan itu dimaksudkan sebagai kitab undang undang yang akan diberlakukan baik di Banten maupun di Lampung sendiri, sehingga Lampung dan banten memiliki rujukan undang undang sama.
Kesamaan antara Lampung dengan Banten adalah kepenganutan terhadap agama Islam. Walaupun bagaimana Kesultanan Banten didirikan bukan semata dalam rangka mempertahan kedaulatan wilayah, tetapi juga yang lebih penting adalah penyiaran agama Islam. Oleh karenanya maka kitab yang mereka tulis tentu saja harus merujuk kepada ajaran agama Islam. Pebgaruh islam disini bukan hanya akan tampak pada isinya, tetapi yang sangat jelas sekali adalah penggunaan aksara pegon, yang berbasis huruf Arab, adalah bukti yang tidak terbantahkan akan pengaruh Islam serta kegiatan dakwah di wilayah Banten dan lampung.
Pengaruh Islam di Lampung nantinya juga akan terbukti dengan berubahnya nama dari “PIIL menjadi PIIL PESENGGIRI”. Bukan hanya sebuah perubahan nama, tetapi isi dari piil pesenggiri atas pengaruh Islam telah berubah 180 derajat.
Rabu, 16 November 2011
NASKAH SYA'IR LAMPUNG KARAM
SYA’IR LAMPUNG KARAM
Orang banyak nyatalah tentu
Bilangan lebih daripada seribu
Mati sekalian orangnya itu
Ditimpa lumpur, api dan abu
Pulau sebuku dikata orang
Ada seribu lebih dan kurang
Orangnya habis nyatalah terang
Tiadalah hidup barang seorang
Rupanya mayat tidak dikatakan
Hamba melihat rasanya pingsan
Apalah lagi yang punya badan
Harapkan rahmat Allah balaskan.
Naskah berjudul Syair Lampung Karam
Karya : Muhammad Saleh.
Latar belakang Tsunami dan meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883
Dicetak dengan menggunakan aksara Jawi (tulisan Arab berbahasa Indonsia / Melayu)
Naskah ini ditemukan oleh seorang ahli filologi Suryadi, seorang dosen Leyden University 127 tahun kemudian. Naskah langka ini telah berserakan halaman halamannya di lima Negara yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia dan Indonesia. Naskah ditulis dengan latar belakang pristiwa tsunami pertama di Indonesia, yaitu tsunami yang muncul akibat meletusnya Krakatau (Krakatoa, Carcata)
Sebagaimana kita ketahui bahwa letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tanggal 26, 27 dan 28 Agustus 1883 itu adalah letusan yang sangat dahsyat, hempasan ombak besar akibat tsunami pada saat itu mencapai hingga dibeberapa Negara di belahan Eropa. Itulah sebabnya serentak masyarakat menulis dan mempublikasikan tulisan itu di media massa selama berhari hari secara berturut turut atau dicetak dalam bentuk buku untuk umum. Tulisan mengenai meletusnya Gunung Krakatau ini dalam berbagai versi diperkirakan mencapai ribuan naskah.
Namun walaupun demikian ada satu naskah yang terlewatkan, yaitu naskah lampung Karam yang ditulis oleh Muhammad Shaleh, naskah ini dicetak di Singapura dalam bentuk buku saku dengan menggunakan Aksara Jawi, Yaitu tulisan Arab dengan bahasa Indonesia/ melayu. Pada saat itu dengan telah masuknya agam Islam di Indonesia maka huruf Jawi sangat lazim digunakan untuk berbagai aktivitas pebulisan dan percetakan serta komunikasi lainnya.
Sebuah besi besar yang oleh masyarakat disebut Bom terhampar didataran Telukbetung Bandar Lampung, benda raksasa ini sebenarnya adalah besi tambatan kapal di pelabuhan, diketemukan di Taman Dipangga depan Kantor Polda Lampung, kini telah dipindahkan di Museum Ruwa Jurai Lampung. Masid Al-Anwar yang terletak di Jl. Malahayati Telukbetung, luluhlantak diterjang Tsunami Krakatau tahun 1883. Mesjid tersebut telah di bangun kembali dan tetap berdiri hingga sekarang.
Banyak saksi bisu pristiwa pristiwa tsunami Karakatau ini, itulah sebabnya karya Muhammad Shaleh dengan judul Lampung Karam tersebut diatas menjadi istimewa karena Muhammad Shaleh adalah saksi mata pristiwa yang menelan kurban nyawa mencapai 30.000-an orang itu. Walaupum yang bersangkutan hanya sempat melihat dan memperkirakan sekitar seribuan orang yang terkubur di pulau Sebuku.
Kita menduga sipenulis melihat langsung pristiwa itu, dan Ia sendiri selamat dari amukan ombak, tetapi Ia pindah ke Bangkahulu Singapura, tulisannya baru dicetak setelah tiga tahun dari pristiwa. Mungkin tidaklah banyak eksemplar yang diterbitkan, sehingga naskah itu tercerai berai hingga ke lima Negara. Tetapi sejauh itu penulis tidak menceritakan berada di posisi mana sebenarnya Ia ketika peristiwa yang mengerikan ini terjadi.
Kalaupun aksara yang digunakan itu aksara Jawi, hal tersebut tidaklah mengherankan karena pada abad ke 18 memang Kitab Kitab yang ditulis oleh para ulama Nusantara sudah banyak beredar, dan walaupun pada umumnya masyarakat masih buta huruf, tetapi mereka tidak buta huruf al-Quran. Itulah sebabnya karya karya besar para ulama Nusantara ditulis dengan menggunakan huruf Jawi ini.
Berdasarkan cerita turun temurun bahwa masyarakat Telukbetung sekitar tahun 1880-an kedatangan seorang ulama bernama Ahmad Shaleh, beliau adalah ahli agama, dia seorang ulama, yang oleh masyarakat sekitar di Telukbetung memanggil beliau sebagai Tuan Penghulu, beliau adalah salah satu plopor pembangunan masjid Al-Anwar tersebut di atas. Tetapi apakah Amad Sholeh yang ini yang menulis naskah lampung karam. Wallohua’lam bishowab.
Minggu, 13 November 2011
KOMUNIKASI : Bahasa Daerah Tembus Dunia Digital
Lampost Minggu, 13 November 2011
BANDAR LAMPUNG—Bahasa daerah ternyata mampu mengikuti perkembangan zaman. Beberapa situs di dunia maya, seperti pada situs ensiklopedia bebas Wikipedia, banyak artikel yang dibuat berbahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Banyumas, Aceh, dan Banjar.
Sebagai ensiklopedi yang mengandalkan inisiatif sukarelawan, perintisan artikel dalam berbagai bahasa daerah ini tidaklah mudah. Wikipediawan bahasa Jawa, Prasetyo (61) dan Ichsan Mochtar (39), harus memutar otak untuk menambah jumlah artikel. "Dulu kontributor aktifnya cuma tiga orang. Jumlah artikelnya juga masih sedikit," kata Pras, Sabtu (12-11).
Untungnya dengan mengadakan lomba menulis artikel bernama Papad Limpad pada Maret 2011, mereka berhasil meningkatkan minat masyarakat untuk berkontribusi di Wikipedia. Kini jumlah artikel berbahasa Jawa mencapai lebih dari 37 ribu dengan 13 wikipediawan aktif.
Bagi Pras, menulis artikel di dunia maya merupakan sebuah upaya pelestarian bahasa.
"Sebagai bahasa percakapan, bahas Jawa memang masih banyak digunakan, tapi tidak ditulis. Nah, kalau tidak dituliskan, saya dan teman-teman khawatir bahasa ini akan punah," kata Pras.
"Menulis artikel di Wikipedia ini sama halnya membuat sebuah prasasti era modern yang bisa dibaca banyak orang. Sampai kapan pun, selama situs ini ada, kita masih bisa melestarikannya," kata Ichsan.
Meramu bentuk tulis, Pras dan kawan-kawan juga mengaku mempunyai hambatan. Pertama, karakter bahasa Jawa mengenal bahasa kromo (halus) dan ngoko (rakyat biasa). Pengucapan dan penulisannya pun kadang berbeda hingga kadang bermakna ambigu.
Belum lagi kata-kata baru dalam dunia teknologi atau ilmu pengetahuan membuat wikipediawan sulit menemukan kata yang pas dalam bahasa Jawa. Misalnya dalam artikel tentang internet, dikenal istilah login dan logout.
Karena tak ada padanan katanya, wikipediawan memutuskan untuk menggunakan istilah mlebulog dan metulog. Pada bahasa Jawa, mlebu berarti ‘masuk’ dan metu berarti ‘keluar’.
"Misalnya ada juga istilah page diganti dengan kaca, link diganti pranala, delete diganti busak, dan footnote diganti jadi catetan sikil," ujar Pras.
Sebagai pengguna internet, Nunung Martina mengaku sangat mengapresiasi upaya wikipediawan ini. Dia yang asli Jawa malah tak pernah menulis dalam bahasa ibunya itu. "Setelah melihat banyak artikel berbahasa Jawa, saya jadi terdorong untuk lebih mengenal lebih jauh bahasa sendiri. Sekarang anak saya sudah mulai diajari lagi bahasa Jawa. Untungnya dia tertarik." BAHASA LAMPUNG...Hlm.2
BANDAR LAMPUNG—Bahasa daerah ternyata mampu mengikuti perkembangan zaman. Beberapa situs di dunia maya, seperti pada situs ensiklopedia bebas Wikipedia, banyak artikel yang dibuat berbahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Banyumas, Aceh, dan Banjar.
Sebagai ensiklopedi yang mengandalkan inisiatif sukarelawan, perintisan artikel dalam berbagai bahasa daerah ini tidaklah mudah. Wikipediawan bahasa Jawa, Prasetyo (61) dan Ichsan Mochtar (39), harus memutar otak untuk menambah jumlah artikel. "Dulu kontributor aktifnya cuma tiga orang. Jumlah artikelnya juga masih sedikit," kata Pras, Sabtu (12-11).
Untungnya dengan mengadakan lomba menulis artikel bernama Papad Limpad pada Maret 2011, mereka berhasil meningkatkan minat masyarakat untuk berkontribusi di Wikipedia. Kini jumlah artikel berbahasa Jawa mencapai lebih dari 37 ribu dengan 13 wikipediawan aktif.
Bagi Pras, menulis artikel di dunia maya merupakan sebuah upaya pelestarian bahasa.
"Sebagai bahasa percakapan, bahas Jawa memang masih banyak digunakan, tapi tidak ditulis. Nah, kalau tidak dituliskan, saya dan teman-teman khawatir bahasa ini akan punah," kata Pras.
"Menulis artikel di Wikipedia ini sama halnya membuat sebuah prasasti era modern yang bisa dibaca banyak orang. Sampai kapan pun, selama situs ini ada, kita masih bisa melestarikannya," kata Ichsan.
Meramu bentuk tulis, Pras dan kawan-kawan juga mengaku mempunyai hambatan. Pertama, karakter bahasa Jawa mengenal bahasa kromo (halus) dan ngoko (rakyat biasa). Pengucapan dan penulisannya pun kadang berbeda hingga kadang bermakna ambigu.
Belum lagi kata-kata baru dalam dunia teknologi atau ilmu pengetahuan membuat wikipediawan sulit menemukan kata yang pas dalam bahasa Jawa. Misalnya dalam artikel tentang internet, dikenal istilah login dan logout.
Karena tak ada padanan katanya, wikipediawan memutuskan untuk menggunakan istilah mlebulog dan metulog. Pada bahasa Jawa, mlebu berarti ‘masuk’ dan metu berarti ‘keluar’.
"Misalnya ada juga istilah page diganti dengan kaca, link diganti pranala, delete diganti busak, dan footnote diganti jadi catetan sikil," ujar Pras.
Sebagai pengguna internet, Nunung Martina mengaku sangat mengapresiasi upaya wikipediawan ini. Dia yang asli Jawa malah tak pernah menulis dalam bahasa ibunya itu. "Setelah melihat banyak artikel berbahasa Jawa, saya jadi terdorong untuk lebih mengenal lebih jauh bahasa sendiri. Sekarang anak saya sudah mulai diajari lagi bahasa Jawa. Untungnya dia tertarik." BAHASA LAMPUNG...Hlm.2
Minggu, 06 November 2011
Mengenal Aksara Sunda Kuno (Ngalagena)
oleh UNTAIAN MUTIARA NUSANTARA
Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena.Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18.Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno (GAMBAR 1) :
Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.
Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.
Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli.
Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma (GAMBAR 2).
Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.
Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.
Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.
Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda (GAMBAR 3) :
Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda (GAMBAR 4) :
Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda (GAMBAR 5) :
Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda
Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena.Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18.Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno (GAMBAR 1) :
Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.
Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.
Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli.
Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma (GAMBAR 2).
Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.
Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.
Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.
Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda (GAMBAR 3) :
Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda (GAMBAR 4) :
Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda (GAMBAR 5) :
Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda
Jumat, 04 November 2011
NASKAH PRASASTI BATU BERTULIS DI LAMPUNG
Disarikan dari berbagai sumber.
Prasasti batu Bertulis adalah merupakan naskah tulis, produk era masyarakat yang telah mengenal aksara dan kegiatan tulis menulis. Prasasti memiliki pran yang sangat penting dalam membawakan informasi kepada masyarakat, terutama masyarakat generasi yang kemudian. Tentu apa yang tertulis dalam prasasti itu merupakan aktivitas yang selanjutnya dapat diketahui dan menjadi pelajaran bagi semua. Apalagi prasasti itu pada umumnya dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah yang berkuasa, atau pihak pihak yang memiliki cita cita. sehingga layak menjadi catatan sejarah.
Prasasti Prasasti ini juga mempermaklum perihal kekuasaan, penguasa, system pemerintahan serta dinamika masyarakat yang terangkum dalam prasasti itu akan menjadi catatan sejarah dan sekaligus untuk memahami identitas penduduk negeri ini. Itulah makna penting prarasasti yang ada beberapa diantaranya terdapat diwilayah Provinsi lampung. isi prasasti di Lampung mulai dari kutykan dari penguasa sampai dengan naskah doa doa. Sayang sekali sebagian besar dari naskah batu bertulis di Lampung ini sudah usang termakan usia, sehingga isi naskah yang tertulis itu tidak dapat terbaca secara lengkap, sehingga sulit bagi kita untuk memahami isinya.
Dalam penelitian arkeologi dan sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sezaman yang amat penting. Karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari Daerah Lampung, sampai saat ini telah ditemukan 9 prasasti yang berasal dari zaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai 15 Masehi. Kesembilan prasasti tersebut adalah:
1. Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)
Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hamper sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1) siddha kitaÅ‹ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haÅ‹kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteÅ‹ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maÅ‹ra [ksa yaÅ‹ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaÅ‹ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraÅ‹ di dalaÅ‹na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaÅ‹ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….
2. Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7)
Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaanya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke 7.
4. Prasasti Hujunglangit/Bawang (akhir abad ke 10)
Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut.
Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.
Dari akhir abad ke 10, prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha.
Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari.
5. Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10)
Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.
6. Prasasti Ulubelu (abad ke 14)
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M.
7. Prasasti Batu bedil
Prasasti berada pada kompleks situs megalitik batu bedil, pada lahan seluas 100 x 50 m. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Oleh Pemerintah Daerah Lampung, di lahan ini telah dibuat taman yang dilengkapi dengan jalan setapak, tempat beristirahat, dan rumah informasi. Kompleks Batu Bedil I atau Kompleks Megalitik dan Prasasti juga telah di pagar kawat. Pemagaran ini dilakukan oleh P3SPL (Proyek Pelaksana Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Lampung) pada tahun 1991.
Pintu masuk lahan berada di sebelah selatan. Pada lahan ini selain terdapat prasasti juga terdapat sekelompok menhir yang membentuk formasi segiempat. Selain itu di lokasi ini juga terdapat sebaran batu-batu besar.
Prasasti berada pada titik koordinat 05°18,637’ LS dan 104°42,041’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang sudah tidak terbaca lagi.
Di sebelah barat prasasti terdapat 14 menhir yang membentuk formasi segi empat. Menhir-menhir tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan adanya temuan artefaktual berupa pecahan keramik dan tembikar.
Sebaran batu yang terdapat di daerah Batu Bedil ini juga dapat ditemukan di beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di sebelah barat pagar Kompleks Prasasti berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Selain itu di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Sebaran batu tersebut berada di kebun kopi milik penduduk setempat.
Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.
Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.
9. Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha (abad ke 15)
Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya).
Prasasti batu Bertulis adalah merupakan naskah tulis, produk era masyarakat yang telah mengenal aksara dan kegiatan tulis menulis. Prasasti memiliki pran yang sangat penting dalam membawakan informasi kepada masyarakat, terutama masyarakat generasi yang kemudian. Tentu apa yang tertulis dalam prasasti itu merupakan aktivitas yang selanjutnya dapat diketahui dan menjadi pelajaran bagi semua. Apalagi prasasti itu pada umumnya dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah yang berkuasa, atau pihak pihak yang memiliki cita cita. sehingga layak menjadi catatan sejarah.
Prasasti Prasasti ini juga mempermaklum perihal kekuasaan, penguasa, system pemerintahan serta dinamika masyarakat yang terangkum dalam prasasti itu akan menjadi catatan sejarah dan sekaligus untuk memahami identitas penduduk negeri ini. Itulah makna penting prarasasti yang ada beberapa diantaranya terdapat diwilayah Provinsi lampung. isi prasasti di Lampung mulai dari kutykan dari penguasa sampai dengan naskah doa doa. Sayang sekali sebagian besar dari naskah batu bertulis di Lampung ini sudah usang termakan usia, sehingga isi naskah yang tertulis itu tidak dapat terbaca secara lengkap, sehingga sulit bagi kita untuk memahami isinya.
Dalam penelitian arkeologi dan sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sezaman yang amat penting. Karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari Daerah Lampung, sampai saat ini telah ditemukan 9 prasasti yang berasal dari zaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai 15 Masehi. Kesembilan prasasti tersebut adalah:
1. Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)
Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hamper sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1) siddha kitaÅ‹ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haÅ‹kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteÅ‹ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maÅ‹ra [ksa yaÅ‹ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaÅ‹ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraÅ‹ di dalaÅ‹na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaÅ‹ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….
2. Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7)
Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaanya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke 7.
4. Prasasti Hujunglangit/Bawang (akhir abad ke 10)
Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut.
Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.
Dari akhir abad ke 10, prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha.
Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari.
5. Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10)
Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.
6. Prasasti Ulubelu (abad ke 14)
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M.
7. Prasasti Batu bedil
Prasasti berada pada kompleks situs megalitik batu bedil, pada lahan seluas 100 x 50 m. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Oleh Pemerintah Daerah Lampung, di lahan ini telah dibuat taman yang dilengkapi dengan jalan setapak, tempat beristirahat, dan rumah informasi. Kompleks Batu Bedil I atau Kompleks Megalitik dan Prasasti juga telah di pagar kawat. Pemagaran ini dilakukan oleh P3SPL (Proyek Pelaksana Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Lampung) pada tahun 1991.
Pintu masuk lahan berada di sebelah selatan. Pada lahan ini selain terdapat prasasti juga terdapat sekelompok menhir yang membentuk formasi segiempat. Selain itu di lokasi ini juga terdapat sebaran batu-batu besar.
Prasasti berada pada titik koordinat 05°18,637’ LS dan 104°42,041’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang sudah tidak terbaca lagi.
Di sebelah barat prasasti terdapat 14 menhir yang membentuk formasi segi empat. Menhir-menhir tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan adanya temuan artefaktual berupa pecahan keramik dan tembikar.
Sebaran batu yang terdapat di daerah Batu Bedil ini juga dapat ditemukan di beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di sebelah barat pagar Kompleks Prasasti berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Selain itu di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Sebaran batu tersebut berada di kebun kopi milik penduduk setempat.
Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.
Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.
9. Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha (abad ke 15)
Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya).
Senin, 31 Oktober 2011
(buku) KERAJAAN SRIWIJAYA
Judul: Kerajaan Sriwijaya
Penulis: Erwan Suryanegara bin Asnawi Jayanegara, dkk.
Penerbit: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Selatan
Cetakan: 1 tahun 2008 Pimpinan Pelaksana Proyek: Dra. Hj. Dewi Astenia, M.Ed
Penanggung Jawab: Drs. Amalani
Pendahuluan
JAUH sebelum Indonesia memasuki masa sejarah, masyarakat di seantero bumi Nusantara belum mengenal budaya tulis-menulis atau disebut masa Nirleka (tanpa tulisan; pra-aksara; prasejarah). Walaupun masih dalam masa prasejarah, di Sumatra Bagian Selatan, tepatnya di Dataran Tinggi Pasemah, saat itu telah ada kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan tinggi.
Sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) hingga 1000 SM, masyarakat prasejarah yang menetap di Dataran Tinggi Pasemah, sudah mengenal atau menghasilkan karya-karya budaya dengan tradisi megalitik (batu besar). Keberadaan karya-karya budaya tersebut erat kaitannya dengan tradisi atau kepercayaan asli bangsa Indonesia, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hingga kini artefak-artefak peninggalan tradisi megalitik itu, masih dapat dijumpai di sekitar Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, hingga ke Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Jambi.
Van der Hoop mengatakan tradisi megalitik Indonesia telah dimulai sejak ± 2000 SM. R.P Soejono mengatakan di Nias, Toraja (Sulawesi), Sumba, dan Flores hingga saat ini tradisi megalitiknya masih hidup dan terus berlanjut hingga sekarang (living megalithic tradition), sedangkan artefak Megalitik Pasemah tergolong monumen megalitik yang sudah tidak dipakai lagi (dead monuments).
Temuan-temuan peninggalan dari masyarakat yang memiliki tradisi megalitik di bumi Pasemah ini, sangat beragam jenis maupun jumlah satuannya. Artefak-artefak itu, antara lain, berupa lukisan di dinding bilik kubur batu, gambar di permukaan bongkahan batu dan di dinding batu dengan teknik gores atau toreh (batu bergores dan dinding batu bergores), patung batu, kubur batu, menhir, batu datar, lumpang batu, dolmen, dan batu tegak (kosala). Dari sekian banyak jenis itu, patung (idol=pujaan) Megalitik Pasemah merupakan jenis temuan yang terbanyak jumlah satuannya.
Berdasarkan kajian antropologi, arkeologi, dan seni rupa dapat diketahui, artefak-artefak purba di Dataran Tinggi Pasemah memiliki keunikannya yang khas, dan merupakan hasil karya budaya suatu masyarakat prasejarah yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Bahkan, jika merujuk dengan keragaman karya-karya rupa yang telah dihasilkan oleh masyarakat di lereng gunung Dempo kala itu, baik berupa patung, lukisan, gerabah, manik-manik, hiasan (ornamen), dan termasuk arsitekturnya dapat dikatakan bahwa seni rupa di bumi Nusantara mulai, dan terus-menerus mengalami keragaman dan perkembangannya hingga sampai pada seni rupa Indonesia hari ini, berawal dari tradisi Megalitik Pasemah.
Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah
Letak kawasan pesisir timur Sumatra Selatan dari pendekatan geohistoris punya posisi yang strategis dalam konfigurasi persebaran situs-situs arkeologi di pulau Sumatra. Kedudukan yang terletak antara negeri Cina dan India telah memungkinkan daerah-daerah pesisir di wilayah ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur barat dan timur, pun sebaliknya.
Ahli epigrafi Louis Charles Damais mengatakan, sumber-sumber kesusasteraan asing (luar Indonesia), khususnya dari India, menyebut nama Sumatra, antara lain dari Kitab Milindapanca yang ditulis sekitar abad ke-1 SM, sedangkan Kitab Mahanidesa yang ditulis sekitar abad ke-3 Masehi menyebut nama beberapa pulau, seperti Swarnabhumi (Sumatra), Jawadwipa (Jawa), dan Wangka (Bangka). Demikian pula sumber Cina, antara tahun 245 M sampai 473 M, juga mencatat beberapa nama tempat seperti Tu-po (Cho-ye), Ho-lo-tan, Po-huang, Kan-to-li, dan Ko-ying, yang semuanya terletak di daerah “Laut Selatan” .
Jarak antara “Laut Selatan” dengan negeri Cina sekitar 5000 li. Mengingat catatan tersebut kebanyakan dibuat oleh para pedagang atau musafir dalam pelayarannya dari Cina ke India atau sebaliknya, maka diduga bahwa daerah yang dimaksud dengan “Laut Selatan” dalam catatan Cina tersebut adalah wilayah Indonesia bagian barat, atau terletak di sekitar antara Selat Malaka dan Laut Jawa sekarang. Dalam catatan I-tsing, yang ditulis sekitar abad ke-7 Masehi, terdapat nama-nama daerah yang langsung berhadapan dengan laut atau disebut chou yang terletak di pantai timur Sumatra. Menurut I-tsing, nama-nama tersebut dari arah barat adalah Po-lu-shi, Mo-le-you, Mo-ho-sin, dan Ho-ling. Menurut peneliti Wolters, Po-lu-shi itu identik dengan nama Barus, suatu tempat yang terletak di bagian utara pulau Sumatra. Sementara, peneliti Takakusu menginterpretasikan Mo-ho-sin sebagai nama Mukha Asin yang identik dengan Banyu Asin (Banyuasin).
Walaupun saat itu masyarakat Nusantara belum mengenal tulisan, namun dari catatan di atas diuraikan bahwa pulau-pulau tertentu di Nusantara kala itu sangat subur dan menghasilkan beras, emas, cula badak, kayu cendana, dan komoditas lain. Menurut hasil penelitian, J.L. Brandes, ahli tentang kebudayaan Nusantara, menjelang masuk ke periode sejarah (mulai mengenal tulisan), penduduk Nusantara telah mengenal beberapa kepandaian, yakni dapat membuat figur manusia atau hewan (patung atau arca), mengenal pola-pola hias, mengenal instrumen musik, mengetahui cara mengecor logam, mengembangkan tradisi lisan, mengenal alat tukar, mengenal teknik navigasi, mengetahui ilmu astronomi, melaksanakan irigasi pertanian, dan mengenal tatanan masyarakat yang sudah teratur dan tertata baik.
Munculnya kerajaan Sriwijaya di bumi Nusantara menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama berkaitan dengan masa-masa pra-Sriwijaya. Realitas sejarah menunjukkan pada abad ke-7 muncul sebuah kerajaan (Sriwijaya) yang dalam waktu relatif singkat dapat berkembang menjadi besar dan kuat sehingga memegang peranan dan berpengaruh di kawasan Asia.
Sekitar satu abad menjelang munculnya Sriwijaya, di pesisir timur Sumatra mulai memperlihatkan kemajuan yang berarti. Di Kota Kapur, pulau Bangka (tempat ditemukannya Prasasti Kota Kapur dari masa Sriwijaya), telah ditemukannya dua buah candi (Candi I dan II) yang terbuat dari material batu putih. Hasil penelitian karbon (C14) yang diperoleh dari tempat di bawah reruntuhan candi, memperlihatkan suatu usia (awal abad ke-6 Masehi) yang berarti lebih tua dari umur kemunculan Sriwijaya.
Pada bangunan Candi II, yang tersisa hanya bagian kaki candinya itu, di bagian tengahnya terdapat sebuah batu bulat yang menancap menyerupai menhir. Pada salah satu sisinya, terdapat tanda-tanda adanya saluran kecil semacam somasutra yang menghubungkan antara menhir itu dengan bagian sisi luar bangunan. Pada sisa bangunan Candi I, para peneliti juga menemukan dua arca serta sejumlah pecahan (fragmen) tangan arca. Kedua arca tersebut menggambarkan arca Wisnu yang secara ikonografis (ilmu tentang arca kuno) dapat dikelompokkan sebagai arca-arca produk abad ke-6 Masehi pula.
Selain penemuan yang bersifat artefak aktivitas religius itu, pada tahun 2000-an, di pemukiman transmigrasi Karangagung Tengah, desa Karangmukti dan Mulyo-agung, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan ditemukan situs pemukiman masyarakat kuno yang diduga hidup pada menjelang masa sejarah (abad ke-4 Masehi). Hal ini membuktikan, bahwa sebelum kemunculan Sriwijaya sebagai kekuatan besar di kawasan Asia pada sekitar abad ke-7 Masehi, telah ada masyarakat yang memiliki pemukiman padat di wilayah Sumatra Selatan.
Kerajaan-kerajaan Awal di Nusantara
Setelah tulisan atau aksara mulai digunakan di Nusantara, maka perjalanan sejarah di bumi Nusantara memasuki lembar baru, yaitu babak sejarah. Sumber sejarah Indonesia di masa-masa awal (purba) sangatlah terbatas jumlahnya. Sumber sejarah dalam negeri yang ada hanya berupa benda-benda temuan bersifat artefaktual, khususnya batu bertulis atau prasasti, namun yang cukup membantu adalah adanya sumber-sumber asing berupa berita atau catatan-catatan (kronik) terutama dari Cina, India, dan juga Arab.
Diberitakan, setelah hubungan pelayaran dan perdagangan dunia ketika itu khususnya di wilayah Asia semakin ramai, dengan ditemukannya jalur laut antara Romawi dan Cina. Rute baru jalur laut hubungan dagang antara Cina dengan Romawi itu, nampaknya telah mendorong pula hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Nusantara. Karena posisi Nusantara yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dan transaksi dagang antara Nusantara dengan Cina dan juga India.
Melalui hubungan dagang antara Nusantara dengan India, maka secara lambat laun budaya dan agama Budha-Hindu masuk, dianut oleh para raja-raja dan bangsawan, kemudian tersebar di Nusantara. Berawal dari keluarga raja dan para bangsawan itulah agama Budha-Hindu tersebar luas sampai ke lingkungan rakyat biasa.
Dalam sejarahnya, penyiaran budaya dan agama Budha lebih dahulu masuk ke Nusantara dibandingkan dengan budaya dan agama Hindu. Tersiarnya ajaran Budha di Nusantara itu, diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan beberapa patung batu, beberapa diantaranya ditemukan di Palembang. Sejak masuknya pengaruh budaya dan agama Budha-Hindu di Nusantara, maka semula masyarakatnya hanya mengenal sistem suku atau kepala suku (interpares), lambat laun berganti dengan sistem raja atau kerajaan.
Kerajaan Kutai
Diawali ketika Prasasti Kutai yang berangka tahun 400 M ditemukan di pulau Kalimantan, maka dapat diketahui bahwa pada saat itulah masa sejarah Indonesia dimulai. Nama prasasti ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuannya, yakni di daerah Kutai, di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dari prasasti lain yang berhasil ditemukan di daerah ini, tidak satupun yang menyebutkan nama kerajaan tersebut, sehingga oleh para ahli, kerajaan ini diberi nama kerajaan Kutai dan disepakati merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan Kutai mendapat pengaruh budaya dan agama Hindu. Raja-raja Kutai yang dapat diketahui adalah Kudungga (kepala suku yang menjadi raja), Aswawarman, dan Mulawarman. Di masa pemerintahan Mulawarman inilah kerajaan Kutai mengalami masa keemasan, rakyatnya dapat hidup sejahtera dan aman.
Kerajaan Tarumanegara
Setelah ditemukannya Prasasti Kutai, di wilayah Ciaruteun (Bogor), Jawa Barat, juga ditemukan prasasti batu bertulis, dikenal sebagai Prasasti “Batutulis” Bogor, yang tidak terdapat angka tahunnya. Namun dengan perbandingan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang digunakan, prasasti ini diperkirakan berasal dari masa ± abad ke-5 Masehi. Pada prasasti itu disebutkan bahwa di daerah ini ada kerajaan yang bernama kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang bernama Purnawarman.
Dalam berita Cina pada masa Dinasti Tang, seorang pendeta Cina yang bernama Fa-Hien pernah terdampar di pantai pulau Jawa (414 M). Selanjutnya dia menuliskan bahwa masyarakat yang dijumpainya itu, telah mendapat pengaruh Hindu dan merupakan masyarakat kerajaan Tarumanegara. Pada Prasasti Ciaruteun, dipahatkan dua buah tapak kaki seperti tapak kaki Dewa Wisnu yang merupakan simbol tapak kaki Purnawarman sebagai raja yang gagah berani.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan yang mengutip pendapat Louis Charles Damais, pada awal atau sebelum kerajaan Tarumanegara mendapat pengaruh Hindu, nama kerajaan ini adalah kerajaan Aruteun, mengingat berita-berita Cina yang menyebutkan adanya kerajaan yang bernama Ho-lo-tan (Aruteun).
Kerajaan Holing
Dalam berita Cina lain, masih dalam masa Dinasti Tang, seorang pendeta yang bernama I-tsing menyebutkan sahabatnya pergi ke suatu tempat yang bernama Holing pada tahun 664 M untuk mempelajari agama Budha. Selain itu, juga diberitakan bahwa kerajaan Holing telah beberapakali mengirim utusan ke Cina. Kerajaan Holing tersebut diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Diberitakan juga dalam menjalankan pemerintahannya, kebijakan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana.
Lokasi atau letak kerajaan Holing sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan para ahli sejarah. Berdasarkan berita-berita asing, diperkirakan kerajaan Holing terletak di pulau Jawa, yaitu Kalingga di Jawa Tengah atau Keling di lembah sungai Brantas. Namun menurut J.L. Moens, kerajaan Holing itu terletak di Semenanjung Malaka (Malaysia), karena di daerah Malaka ini juga ditemukan sebuah daerah yang bernama Keling.
Terlepas dari keragaman pendapat para ahli sejarah tersebut, yang jelas kerajaan Holing ini diduga kuat terletak di pulau Jawa. Hal tadi didasarkan pada kata She-po yang juga dipakai sebagai nama lain dari Holing, dan kata She-po ini merupakan penyebutan orang Cina untuk nama Jawa.
Kerajaan Bangka
Ketika pendeta I-tsing, berdasarkan catatan perjalanannya tahun 685 M, urut-urutan negeri dari barat ke timur, dituliskan nama Mo-ho-hsin sesudah Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan sebelum Ho-ling. Artinya, Mo-ho-hsin terletak di antara Sriwijaya dan Holing. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, setidak-tidaknya pelayaran dari Sriwijaya ke Holing harus terlebih dahulu melalui tempat yang bernama Mo-ho-hsin.
Para ahli sejarah masih belum sampai pada kata sepakat dalam mengidentifikasi tentang Mo-ho-hsin. Namun, berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pantai barat pulau Bangka menunjukkan, pada abad ke-7 Masehi di daerah ini terdapat sebuah negeri taklukan Sriwijaya yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di pulau Bangka.
Sampai sekarang memang belum dapat dipastikan terjemahan yang tepat terhadap kata Mo-ho-hsin. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, besar kemungkinan kata Mo-ho-hsin berhubungan dengan kata Sanskerta, moha, yang berarti “bingung” atau “linglung.” Dengan demikian, mungkin bukan suatu kebetulan jika sekarang pulau ini bernama Bangka, karena dari sana timbul istilah tua-bangka yang biasanya ditujukan kepada orang yang sudah tua dan bingung.
Kerajaan Seputih
Pada catatan pendeta Fa-Hsien (414 M), diberitakan kapal yang ditumpanginya terdampar di negeri yang bernama Yeh-po-ti. Identifikasi para ahli sejarah tentang negeri ini juga masih simpang-siur.
Adalah G.E. Gerini berpendapat bahwa Yeh-po-ti terletak di pantai timur Sumatra, namun lokasi tepatnya tidak dijelaskan. Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat bahwa Yeh-po-ti adalah terjemahan dari nama Seputih, daerah sekitar Way Seputih, daerah pantai timur Lampung. Menurut data arkeologi, di daerah ini pernah berkembang suatu negeri, yaitu dengan ditemukannya lingga dan arca Hindu yang besar dan patung Dewi Hindu. Pada abad ke-7 Masehi, kerajaan Seputih ini sudah berada dalam taklukan kekuasaan Sriwijaya.
Kerajaan Talangpedang
Dalam berita Cina tercatat dua buah negeri yang dituliskan berurutan, yakni To-lang dan Po-hwang, sebagai nama negeri di “Laut Selatan”. Oleh Gabriel Ferrand pada tahun 1918, kedua nama itu digabungkan menjadi satu menjadi To-lang-po-hwang. Lalu lokasinya dinyatakan di Tulangbawang (sekarang Lampung Utara). Argumen Gabriel itu tidak lebih dari dugaan semata, karena hingga kini tidak ada bukti data arkeologis yang mendukung pendapat ini. Menurut pendapat beberapa peneliti sejarah, To-lang dan Po-hwang merupakan dua nama tempat yang berbeda.
Kemungkinan yang lebih mendekati adalah nama To-lang mungkin ada hubungannya dengan Talangpedang, nama daerah yang sekarang terletak di sebelah barat Tanjungkarang, Lampung. Di Talangpedang ditemukan data arkeologis yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, setelah Talangpedang ditaklukkan oleh Sriwijaya, namanya kemudian menghilang atau tidak disebut-sebut lagi dalam berita-berita Cina selanjutnya.
Kerajaan Bawang
Berita Cina menyebutkan negeri Po-hwang mengirim utusannya pada tahun 442 M, 449 M, 451 M, 459 M, 464 M, dan 466 M. O.W. Wolters dari Universitas Cornell berpendapat, nama Po-hwang merupakan terjemahan dari nama Bawang, namun tidak disebutkan lokasi tepatnya.
Di daerah Bawang, negeri Sekala Bekhak, Lampung Utara, telah ditemukan prasasti persumpahan Sriwijaya. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Bawang dahulu pernah ada sebuah negeri yang cukup penting. Pada abad ke-5 Masehi, kerajaan Bawang (Po-hwang) itu, berkali-kali mengirim utusan ke negeri Cina. Namun setelah kerajaan Bawang ditaklukkan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi, namanya juga menghilang dari catatan-catatan musafir Cina.
Kerajaan Melayu
Khusus di wilayah pulau Sumatra, menurut catatan I-tsing, disebutkan bahwa pada tahun 671 M di Jambi atau lebih tepatnya di tepian sungai Batanghari, merupakan pusat kerajaan Melayu. Kronik atau catatan Hsin-tang-shu pernah mencatat ada utusan dari negeri Mo-lo-yu (Melayu) datang ke istana kekaisaran Cina pada tahun 644-645 M.
Walaupun menurut catatan I-tsing, Kerajaan Melayu pada abad ke-7 M secara politik telah tunduk dan berada dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan dan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada seperti keberadaan kompleks percandian di Muaro Jambi, merupakan kompleks percandian terluas di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup penting dan berpengaruh khususnya di Sumatra kala itu, terutama setelah masa keemasan kerajaan Sriwijaya mulai memudar. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Jambi tidak dapat dipisahkan dari kebesaran kerajaan Melayu, baik kerajaan Melayu kuno (pra-Sriwijaya) maupun kerajaan Melayu setelah masa Sriwijaya.
Berdasarkan penelitian geomorfologi terhadap pantai timur Sumatra yang dilakukan oleh tim Dinas Purbakala Indonesia tahun 1954, pada kurun waktu abad ke-7 Masehi, wilayah Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Posisi Palembang dan Jambi hari ini adalah karena terjadinya proses sedimentasi selama berabad-abad. Hasil penelitian itu sangat mendukung keberadaan kerajaan-kerajaan besar, seperti kerajaan Melayu dan Sriwijaya, memang memiliki posisi yang sangat strategis bagi akses dunia pelayaran atau perdagangan jalur laut internasional kala itu.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Kemunculan dalam Pentas Sejarah
Pulau Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti, sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan (kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara bagian barat.
Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de Çriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).
Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume de Çriwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah menerjemahkan naskah Arab yang berjudul “Akhbaru ‘s-Shin wa ‘l-Hind” (Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata “Jawa” yang dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza.
Catatan atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya).
Sumber-sumber berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (960-1279 M), kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti Ming (1368-1643 M), dan kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M).
Kata Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.
Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Çriwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu Çriwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla Çriwijaya (tentara Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan Çriwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden (karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah Marawijayatunggawarman, raja Çriwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah). Dan keempat, nama Çrivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala), Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti yang ditemukan di Tanjore, India Selatan.
Selain itu, Coedes mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel menulis karangan Het Koninkrijk Çrivijaya, tahun 1919.
Tahun itu juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul “De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschiedenis” (bukunya berjudul Hindoe Javaansche Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan judul L’Empire Sumatranais de Çrivijaya.
Peran Coedes dalam mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam, banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo.
Prasasti dan Arca
Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi.
Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).
Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Kedukan Bukit:
(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya, sakti, kaya […].
Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang dan makmur.
Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Talang Tuwo:
(1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….
Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.
Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.
Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Teks Prasasti Telaga Batu
(1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi.
Terjemahan oleh G. Coedes:
Om! Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…
Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.
Teks Prasati Kota Kapur:
siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….
Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1) siddha kitaÅ‹ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haÅ‹kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteÅ‹ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maÅ‹ra [ksa yaÅ‹ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaÅ‹ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraÅ‹ di dalaÅ‹na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaÅ‹ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….
Prasasti Boom Baru
Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.
Teks Prasasti Bom Baru:
1. ….(Niuja) droha (ka)…
2. tida ya bhakti tatwa arjawa dy-aku dngan…
3. wunuh ya sumpah ni (suruh) tapik-ya…(sriwijaya)
4. ya dngan gotra santananya…
5. maka langit. urang maka sakit maka gila…
6. upuh tuwa kasihan wasikarana itye (wamadi)…
7. pulang ka yang muah yang dosanya muah…
8. kadaci yang bhakti tatwa arjawa dy-aku…
9. datua santi muah (kawuatanya) dngan gotra (santananya)
10. samrddha swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah ya (wanuan)
11. nya parawis.
Terjemahan:
1. (Dikatakan) durhaka….
2. (apabila) ia tidak bakti dan tunduk (bertindak lemah-lembut)
kepadaku dengan…
3. dibunuh ia oleh sumpah dan di(suruh) supaya hancur oleh…(sriwijaya)
4. ya dengan sanak-keluarganya…
5. menyebabkan orang hilang (maka langit), menyebabkan orang sakit
(maka sakit) dan menyebabkan orang gila (maka gila)….
6. racun (upah) dan tuba (tuwa), mengguna-guna orang supaya jatuh
cinta (kasihan), mengguna-gunai orang supaya jatuh cinta (kasihan),
mengguna-gunai orang supaya tunduk pada kemauannya
(wasikarana), dan demikian selanjutnya (ityewamadi)…
7. kembali (pulang) ke asalnya lagi ke dosanya lagi…
8. tetapi apabila setiap kali (kadaci) ia berbakti dan tunduk kepadaku
(dy-aku : maksudnya raja Sriwijaya)
9. dan taat kepada kedudukan raja (datua) ia akan menemukan kembali
(kawuatannya: perbuatannya) kesentosaan dan keselamatan (santi)
dengan sanak keluarganya (gotra santanaya)
10. tumbuh mencapai kemenangan (samrddha), selama sejahtera (sastha),
sehat wal’afiat (niroga), bebas malapetaka (nirupadrawa), makmur
(subhiksa)
11. seluruh negeri (wanuannya pewaris).
Isi dan pesan yang dimuat dalam teks Prasasti Boom Baru sama dengan prasasti Sriwijaya lainnya, yaitu berisi kutukan kepada siapapun yang berani melawan atau melanggar peraturan kerajaan Sriwijaya, serta memuat doa keselamatan bagi mereka maupun keluarganya apabila tunduk dan patuh terhadap raja Sriwijaya.
Prasasi Karang Berahi
Prasasti yang ditemukan tahun 1904 oleh Berkhout ini tidak berangka tahun dan merupakan satu-satunya Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Merangin.
Seperti prasasti Sriwijaya lain, prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini juga berhuruf Palllawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari kira-kira abad ke-7 Masehi ini, terdiri dari 16 baris, mirip dengan Prasasti Kota Kapur, tetapi tidak memuat tentang penyerangan oleh tentara Sriwijaya.
Prasasti Ligor
Di daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu, ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 775 M yang ditulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut Prasasti Ligor A memuat keterangan raja Sriwijaya.. Tulisan pada sisi B disebut Prasasti Ligor B menyebut seorang raja bernama Wisnu yang bergelar Sarwarimadawimathana.. Baik Prasasti Ligor A maupun Prasasti Ligor B ditulis dalam bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan tentang ibukota Ligor sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasati ini ditemukan di Nalanda, India bagian timur (Negara Bagian Bihar). Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diduga berasal dari abad ke-9 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputra Dewa, raja Sriwijaya yang beragama Budha. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira).
Selain itu, disebutkan juga bahwa raja Nalanda yang bernama Dewapaladewa, berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para pelajar Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Prasasti Bungkuk (Jabung)
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Prasasti ini tidak berangka tahun, berdasarkan palaeografi, diperkirakan prasasti ini satu zaman dengan prasasti Sriwijaya lainnya. Isi teksnya juga memuat kutukan atau sumpah dan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu Kuno biasa.
Prasasti Kambang Unglen 1
Sebuah pecahan atau fragmen prasasti batu berwarna kuning keputihan, panjang 36 cm, lebar 22 cm dan tebal 9,5 cm. Ditemukan pada 22 September 1987 di Kambang Unglen, Kota Palembang (dekat Bukit Siguntang). Fragmen Prasasti batu itu dipahat dengan beberapa baris tulisan, sebuah di antaranya berukuran panjang 27 cm dan tinggi huruf 3 cm. Sayang sekali tulisan tipe Sriwijaya itu sudah aus. Tulisan yang masih dapat dibaca berbunyi … jaya siddhayatra sarwastwa (… perjalanan suci (ziarah) yang menang dan sukses bagi semua mahluk). Kalimat itu dapat dibandingkan dengan kalimat terakhir Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang berbunyi … Sriwijaya jaya siddayatra subhiksa ni (t) yakala (… Sriwijaya yang menang dalam perjalanan suci yang berhasil, makmur melimpah senantiasa). Prasasti ini disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Prasasti Kambang Unglen 2
Fragmen prasasti yang ditemukan di halaman sekolah SMP PGRI VII, Kambang Unglen, Ilir Barat I, Palembang, Sumatra Selatan. Fragmen ini berukuran 12 x 13 cm, dengan huruf berukuran 1,5 x 2 cm. Dari keempat baris prasasti yang masih terlihat, yang masih mungkin terbaca, hanya tiga baris saja walaupun agak sulit.
Prasasti yang terbuat dari batu berwarna merah kekuningan ini, berdasarkan bentuk-bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari masa Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), berbahasa Melayu Kuno. Isi prasasti ini sendiri masih sulit untuk diketahui, dikarenakan huruf-hurufnya yang sudah tidak jelas. Prasasti Kambang Unglen 2 juga disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah prasasti kutukan, karena dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang telah disebutkan, lima di antaranya merupakan prasasti kutukan.
Prasasti-prasasti Sriwijaya di atas, seperti Prasasti Kedukan Bukit cenderung membulat, Prasasti Talang Tuwo cenderung segi empat miring (trapesium), Prasasti Telaga Batu berbentuk tapal kuda, Prasasti Boom Baru cenderung berbentuk bulat telur (elips), serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Karang Berahi cenderung berbentuk setengah lingkaran (tapal kuda). Bentuk prasasti yang beragam tersebut, karena bongkah-bongkah batu yang dijadikan prasasti tersebut diperkirakan media batunya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi memang sudah tersedia di lokasinya masing-masing (nonmobile art).
Arca
Selain prasasti, artefak sumber sejarah Sriwijaya adalah arca. Arca adalah sarana yang penting bagi kehidupan keagamaan Hindu-Budha, karena merupakan salah satu media dalam pemujaan kepada dewa.
Menurut Bambang Budi Utomo, berdasarkan data inventarisasi arca logam dan batu yang ditemukan di Sumatra jumlahnya 116 buah arca, sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, yakni sekitar 65 buah arca. Sedangkan arca yang ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 29 buah arca, ditemukan di Sumatra bagian utara berjumlah 17 buah arca, dan ditemukan di Kota Kapur, Bangka berjumlah 4 buah arca. Arca-arca ini ada yang sudah selesai dikerjakan dan ada yang belum selesai, namun pada bagian tertentu sudah mencirikan gaya seninya. Arca-arca yang berlanggam Syailendra (abad ke-8 dan ke-9 Masehi) sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan berjumlah 21 buah arca dan ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 12 buah arca. Data tersebut menunjukkan kejayaan pengaruh kejayaan seni Syailendra ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya.
Arca yang ditemukan di sekitar Palembang tidak hanya meliputi arca-arca Budha saja, tetapi juga arca Hindu. Ini membuktikan bahwa meskipun Sriwijaya merupakan salah satu dari pusat studi agama Budha, tetapi tetap ada kerukunan dalam kehidupan beragama. Beberapa arca-arca Sriwijaya itu di antaranya adalah sebagai berikut:
Arca Budha, dari Bukit Siguntang, Palembang
Arca ini merupakan arca terbesar yang berasal dari masa Sriwijaya, tingginya sekitar 3 meter. Arca bersikap berdiri ini digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya. Ciri-cirinya menunjukkan gaya Amarawati, yang berkembang di India Selatan pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi, tetapi masih berkembang di Srilanka sampai abad ke-8 Masehi. Jadi, diperkirakan arca Budha Bukit Siguntang ini berasal dari sekitar abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca ini sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.
Arca Ganesha, dari Jalan Mayor Ruslan (Pagaralam), Palembang
Arca ini ditemukan di area Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jalan yang sebelumnya bernama Lorong Pagaralam di dekat sungai Bendungan yang bermuara ke sungai Musi.
Arca ini mempunyai hiasan-hiasan yang mirip arca Jawa Tengah, tetapi cara duduknya (kaki kanan dilipat ke atas) seperti arca-arca India Selatan. Tampaknya banyak pengaruh India Selatan pada arca Sriwijaya yang satu ini. Arca ini sekarang diletakkan di halaman.
Arca Budha, dari Tingkip, Musirawas
Arca yang ditemukan di Tingkip, Musirawas pada tahun 1980, berdiri di atas padmasana (lapik yang berbentuk bunga teratai), kedua tangan diangkat ke atas dengan sikap witarkamudra (sikap Budha mengajarkan dharma atau ajaran agama). Jubahnya yang transparan menutup kedua bahu. Tampaknya arca ini termasuk ke dalam kelompok gaya pra-Angkor yang berkembang pada sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi, atau gaya Dwarawati (Thailand) yang berkembang pada sekitar abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Arca ini disimpan di Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Arca Awalokiteswara, dari Bingin, Musirawas
Ditemukan di Bingin, Kabupaten Musirawas ini merupakan contoh arca Budha yang berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Cirinya yang menarik adalah tampak pada arca Amithaba dan mahkotanya, kainnya ditutup dengan kulit rusa pada bagian pinggulnya. Pada bagian belakang arca terdapat inskripsi yang berbunyi dang acaryya syuta (gelar pendeta Budha).
Arca Wisnu, dari Kota Kapur, Bangka
Di Kota Kapur, Bangka, ditemukan struktur bangunan dari batu putih. Di antara runtuhan fondasi candi terdapat fragmen beberapa arca Wisnu. Diperkirakan fragmen tersebut berasal dari setidak-tidaknya 3 buah arca Wisnu. Diduga arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi.
Semua arca Wisnu ini mempunyai ciri yang sama, yaitu bentuk mahkota seperti silinder, seperti pada arca Wisnu di Khmer dari masa pra-Angkor. Hiasannya sederhana, kain panjangnya sampai di bawah lutut, berhias pola garis lengkung, bertangan empat, hanya sayang sudah patah. Pada beberapa fragmen tangan tampak ada yang memegang padma (bunga teratai). Di belakang kepala ada sandaran melengkung yang sudah patah, rambut ikal terurai tampak menutup leher belakang, di atas bahu. Semua temuan arca Kota Kapur disimpan di Balai Arkeologi Palembang.
Arca Awalokiteswara, dari Sarang Waty, Lemahabang (Lemabang), Palembang
Arca ini ditemukan tahun 1959 tepatnya di halaman belakang rumah yang bertuliskan Sarang Waty (Rumah Waty) milik Basaruddin Itjo yang terletak di pertemuan Jalan Bambang Utoyo No. 1A dengan Jalan Pendawa, Lemabang, Palembang. Saat ini (2008), arca yang pernah dicuri sampai ke Jambi tapi telah dikembalikan lagi, telah dipindahkan dari halaman belakang rumah ke samping rumah itu (in situ).
Bersama-sama dengan arca ini juga ditemukan ratusan stupika tanah liat yang berwarna putih. Tampaknya arca ini belum selesai dibuat, karena belum memakai perhiasan, hanya pada mahkotanya terdapat arca amithaba. Arca ini diduga berasal dari sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Arca Perunggu Maitreya, Budha, dan Awalokiteswara dari Komering
Ketiga arca ini ditemukan di Sungai Komering. Berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Ketiga arca menunjukkan gaya seni Jawa Tengah. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Arca Siwa Mahadewa, Perunggu, dari Palembang
Arca ini ditemukan di Palembang. Pahatannya menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-9 Masehi. Arca ini masih lengkap, memiliki 4 tangan, kedua tangan belakang memegang sebuah tasbih dan camara (alat untuk menghalau lalat), sedangkan tangan kanan depan dalam sikap witarka mudra, tangan kiri depan memegang sebuah kendi.
Arca memakai upawita (selempang yang melintang dari bahu kiri ke kanan) ular, gelang bahu, gelang tangan, sebuah kalung, dan hiasan telinga. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit (di sisi kiri) dan kainnya berhias lipitan-lipitan halus. Sehelai kain harimau menutupinya hingga ke atas pinggangnya. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Arca Siwa Mahadewa, dari Tanah Abang, Muaraenim
Arca yang sudah pecah pada bagian kepala dan sandaran atas ini mungkin menggambarkan Siwa Mahadewa. Badan arca ini sama dengan semua arca dari Candi I Tanah Abang, yaitu dari batu putih (batu kapur).
Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan 4, tangan kanan belakangnya memegang pisau bertangan panjang, tangan kiri belakang memegang tasbih. Semua arca Candi I Tanah Abang, memakai perhiasan berupa jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Gaya pahatan dan cirinya menunjukkan masa Jawa Timur awal sekitar abad ke-12 Masehi.
Arca Siwa Mahaguru, dari Muaraenim
Temuan dari Candi I Tanah Abang yang lain adalah arca Siwa Mahayana yang mukanya sudah aus dan sandaran bagian kanan telah hilang. Tapi masih lengkap bagian badannya. Bertangan dua, tangan kanan memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi (komandalu). Kainnya polos, transparan, panjangnya sampai betis, sampurnya memakai simpul pita yang indah.
Arca berdiri di atas padmasana yang permukaannya dihias dengan pola biji teratai. Perhiasannya seperti arca yang lain, terdiri dari jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Memakai selempang dada dan uncal yang panjangnya sampai lutut.
Arca Leluhur I, dari Muaraenim
Arca laki-laki ini digolongkan ke dalam kelompok arca leluhur atau arca yang merupakan perwujudan seseorang, jadi bukan menggambarkan dewa. Ini didasarkan atas tidak adanya atribut tertentu yang dapat menjadikan penentu sebagai arca dewa.
Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan dua, kedua tangan terletak di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat bunga padma mekar. Rambut ikal di kedua bahunya memperkuat dugaan arca ini mempunyai gaya Jawa Timur. Di sekeliling tepi sandaran terdapat hiasan lidah api.
Arca Leluhur II, dari Muaraenim
Seperti juga arca Leluhur I, arca Leluhur II tidak mempunyai atribut tertentu yang menunjukkan identitas kedewaannya. Arca ini duduk bersila di atas lapik polos, kedua tangannya di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat benda bundar, mungkin menggambarkan bunga mekar. Berbeda dengan arca Leluhur I, arca ini digambarkan berbadan gemuk, terutama pada bagian perut, seperti pada perut Agastya atau Ganesha. Arca ini juga termasuk arca dengan gaya Jawa Timur.
Arca Nandi, dari Muaraenim
Selain 4 arca tokoh dewa dan leluhur, di Candi I Tanah Abang juga ditemukan arca nandi, yaitu wahana (hewan sapi tunggangan dewa Siwa). Arca nandi ini digambarkan duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, memakai kalung dengan bandul genta-genta kecil dan hiasan untaian manik-manik mengikat moncongnya. Gaya seninya mirip dengan gaya seni kerajaan Singasari dari abad ke-13 Masehi.
Stambha, dari Palembang
Artefak ini disebut stambha, sejenis tiang, karena bentuknya mirip demikian, hanya terdiri dari beberapa mahluk, yang saling menunggangi. Yang paling bawah adalah gajah, kemudian raksasa atau ghana, dan paling atas singa.
Berbeda dengan arca-arca yang lain yang dibuat dari batu kapur, stambha ini dibuat dari andesit. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer, terutama di daerah India Timur pada abad ke-10 sampai ke-12 Masehi. Semua arca dari Candi I Tanah Abang masih in situ.
Selain artefak dalam bentuk arca-arca, artefak Sriwijaya lain, ditemukan dalam bentuk keramik, porselin, dan manik-manik yang juga banyak ditemukan di daerah Palembang.
Lokasi Kerajaan Sriwijaya
Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di wilayah Asia Tenggara telah terjalin sejak lama. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut tentu akan melewati negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara senantiasa mengirimkan utusan-utusannya ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan atau adanya hubungan dengan kaisar Cina. Tidak mengherankan, jika dalam kronik-kronik Cina banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara. Jatuhnya kerajaan Funan yang terletak di sepanjang sungai Mekong dan Phnom Penh (Kamboja), sebagai salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara, membuka bangkitnya kerajaam maritim di ujung barat Nusantara, sebagai kekuatan baru di Asia Tenggara, yaitu kerajaan Sriwijaya.
Nama negeri-negeri di Asia Tenggara tersebut, biasanya ditulis dalam bahasa Cina yang memiliki kecenderungan berbeda jauh dengan nama aslinya. Oleh karena itu, para pakar peneliti sejarah Sriwijaya sepakat terhadap nama suatu kerajaan atau suatu tempat yang terdapat dalam catatan-catatan Cina perlu diidentifikasi atau ditransliterasikan secara cermat, kemudian baru diperkirakan lokasinya, seperti istilah Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi. Para pakar sejarah Sriwijaya juga sudah menyepakati, baik Shih-li-fo-shi maupun San-fo-tsi merupakan sebutan bangsa Cina terhadap kerajaan Sriwijaya yang terletak di kawasan Asia Tenggara, seperti dalam laporan atau berita perjalanan mereka.
Identifikasi lokasi kerajaan Sriwijaya yang paling lengkap diceritakan melalui catatan kisah perjalanan (pelayaran) pendeta Cina yang bernama I-tsing, dari Kanton (Cina) ke India, ia sempat singgah di negeri Sriwijaya. Setelah kembali dari India, ia menetap bertahun-tahun di Sriwijaya. Pada tahun 689 M, I-tsing sempat pulang ke Kanton lalu kembali ke Sriwijaya. Selama tinggal di Sriwijaya, antara tahun 689 M sampai tahun 692 M, ia menghasilkan dua buah buku, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Ta-tang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng chuan. Tiga tahun kemudian (695 M), barulah I-tsing benar-benar pulang ke Kanton atau tidak kembali lagi ke Sriwijaya.
Dalam dua buku tersebut, I-tsing menceritakan letak dan keadaan Sriwijaya. Catatan pelayarannya dari Kanton ke Sriwijaya tahun 671 M, I-tsing menggambarkan letak kerajaan Sriwijaya sebagai berikut:
“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan…. setelah kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Shi-li-fo-shih. Di sini saya berdiam selama 6 bulan untuk belajar sabdawidya (tata bahasa Sanskerta). Sribaginda (Sriwijaya) sangat baik kepada saya (I-tsing). Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Mo-lo-yu (Melayu), tempat saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran menuju Chieh-cha (Kedah)…. berlayar dari (Kedah) menuju utara selama lebih dari sepuluh hari, kami sampai di kepulauaan “orang telanjang” (Nikobar)…. dari sini berlayar ke arah barat selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tan-mo-li-ti (Tamralipti, pantai timur India).”
Dari tulisan atau berita I-tsing di atas, dapat diketahui bahwa pelayarannya dari Sriwijaya ke Kedah, ia sempat singgah di negeri Melayu. Artinya, negeri Melayu terletak di tengah jalur pelayaran antara Sriwijaya dengan Kedah. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685 M, ia berlayar dari Tamralipti (India) menuju Kedah.
Nama Mo-lo-yu (Melayu) muncul untuk pertamakalinya ketika mengirimkan cinderamata negeri Melayu kepada kaisar Cina pada tahun 644 M. Negeri Melayu itu terletak di Provinsi Jambi sekarang ini. Ketika I-tsing pertama kalinya berkunjung ke Sriwijaya, ia pergi juga ke negeri Melayu dengan naik kapal. I-tsing menuliskan, pelayarannya dari Sriwijaya ke Melayu memakan waktu 15 hari.
Rute pelayaran dari Tamralipti (India) ke Sriwijaya tersebut, I-tsing menuliskan, nama-nama negeri di Asia Tenggara yang diuraikan secara berurut dari barat ke timur, nama Sriwijaya ditulis sesudah nama Melayu. Artinya, kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah timur atau tenggara kerajaan Melayu atau Jambi sekarang. Berikut petikan catatan perjalanan I-tsing ketika pulang dari India tahun 685 M.
“Tamralipti adalah (pelabuhan) kami naik kapal jika kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara dalam waktu dua bulan kami di Kedah. Tempat ini kini menjadi kepulauan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan purnama atau kedua. Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan lamanya kami sampai di negeri Melayu, yang kini menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di negeri Melayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Ketika I-tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di kerajaan Sriwijaya Hal ini berarti bahwa sungai di Sriwijaya yang dimaksud I-tsing itu cukup lebar sehingga dapat dilalui dan dimasukki kapal-kapal.
Nia Kurnia Sholihat Irfan mengatakan, di sebelah timur atau tenggara Jambi yang mempunyai sungai lebar, satu-satunya tempat yang memenuhi syarat adalah Palembang dengan sungai Musinya. Jadi, waktu itu, diperkirakan pusat Sriwijaya terletak di tepi sungai Musi Palembang sekarang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian geomorfologi yang membuktikan Palembang pada abad ke-7 Masehi masih terletak di tepi laut.
Catatan I-tsing yang mengatakan, “Orang yang berdiri pada tengah hari di Sriwijaya tidak mempunyai bayang-bayang”. Menurut Nia, tidak berarti bahwa lokasi Sriwijaya harus dicari tepat pada garis khatulistiwa (lintang nol derajat), melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat sebagai lokasi Sriwijaya, karena terletak pada posisi tiga derajat Lintang Selatan. Jadi masih dekat dengan khatulistiwa. Perlu diingat bahwa I-tsing biasa hidup di negerinya (Cina), bayang-bayang pada tengah hari cukup panjang. Dapat dipahami jika I-tsing mengatakan di Sriwijaya (maksudnya Palembang) tidak ada bayang-bayang pada tengah hari.
Ditinjau dari data-data arkeologi, pendapat lokasi Sriwijaya di Palembang memperoleh bukti atau fakta yang kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang seperti Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Boom Baru, dan beberapa pecahan (fragmen) batu prasasti, serta batu-batu yang menceritakan siddhayatra (perjalanan suci). Pada salah satu pecahan prasasti yang ditemukan di Palembang terdapat keterangan mengenai perdatuan (wilayah inti raja). Prasasti Telaga Batu misalnya, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan, baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, seperti putra mahkota, selir raja, para menteri, hakim, senapati (pejabat militer), sampai kepala pembersih istana, dan pelayan istana. Juga di Palembang banyak ditemukan arca Budha yang kini tersimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa Provinsi Sumatra Selatan maupun yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Pendapat Sekitar Pusat Kerajaan
Di manakah istana atau pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya? Pertanyaan ini terus menghantui setiap kajian tentang Sriwijaya. Masalahnya Sriwijaya tidak ditemukannya istana yang fisiknya masih bisa dilihat hingga sekarang. Idealnya, istana suatu kerajaan menjadi rujukan penting untuk menentukan pusat pemerintahan dari kerajaan yang telah tiada.
Banyak teori dan pendapat yang muncul mengenai lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya, tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Para peneliti dan pakar sejarah baik dari Indonesia maupun asing masing-masing berargumen untuk menetapkan lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya. Yang jelas apapun alasannya, keberadaan kerajaan Sriwijaya telah terbukti dan hampir tidak dipersoalkan lagi. Ia telah menjadi bagian penting yang mewarnai gerak sejarah Indonesia. Hanya, mengenai penetapan ibukota atau pusat pemerintahannya yang hingga kini masih menjadi polemik di antara para pakar sejarah. Mereka mengeluarkan berbagai pendapat tentang ibukota Sriwijaya.
Pemikiran kritis mengenai lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya, pertamakali digagas oleh Samuel Beal tahun 1886. Beal berkesimpulan bahwa Sriwijaya berpusat di daerah yang dinamakan Pa-lin-fong (saat ini Palembang). Istilah Pa-lin-fong diperkirakan mulai muncul tahun 1225 berdasarkan kronik Chu-fan-chi. Pendapat Beal didukung oleh:
Coedes yang juga mengatakan Sriwijaya di Palembang.
Ahli arkeologi R.C. Majumdar, dalam tulisannya Le Roia Syailendra de Suvarnadvipa tahun 1933, berpendapat bahwa Sriwijaya hendaknya dicari di pulau Jawa. Dan setelah pusat aktivitas Sriwijaya pindah, baru dicari di daerah Ligor, Muangthai Selatan. Sementara itu H.G. Quartich Wales, dalam tulisannya A Newly Explored Route of Ancient Indian Cultural Expansion tahun 1935, memperkirakan ibukota Sriwijaya pada awalnya ada di Chaiya, Provinsi Surat Thani, Mungthai Selatan. Selain Chaiya, Wales menunjuk Ligor sebagai pusat kegiatan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi berdasarkan kajian yang dilakukan Wales kemudian, ia menetapkan lokasi Sriwijaya di daerah Perak, Semenanjung Malaysia sekarang ini.
Lain lagi pendapat J.L. Moens, dalam tulisannya Çrivijaya. Java en Kataha tahun 1973, semula ia menetapkan Kelantan (Malaysia) sebagai ibukota Sriwijaya, kemudian pindah ke daerah Muara Takus di pedalaman Sumatra bagian tengah. Pendapat yang dikemukakan Moens inipun didasari oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan arkeolog senior Indonesia, Soekmono, dalam tulisannya Early Civilization of South-east Asia tahun 1958, melihat kemungkinan kota Jambi sekarang sebagai pusat kegiatan Sriwijaya. Alasannya, kota Jambi bila dibandingkan dengan kawasan Palembang (dahulu) merupakan daerah yang sangat strategis. Sebab Jambi memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan untuk menjadi pusat kegiatan kerajaan maritim Sriwijaya. Dari dasar inilah Soekmono berpendapat Sriwijaya mampu dan memegang hegemoni maritim yang besar.
Menurut Purbacaraka, pusat pemerintahan Sriwijaya berawal dari sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di desa Minangkabau, Sumatra Barat. Sedangkan Muhammad Yamin cenderung mengatakan pusat pemerintahan Sriwijaya berada di Palembang.
Kesimpulan Nia Kurnia Sholihat Irfan, dalam bukunya Sejarah Sriwijaya yang terbit tahun 1983, senada dengan pendapat Beal, Coedes, dan Muhammad Yamin. Nia mengatakan bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, sedangkan Arlan Ismail berpendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berawal di Komering Ulu, Sumatra Selatan sebelum eksodus ke Palembang.
Boechari, ahli epigrafi senior Indonesia, melakukan pembuktian lewat Prasasti Kedukan Bukit. Hasil analisisnya terhadap Prasasti Kedukan Bukit, dikatakan bahwa pada mulanya pusat kerajaan Sriwijaya berada di timur Bangkinang, di tepi sungai Kampar, Riau. Ini sesuai dengan berita I-tsing yang menunjukkan daerah sekitar khatulistiwa sebagai letak pusat kerajaan Sriwijaya. Dan di hulu Bangkinang, terdapat suatu kompleks percandian agama Budha, yaitu Candi Muara Takus di Provinsi Jambi.
Dari sanalah 20 ribu pasukan Dapunta Hyang, bergerak lewat laut dan 1.312 rombongan lainnya melalui jalan darat. Di Mukha Upang, mereka bergabung menuju Melimbang (Palembang). Tepat tanggal 5 suklapaksa bulan Asdha tahun 604 Saka (16 Juni 682 M). Dapunta Hyang bersama pasukannya mendarat dan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan tanggal 16 Juni 682 M merupakan peletakan batu pertama suatu bangunan kota, rumah para pejabat kerajaan, dan peribadatan.
Mukha Upang tersebut diperkirakan terletak di daerah Air Sugian sekarang (Lampung), sebagai lokasi pendaratan Dapunta Hyang, karena di daerah tersebut pada tahun 1988 telah ditemukan suatu situs Air Sugian yang banyak ditemukan manik-manik kaca, keramik Cina dan memiliki bentuk peradaban yang sudah maju. Setelah ada berita mengenai tentaranya yang melalui darat, barulah melanjutkan ke tempat yang dituju, yaitu Palembang. Oleh karena itu, hanya Palembang yang paling meyakinkan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
Dalam Prasasti Telaga Batu, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, termasuk putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri sampai kepada pelayan istana. Jadi tidak diragukan lagi bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Menurut hasil penelitian Balai Arkeologi Palembang, jauh sebelum Sriwijaya ditemukan kembali sebagai nama sebuah kerajaan, di kalangan masyarakat Palembang dan Sumatra Selatan umumnya telah beredar mitos mengenai kebesaran Sriwijaya. Sebelum dibuktikan lokasi pusat Sriwijaya di Palembang, masyarakat sudah yakin lokasi pusat kerajaan ini berada di Palembang.
Bukti tertulis mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di Palembang. Di antara prasasti yang ditemukan di Palembang adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Boom Baru. Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang pembangunan wanua (tempat tinggal) yang bernama Sriwijaya oleh Dapunta Hyang; Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) merupakan prasasti persumpahan yang juga menyebutkan nama-nama pejabat kerajaan mulai dari putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, sampai ke tukang cuci kerajaan; Prasasti Talang Tuwo bertanggal 23 Maret 684 Masehi berisi tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua mahluk; dan Prasasti Boom Baru juga merupakan prasasti persumpahan raja Sriwijaya. Dari keempat prasasti ini sudah cukup kuat untuk menempatkan pusat Sriwijaya di Palembang saat ini. Prasasti Telaga Batu merupakan bukti kuat karena prasasti persumpahan ini menyebut nama-nama pejabat yang disumpah sewajarnya ditempatkan di ibukota dan ibukota tersebut tempat tinggal para pejabat tersebut.
Bukti prasasti cukup menyakinkan Palembang merupakan pusat awal kerajaan Sriwijaya. Namun bukti tersebut perlu bukti arkelogis lain yang dapat mendukung dan menguatkan teori tersebut. Sebuah kota merupakan kumpulan dan tempat tinggal penduduk kota itu. Indikator kuat dari sebuah sisa pemukiman adalah barang-barang keramik dan tembikar karena barang-barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Di Palembang indikator pemukiman kuno yang berupa pecahan (fragmen) keramik banyak ditemukan di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Ladangsirap, Karanganyar, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Gedingsuro. Pecahan-pecahan keramik yang ditemukan di tempat-tempat tersebut sebagian besar berasal dari masa Dinasti T-ang (abad ke-8 sampai ke-10 Masehi), kemudian menyusul Dinasti Song (abad ke-10 sampai 13 Masehi) dan Dinasti Yuan (abad ke-12 sampai ke-14 Masehi) dari negeri Cina. Khusus untuk situs Talang Kikim, temuan keramik di rawa-rawa demikan padat. Ini mengindikasikan pemukiman pada masa lampau mengambil tempat di rawa-rawa berupa rumah tinggal yang didirikan di atas air.
Kota Sriwijaya jelas dilengkapi pula dengan bangunan-bangunan keagamaan. Indikator adanya bangunan keagamaaan ditemukan di situs-situs daerah yang letaknya tinggi, yaitu situs Bukit Siguntang, Candi Angsoka, Pagaralam (Jalan Mayor Ruslan), Lemahabang (Sarang Waty), dan Gedingsuro. Dari situs-situs tersebut ditemukan arca-arca dari batu dan logam, stupika tanah liat, dan runtuhan bangunan bata.
Sebagai sebuah kota yang pernah menjadi pusat agama Budha Mahayana, tentu berdiam para pendeta dan wihara-wihara. Situs yang diduga merupakan artefak wihara ditemukan di Lemahabang (Sarangwaty) dan Gedingsuro (pada bukit kecil di sebelah utara kompleks percandian). Stupika-stupika tanah liat dan arca-arca logam yang berukuran kecil (8-15 cm) tersebut, merupakan indikator bahwa stupika dan arca tersebut biasanya ditempatkan di Wihara.
Daerah sebelah barat kota Palembang merupakan daerah penting untuk kajian kota Sriwijaya, karena di daerah ini cukup banyak artefak budaya masa Sriwijaya. Di mulai situs Bukit Siguntang yang merupakan situs keagamaan. Di tempat ini ditemukan sebuah arca Budha yang tingginya hampir 4 meter dan runtuhan bangunan bata yang diduga merupakan sisa bangunan stupa. Agak jauh ke arah utara dari Bukit Siguntang terdapat situs Talang Kikim dan Tanjung Rawah yang merupakan sisa pemukinan kuno; di sebelah selatan Bukit Siguntang terdapat situs Karanganyar, Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Purun, dan Kambang Unglen juga merupakan situs pemukiman.
Situs Karanganyar merupakan bangunan dengan tiga buah kolam dan tujuh batang parit yang saling berhubungan. Areal Karanganyar terdapat Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Unglen, dan Kambang Purun. Situs Kambang Unglen merupakan situs penting karena situs ini ditemukan indikator industri manik-manik kaca yang ditemukan bersama pecahan keramik T’ang (abad ke-8 dan 10 Masehi) dan pecahan-pecahan prasasti abad ke-7 Masehi.
Jadi berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang tersebut, yang dilandasi bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di kawasan Palembang, diduga seluruh Palembang sisi utara sungai Musi merupakan titik awal kota Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13 Masehi.
Para ahli boleh berselisih pendapat. Tetapi para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) yang telah melakukan penelitian di sekitar Palembang sejak 1983, mengungkapkan fakta-fakta peninggalan berupa prasasti yang didukung oleh bukti-bukti artefak peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya, seperti arca, candi, keramik, dan serpihan kapal, umumnya banyak ditemukan di daerah Sumatra Selatan, khususnya Palembang.
Dalam pembuktian bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya secara ilmiah dikemukakan lewat temuan-temuan keramik yang tersebar di berbagai tempat di Palembang. Keramik-keramik yang ditemukan baik di Palembang barat (antara Bukit Siguntang dan Karanganyar) maupun di Palembang Timur (Gede Ing Suro dan sekitarnya), kebanyakan berasal dari abad ke-6 Masehi hingga ke-13 Masehi, pada rentang masa kejayaan Sriwijaya. Ada anggapan bahwa keramik-keramik itu juga berasal dari daerah lain. Tetapi, dengan ditemukannya keramik besar-besaran di berbagai tempat di sekitar Palembang semakin membuktikan bahwa benda-benda itu memang adanya di Palembang.
Dari bukti keramik tersebut, menunjukkan Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Untuk memperkuat asumsi bahwa Sriwijaya memang di Palembang, tahun 1985, peneliti Sriwijaya Manguin membuat foto-foto udara. Dari foto-foto udara itu, terlihat jelas bahwa di daerah Bukit Siguntang, Karang Anyar, Palembang ditemukan bangunan air yang menyerupai kanal sepanjang 3.300 meter. Bangunan itu, tampak berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan garis-garis yang membujur dari utara ke selatan. Setelah diteliti, bentuk persegi panjang dan bujur sangkar yang tampak itu memperlihatkan bahwa di daerah tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan besar, karena telah memiliki tatakota yang baik dan terencana.
Berdasarkan telaah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya yang keberadaannya dimulai abad ke-7 Masehi, banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa Palembang merupakan pusat ibukota Sriwijaya, dengan alasan, pertama, prasasti Sriwijaya paling banyak ditemukan di daerah Palembang. Kedua, prasasti tertua Sriwijaya (Prasasti Kedukan Bukit) ditemukan di Palembang. Ketiga, posisi Palembang berada di sebelah Selatan negeri Melayu (Jambi), sesuai catatan perjalanan pendeta I-tsing. Dan keempat, berdasarkan hasil pemotretan udara (penelitian geomorfologi), keberadaan pantai timur Sumatra pada sekitar abad ke-10 Masehi, ternyata saat itu, Palembang dan Jambi masih terletak di tepi pantai. Fakta ini kian memperkuat pendapat bahwasanya Sriwijaya adalah kerajaan maritim.
Merujuk pada potensi alam dan temuan sisa-sisa hunian kuno serta kesinambungannya dengan keberadaan rumah panggung dan rumah rakit di Sumatra Selatan hingga sekarang, dapat diprediksi istana kerajaan Sriwijaya juga kemungkinan besar terbuat dari konstruksi kayu.
Perkembangan Wilayah Kekuasaan
Ketika kerajaan Sriwijaya mulai berdiri, wilayah kekuasaannya masih terbatas pada sekitar Palembang sekarang. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, letak Palembang pada abad ke-7 Masehi kurang menguntungkan jika ditinjau dari lalu-lintas pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan yang letaknya strategis adalah pelabuhan Melayu di Jambi. I-tsing mengatakan bahwa kapal-kapal yang berlayar ke negeri Cina, umumnya melalui pelabuhan Kedah dan Melayu. Dari Melayu kapal-kapal itu berlayar ke utara menuju Kanton (Cina). Namun, berdasarkan catatan I-tsing pula, ketika ia datang untuk yang kedua kalinya, kerajaan Melayu sudah dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya.
Awalnya Sriwijaya hanya disinggahi oleh para pendeta Cina untuk urusan keagamaan, karena Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai pusat kegiatan agama Budha. Pendeta-pendeta Cina berziarah ke Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta atau menerjemahkan naskah-naskah Budha. Menurut I-tsing, di Sriwijaya berdiam seorang guru agama Budha yang termasyur, ia bernama Syakyakirti. Dikatakan juga bahwa di Sriwijaya terdapat lebih dari 1.000 pendeta agama Budha yang rajin mempelajari dan meneliti ajaran Budha. Para pendeta tersebut mempelajari seluruh masalah secara nyata seperti di India. Oleh karena itu, pendeta I-tsing yang ingin pergi ke India, belajar di Sriwijaya dulu baru pergi ke India.
Pada awalnya, perkembangan bidang keagamaan di Sriwijaya, lebih maju dibandingkan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan. Sedangkan di Melayu dan Kedah, perkembangan ekonomi dan perdagangan lebih menonjol, dibandingkan dengan perkembangan agama, karena memang Melayu dan Kedah memiliki pelabuhan yang lebih strategis di Selat Malaka. Maka, satu jalan untuk mengembangkan negerinya, Sriwijaya mau tidak mau harus menguasai atau menaklukan Melayu dan Kedah. Tetapi sebelum menaklukkan Melayu dan Kedah, strategi kerajaan Sriwijaya adalah menguasai daerah di sekitarnya terlebih dahulu seperti Bangka, Tulang Bawang, baru Melayu, dan Kedah, sampai ke Kepulauan Riau dan Lingga. Bahkan sampai ke pulau Jawa, seperti yang tercantum dalam Prasasti Kota Kapur.
Penaklukkan atau ekspansi awal yang dilakukan Sriwijaya adalah terhadap negeri-negeri yang terdekat dengan Sriwijaya. Setelah menundukkan Bangka, Lampung juga dapat dikuasai. Bukti Bangka dan Lampung pernah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya ditemukannya prasasti-prasasti persumpahan di daerah tersebut, yaitu Prasasti Kota Kapur di Bangka dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Setelah Bangka dan Lampung takluk, maka Sriwijaya terus memperluas ruang lingkup wilayah ekspansinya atas daerah-daerah sekitar dengan menguasai Melayu, penaklukkan ini bertujuan untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan Melayu di Selat Malaka yang saat itu memang mempunyai fungsi yang sangat strategis untuk mengembangkan perekonomian Sriwijaya.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, penaklukkan kerajaan Melayu oleh Sriwijaya diperkirakan terjadi sebelum tahun 682 M, sebab pada tahun 682 M tentara Sriwijaya sudah menguasai Minanga (Binanga), sebagaimana tercantum dalam Prasasti Kedukan Bukit. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan diikuti 20.000 balatentara. Dengan penguasaan negeri Melayu dan Minanga, maka daerah pantai timur Sumatra praktis telah berada dalam pengawasan kerajaan Sriwijaya.
Bahwa negeri Melayu sudah benar-benar ditaklukkan oleh Sriwijaya, terbukti dengan ditemukannya prasasti persumpahan, yaitu Prasasti Karang Berahi di Jambi, serta pernyataan I-tsing, ketika pulang dari India tahun 685, negeri Melayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.
Kedah menjadi korban berikutnya, setelah menaklukkan Melayu, Sriwijaya menyeberang dari Selat Malaka untuk menduduki Semenanjung Malaka. Sasaran utamanya adalah negeri Kedah yang cukup ramai disinggahi oleh para pedagang asing. I-tsing mengatakan ketika ia pulang dari India tahun 685, Kedah sudah menjadi kekuasaanya kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya juga menguasai daerah Muangthai Selatan (775 M). Hal ini dibuktikan dari keterangan Prasasti Ligor yang ditemukan di Tanah Semenanjung Melayu (Thailand Selatan). Dalam Prasasti tersebut disebutkan seorang raja Sriwijaya memerintahkan pembuatan bangunan-bangunan Budha.
Tahun 686 M, tentara Sriwijaya berangkat menyerang pulau Jawa. Pada waktu itu, kerajaan Taruma di Jawa Barat masih berdiri, sebab masih mengirimkan utusan ke negeri Cina pada tahun 669 M. Setelah ada penyerangan pasukan Sriwijaya tahun 686 M, nama Taruma juga menghilang dari catatan kronik Cina. Diperkirakan kerajaan Taruma juga menjadi korban ekspansi Sriwijaya. Setelah kerajaan Taruma sebagai pintu masuk ke pulau Jawa dikuasai, Sriwijaya juga dapat menaklukkan kerajaan di Jawa Tengah.
Dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Sriwijaya mulai mendominasi jalur pelayaran dan perdagangan internasional saat itu. Setiap pelayaran dari Asia Barat dan Asia Timur atau sebaliknya. Mau tidak mau harus melewati teritorial kerajaan Sriwijaya.
Penguasaan Sriwijaya atas jalur pelayaran strategis selama berabad-abad tentu harus didukung dan dilindungi oleh pasukan armada yang kuat. Pasti, Sriwijaya harus menguasai teknologi perkapalan dan ilmu navigasi.
Dengan penguasaan jalur pelayaran strategis dan mendominasi perdagangan, jelas menguntungkan kerajaan Sriwijaya untuk menarik pajak-pajak dari kapal yang masuk di wilayahnya. Pundi-pundi yang mengisi kas kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan kaya. Dampaknya, rakyat Sriwijaya dibebaskan dari segala macam pajak kepada negara.
Apalagi sejak bertahtanya Raja Balaputra Dewa, bidang sosial budaya, politik, agama di kerajaan Sriwijaya berkembang sangat pesat. Balaputra Dewa menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan besar seperti kekaisaran Cina, dan India. Hubungan itu bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu, Balaputra Dewa berusaha meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya melalui pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Nalanda di India Selatan yang menyebutkan terdapat pelajar dan mahasiswa dari kerajaan Sriwijaya yang belajar berbagai ilmu pengetahuan di Nalanda. Juga, adanya seorang guru besar agama Budha di kerajaan Sriwijaya yang bernama Dharmakirti. Dengan pengembangan pengetahuan itu secara jelas membuktikan bahwa tingkat kehidupan sosial ini pun akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan kerajaan Sriwijaya.
Pemerintahan, Militer, dan Sosial
Secara teritorial, wilayah kekuasan Sriwijaya dibagi menjadi kedatuan dan perdatuan. Daerah-daerah inti milik raja (samaryyada) sendiri terletak di sekitar ibukota disebut kedatuan yang diperintah oleh datu yang bergelar nisamwardhiku. Datu yang berasal dari lingkungan keluarga raja sendiri ini kedudukan mereka langsung di bawah raja. Mereka ini dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kelanggengan kekuasaan raja, karena mereka mempunyai hak warisan yang sah dari raja yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alasan untuk merebut mahkota kerajaan.
Sedangkan daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh raja disebut perdatuan. Perdatuan ini diperintah juga oleh seorang datu dengan gelar nilagalarku. Datu yang bergelar nilagalarku bukan anggota keluarga raja. Namun, mereka diberi otonomi untuk menjalankan basis kekuasaannya sendiri di wilayah perdatuan tersebut. Ia tidak di bawah perintah seorang pejabat dari pusat yang menduduki daerahnya dengan kekuatan senjata (militer), namun diberi ancaman kutukan yang mengerikan bagi mereka yang tidak setia kepada raja Sriwijaya, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Secara teritorial, wilayah laut tempat kelompok-kelompok bajak laut (nomad laut) yang otonom juga dimasukkan dalam sistem perdagangan kerajaan Sriwijaya. Para kepala bajak laut itu mendapat bagian yang ditentukan raja dari hasil transaksi perdagangan maritim yang diadakan. Agar kepentingan kerajaan jangan dirugikan, kelompok bajak laut yang menjadi unsur perdagangan inilah yang digunakan oleh raja untuk mengamankan lalu-lintas perdagangan laut. Secara tidak langsung, para bajak laut ini juga merupakan bagian dari sistem pertahanan kerajaan Sriwijaya.
Kronik Chao-ju-kua menceritakan hal ini, Sriwijaya menguasai laut dan mengawasi lalu-lintas perahu-perahu dagang orang asing di Selat Malaka. Jika ada kapal dagang melalui selat ini tanpa singgah, para pedagang asing tersebut acapkali diserang dan dikuasai. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan negeri ini menjadi pusat pelayaran dan perdagangan besar. Diduga penyerangan terhadap kapal dagang asing ini dilakukan oleh bajak laut.
Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di zaman kuno atau klasik Indonesia, Sriwijaya menunjukkan kekhasanya. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang berasal dari abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya yang muncul sebagai satu kekuatan baru. Sebagian dari prasasti-prasasti tersebut mengandung ancaman kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja sendiri. Hal diperkirakan karena keluarga yang diancam itu memang berada di luar pengawasan langsung. Mereka adalah anak-anak raja yang diberi kekuasaan di daerah-daerah (datu). Keadaan itu jika benar, menunjukkan satu sikap keras dari raja yang sedang berkuasa. Suatu sikap yang selain keras juga tegas kepada penguasa daerah. Sikap demikian tidak mengherankan untuk suatu negara yang hidup dari perdagangan.
Dari Prasasti Telaga Batu yang diterjemahkan oleh J.G. de Casparis, seorang epigrafer, mencatat adanya suatu struktur pemerintahan, birokrasi, dan stratifikasi sosial pada masa Sriwijaya. Interpretasi dari terjemahan tersebut adalah raja sebagai pemimpin dan penguasa tunggal kerajaan, pemimpin daerah (datu-datu) adalah putra mahkota dan para pangeran, sedangkan pelaksana pemerintahan atau birokrasi adalah hakim, bupati, senapati, mandor, dan juru tulis kerajaan. Sedangkan stratifikasi sosial di kerajaan Sriwijaya, di antaranya, adalah nakhoda, saudagar atau pedagang, pandai logam, tukang cuci raja, budak, nelayan, dan petani di daerah pedalaman yang dikuasai kerajaan.
Menurut P.J. Suwarno, dalam sistem kekuasan kerajaan Sriwijaya, raja tetap memegang otoritas tertinggi. Raja dikelilingi oleh keluarganya sebagai bawahan dan stafnya. Mereka itu adalah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra raja kedua), rajakumara (putra raja ketiga), dan rajaputra (putra raja keempat). Kedudukan putra mahkota dipisahkan dari para pangeran yang berasal dari istri raja (selir) yang lebih rendah derajatnya dan para pangeran tersebut tidak berhak atas tahta kerajaan. Namun pangeran-pangeran Sriwijaya ini tetap diberi daerah-daerah kekuasaan milik raja. Secara hirarkis, mereka diperintah dan menjadi bawahan langsung dari raja.
Sedangkan di lingkungan pusat kerajaan dibentuk administrasi pusat yang terdiri kalangan birokrasi sebagai pelaksana kerajaan. Mereka itu adalah dandanayaka, (hakim raja yang melaksanakan kekuasaan raja untuk mengadili), bhupati (bupati), nayaka (pejabat pemungut pajak), dan prataya (pengurus harta benda milik keluarga raja). Prataya merupakan staf pribadi raja yang penting, sebab dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan istilah haji-prataya (prataya raja). Raja memiliki wilayah pribadi di sekitar ibukota yang merupakan basis kehidupan ekonomi keluarga raja. Di antara penghuni ibukota kerajaan adalah para hulun haji (budak raja) yang di bawah pimpinan murdhaka. Penjelasan mengenai jabatan bhupati dalam struktur kerajaan Sriwijaya, tidak dijelaskan, apakah sama fungsinya dengan bupati sekarang.
Pejabat-pejabat lain di pusat kerajaan adalah kumaratya (para menteri yang tidak berdarah bangsawan alias bukan keturunan raja), kayastha (juru tulis kerajaan), sthapaka (elite religius yang menjadi pengawas teknis pembangunan patung-patung dan bangunan suci), tuha an watakwuruh (pengawas perdagangan), dan puhawang (jawatan angkutan).
Pedagang dan pengrajin merupakan pengelompokkan profesi. Mereka dimasukkan dalam organisasi pemerintah yang diawasi oleh tuha an watakwuruh. Mereka mempunyai organisasi yang juga otonom dalam batas-batas pengawasan pemerintah pusat. Mereka mengumpulkan barang dagangan dari hasil kerajinannya yang diawasi dan dikontrol oleh tuha an watakwurah ini dan kemudian baru disalurkan keluar, sehingga para pedagang dan pengrajin mudah memasarkan barang dagangannya. Jabatan tuha wakwurah dan puhawang merupakan salah satu konsekuensi dari sifat komersial kerajaan Sriwijaya.
Di bidang militer, untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Sriwijaya membentuk pasukan militer yang digunakan sebagai alat penunjang kewibawaan yang ditegakkan dengan perjanjian-perjanjian dan kutukan-kutukan.
Dalam struktur militer di kerajaan Sriwijaya, komando tertinggi di tangan raja, kemudian pejabat militer di bawah raja adalah parwanda yang tinggal di ibukota kerajaan, pratisara, dan senapati. Walaupun pejabat militer tinggi dalam sistem pertahanan kerajaan, parwanda ini tidak memimpin langsung para tentara, tetapi bertanggung jawab langsung kepada raja. Kalau sekarang, parwanda ini, diperkirakan, fungsinya setingkat dengan menteri pertahanan. Selain jabatan parwanda, pemimpin militer lainya adalah pratisara yang langsung menguasai atau memimpin pasukan atau tentara yang dikerahkan dari hulun-haji (budak). Daerah kekuasaan pratisara ini di kawasan kedatuan yang dipimpim oleh kalangan keluarga raja, sedangkan pemimpin tentara di daerah-daerah taklukan (perdatuan) dipimpin oleh senapati. Baik pratisara maupun senapati ini di bawah pimpinan parwanda.
Integrasi Birokrasi Pemerintahan Pusat-Daerah
Kebijakan birokrasi pemerintah dalam sistem penyaluran komoditas perdagangan menarik rakyat pedalaman untuk mengumpulkan barang dagangannya untuk ditampung di pasar-pasar lokal, kemudian dipasarkan lebih lanjut ke daerah pelabuhan-pelabuhan.
Dari pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra, barang-barang dagangan itu diteruskan ke pasar internasional lewat laut. Maka bagi Sriwijaya, keamanan laut merupakan hal yang penting, dan pelaksanannya diserahkan kepada kelompok-kelompok nomad-laut yang ketua-ketuanya dimasukkan dalam organisasi dagang Sriwijaya. Dengan demikian timbullah jaringan saling ketergantungan antara rakyat di pedalaman dengan pedagang-pedagang di pelabuhan-pelabuhan serta di laut wilayah kekuasan Sriwijaya. Tidak mengherankan kalau hubungan dagang dengan luar negeri berkembang pesat, sebab kebutuhan pokok para pedagang dipenuhi, yaitu keluar masuk komoditas perdagangan dan keamanan pelayaran lancar dan terjaga.
Integrasi itu semuanya terikat pada raja, selain memiliki kekuatan militer yang handal baik di darat maupun di laut, juga memiliki kewibawaan mistis, yang ditegakkan dengan kultus individu sebagai raja, pahlawan militer, kepala suku, dan sebagai sang pemberi kemakmuran kepada rakyat. Untuk keperluan ini; raja antara lain mengadakan pesta yang dihadiri kepala-kepala suku taklukan dan menyembelih seekor lembu untuk memperkokoh ikatan mereka.
Jadi meskipun sudah ada pembagian tugas dalam birokrasi pemerintahan, semuanya masih berpusat pada wibawa raja baik yang bersifat militer, maupun yang bersifat mistis. Semua sistem birokrasi pemerintahan yang ada itu merupakan kepanjangan dari rumah tangga istana raja, bahkan birokrasi pemerintah daerah sebenarnya juga merupakan perpanjangan tangan raja untuk menguasai rakyat. Meskipun rakyat dimasukkan dalam jaringan perdagangan internasional, keuntungan pada dasarnya untuk raja, sedangkan bawahan dan rakyat mendapat bagian dari raja, maka raja juga disebut “bank umum”.
Pola birokrasi pemerintah Sriwijaya ini mungkin dapat disebut sebagai pola birokrasi pemerintah komersial tradisional, sedangkan hubungan daerah-pusat diatur secara otonom seperti yang dikenakan pada perdatuan dan kelompok pedagang serta pengrajin, yang masing-masing mempunyai organisasi otonom dengan pengawasan dari pusat secara magis (kutukan) dan kelembagaan (tuha an watakwurah); dan dekonsentris seperti yang dikenakan pada kedatuan dan kelompok nomad-laut, keduanya tidak mempunyai otonomi, sebab organisasinya digabung dengan organisasi pusat yang langsung di bawah raja.
Raja-raja Sriwijaya
Raja-raja yang pernah berkuasa dan memerintah Sriwijaya sampai saat ini masih menyimpan teka-teki besar. Walaupun begitu, dari hasil interpretasi para peneliti terhadap prasasti-prasasti Sriwijaya, berita-berita Cina, serta catatan-perjalanan orang-orang Arab-Persia telah memberikan sedikit gambaran ihwal para penguasa atau raja-raja yang memerintah kerajaan ini. Paling tidak, sejak tahun 683 Masehi disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit sampai tahun 1044 Masehi yang tertera pada Prasasti Chola.
Penyebutan tahun yang sama (1044 Masehi) pada tabel di atas, adalah tahun pembuatan Prasasti Leiden dan Chola yang menyebutkan adanya raja-raja Sriwijaya; Sri Sudamaniwarmadewa, Marawiyayatunggawarman, dan Sri Sanggaramawijayatunggawarman, bukan masa kekuasaan ketiga raja Sriwijaya tersebut. Sedangkan berdasarkan naskah kuno Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Naskah ini merupakan naskah kontroversi karena dianggap tidak otentik sebagai sebuah sumber sejarah, karena naskah ini terkesan telah maju dalam metodologi penulisan suatu karya tulisan sejarah, padahal kebanyakan naskah yang dibuat pada masa itu masih didominasi oleh hal-hal yang berbau mitos, sage, legenda, irasional yang dicampurkan dengan realitas sejarah yang ditulis tahun 1675 Masehi yang dikodifikasi oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat yang ditemukan oleh peneliti naskah kuno Atja. Naskah ini kemudian diteliti ulang oleh epilog Edi S Ekadjati dari Universitas Padjadjaran Bandung yang dimuat dalam majalah Analisa Kebudayaan, 1982/1983. Th.III.No.2.
Sayangnya, naskah ini tidak mencantumkan peristiwa yang terjadi (kronologi) serta angka tahun raja-raja Sriwjaya yang berkuasa.
Perekonomian
Salah seorang peneliti perkembangan sejarah Sriwijaya dari segi ekonomi dan perdagangan adalah W. Wolters, seorang guru besar sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dalam bukunya Early Indonesian Commerce, ia menerangkan bahwa meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang penduduknya relatif sedikit, negeri ini mampu mengerahkan sumberdaya manusia dari pemukiman-pemukiman yang tersebar di selatan Selat Malaka. Ia mengatakan, Palembang hanyalah pusat. Tujuan ekspedisi angkatan laut Sriwijaya dengan menaklukkan Kedah dan pelabuhan-pelabuhan vital lainnya bukan sekedar meluaskan teritorial, tetapi untuk menduduki tempat-tempat strategis dalam jalur perdagangan utama. Penguasa-penguasa lokal dibiarkan terus berkuasa sebagai bawahan Sriwijaya.
Penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari sektor perdagangan, seperti komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor tersebut, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Sedangkan ke negeri Cina, Sriwijaya mengekspor gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, kapas, cula badak, wangi-wangian, bumbu masak, dan obat-obatan. Barang-barang tersebut bukan produksi Sriwijaya dalam negeri Sriwijaya seluruhnya. Tapi, mungkin ada yang berasal dari pertukaran barang dengan negara lain yang punya hubungan degang dengan Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarah Dinasti Sung), menyebutkan bahwa Sriwijaya kala itu sudah mempunyai 14 kota dagang.
Menurut berita Cina dan berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya adalah cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra.
Dari penelitian arkeologi di wilayah Palembang, ditemukan bukti-bukti yang menunjang data sumber tertulis mengenai komoditas perdagangan masa Sriwijaya seperti di atas. Temuan yang berkaitan dengan sarana perdagangan dan pelayaran berupa pecahan (fragmen) perahu dan mata uang Cina. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis komoditas, misalnya gerabah, keramik, manik-manik, dan damar.
F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh, menyatakan ada dua faktor yang menyebabkan Sriwijaya mampu menjaga kelestarian dominasinya atas Selat Malaka yang strategis tersebut. Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai sebagai daerah bawahannya. Faktor kedua adalah adanya hubungan penguasa Sriwijaya dengan negara-negara besar lainnya (Cina dan India).
Hubungan Sriwijaya dengan negara Cina, India, dan Arab terjalin dengan baik. Catatan Hsin-tang-shu dan Sung-shih, banyak mencatat kedatangan utusan dari Sriwijaya. Utusan Sriwijaya pertama kali datang ke negeri Cina tercatat dalam kronik Cina pada tahun 670 M, dan sejak tahun 1178 M, utusan Sriwijaya tidak pernah datang lagi ke negeri tirai bambu ini. Juga tercatat bahwa kapal-kapal Ta-shih (negeri Arab dalam penyebutan orang Cina), banyak berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, dan bahkan di setiap kota dagang yang di bawah kekuasaan Sriwijaya telah ada pemukiman pedagang-pedagang Islam.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, sangat menguntungkan kedudukan Sriwijaya. Oleh karena itu, pada masa kekuasaan raja Balaputra Dewa, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu kota Ligor (Prasasti Ligor tahun 775 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota Sriwijaya di Sumatra Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra (daerah perbatasan Thailand dan Malaysia).
Ibnu Faqih, dari negeri Arab, yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 M, menyebutkan bahwa kota Sribuza (Sriwijaya) sudah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Di pelabuhan Sribuza terdapat segala macam bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, selain bahasa penduduk aslinya sendiri. Dalam catatan Abu Hasan Ali Al-Mas’udi (dari Arab) yang berjudul Muruju’z-Zahab Wa Ma-Adinu’l-Jauhar tahun 943 M, tercantum keterangan mengenai kerajaan sangmaharaja yang meliputi Sribuza (Sriwijaya), Qalah, dan pulau-pulau lain di Laut Cina. Tentaranya tak terhitung banyaknya. Dibutuhkan waktu dua tahun jika kita akan mengelilingi kerajaan Sribuza. Kerajaan itu banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi, seperti kapur barus, cendana, cengkeh, lada, dan minyak kestruri.
Kekuatan Maritim
Ketika berbicara mengenai Sriwijaya, pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang kemaritiman. Tak pelak lagi berdasarkan kisah sejarahnya, Sriwijaya telah malang-melintang di perairan Asia Tenggara sampai ke daerah Madagaskar di selatan benua Afrika. Sebuah kajian masa lampau, memperoleh bukti bahwa banyak nama-nama tempat di pantai Campa dan Annam (Vietnam sekarang) berasal dari bahasa Melayu. Hal ini mendukung pendapat pelayaran orang-orang Melayu ke negeri Cina memang dilakukan oleh pelaut-pelaut Melayu dengan menggunakan perahu sendiri.
Hegemoni Sriwijaya atas Selat Malaka dan Laut Jawa selama berabad-abad sudah tentu harus ditopang oleh armada laut yang kuat. Untuk mendukung kekuatan ini, teknologi perkapalan dan ilmu navigasi harus ada. Salah seorang peneliti Sriwijaya berkebangsaan Perancis, Pierre Yves Manguin, mengatakan Sriwijaya sudah menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.
Provinsi Sumatra Selatan menyimpan banyak potensi situs artefak perahu. Hal ini dibuktikan dari 12 situs perahu kuno di Indonesia 5 di antaranya berada di Sumatra Selatan, yakni situs Tanjung Jambu. Samirejo, Kolam Pinisi, Tulung Selapan, dan Karanganyar,
Pada sekitar tahun 1980-an, di satu bagian tebing sungai Lematang di dusun Tanjung Jambu, Kecamatan Merapi Lahat, ditemukan papan perahu kuno yang panjangnya berkisar 3,75 cm, lebar 21 cm, dan tebal 2,4-2,6 cm. Lalu tahun 1987, di Samirejo, di desa Mariana-Musi Banyuasin ditemukan bangkai perahu kuno Pada saat ditemukan kondisi bangkai perahu terletak pada dasar sungai tua yang dahulunya merupakan anak sungai Musi. Ukuran terpanjang papan 10,93 meter dan terpendek 3,5 meter dengan ketebalan 3,5 cm dan lebar 23 cm. Di situs Kolam Pinisi yang terletak di kaki Bukit Siguntang ditemukan juga bekas struktur bangunan perahu yang panjangnya sekitar 2,5 meter dengan ketebalan papan 5 cm dan lebar 20-30 cm. Pada tahun 1992, ditemukan bangkai perahu kuno di dusun Tulung Selapan, OKI. Diduga perahu itu berasal dari abad ke-5 dan ke-8 Masehi. Kemudian di situs Karanganyar (sekarang TPKS) ditemukan potongan papan berukuran panjang 60 cm dengan ketebalan 3 cm.
Mengenai bentuk dan konstruksi kapal pada era Sriwijaya terlihat pada relief-relief (lukisan yang dipahatkan) di dinding Candi Borobudur yang terletak di pulau Jawa. Di antara 11 relief tersebut, menurut pengamatan peneliti van Erp (1923), ada tiga jenis, yakni perahu lesung yang sangat sederhana, perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik. Sedangkan van der Heide membuat tipologi berdasarkan jumlah tiang yang dipakai, yakni perahu dayung tanpa tiang, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan tiang yang terdiri dari dua buah kaki, perahu bertiang tunggal dengan cadik, dan perahu bertiang ganda dengan cadik. Relief kapal-kapal besar tersebut memperlihatkan variasi dalam bentuk, nampak sekali teknologi pembuatan kapal-kapal Sriwijaya tersebut sudah maju.
Bobot kapal Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang sekitar 40 meter. Kapasitas kapal itu mampu menampung penumpang sampai 1000 orang, belum termasuk muatan barang. Kapal jung Cina yang berlayar pada abad ke-16, ketika kerajaan Sriwijaya sudah punah, diduga merupakan tiruan bentuk kapal Sriwijaya. Karena, sebelum abad ke-9 Masehi, negeri Cina tak pernah punya kapal-kapal antarsamudra seperti yang dimiliki armada kerajaan Sriwijaya.
I-tsing yang mencatat perkembangan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi mengatakan, pelayaran orang-orang Melayu di Sumatra ke negeri Cina memang dilakukan pelaut-pelaut Melayu menggunakan perahu sendiri. Kajian Wolters, dari Cornell University, mengenai abad-abad pra-Sriwijaya pun membawa pada kesimpulan yang dimaksud dengan The Shippers of the “Persian’ trade” adalah orang-orang Melayu. Orang Melayu memang pelaut ulung, sehingga orang Portugis membuat buku panduan laut (roteiros) berdasarkan petunjuk-petunjuk dari pelaut Melayu. Ketangkasan bangsa Melayu sebagai pelaut ulung hingga sekarang masih tersisa, misalnya seperti yang masih dapat disaksikan pada kepiawaian sukubangsa Melayu di masyarakat Palembang yang masih bergelut dengan sungai Musi dan di daerah Kepulauan Riau.
Bukti tertulis mengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Sriwijaya disebutkan dalam prasasti Sriwijaya, berita Cina, dan berita Arab. Prasasti dari zaman Sriwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu sebagai alat transportasi utama adalah Prasasti Kedukan Bukit. Dalam Prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 balatentara dan 200 peti perbekalan (logistik) yang diangkut dengan perahu-perahu. Apabila dibandingkan dengan perahu pinisi yang dapat mengangkut 500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hyang dalam ekspedisinya tersebut, sekurang-kurangnya dibutuhkan 40 perahu yang seukuran dengan perahu pinisi.
Tidak ada satupun sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa “orang laut”. Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur pulau Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai Selatan. Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka orang laut dalam arti yang sesungguhnya. Berita Cina yang berasal dari tahun 1225 M menguraikan tentang kehidupan rakyat di kerajaan Swarnabhumi (Sriwijaya). Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Ketika akan perang dengan kerajaan lain, mereka berkumpul dan memilih sendiri panglima dan pemimpinnya. Walaupun keperluan mereka dipenuhi, semua persenjataan dan perbekalan ditanggung mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain, mereka sulit dicari tandingannya. Mungkinkah “orang laut” yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu?
Sebagai “orang laut”, masyarakat maritim Sriwijaya bergaul dan berdagang dengan berbagai bangsa di Asia Tenggara. Dampak, adanya hubungan dengan daratan Asia Tenggara, membawa suatu kemajuan dalam teknologi pembuatan perahu mereka. Berabad-abad setelah keruntuhan Srwijaya, di seluruh perairan Indonesia sekarang ini, banyak ditemukan reruntuhan perahu atau kapal yang tenggelam atau kandas. Dari reruntuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu wilayah budaya Asia Tenggara dan wilayah budaya Cina.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung kapal) perahu berbentuk seperti huruf V, sehingga bagian lunas-nya (bentuk bagian dasar yang membulat) berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk ukuran masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, teknik menyambung antarpapan mengikatnya dengan tali ijuk. Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini, diberi 4 lubang, menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang itu, tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak dari kayu atau bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique).
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo, Mariana, dan Kolam Pinisi di kawasan Palembang, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Indonesia, dan negara jiran (Malaysia), ada kesamaan yang dapat kita cermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu atau kapal yang ditemukan itu, antara lain; teknik ikat, teknik pasak dari kayu atau bambu, teknik gabungan ikat dan pasak dari kayu atau bambu, dan perpaduan teknik pasak dari kayu dan dari paku besi. Melihat teknologi rancangbangun perahu atau kapal tersebut, dapat diketahui tanggal pembuatannya.
Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak dari kayu atau bambu dalam pembuatan perahu atau kapal di Nusantara berasal dari sumber sejarah bangsa Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut jung (berkapasitas lebih dari 600 ton) dibuat tanpa sepotong besi pun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak dari kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut, sampai sekarang masih tetap ditemukan di Indonesia, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi negeri Cina mempunyai ciri-ciri khas, antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu atau kapal dibuat berpetak-petak dan dipasang sekat-sekat yang struktural, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, serta mempunyai kemudi sentra tunggal. Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Varian dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal pinisi dan beberapa perahu tradisional di berbagai daerah di Indonesia. Pada perahu pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara. Akan tetapi, jangan dilupakan perahu tradisional yang pernah berlalu-lalang di sungai Musi, yaitu perahu kajang.
Perahu kajang adalah jenis perahu sungai yang dibuat dari kayu dengan ukuran yang terpanjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 3 meter. Sampai sekitar tahun 1980-an, jenis perahu kajang yang berukuran besar masih dimanfaatkan penduduk di daerah hulu Sumatra Selatan, yakni daerah Kayuagung, untuk mengangkut tembikar produk Kayuagung yang dipasarkan di Palembang. Sejalan dengan kurangnya minat masyarakat memakai barang-barang tembikar, kian lama perahu kajang jenis yang besar berkurang jumlahnya, bahkan sekarang dapat dikatakan sudah punah. Data runtuhan perahu Sriwijaya yang ditemukan di situs Samirejo, boleh jadi merupakan jenis perahu kajang yang berukuran besar. Demikian juga yang ditemukan di situs Tulung Selapan, Sungai Buah, dan Kolam Pinisi yang semuanya terletak di kawasan Palembang.
Agama dan Budaya
Sumber pengetahuan tentang agama Budha di Sriwijaya, juga diketahui dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negeri, yaitu dari orang Cina, Arab, dan India yang mengunjungi kawasan Nusantara dulu. Namun, prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa yang berasal dari abad ke-4 Masehi hingga pra-abad ke-7 Masehi tidak terlalu banyak memberikan informasi. Dari prasasti itu, hanya diketahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India (indienized), seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Diperkirakan raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu, tetapi berdasarkan penemuan patung-patung Budha periode tersebut, dapat disimpulkan pemeluk agama Budha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Daerah Sumatra Selatan, terutama Palembang, selama ini dikenal dengan peninggalan arkeologis dari masa Sriwijaya. Tinggalan arkeologis dan artefak yang bersifat keagamaan sebagian besar berasal dari agama Budha, sedangkan dari agama Hindu relatif tidak banyak. Bukti-bukti arkelogis pada masa sekitar abad ke-7 dan ke-9 Masehi, di Sumatra Selatan menunjukkan hadirnya dan perkembangan agama Budha lebih pesat.
Informasi paling tua tentang keberadaan agama Budha di Jawa dan Sumatra didapat dari catatan pendeta Cina bernama Fah-Hien, yang melakukan perjalanan dari Ceylon (Srilanka) ke Cina pada tahun 414 M, karena kapalnya rusak, ia terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye-Po-Ti. Sampai sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu pulau Jawa atau pulau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah pulau Jawa (Jawadwipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Budha di negeri Ye-Po-Ti itu, walaupun cuma sedikit. Sesudah abad ke-7 Masehi, sejarah perkembangan agama Budha di di kawasan wilayah Asia Tenggara mulai jelas.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-7 Masehi, I-tsing mencatat dengan lengkap perkembangan ajaran agama Budha di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya pada ‘”rumah agama Budha” di India utara, tempat I-tsing tinggal dan belajar selama lebih dari sepuluh tahun. Selama menetap di Sriwijaya, I-tsing menerjemahkan naskah agama Budha, antara lain, 500.000 stanza kitab Tripitaka berbahasa Sanskerta ke bahasa Cina.
Dari catatan I-tsing diketahui, selain menemukan perbedaan, ia juga menemukan banyak kesamaan antara agama Budha di India dan di Sriwijaya. I-tsing menghabiskan hidupnya, sebagai pendeta, untuk mempelajari agama Budha dan keadan biarawan di India dan Sriwijaya. Tentang kehidupan biarawan ini tercatat di dua karya bukunya, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Tatang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng Chuan. Bila dibandingkan catatan Fah-Hien, catatan I-tsing lebih lengkap mengemukakan perkembangan agama Budha yang telah dibangun dengan sangat cepat di pulau Jawa dan pulau Sumatra.
Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama Budha terkenal yang pergi ke negeri di sebelah barat (Sriwijaya). Diceritakannya, kehidupan biarawan Budha pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Ia mengatakan pendeta dari Jawa dan Sumatra adalah cendikiawan bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah pendeta Janabhadra dari Jawa yang tinggal di Sriwijaya. Ia merupakan guru bagi pendeta Cina dan membantu menerjemahkan ajaran Budha ke dalam bahasa Cina. Bahasa yang digunakan oleh pendeta Budha di Sriwijaya adalah bahasa Sanskerta. Bahasa Pali (bahasa yang menurunkan bahasa Sanskerta) tidak digunakan. I-tsing menjelaskan, agama Budha yang dipeluk di seluruh Sriwijaya, kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di negeri Melayu ada sedikit umat Budha yang mengadopsi Mahayana.
Aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana mencapai kepulauan di “Laut Selatan” (istlah I-tsing untuk menyebutkan kawasan kepulauan di Sumatra dan Jawa). I-tsing mengatakan, di kawasan ini hampir secara universal aliran Hinayana dan Mahayana diadaptasi. Ia tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut keduanya. Dari telaah dua bukunya, I-tsing nampaknya tidak terlalu dalam mempelajari masalah filosofi buddhis, melainkan lebih tertarik pada kehidupan dan tugas-tugas yang diemban oleh para biarawan. I-tsing mengatakan, bahwa Hinayana lebih berkembang di Sumatra dan Jawa. Sedangkan di negeri Melayu yang terletak di tengah-tengah pesisir timur Sumatra, ada pula penganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang pendeta dari India yang bernama Dharmapala ke negeri Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana.
Pada awal abad ke-20 Masehi, ditemukan dua prasasti di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang ditemukan di Viengsa, Semenanjung Melayu, berangka tahun tahun 775 M, memuat keterangan salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha, yakni Bodhisatwa, Avalokitesvara, dan Vajrapani. Selain itu, ditemukan plat emas bertuliskan beberapa nama Dyani Budha yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing tersebut, jelas kala itu Sriwijaya menjadi pusat agama Budha. Di Sriwijaya terdapat sebuah lembaga perguruan tinggi Budha yang tidak kalah besar dengan perguruan tinggi di Nalanda, India. Lebih dari 1000 pendeta belajar ajaran Budha. Tata upacara ajaran Budha sama dengan di India, kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar di Sriwijaya. Dari berita itu, jelas Sriwijaya adalah pusat agama Budha Mahayana yang terbuka dan menerima gagasan baru. Oleh karena itu, ketika musafir-musafir Cina yang ingin belajar di India, pasti singgah dulu di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan (belajar) seperti yang dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, Budha Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat di sekitar Palembang yang menyebutkan Dapunta Hyang berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib (sidhayatra) guna keselamatan dan kemajuan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, prosesi ritual semacam itu merupakan upacara bangsa Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita lain, Mahayana yang berkembang kala itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ke-7 Masehi juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari keterangan, salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi dalam ajaran Budha adalah wajrasarira; tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana. Semua ini menunjukkan, pada tahap permulaan, masih ada hubungan yang erat antara ajaran Budha Sriwijaya dan India. Hubungan ini makin lama makin mengurang.
Hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf internasional. Raja Sriwijaya saat itu bernama Sri Sudamaniwarman yang mengaku berasal dari Dinasti Syailendra. Pada saat Sriwijaya mendapat ancaman dari penguasa Jawa, politik Sudamaniwarman adalah mengadakan persahabatan dengan dua negara sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara, yaitu kekaisaran Cina dan Chola di India.
Selain elite religius pendeta agung Syakyakirti, pada masa pemerintahan raja Sudamaniwarman, salah seorang pendeta tinggi dan tergolong ahli di Sriwijaya bernama Dharmakirti pernah mengeritik kitab tafsir Budha yang bejudul Abhisamayalandra. Kekritisan seorang Dharmakirti ini pernah menarik seorang pendeta dari negeri Tibet bernama Atisha datang ke Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar Budha dengan intelektual satu ini. Selain itu, dari berita Cina, Sri Sudamaniwarman pernah mengirim utusan membawa berita bahwa Sriwijaya telah mendirikan bangunan suci Budha untuk memuja agar kaisar Cina panjang umur. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-tien-wa-shou oleh kaisar Cina tersebut.
Dari sumber-sumber arkeologis yang didapat diketahui bahwa pengaruh budaya Hindu-Budha di Sriwijaya tidak hanya berkembang agama Budha saja, tetapi juga agama Hindu. Menilik gaya seni budaya dan agama Hindu yang berkembang di Sumatra pada masa klasik diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 dan ke-15 Masehi. Dapat diduga agama Hindu telah berkembang juga di Sumatra Selatan, sejak sebelum Sriwijaya melebarkan hegemoni pemerintahannya pada akhir abad ke-7 Masehi.
Keberadaan agama ini dibuktikan dengan ditemukan arca Wisnu yang berasal dari abad ke-7 Masehi di situs Kota Kapur, Bangka. Pada abad ke-10 Masehi, agama ini masih menampakkan keberadaaanya, terlihat dari temuan candi Angsoka dan yoni di daerah Palembang. Pada abad ke- 10 sampai ke-12 Masehi, agama Hindu rupanya mencapai puncak perkembangannya. Hal ini terbukti dengan ditemukannya arca-arca dan kompleks bangunan candi luar kawasan Palembang, yakni di situs Tanah Abang, Muaraenim, Sumatra Selatan.
Jadi, banyaknya akumulasi artefak-artefak bersifat Budha di Palembang sekitar abad ke-7-ke-9 Masehi tidak berarti menghambat perkembangan agama Hindu. Walaupun penganut agama Hindu menjadi minoritas pada Sriwijaya, keberadaannya tetap diakui oleh penguasa Sriwijaya.
KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Serangan dari Jawa
Dunia perdagangan dan pelayaran internasional kerajaan Sriwijaya yang maju pesat dikarenakan kerajaan ini menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis yang terletak di sepanjang Selat Malaka disertai kekuatan armada laut yang kuat. Sriwijaya menjalankan politik bersahabat dengan negara-negara tetangganya, walaupun seringkali pula terjadi perperangan yang tidak terelakkan. Misalnya hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan penguasa Jawa telah terjalin sejak zaman raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Tetapi ada kalanya terjadi pertentangan di antara kedua negara tersebut.
Peristiwa pertikaian tersebut diberitakan oleh utusan dari Jawa yang sedang berada di negeri Cina yang mengatakan bahwa negerinya sedang berperang dengan kerajaan Sriwijaya, sedangkan pada saat yang sama (988 M), utusan dari Sriwijaya yang tengah berada di Kanton (Cina) tetap bertahan di kota ini, karena mendengar berita bahwa penguasa Jawa (raja Dharmawangsa) dengan Sriwijaya tengah berperang. Penyebab peperangan tersebut karena memperebutkan kawasan lalu-lintas perdagangan di sekitar Selat Malaka yang memang strategis.
Pada waktu wilayah kekuasan Sriwijaya mendapat serangan dari penguasa Jawa, Sriwijaya pernah meminta bantuan pasukan dari kerajaan Chola (Colomandala) di India. Sriwijaya dapat memulihkan kewibawaannya setelah mendapat serangan dari Jawa tersebut serta dapat mengembalikan wilayah kekuasaannya di kawasan Semenanjung Melayu.
Serangan Kerajaan Chola
Pada saat pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaan Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya membangun candi Budha di Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina raja Sriwijaya, Sri Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama. Karena politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan kerajaan-kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai untuk mempertahankan monopoli perdagangan mereka.
Tahun 1007 M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun 1014, sang putra kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan Sriwijaya dan bahkan memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara Negapatam yang dibangun oleh Sriwijaya.
Pada awal abad ke-11 Masehi, peta politik di sekitar Selat Malaka mulai berubah, persahabatan antara Sriwijaya dan Chola berubah menjadi permusuhan. Tahun 1023 M, raja Rajendra menyerang kedudukan Sriwijaya di Kadaram dan Kataha. Pada abad ke-11 Masehi itu, tercatat tiga kali serangan Chola kepada Sriwijaya.
Dalam serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan kepada daerah Semenanjung Malaka. Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan sama sekali kejayaan Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang terdiri dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di wilayahnya.
Tahun 1025 M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan kedudukan Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau Semenanjung Melayu, tetapi beberapa nama-nama itu belum dapat diidentifikasikan. Tempat yang dapat diidentifikasi dengan pasti adalah Palembang, Melayu (Jambi), dan Pane (pantai timur Sumatra), Langkasuka (Ligor), Takola dan Kedah di daratan Melayu; Tumasik, (sekarang Singapura), Aceh di ujung utara Sumatra, dan kepulauan Nikobar. Namun, serangan dahsyat tersebut, tetap tidak meruntuhkan Sriwijaya, hanya memperkecil daerah kekuasaannya.
Setelah serangan Chola, Sriwijaya kembali dapat membangun menjadi negeri yang besar. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi berupa sisa-sisa bangunan suci; sebuah stupa dan beberapa makara. Salah satu dari makara tersebut berangka tahun 1064 M. Bukti lain berupa kronik Sung-shih tetap mencatat adanya utusan-utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina pada tahun 1028 M, 1067 M, dan 1080 M.
Jadi, serangan Chola yang dahsyat itu tidak membuat kerajaan Sriwijaya lemah. Namun akibat serangan Chola itu cukup fatal terhadap kekuasaan kerajaan Sriwijaya; kekuatan kerajaan maritim ini mulai menurun dan dominasi kerajaan Sriwijaya atas lalu-lintas perdagangan di selat Malaka lambat laun makin pudar. Sriwijaya sudah tidak mampu lagi mengawasi negeri-negeri bawahannya. Dalam situasi demikian, negeri Melayu yang terletak di Jambi, yang sejak abad ke-7 Masehi menjadi bawahan kerajaan Sriwijaya, menggunakan kesempatan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Lemahnya kedudukan Sriwijaya setelah serangan Chola tersebut, juga memungkinkan penguasa Airlangga di Jawa Timur (1019 M-1042 M) untuk merebut kembali daerah yang hilang (1006 M) pada era kekuasaan ayahnya, raja Dharmawangsa. Kebijakan politik Airlangga adalah kerjasama dengan penguasa Sriwijaya dalam menghadapi ancaman dan membendung serangan Chola. Penguasa Sriwijaya dan penguasa Airlangga tersebut sepakat mengadakan perdamaian. Tahun 1030 Airlangga kawin dengan puteri Sanggrama Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Dari tahun 1030 M sampai 1064 M tak ada yang diketahui tentang sejarah Sriwijaya. Tahun 1064, sebuah prasasti berbentuk patung makara, ditemukan di Solok, Sumatra Barat yang berbatasan dengan Jambi, menyebut seorang Dharmavira, tetapi tidak ada yang diketahui tentangnya. Patung itu mengandung bukti-bukti seni Jawa. Rupanya setelah itu upaya Sriwijaya menegakkan kembali kekuasaannya atas Sumatra, tetapi tidak pernah mencapai kekuasaannya yang seperti era sebelumya. Yang jelas, penguasa Sriwijaya dengan Airlangga mencapai suatu kesepakatan untuk membiarkan wilayah kekuasaan Airlangga di bagian barat Nusantara dan Jawa ke timur.
Kebangkitan Kerajaan Melayu
Pertengahan abad ke-11 Masehi, kekuasaan dan kekuatan kerajaan Sriwijaya mulai melemah, negeri Melayu yang selama ini dikuasai Sriwijaya memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka menyebutkan, bahwa pada zaman pemerintahan Vijayabahu di Srilangka tahun 1055 M-1100 M, Pangeran Suryanayana di Malayapura (Melayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnadwipa (Sumatra). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-11 Masehi, negeri Melayu telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Dengan bangkitnya kembali kerajaan Melayu, maka hilanglah kekuasaan kerajaan Sriwijaya atas Selat Malaka, Sriwijaya semakin mundur. Hubungannya dengan negeri Cina pun makin berkurang. Selama abad ke-12 Masehi, Sriwijaya hanya dua kali mengirim utusan ke negeri Cina, yaitu tahun 1156 dan 1178, setelah itu tidak tercatat lagi ada utusan dari Sriwijaya ke negeri tirai bambu ini.
Pemberontakan Candrabhanu dan Faktor lain
Setelah kerajaan Sriwijaya sudah mulai melemah sejak serangan kerajaan Chola, selain bangkitnya kerajaan Melayu, memberi kesempatan kepada tokoh lain untuk muncul, yakni Candrabhanu.
Wilayah kekuasaan Sriwijaya terlalu luas, sehingga pengawasannya tidak mudah. Sebagian ditempatkan di Kedah sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaka, sebagian lagi di pusat pemerintahan Sriwijaya di Sumatra. Kekuasaan dan kebesaran Sriwijaya setelah berkuasa selama beberapa ratus tahun mulai melemah, tidak mampu menghadapi semangat Candrabhanu yang tengah berkobar. Candrabhanu berasal dari wilayah Tambralingga yang termasuk daerah makmur. Kemakmuran Tambralingga ini merupakan modal Candrabhanu untuk mengejar kebebasan dan kejayaannya. Kemenangan pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya menobatkan dirinya sebagai raja Tambralingga. Kemenangan terhadap Sriwijaya tersebut, mendorongnya lagi untuk merebut Grahi, suatu tempat di ujung barat Semenanjung yang paling dekat dengan Kedah.
Semangat Candrabhanu untuk mengejar kejayaan dan kebesaran, setelah 17 tahun menguasai Grahi, tetap berlanjut. Tahun 1247 M, ia melakukan ekspedisi militer ke Srilangka. Hasilnya, Candrabhanu berhasil menguasai sebagian negeri Srilangka. Tahun 1258 dan 1263, terjadi serbuan dari pihak bangsa Pandya, Candrabhanu kalah dan mengakui kekuasaan bangsa ini.
Sebelum adanya pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya itu, pada tahun 1183 dikenal nama Mahasenapati Galanai sebagai raja bawahan Sriwijaya, maka 50 tahun kemudian, yakni pada tahun Kaliyuga 4332 (1230 M), di tempat yang sama muncul nama Candrabhanu Sri Dharmmaraja (Sandrabanu Sri Dharmaraja). Nama ini tercatat pada Prasasti Ch’ai-ya yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Pada tahun 1230 M, Candrabhanu mengeluarkan piagam di Grahi dan menyebut dirinya Tambralinggesywara, maka boleh dipastikan bahwa Candrabhanu memberontak terhadap kekuasaan Sriwijaya. Setelah membebaskan Tambralingga dari kekuasaan Sriwijaya, Candrabhanu mengangkat dirinya sebagai raja Tambralingga dan bergelar Candrabhanu Sri Dharmaraja, kemudian memperluas daerahnya sampai di Grahi. Candrabhanu mengumumkan bahwa ia menjalankan politik-politik Dharmasoka, yakni politik raja Asoka di India. Ia akan berusaha mengembangkan agama Budha. Dengan tegas dinyatakan namanya adalah lambang jasanya kepada segenap manusia. Piagam itu boleh ditafsirkan sebagai proklamasi kemerdekaan negara-negara di pantai-pantai timur Melayu dari kekuasaan Sriwijaya. Timbulnya Candrabhanu berarti patahnya kekuasaan Sriwijaya di Melayu dan juga berakhirnya pemerintahan Dinasti Syailendra di daerah tersebut.
Pemberontakan Candrabhanu terhadap kekuasaan Sriwijaya terjadi antara tahun 1225 M dan 1230 M. Untuk menghindari balas dendam Sriwijaya, politik Candrabhanu adalah memperluas wilayah pemberontakan ke seluruh Semenanjung, dan menikam pusat kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung yang terletak di Kedah.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga berkepentingan terhadap jalur-jalur perdagangan maritim, seperti kerajaan Siam (Burma) yang terletak di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas wilayah kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaya, termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya daerah ini mengakibatkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di kerajaan Sriwijaya makin berkurang.
Sedangkan dari arah timur juga muncul kekuatan baru, yaitu kerajaan Singasari dari pulau Jawa yang diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mengirim ekspedisi militernya tahun 1275 M ke arah barat yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini, mereka dapat menguasai kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga kedudukan kerajaan Sriwijaya semakin melemah.
Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di kerajaan Sriwijaya kian berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasainya jatuh ke dalam wilayah kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau melakukan kegiatan perdagangan sampai ke daerah Melayu yang sudah dikuasai Singasari, tidak dapat lagi melewati daerah perdagangan di wilayah kekuasaan Sriwijaya yang makin sempit. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya sumber penghasilan kerajaan Sriwijaya.
Munculnya kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit di bumi Jawa sebagai kekuatan besar baru di Nusantara, telah menggantikan kebesaran dan kedigjayaan Sriwijaya yang sebelumnya berkuasa di wilayah Nusantara selama berabad-abad.
Menurut babad Mon, serangan dari kerajaan T’ai, di Sukot’ai-Kamboja, merupakan pukulan yang menentukan terhadap wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti yang didirikan oleh Rama Khamheng di Sukot’ai tahun 1292 M menyebut bahwa kerajaan Ligor telah berada di bawah pemerintahannya.
Selain serangan-serangan dari negara tetangga dan timbulnya pemberontakan, menurut Budenani di antara, faktor yang mempercepat keruntuhan Sriwijaya adalah serangan para bajak laut (nomad laut) yang selama ini “bekerja sama” dengan penguasa Sriwijaya berbalik arah menyerang sampai masuk ke wilayah inti kekuasan kerajssn Sriwijaya.
Selain faktor politik dan ekonomi yang telah disebutkan, sebagian para ahli ada yang berpendapat lain, penyebab melemahnya kerajaan Sriwijaya adalah faktor alam, yakni terjadinya sedimentasi (pengedapan lumpur pada garis pantai) di muara sungai Musi dan pantai timur Sumatra menyebabkan makin jauhnya ibukota kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan. Sehingga kontrol penguasa Sriwijaya terhadap pusat-pusat aktivitas perdagangan di daerah pelabuhan-pelabuhan semakin melemah.
Penutup
Kebesaran masa lalu kerajaan Sriwijaya bukanlah hanya sekedar romantisme bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Sumatra Bagian Selatan (Sumatra Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Bangka-Belitung) terhadap eksistensi leluhurnya. Berdasarkan kajian dari peninggalan-peninggalan Sriwijaya yang bersifat artefaktual, maupun sajian dalam berbagai literatur yang membicarakan hal-ikhwal Sriwijaya, tidaklah terbantahkan bahwa pada masanya Sriwijaya memang adalah sebuah kerajaan yang besar.
Keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan maritim, termasuk salah satu dari kerajaan-kerajaan besar dunia yang jumlahnya memang tidak banyak, memiliki masa rentang kekuasaan panjang yang berkisar tujuh abad lamanya, yakni ± abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi. Sriwijaya selain diakui sebagai sebuah kerajaan terbesar pada masa atau babakan awal penerapan sistem kerajaan (masa klasik) di Nusantara, juga merupakan kerajaan pertama yang mengilhami akan semangat kenusantaraan.
Berdasarkan penelusuran sejarah kebudayaan di bumi Nusantara, sangat logis bila dikatakan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar di masa itu, karena cikal-bakal kebesaran atau tingginya peradaban manusia di bumi Sriwijaya, memang telah ada, dirintis, dan berlangsung sejak masa Nirleka Indonesia (2000-1000 SM = tradisi Megalitik Pasemah). Kala itu masyarakat di wilayah Dataran Tinggi Pasemah telah memiliki budaya tinggi, kemudian Sriwijaya melanjutkannya.
Jadi, semangat otonomi dan benih-benih demokrasi yang telah diklaim, seolah menjadi ciri kekinian masyarakat dunia saat ini, ternyata telah ada dan dihayati jauh sebelumnya oleh masyarakat di wilayah Sumatra Bagian Selatan, tepatnya sejak masa Pasemah purba dengan tradisi megalitiknya dan pada masa kerajaan Sriwijaya dengan kebudayaan Budha dan Hindu.
Kebesaran Sriwijaya sampai saat ini masih terus bergema. Namun sayang sekali, sampai saat ini, dapat dikatakan sumber-sumber sejarah Sriwijaya masih sangat sedikit yang ditemukan. Bukti-bukti arkeologis, epigrafis, palaeografis, dan referensi tetulis tentang Sriwijaya masih sangat langka dan terbatas, bahkan sebagian besar manuskrip mengenai kajian tentang Sriwjaya justru terdapat di luar negeri. Akumulasi penggalian dan kajian ilmiah yang pernah dilakukan oleh peneliti asing maupun lokal belum bisa mengungkap semua fakta sejarah Sriwijaya. Akibat keterbatasan ini, rekonstruksi sejarah Sriwijaya mengalami banyak kesulitan.
Polemik yang muncul mengenai Minanga, Mukha Upang, nama raja-raja Sriwijaya yang pernah berkuasa, periodesasi, bahkan lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya sampai saat ini masih terus bergulir. Namun bagi ilmu sejarah, interpretasi dan teori yang berbeda dalam suatu studi sejarah adalah suatu berkah dan anugrah, karena perspektif sejarah sebagai ilmu, di antaranya, bersifat dinamis dan penuh keterbukaan. Asalkan multipendapat tersebut tetap berlandaskan dan didukung oleh data, fakta, teori, dan interpretasi yang objektif, ilmiah, dan rasional sehingga kian mendekati kebenaran sejarah, terutama sejarah Sriwijaya.
Tahun 1988, daerah sekitar Palembang mendapat sorotan tajam dari pakar sejarah Indonesia yang terdiri Dr Hasan Muarif Ambary dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang didampingi ahli purbakala Hindu-Budha Soejatmi Sutari, arkeolog Bambang Budi Utomo, arkeolog yang dikirim dari Usaid MI Dr E Edwards Mc Kinnon, dan peneliti perahu kuno Perancis Piere Yves Manguin. Kelima peneliti sejarah dengan disiplin ilmu masing-masing mengadakan ceramah di Palembang pada tahun 1988. Kesimpulan mereka, nilai ilmiah kepurbakalan dari sejarah Sriwijaya, yang berkepentingan terhadap sejarah Sriwijaya bukanlah hanya orang Indonesia pada umumnya dan orang Palembang atau Sumatra Selatan khususnya. Namun lebih dari itu, kedudukan Sriwijaya pada masa lampau abad ke-7 sampai ke-13 Masehi adalah sama pentingnya seperti kerajaan Islam yang berpusat di Baghdad, Asia Barat, ketika dipimpin oleh Harun Al Rasyid.
Apapun pendapat para peneliti mengenai Sriwijaya, yang jelas sampai saat ini, fakta arkeologis dan artefaktual kerajaan Sriwijaya paling banyak ditemukan di wilayah Palembang, sehingga interpretasi dan teori para peneliti mayoritas bertendensi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya diduga kuat memang berada di Palembang saat ini. [*]
Sumber : Dapunta. com
Penulis: Erwan Suryanegara bin Asnawi Jayanegara, dkk.
Penerbit: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Selatan
Cetakan: 1 tahun 2008 Pimpinan Pelaksana Proyek: Dra. Hj. Dewi Astenia, M.Ed
Penanggung Jawab: Drs. Amalani
Pendahuluan
JAUH sebelum Indonesia memasuki masa sejarah, masyarakat di seantero bumi Nusantara belum mengenal budaya tulis-menulis atau disebut masa Nirleka (tanpa tulisan; pra-aksara; prasejarah). Walaupun masih dalam masa prasejarah, di Sumatra Bagian Selatan, tepatnya di Dataran Tinggi Pasemah, saat itu telah ada kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan tinggi.
Sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) hingga 1000 SM, masyarakat prasejarah yang menetap di Dataran Tinggi Pasemah, sudah mengenal atau menghasilkan karya-karya budaya dengan tradisi megalitik (batu besar). Keberadaan karya-karya budaya tersebut erat kaitannya dengan tradisi atau kepercayaan asli bangsa Indonesia, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hingga kini artefak-artefak peninggalan tradisi megalitik itu, masih dapat dijumpai di sekitar Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, hingga ke Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Jambi.
Van der Hoop mengatakan tradisi megalitik Indonesia telah dimulai sejak ± 2000 SM. R.P Soejono mengatakan di Nias, Toraja (Sulawesi), Sumba, dan Flores hingga saat ini tradisi megalitiknya masih hidup dan terus berlanjut hingga sekarang (living megalithic tradition), sedangkan artefak Megalitik Pasemah tergolong monumen megalitik yang sudah tidak dipakai lagi (dead monuments).
Temuan-temuan peninggalan dari masyarakat yang memiliki tradisi megalitik di bumi Pasemah ini, sangat beragam jenis maupun jumlah satuannya. Artefak-artefak itu, antara lain, berupa lukisan di dinding bilik kubur batu, gambar di permukaan bongkahan batu dan di dinding batu dengan teknik gores atau toreh (batu bergores dan dinding batu bergores), patung batu, kubur batu, menhir, batu datar, lumpang batu, dolmen, dan batu tegak (kosala). Dari sekian banyak jenis itu, patung (idol=pujaan) Megalitik Pasemah merupakan jenis temuan yang terbanyak jumlah satuannya.
Berdasarkan kajian antropologi, arkeologi, dan seni rupa dapat diketahui, artefak-artefak purba di Dataran Tinggi Pasemah memiliki keunikannya yang khas, dan merupakan hasil karya budaya suatu masyarakat prasejarah yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Bahkan, jika merujuk dengan keragaman karya-karya rupa yang telah dihasilkan oleh masyarakat di lereng gunung Dempo kala itu, baik berupa patung, lukisan, gerabah, manik-manik, hiasan (ornamen), dan termasuk arsitekturnya dapat dikatakan bahwa seni rupa di bumi Nusantara mulai, dan terus-menerus mengalami keragaman dan perkembangannya hingga sampai pada seni rupa Indonesia hari ini, berawal dari tradisi Megalitik Pasemah.
Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah
Letak kawasan pesisir timur Sumatra Selatan dari pendekatan geohistoris punya posisi yang strategis dalam konfigurasi persebaran situs-situs arkeologi di pulau Sumatra. Kedudukan yang terletak antara negeri Cina dan India telah memungkinkan daerah-daerah pesisir di wilayah ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur barat dan timur, pun sebaliknya.
Ahli epigrafi Louis Charles Damais mengatakan, sumber-sumber kesusasteraan asing (luar Indonesia), khususnya dari India, menyebut nama Sumatra, antara lain dari Kitab Milindapanca yang ditulis sekitar abad ke-1 SM, sedangkan Kitab Mahanidesa yang ditulis sekitar abad ke-3 Masehi menyebut nama beberapa pulau, seperti Swarnabhumi (Sumatra), Jawadwipa (Jawa), dan Wangka (Bangka). Demikian pula sumber Cina, antara tahun 245 M sampai 473 M, juga mencatat beberapa nama tempat seperti Tu-po (Cho-ye), Ho-lo-tan, Po-huang, Kan-to-li, dan Ko-ying, yang semuanya terletak di daerah “Laut Selatan” .
Jarak antara “Laut Selatan” dengan negeri Cina sekitar 5000 li. Mengingat catatan tersebut kebanyakan dibuat oleh para pedagang atau musafir dalam pelayarannya dari Cina ke India atau sebaliknya, maka diduga bahwa daerah yang dimaksud dengan “Laut Selatan” dalam catatan Cina tersebut adalah wilayah Indonesia bagian barat, atau terletak di sekitar antara Selat Malaka dan Laut Jawa sekarang. Dalam catatan I-tsing, yang ditulis sekitar abad ke-7 Masehi, terdapat nama-nama daerah yang langsung berhadapan dengan laut atau disebut chou yang terletak di pantai timur Sumatra. Menurut I-tsing, nama-nama tersebut dari arah barat adalah Po-lu-shi, Mo-le-you, Mo-ho-sin, dan Ho-ling. Menurut peneliti Wolters, Po-lu-shi itu identik dengan nama Barus, suatu tempat yang terletak di bagian utara pulau Sumatra. Sementara, peneliti Takakusu menginterpretasikan Mo-ho-sin sebagai nama Mukha Asin yang identik dengan Banyu Asin (Banyuasin).
Walaupun saat itu masyarakat Nusantara belum mengenal tulisan, namun dari catatan di atas diuraikan bahwa pulau-pulau tertentu di Nusantara kala itu sangat subur dan menghasilkan beras, emas, cula badak, kayu cendana, dan komoditas lain. Menurut hasil penelitian, J.L. Brandes, ahli tentang kebudayaan Nusantara, menjelang masuk ke periode sejarah (mulai mengenal tulisan), penduduk Nusantara telah mengenal beberapa kepandaian, yakni dapat membuat figur manusia atau hewan (patung atau arca), mengenal pola-pola hias, mengenal instrumen musik, mengetahui cara mengecor logam, mengembangkan tradisi lisan, mengenal alat tukar, mengenal teknik navigasi, mengetahui ilmu astronomi, melaksanakan irigasi pertanian, dan mengenal tatanan masyarakat yang sudah teratur dan tertata baik.
Munculnya kerajaan Sriwijaya di bumi Nusantara menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama berkaitan dengan masa-masa pra-Sriwijaya. Realitas sejarah menunjukkan pada abad ke-7 muncul sebuah kerajaan (Sriwijaya) yang dalam waktu relatif singkat dapat berkembang menjadi besar dan kuat sehingga memegang peranan dan berpengaruh di kawasan Asia.
Sekitar satu abad menjelang munculnya Sriwijaya, di pesisir timur Sumatra mulai memperlihatkan kemajuan yang berarti. Di Kota Kapur, pulau Bangka (tempat ditemukannya Prasasti Kota Kapur dari masa Sriwijaya), telah ditemukannya dua buah candi (Candi I dan II) yang terbuat dari material batu putih. Hasil penelitian karbon (C14) yang diperoleh dari tempat di bawah reruntuhan candi, memperlihatkan suatu usia (awal abad ke-6 Masehi) yang berarti lebih tua dari umur kemunculan Sriwijaya.
Pada bangunan Candi II, yang tersisa hanya bagian kaki candinya itu, di bagian tengahnya terdapat sebuah batu bulat yang menancap menyerupai menhir. Pada salah satu sisinya, terdapat tanda-tanda adanya saluran kecil semacam somasutra yang menghubungkan antara menhir itu dengan bagian sisi luar bangunan. Pada sisa bangunan Candi I, para peneliti juga menemukan dua arca serta sejumlah pecahan (fragmen) tangan arca. Kedua arca tersebut menggambarkan arca Wisnu yang secara ikonografis (ilmu tentang arca kuno) dapat dikelompokkan sebagai arca-arca produk abad ke-6 Masehi pula.
Selain penemuan yang bersifat artefak aktivitas religius itu, pada tahun 2000-an, di pemukiman transmigrasi Karangagung Tengah, desa Karangmukti dan Mulyo-agung, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan ditemukan situs pemukiman masyarakat kuno yang diduga hidup pada menjelang masa sejarah (abad ke-4 Masehi). Hal ini membuktikan, bahwa sebelum kemunculan Sriwijaya sebagai kekuatan besar di kawasan Asia pada sekitar abad ke-7 Masehi, telah ada masyarakat yang memiliki pemukiman padat di wilayah Sumatra Selatan.
Kerajaan-kerajaan Awal di Nusantara
Setelah tulisan atau aksara mulai digunakan di Nusantara, maka perjalanan sejarah di bumi Nusantara memasuki lembar baru, yaitu babak sejarah. Sumber sejarah Indonesia di masa-masa awal (purba) sangatlah terbatas jumlahnya. Sumber sejarah dalam negeri yang ada hanya berupa benda-benda temuan bersifat artefaktual, khususnya batu bertulis atau prasasti, namun yang cukup membantu adalah adanya sumber-sumber asing berupa berita atau catatan-catatan (kronik) terutama dari Cina, India, dan juga Arab.
Diberitakan, setelah hubungan pelayaran dan perdagangan dunia ketika itu khususnya di wilayah Asia semakin ramai, dengan ditemukannya jalur laut antara Romawi dan Cina. Rute baru jalur laut hubungan dagang antara Cina dengan Romawi itu, nampaknya telah mendorong pula hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Nusantara. Karena posisi Nusantara yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dan transaksi dagang antara Nusantara dengan Cina dan juga India.
Melalui hubungan dagang antara Nusantara dengan India, maka secara lambat laun budaya dan agama Budha-Hindu masuk, dianut oleh para raja-raja dan bangsawan, kemudian tersebar di Nusantara. Berawal dari keluarga raja dan para bangsawan itulah agama Budha-Hindu tersebar luas sampai ke lingkungan rakyat biasa.
Dalam sejarahnya, penyiaran budaya dan agama Budha lebih dahulu masuk ke Nusantara dibandingkan dengan budaya dan agama Hindu. Tersiarnya ajaran Budha di Nusantara itu, diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan beberapa patung batu, beberapa diantaranya ditemukan di Palembang. Sejak masuknya pengaruh budaya dan agama Budha-Hindu di Nusantara, maka semula masyarakatnya hanya mengenal sistem suku atau kepala suku (interpares), lambat laun berganti dengan sistem raja atau kerajaan.
Kerajaan Kutai
Diawali ketika Prasasti Kutai yang berangka tahun 400 M ditemukan di pulau Kalimantan, maka dapat diketahui bahwa pada saat itulah masa sejarah Indonesia dimulai. Nama prasasti ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuannya, yakni di daerah Kutai, di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dari prasasti lain yang berhasil ditemukan di daerah ini, tidak satupun yang menyebutkan nama kerajaan tersebut, sehingga oleh para ahli, kerajaan ini diberi nama kerajaan Kutai dan disepakati merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan Kutai mendapat pengaruh budaya dan agama Hindu. Raja-raja Kutai yang dapat diketahui adalah Kudungga (kepala suku yang menjadi raja), Aswawarman, dan Mulawarman. Di masa pemerintahan Mulawarman inilah kerajaan Kutai mengalami masa keemasan, rakyatnya dapat hidup sejahtera dan aman.
Kerajaan Tarumanegara
Setelah ditemukannya Prasasti Kutai, di wilayah Ciaruteun (Bogor), Jawa Barat, juga ditemukan prasasti batu bertulis, dikenal sebagai Prasasti “Batutulis” Bogor, yang tidak terdapat angka tahunnya. Namun dengan perbandingan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang digunakan, prasasti ini diperkirakan berasal dari masa ± abad ke-5 Masehi. Pada prasasti itu disebutkan bahwa di daerah ini ada kerajaan yang bernama kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang bernama Purnawarman.
Dalam berita Cina pada masa Dinasti Tang, seorang pendeta Cina yang bernama Fa-Hien pernah terdampar di pantai pulau Jawa (414 M). Selanjutnya dia menuliskan bahwa masyarakat yang dijumpainya itu, telah mendapat pengaruh Hindu dan merupakan masyarakat kerajaan Tarumanegara. Pada Prasasti Ciaruteun, dipahatkan dua buah tapak kaki seperti tapak kaki Dewa Wisnu yang merupakan simbol tapak kaki Purnawarman sebagai raja yang gagah berani.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan yang mengutip pendapat Louis Charles Damais, pada awal atau sebelum kerajaan Tarumanegara mendapat pengaruh Hindu, nama kerajaan ini adalah kerajaan Aruteun, mengingat berita-berita Cina yang menyebutkan adanya kerajaan yang bernama Ho-lo-tan (Aruteun).
Kerajaan Holing
Dalam berita Cina lain, masih dalam masa Dinasti Tang, seorang pendeta yang bernama I-tsing menyebutkan sahabatnya pergi ke suatu tempat yang bernama Holing pada tahun 664 M untuk mempelajari agama Budha. Selain itu, juga diberitakan bahwa kerajaan Holing telah beberapakali mengirim utusan ke Cina. Kerajaan Holing tersebut diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Diberitakan juga dalam menjalankan pemerintahannya, kebijakan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana.
Lokasi atau letak kerajaan Holing sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan para ahli sejarah. Berdasarkan berita-berita asing, diperkirakan kerajaan Holing terletak di pulau Jawa, yaitu Kalingga di Jawa Tengah atau Keling di lembah sungai Brantas. Namun menurut J.L. Moens, kerajaan Holing itu terletak di Semenanjung Malaka (Malaysia), karena di daerah Malaka ini juga ditemukan sebuah daerah yang bernama Keling.
Terlepas dari keragaman pendapat para ahli sejarah tersebut, yang jelas kerajaan Holing ini diduga kuat terletak di pulau Jawa. Hal tadi didasarkan pada kata She-po yang juga dipakai sebagai nama lain dari Holing, dan kata She-po ini merupakan penyebutan orang Cina untuk nama Jawa.
Kerajaan Bangka
Ketika pendeta I-tsing, berdasarkan catatan perjalanannya tahun 685 M, urut-urutan negeri dari barat ke timur, dituliskan nama Mo-ho-hsin sesudah Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan sebelum Ho-ling. Artinya, Mo-ho-hsin terletak di antara Sriwijaya dan Holing. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, setidak-tidaknya pelayaran dari Sriwijaya ke Holing harus terlebih dahulu melalui tempat yang bernama Mo-ho-hsin.
Para ahli sejarah masih belum sampai pada kata sepakat dalam mengidentifikasi tentang Mo-ho-hsin. Namun, berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pantai barat pulau Bangka menunjukkan, pada abad ke-7 Masehi di daerah ini terdapat sebuah negeri taklukan Sriwijaya yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di pulau Bangka.
Sampai sekarang memang belum dapat dipastikan terjemahan yang tepat terhadap kata Mo-ho-hsin. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, besar kemungkinan kata Mo-ho-hsin berhubungan dengan kata Sanskerta, moha, yang berarti “bingung” atau “linglung.” Dengan demikian, mungkin bukan suatu kebetulan jika sekarang pulau ini bernama Bangka, karena dari sana timbul istilah tua-bangka yang biasanya ditujukan kepada orang yang sudah tua dan bingung.
Kerajaan Seputih
Pada catatan pendeta Fa-Hsien (414 M), diberitakan kapal yang ditumpanginya terdampar di negeri yang bernama Yeh-po-ti. Identifikasi para ahli sejarah tentang negeri ini juga masih simpang-siur.
Adalah G.E. Gerini berpendapat bahwa Yeh-po-ti terletak di pantai timur Sumatra, namun lokasi tepatnya tidak dijelaskan. Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat bahwa Yeh-po-ti adalah terjemahan dari nama Seputih, daerah sekitar Way Seputih, daerah pantai timur Lampung. Menurut data arkeologi, di daerah ini pernah berkembang suatu negeri, yaitu dengan ditemukannya lingga dan arca Hindu yang besar dan patung Dewi Hindu. Pada abad ke-7 Masehi, kerajaan Seputih ini sudah berada dalam taklukan kekuasaan Sriwijaya.
Kerajaan Talangpedang
Dalam berita Cina tercatat dua buah negeri yang dituliskan berurutan, yakni To-lang dan Po-hwang, sebagai nama negeri di “Laut Selatan”. Oleh Gabriel Ferrand pada tahun 1918, kedua nama itu digabungkan menjadi satu menjadi To-lang-po-hwang. Lalu lokasinya dinyatakan di Tulangbawang (sekarang Lampung Utara). Argumen Gabriel itu tidak lebih dari dugaan semata, karena hingga kini tidak ada bukti data arkeologis yang mendukung pendapat ini. Menurut pendapat beberapa peneliti sejarah, To-lang dan Po-hwang merupakan dua nama tempat yang berbeda.
Kemungkinan yang lebih mendekati adalah nama To-lang mungkin ada hubungannya dengan Talangpedang, nama daerah yang sekarang terletak di sebelah barat Tanjungkarang, Lampung. Di Talangpedang ditemukan data arkeologis yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, setelah Talangpedang ditaklukkan oleh Sriwijaya, namanya kemudian menghilang atau tidak disebut-sebut lagi dalam berita-berita Cina selanjutnya.
Kerajaan Bawang
Berita Cina menyebutkan negeri Po-hwang mengirim utusannya pada tahun 442 M, 449 M, 451 M, 459 M, 464 M, dan 466 M. O.W. Wolters dari Universitas Cornell berpendapat, nama Po-hwang merupakan terjemahan dari nama Bawang, namun tidak disebutkan lokasi tepatnya.
Di daerah Bawang, negeri Sekala Bekhak, Lampung Utara, telah ditemukan prasasti persumpahan Sriwijaya. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Bawang dahulu pernah ada sebuah negeri yang cukup penting. Pada abad ke-5 Masehi, kerajaan Bawang (Po-hwang) itu, berkali-kali mengirim utusan ke negeri Cina. Namun setelah kerajaan Bawang ditaklukkan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi, namanya juga menghilang dari catatan-catatan musafir Cina.
Kerajaan Melayu
Khusus di wilayah pulau Sumatra, menurut catatan I-tsing, disebutkan bahwa pada tahun 671 M di Jambi atau lebih tepatnya di tepian sungai Batanghari, merupakan pusat kerajaan Melayu. Kronik atau catatan Hsin-tang-shu pernah mencatat ada utusan dari negeri Mo-lo-yu (Melayu) datang ke istana kekaisaran Cina pada tahun 644-645 M.
Walaupun menurut catatan I-tsing, Kerajaan Melayu pada abad ke-7 M secara politik telah tunduk dan berada dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan dan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada seperti keberadaan kompleks percandian di Muaro Jambi, merupakan kompleks percandian terluas di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup penting dan berpengaruh khususnya di Sumatra kala itu, terutama setelah masa keemasan kerajaan Sriwijaya mulai memudar. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Jambi tidak dapat dipisahkan dari kebesaran kerajaan Melayu, baik kerajaan Melayu kuno (pra-Sriwijaya) maupun kerajaan Melayu setelah masa Sriwijaya.
Berdasarkan penelitian geomorfologi terhadap pantai timur Sumatra yang dilakukan oleh tim Dinas Purbakala Indonesia tahun 1954, pada kurun waktu abad ke-7 Masehi, wilayah Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Posisi Palembang dan Jambi hari ini adalah karena terjadinya proses sedimentasi selama berabad-abad. Hasil penelitian itu sangat mendukung keberadaan kerajaan-kerajaan besar, seperti kerajaan Melayu dan Sriwijaya, memang memiliki posisi yang sangat strategis bagi akses dunia pelayaran atau perdagangan jalur laut internasional kala itu.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Kemunculan dalam Pentas Sejarah
Pulau Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti, sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan (kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara bagian barat.
Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de Çriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).
Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume de Çriwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah menerjemahkan naskah Arab yang berjudul “Akhbaru ‘s-Shin wa ‘l-Hind” (Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata “Jawa” yang dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza.
Catatan atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya).
Sumber-sumber berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (960-1279 M), kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti Ming (1368-1643 M), dan kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M).
Kata Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.
Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Çriwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu Çriwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla Çriwijaya (tentara Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan Çriwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden (karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah Marawijayatunggawarman, raja Çriwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah). Dan keempat, nama Çrivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala), Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti yang ditemukan di Tanjore, India Selatan.
Selain itu, Coedes mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel menulis karangan Het Koninkrijk Çrivijaya, tahun 1919.
Tahun itu juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul “De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschiedenis” (bukunya berjudul Hindoe Javaansche Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan judul L’Empire Sumatranais de Çrivijaya.
Peran Coedes dalam mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam, banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo.
Prasasti dan Arca
Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi.
Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).
Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Kedukan Bukit:
(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya, sakti, kaya […].
Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang dan makmur.
Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Talang Tuwo:
(1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….
Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.
Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.
Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Teks Prasasti Telaga Batu
(1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi.
Terjemahan oleh G. Coedes:
Om! Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…
Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.
Teks Prasati Kota Kapur:
siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….
Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1) siddha kitaÅ‹ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haÅ‹kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteÅ‹ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maÅ‹ra [ksa yaÅ‹ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaÅ‹ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraÅ‹ di dalaÅ‹na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaÅ‹ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….
Prasasti Boom Baru
Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.
Teks Prasasti Bom Baru:
1. ….(Niuja) droha (ka)…
2. tida ya bhakti tatwa arjawa dy-aku dngan…
3. wunuh ya sumpah ni (suruh) tapik-ya…(sriwijaya)
4. ya dngan gotra santananya…
5. maka langit. urang maka sakit maka gila…
6. upuh tuwa kasihan wasikarana itye (wamadi)…
7. pulang ka yang muah yang dosanya muah…
8. kadaci yang bhakti tatwa arjawa dy-aku…
9. datua santi muah (kawuatanya) dngan gotra (santananya)
10. samrddha swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah ya (wanuan)
11. nya parawis.
Terjemahan:
1. (Dikatakan) durhaka….
2. (apabila) ia tidak bakti dan tunduk (bertindak lemah-lembut)
kepadaku dengan…
3. dibunuh ia oleh sumpah dan di(suruh) supaya hancur oleh…(sriwijaya)
4. ya dengan sanak-keluarganya…
5. menyebabkan orang hilang (maka langit), menyebabkan orang sakit
(maka sakit) dan menyebabkan orang gila (maka gila)….
6. racun (upah) dan tuba (tuwa), mengguna-guna orang supaya jatuh
cinta (kasihan), mengguna-gunai orang supaya jatuh cinta (kasihan),
mengguna-gunai orang supaya tunduk pada kemauannya
(wasikarana), dan demikian selanjutnya (ityewamadi)…
7. kembali (pulang) ke asalnya lagi ke dosanya lagi…
8. tetapi apabila setiap kali (kadaci) ia berbakti dan tunduk kepadaku
(dy-aku : maksudnya raja Sriwijaya)
9. dan taat kepada kedudukan raja (datua) ia akan menemukan kembali
(kawuatannya: perbuatannya) kesentosaan dan keselamatan (santi)
dengan sanak keluarganya (gotra santanaya)
10. tumbuh mencapai kemenangan (samrddha), selama sejahtera (sastha),
sehat wal’afiat (niroga), bebas malapetaka (nirupadrawa), makmur
(subhiksa)
11. seluruh negeri (wanuannya pewaris).
Isi dan pesan yang dimuat dalam teks Prasasti Boom Baru sama dengan prasasti Sriwijaya lainnya, yaitu berisi kutukan kepada siapapun yang berani melawan atau melanggar peraturan kerajaan Sriwijaya, serta memuat doa keselamatan bagi mereka maupun keluarganya apabila tunduk dan patuh terhadap raja Sriwijaya.
Prasasi Karang Berahi
Prasasti yang ditemukan tahun 1904 oleh Berkhout ini tidak berangka tahun dan merupakan satu-satunya Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Merangin.
Seperti prasasti Sriwijaya lain, prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini juga berhuruf Palllawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari kira-kira abad ke-7 Masehi ini, terdiri dari 16 baris, mirip dengan Prasasti Kota Kapur, tetapi tidak memuat tentang penyerangan oleh tentara Sriwijaya.
Prasasti Ligor
Di daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu, ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 775 M yang ditulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut Prasasti Ligor A memuat keterangan raja Sriwijaya.. Tulisan pada sisi B disebut Prasasti Ligor B menyebut seorang raja bernama Wisnu yang bergelar Sarwarimadawimathana.. Baik Prasasti Ligor A maupun Prasasti Ligor B ditulis dalam bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan tentang ibukota Ligor sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasati ini ditemukan di Nalanda, India bagian timur (Negara Bagian Bihar). Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diduga berasal dari abad ke-9 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputra Dewa, raja Sriwijaya yang beragama Budha. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira).
Selain itu, disebutkan juga bahwa raja Nalanda yang bernama Dewapaladewa, berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para pelajar Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Prasasti Bungkuk (Jabung)
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Prasasti ini tidak berangka tahun, berdasarkan palaeografi, diperkirakan prasasti ini satu zaman dengan prasasti Sriwijaya lainnya. Isi teksnya juga memuat kutukan atau sumpah dan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu Kuno biasa.
Prasasti Kambang Unglen 1
Sebuah pecahan atau fragmen prasasti batu berwarna kuning keputihan, panjang 36 cm, lebar 22 cm dan tebal 9,5 cm. Ditemukan pada 22 September 1987 di Kambang Unglen, Kota Palembang (dekat Bukit Siguntang). Fragmen Prasasti batu itu dipahat dengan beberapa baris tulisan, sebuah di antaranya berukuran panjang 27 cm dan tinggi huruf 3 cm. Sayang sekali tulisan tipe Sriwijaya itu sudah aus. Tulisan yang masih dapat dibaca berbunyi … jaya siddhayatra sarwastwa (… perjalanan suci (ziarah) yang menang dan sukses bagi semua mahluk). Kalimat itu dapat dibandingkan dengan kalimat terakhir Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang berbunyi … Sriwijaya jaya siddayatra subhiksa ni (t) yakala (… Sriwijaya yang menang dalam perjalanan suci yang berhasil, makmur melimpah senantiasa). Prasasti ini disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Prasasti Kambang Unglen 2
Fragmen prasasti yang ditemukan di halaman sekolah SMP PGRI VII, Kambang Unglen, Ilir Barat I, Palembang, Sumatra Selatan. Fragmen ini berukuran 12 x 13 cm, dengan huruf berukuran 1,5 x 2 cm. Dari keempat baris prasasti yang masih terlihat, yang masih mungkin terbaca, hanya tiga baris saja walaupun agak sulit.
Prasasti yang terbuat dari batu berwarna merah kekuningan ini, berdasarkan bentuk-bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari masa Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), berbahasa Melayu Kuno. Isi prasasti ini sendiri masih sulit untuk diketahui, dikarenakan huruf-hurufnya yang sudah tidak jelas. Prasasti Kambang Unglen 2 juga disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah prasasti kutukan, karena dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang telah disebutkan, lima di antaranya merupakan prasasti kutukan.
Prasasti-prasasti Sriwijaya di atas, seperti Prasasti Kedukan Bukit cenderung membulat, Prasasti Talang Tuwo cenderung segi empat miring (trapesium), Prasasti Telaga Batu berbentuk tapal kuda, Prasasti Boom Baru cenderung berbentuk bulat telur (elips), serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Karang Berahi cenderung berbentuk setengah lingkaran (tapal kuda). Bentuk prasasti yang beragam tersebut, karena bongkah-bongkah batu yang dijadikan prasasti tersebut diperkirakan media batunya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi memang sudah tersedia di lokasinya masing-masing (nonmobile art).
Arca
Selain prasasti, artefak sumber sejarah Sriwijaya adalah arca. Arca adalah sarana yang penting bagi kehidupan keagamaan Hindu-Budha, karena merupakan salah satu media dalam pemujaan kepada dewa.
Menurut Bambang Budi Utomo, berdasarkan data inventarisasi arca logam dan batu yang ditemukan di Sumatra jumlahnya 116 buah arca, sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, yakni sekitar 65 buah arca. Sedangkan arca yang ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 29 buah arca, ditemukan di Sumatra bagian utara berjumlah 17 buah arca, dan ditemukan di Kota Kapur, Bangka berjumlah 4 buah arca. Arca-arca ini ada yang sudah selesai dikerjakan dan ada yang belum selesai, namun pada bagian tertentu sudah mencirikan gaya seninya. Arca-arca yang berlanggam Syailendra (abad ke-8 dan ke-9 Masehi) sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan berjumlah 21 buah arca dan ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 12 buah arca. Data tersebut menunjukkan kejayaan pengaruh kejayaan seni Syailendra ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya.
Arca yang ditemukan di sekitar Palembang tidak hanya meliputi arca-arca Budha saja, tetapi juga arca Hindu. Ini membuktikan bahwa meskipun Sriwijaya merupakan salah satu dari pusat studi agama Budha, tetapi tetap ada kerukunan dalam kehidupan beragama. Beberapa arca-arca Sriwijaya itu di antaranya adalah sebagai berikut:
Arca Budha, dari Bukit Siguntang, Palembang
Arca ini merupakan arca terbesar yang berasal dari masa Sriwijaya, tingginya sekitar 3 meter. Arca bersikap berdiri ini digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya. Ciri-cirinya menunjukkan gaya Amarawati, yang berkembang di India Selatan pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi, tetapi masih berkembang di Srilanka sampai abad ke-8 Masehi. Jadi, diperkirakan arca Budha Bukit Siguntang ini berasal dari sekitar abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca ini sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.
Arca Ganesha, dari Jalan Mayor Ruslan (Pagaralam), Palembang
Arca ini ditemukan di area Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jalan yang sebelumnya bernama Lorong Pagaralam di dekat sungai Bendungan yang bermuara ke sungai Musi.
Arca ini mempunyai hiasan-hiasan yang mirip arca Jawa Tengah, tetapi cara duduknya (kaki kanan dilipat ke atas) seperti arca-arca India Selatan. Tampaknya banyak pengaruh India Selatan pada arca Sriwijaya yang satu ini. Arca ini sekarang diletakkan di halaman.
Arca Budha, dari Tingkip, Musirawas
Arca yang ditemukan di Tingkip, Musirawas pada tahun 1980, berdiri di atas padmasana (lapik yang berbentuk bunga teratai), kedua tangan diangkat ke atas dengan sikap witarkamudra (sikap Budha mengajarkan dharma atau ajaran agama). Jubahnya yang transparan menutup kedua bahu. Tampaknya arca ini termasuk ke dalam kelompok gaya pra-Angkor yang berkembang pada sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi, atau gaya Dwarawati (Thailand) yang berkembang pada sekitar abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Arca ini disimpan di Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Arca Awalokiteswara, dari Bingin, Musirawas
Ditemukan di Bingin, Kabupaten Musirawas ini merupakan contoh arca Budha yang berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Cirinya yang menarik adalah tampak pada arca Amithaba dan mahkotanya, kainnya ditutup dengan kulit rusa pada bagian pinggulnya. Pada bagian belakang arca terdapat inskripsi yang berbunyi dang acaryya syuta (gelar pendeta Budha).
Arca Wisnu, dari Kota Kapur, Bangka
Di Kota Kapur, Bangka, ditemukan struktur bangunan dari batu putih. Di antara runtuhan fondasi candi terdapat fragmen beberapa arca Wisnu. Diperkirakan fragmen tersebut berasal dari setidak-tidaknya 3 buah arca Wisnu. Diduga arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi.
Semua arca Wisnu ini mempunyai ciri yang sama, yaitu bentuk mahkota seperti silinder, seperti pada arca Wisnu di Khmer dari masa pra-Angkor. Hiasannya sederhana, kain panjangnya sampai di bawah lutut, berhias pola garis lengkung, bertangan empat, hanya sayang sudah patah. Pada beberapa fragmen tangan tampak ada yang memegang padma (bunga teratai). Di belakang kepala ada sandaran melengkung yang sudah patah, rambut ikal terurai tampak menutup leher belakang, di atas bahu. Semua temuan arca Kota Kapur disimpan di Balai Arkeologi Palembang.
Arca Awalokiteswara, dari Sarang Waty, Lemahabang (Lemabang), Palembang
Arca ini ditemukan tahun 1959 tepatnya di halaman belakang rumah yang bertuliskan Sarang Waty (Rumah Waty) milik Basaruddin Itjo yang terletak di pertemuan Jalan Bambang Utoyo No. 1A dengan Jalan Pendawa, Lemabang, Palembang. Saat ini (2008), arca yang pernah dicuri sampai ke Jambi tapi telah dikembalikan lagi, telah dipindahkan dari halaman belakang rumah ke samping rumah itu (in situ).
Bersama-sama dengan arca ini juga ditemukan ratusan stupika tanah liat yang berwarna putih. Tampaknya arca ini belum selesai dibuat, karena belum memakai perhiasan, hanya pada mahkotanya terdapat arca amithaba. Arca ini diduga berasal dari sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Arca Perunggu Maitreya, Budha, dan Awalokiteswara dari Komering
Ketiga arca ini ditemukan di Sungai Komering. Berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Ketiga arca menunjukkan gaya seni Jawa Tengah. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Arca Siwa Mahadewa, Perunggu, dari Palembang
Arca ini ditemukan di Palembang. Pahatannya menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-9 Masehi. Arca ini masih lengkap, memiliki 4 tangan, kedua tangan belakang memegang sebuah tasbih dan camara (alat untuk menghalau lalat), sedangkan tangan kanan depan dalam sikap witarka mudra, tangan kiri depan memegang sebuah kendi.
Arca memakai upawita (selempang yang melintang dari bahu kiri ke kanan) ular, gelang bahu, gelang tangan, sebuah kalung, dan hiasan telinga. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit (di sisi kiri) dan kainnya berhias lipitan-lipitan halus. Sehelai kain harimau menutupinya hingga ke atas pinggangnya. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Arca Siwa Mahadewa, dari Tanah Abang, Muaraenim
Arca yang sudah pecah pada bagian kepala dan sandaran atas ini mungkin menggambarkan Siwa Mahadewa. Badan arca ini sama dengan semua arca dari Candi I Tanah Abang, yaitu dari batu putih (batu kapur).
Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan 4, tangan kanan belakangnya memegang pisau bertangan panjang, tangan kiri belakang memegang tasbih. Semua arca Candi I Tanah Abang, memakai perhiasan berupa jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Gaya pahatan dan cirinya menunjukkan masa Jawa Timur awal sekitar abad ke-12 Masehi.
Arca Siwa Mahaguru, dari Muaraenim
Temuan dari Candi I Tanah Abang yang lain adalah arca Siwa Mahayana yang mukanya sudah aus dan sandaran bagian kanan telah hilang. Tapi masih lengkap bagian badannya. Bertangan dua, tangan kanan memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi (komandalu). Kainnya polos, transparan, panjangnya sampai betis, sampurnya memakai simpul pita yang indah.
Arca berdiri di atas padmasana yang permukaannya dihias dengan pola biji teratai. Perhiasannya seperti arca yang lain, terdiri dari jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Memakai selempang dada dan uncal yang panjangnya sampai lutut.
Arca Leluhur I, dari Muaraenim
Arca laki-laki ini digolongkan ke dalam kelompok arca leluhur atau arca yang merupakan perwujudan seseorang, jadi bukan menggambarkan dewa. Ini didasarkan atas tidak adanya atribut tertentu yang dapat menjadikan penentu sebagai arca dewa.
Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan dua, kedua tangan terletak di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat bunga padma mekar. Rambut ikal di kedua bahunya memperkuat dugaan arca ini mempunyai gaya Jawa Timur. Di sekeliling tepi sandaran terdapat hiasan lidah api.
Arca Leluhur II, dari Muaraenim
Seperti juga arca Leluhur I, arca Leluhur II tidak mempunyai atribut tertentu yang menunjukkan identitas kedewaannya. Arca ini duduk bersila di atas lapik polos, kedua tangannya di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat benda bundar, mungkin menggambarkan bunga mekar. Berbeda dengan arca Leluhur I, arca ini digambarkan berbadan gemuk, terutama pada bagian perut, seperti pada perut Agastya atau Ganesha. Arca ini juga termasuk arca dengan gaya Jawa Timur.
Arca Nandi, dari Muaraenim
Selain 4 arca tokoh dewa dan leluhur, di Candi I Tanah Abang juga ditemukan arca nandi, yaitu wahana (hewan sapi tunggangan dewa Siwa). Arca nandi ini digambarkan duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, memakai kalung dengan bandul genta-genta kecil dan hiasan untaian manik-manik mengikat moncongnya. Gaya seninya mirip dengan gaya seni kerajaan Singasari dari abad ke-13 Masehi.
Stambha, dari Palembang
Artefak ini disebut stambha, sejenis tiang, karena bentuknya mirip demikian, hanya terdiri dari beberapa mahluk, yang saling menunggangi. Yang paling bawah adalah gajah, kemudian raksasa atau ghana, dan paling atas singa.
Berbeda dengan arca-arca yang lain yang dibuat dari batu kapur, stambha ini dibuat dari andesit. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer, terutama di daerah India Timur pada abad ke-10 sampai ke-12 Masehi. Semua arca dari Candi I Tanah Abang masih in situ.
Selain artefak dalam bentuk arca-arca, artefak Sriwijaya lain, ditemukan dalam bentuk keramik, porselin, dan manik-manik yang juga banyak ditemukan di daerah Palembang.
Lokasi Kerajaan Sriwijaya
Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di wilayah Asia Tenggara telah terjalin sejak lama. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut tentu akan melewati negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara senantiasa mengirimkan utusan-utusannya ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan atau adanya hubungan dengan kaisar Cina. Tidak mengherankan, jika dalam kronik-kronik Cina banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara. Jatuhnya kerajaan Funan yang terletak di sepanjang sungai Mekong dan Phnom Penh (Kamboja), sebagai salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara, membuka bangkitnya kerajaam maritim di ujung barat Nusantara, sebagai kekuatan baru di Asia Tenggara, yaitu kerajaan Sriwijaya.
Nama negeri-negeri di Asia Tenggara tersebut, biasanya ditulis dalam bahasa Cina yang memiliki kecenderungan berbeda jauh dengan nama aslinya. Oleh karena itu, para pakar peneliti sejarah Sriwijaya sepakat terhadap nama suatu kerajaan atau suatu tempat yang terdapat dalam catatan-catatan Cina perlu diidentifikasi atau ditransliterasikan secara cermat, kemudian baru diperkirakan lokasinya, seperti istilah Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi. Para pakar sejarah Sriwijaya juga sudah menyepakati, baik Shih-li-fo-shi maupun San-fo-tsi merupakan sebutan bangsa Cina terhadap kerajaan Sriwijaya yang terletak di kawasan Asia Tenggara, seperti dalam laporan atau berita perjalanan mereka.
Identifikasi lokasi kerajaan Sriwijaya yang paling lengkap diceritakan melalui catatan kisah perjalanan (pelayaran) pendeta Cina yang bernama I-tsing, dari Kanton (Cina) ke India, ia sempat singgah di negeri Sriwijaya. Setelah kembali dari India, ia menetap bertahun-tahun di Sriwijaya. Pada tahun 689 M, I-tsing sempat pulang ke Kanton lalu kembali ke Sriwijaya. Selama tinggal di Sriwijaya, antara tahun 689 M sampai tahun 692 M, ia menghasilkan dua buah buku, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Ta-tang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng chuan. Tiga tahun kemudian (695 M), barulah I-tsing benar-benar pulang ke Kanton atau tidak kembali lagi ke Sriwijaya.
Dalam dua buku tersebut, I-tsing menceritakan letak dan keadaan Sriwijaya. Catatan pelayarannya dari Kanton ke Sriwijaya tahun 671 M, I-tsing menggambarkan letak kerajaan Sriwijaya sebagai berikut:
“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan…. setelah kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Shi-li-fo-shih. Di sini saya berdiam selama 6 bulan untuk belajar sabdawidya (tata bahasa Sanskerta). Sribaginda (Sriwijaya) sangat baik kepada saya (I-tsing). Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Mo-lo-yu (Melayu), tempat saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran menuju Chieh-cha (Kedah)…. berlayar dari (Kedah) menuju utara selama lebih dari sepuluh hari, kami sampai di kepulauaan “orang telanjang” (Nikobar)…. dari sini berlayar ke arah barat selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tan-mo-li-ti (Tamralipti, pantai timur India).”
Dari tulisan atau berita I-tsing di atas, dapat diketahui bahwa pelayarannya dari Sriwijaya ke Kedah, ia sempat singgah di negeri Melayu. Artinya, negeri Melayu terletak di tengah jalur pelayaran antara Sriwijaya dengan Kedah. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685 M, ia berlayar dari Tamralipti (India) menuju Kedah.
Nama Mo-lo-yu (Melayu) muncul untuk pertamakalinya ketika mengirimkan cinderamata negeri Melayu kepada kaisar Cina pada tahun 644 M. Negeri Melayu itu terletak di Provinsi Jambi sekarang ini. Ketika I-tsing pertama kalinya berkunjung ke Sriwijaya, ia pergi juga ke negeri Melayu dengan naik kapal. I-tsing menuliskan, pelayarannya dari Sriwijaya ke Melayu memakan waktu 15 hari.
Rute pelayaran dari Tamralipti (India) ke Sriwijaya tersebut, I-tsing menuliskan, nama-nama negeri di Asia Tenggara yang diuraikan secara berurut dari barat ke timur, nama Sriwijaya ditulis sesudah nama Melayu. Artinya, kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah timur atau tenggara kerajaan Melayu atau Jambi sekarang. Berikut petikan catatan perjalanan I-tsing ketika pulang dari India tahun 685 M.
“Tamralipti adalah (pelabuhan) kami naik kapal jika kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara dalam waktu dua bulan kami di Kedah. Tempat ini kini menjadi kepulauan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan purnama atau kedua. Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan lamanya kami sampai di negeri Melayu, yang kini menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di negeri Melayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Ketika I-tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di kerajaan Sriwijaya Hal ini berarti bahwa sungai di Sriwijaya yang dimaksud I-tsing itu cukup lebar sehingga dapat dilalui dan dimasukki kapal-kapal.
Nia Kurnia Sholihat Irfan mengatakan, di sebelah timur atau tenggara Jambi yang mempunyai sungai lebar, satu-satunya tempat yang memenuhi syarat adalah Palembang dengan sungai Musinya. Jadi, waktu itu, diperkirakan pusat Sriwijaya terletak di tepi sungai Musi Palembang sekarang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian geomorfologi yang membuktikan Palembang pada abad ke-7 Masehi masih terletak di tepi laut.
Catatan I-tsing yang mengatakan, “Orang yang berdiri pada tengah hari di Sriwijaya tidak mempunyai bayang-bayang”. Menurut Nia, tidak berarti bahwa lokasi Sriwijaya harus dicari tepat pada garis khatulistiwa (lintang nol derajat), melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat sebagai lokasi Sriwijaya, karena terletak pada posisi tiga derajat Lintang Selatan. Jadi masih dekat dengan khatulistiwa. Perlu diingat bahwa I-tsing biasa hidup di negerinya (Cina), bayang-bayang pada tengah hari cukup panjang. Dapat dipahami jika I-tsing mengatakan di Sriwijaya (maksudnya Palembang) tidak ada bayang-bayang pada tengah hari.
Ditinjau dari data-data arkeologi, pendapat lokasi Sriwijaya di Palembang memperoleh bukti atau fakta yang kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang seperti Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Boom Baru, dan beberapa pecahan (fragmen) batu prasasti, serta batu-batu yang menceritakan siddhayatra (perjalanan suci). Pada salah satu pecahan prasasti yang ditemukan di Palembang terdapat keterangan mengenai perdatuan (wilayah inti raja). Prasasti Telaga Batu misalnya, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan, baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, seperti putra mahkota, selir raja, para menteri, hakim, senapati (pejabat militer), sampai kepala pembersih istana, dan pelayan istana. Juga di Palembang banyak ditemukan arca Budha yang kini tersimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa Provinsi Sumatra Selatan maupun yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Pendapat Sekitar Pusat Kerajaan
Di manakah istana atau pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya? Pertanyaan ini terus menghantui setiap kajian tentang Sriwijaya. Masalahnya Sriwijaya tidak ditemukannya istana yang fisiknya masih bisa dilihat hingga sekarang. Idealnya, istana suatu kerajaan menjadi rujukan penting untuk menentukan pusat pemerintahan dari kerajaan yang telah tiada.
Banyak teori dan pendapat yang muncul mengenai lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya, tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Para peneliti dan pakar sejarah baik dari Indonesia maupun asing masing-masing berargumen untuk menetapkan lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya. Yang jelas apapun alasannya, keberadaan kerajaan Sriwijaya telah terbukti dan hampir tidak dipersoalkan lagi. Ia telah menjadi bagian penting yang mewarnai gerak sejarah Indonesia. Hanya, mengenai penetapan ibukota atau pusat pemerintahannya yang hingga kini masih menjadi polemik di antara para pakar sejarah. Mereka mengeluarkan berbagai pendapat tentang ibukota Sriwijaya.
Pemikiran kritis mengenai lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya, pertamakali digagas oleh Samuel Beal tahun 1886. Beal berkesimpulan bahwa Sriwijaya berpusat di daerah yang dinamakan Pa-lin-fong (saat ini Palembang). Istilah Pa-lin-fong diperkirakan mulai muncul tahun 1225 berdasarkan kronik Chu-fan-chi. Pendapat Beal didukung oleh:
Coedes yang juga mengatakan Sriwijaya di Palembang.
Ahli arkeologi R.C. Majumdar, dalam tulisannya Le Roia Syailendra de Suvarnadvipa tahun 1933, berpendapat bahwa Sriwijaya hendaknya dicari di pulau Jawa. Dan setelah pusat aktivitas Sriwijaya pindah, baru dicari di daerah Ligor, Muangthai Selatan. Sementara itu H.G. Quartich Wales, dalam tulisannya A Newly Explored Route of Ancient Indian Cultural Expansion tahun 1935, memperkirakan ibukota Sriwijaya pada awalnya ada di Chaiya, Provinsi Surat Thani, Mungthai Selatan. Selain Chaiya, Wales menunjuk Ligor sebagai pusat kegiatan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi berdasarkan kajian yang dilakukan Wales kemudian, ia menetapkan lokasi Sriwijaya di daerah Perak, Semenanjung Malaysia sekarang ini.
Lain lagi pendapat J.L. Moens, dalam tulisannya Çrivijaya. Java en Kataha tahun 1973, semula ia menetapkan Kelantan (Malaysia) sebagai ibukota Sriwijaya, kemudian pindah ke daerah Muara Takus di pedalaman Sumatra bagian tengah. Pendapat yang dikemukakan Moens inipun didasari oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan arkeolog senior Indonesia, Soekmono, dalam tulisannya Early Civilization of South-east Asia tahun 1958, melihat kemungkinan kota Jambi sekarang sebagai pusat kegiatan Sriwijaya. Alasannya, kota Jambi bila dibandingkan dengan kawasan Palembang (dahulu) merupakan daerah yang sangat strategis. Sebab Jambi memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan untuk menjadi pusat kegiatan kerajaan maritim Sriwijaya. Dari dasar inilah Soekmono berpendapat Sriwijaya mampu dan memegang hegemoni maritim yang besar.
Menurut Purbacaraka, pusat pemerintahan Sriwijaya berawal dari sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di desa Minangkabau, Sumatra Barat. Sedangkan Muhammad Yamin cenderung mengatakan pusat pemerintahan Sriwijaya berada di Palembang.
Kesimpulan Nia Kurnia Sholihat Irfan, dalam bukunya Sejarah Sriwijaya yang terbit tahun 1983, senada dengan pendapat Beal, Coedes, dan Muhammad Yamin. Nia mengatakan bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, sedangkan Arlan Ismail berpendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berawal di Komering Ulu, Sumatra Selatan sebelum eksodus ke Palembang.
Boechari, ahli epigrafi senior Indonesia, melakukan pembuktian lewat Prasasti Kedukan Bukit. Hasil analisisnya terhadap Prasasti Kedukan Bukit, dikatakan bahwa pada mulanya pusat kerajaan Sriwijaya berada di timur Bangkinang, di tepi sungai Kampar, Riau. Ini sesuai dengan berita I-tsing yang menunjukkan daerah sekitar khatulistiwa sebagai letak pusat kerajaan Sriwijaya. Dan di hulu Bangkinang, terdapat suatu kompleks percandian agama Budha, yaitu Candi Muara Takus di Provinsi Jambi.
Dari sanalah 20 ribu pasukan Dapunta Hyang, bergerak lewat laut dan 1.312 rombongan lainnya melalui jalan darat. Di Mukha Upang, mereka bergabung menuju Melimbang (Palembang). Tepat tanggal 5 suklapaksa bulan Asdha tahun 604 Saka (16 Juni 682 M). Dapunta Hyang bersama pasukannya mendarat dan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan tanggal 16 Juni 682 M merupakan peletakan batu pertama suatu bangunan kota, rumah para pejabat kerajaan, dan peribadatan.
Mukha Upang tersebut diperkirakan terletak di daerah Air Sugian sekarang (Lampung), sebagai lokasi pendaratan Dapunta Hyang, karena di daerah tersebut pada tahun 1988 telah ditemukan suatu situs Air Sugian yang banyak ditemukan manik-manik kaca, keramik Cina dan memiliki bentuk peradaban yang sudah maju. Setelah ada berita mengenai tentaranya yang melalui darat, barulah melanjutkan ke tempat yang dituju, yaitu Palembang. Oleh karena itu, hanya Palembang yang paling meyakinkan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
Dalam Prasasti Telaga Batu, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, termasuk putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri sampai kepada pelayan istana. Jadi tidak diragukan lagi bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Menurut hasil penelitian Balai Arkeologi Palembang, jauh sebelum Sriwijaya ditemukan kembali sebagai nama sebuah kerajaan, di kalangan masyarakat Palembang dan Sumatra Selatan umumnya telah beredar mitos mengenai kebesaran Sriwijaya. Sebelum dibuktikan lokasi pusat Sriwijaya di Palembang, masyarakat sudah yakin lokasi pusat kerajaan ini berada di Palembang.
Bukti tertulis mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di Palembang. Di antara prasasti yang ditemukan di Palembang adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Boom Baru. Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang pembangunan wanua (tempat tinggal) yang bernama Sriwijaya oleh Dapunta Hyang; Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) merupakan prasasti persumpahan yang juga menyebutkan nama-nama pejabat kerajaan mulai dari putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, sampai ke tukang cuci kerajaan; Prasasti Talang Tuwo bertanggal 23 Maret 684 Masehi berisi tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua mahluk; dan Prasasti Boom Baru juga merupakan prasasti persumpahan raja Sriwijaya. Dari keempat prasasti ini sudah cukup kuat untuk menempatkan pusat Sriwijaya di Palembang saat ini. Prasasti Telaga Batu merupakan bukti kuat karena prasasti persumpahan ini menyebut nama-nama pejabat yang disumpah sewajarnya ditempatkan di ibukota dan ibukota tersebut tempat tinggal para pejabat tersebut.
Bukti prasasti cukup menyakinkan Palembang merupakan pusat awal kerajaan Sriwijaya. Namun bukti tersebut perlu bukti arkelogis lain yang dapat mendukung dan menguatkan teori tersebut. Sebuah kota merupakan kumpulan dan tempat tinggal penduduk kota itu. Indikator kuat dari sebuah sisa pemukiman adalah barang-barang keramik dan tembikar karena barang-barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Di Palembang indikator pemukiman kuno yang berupa pecahan (fragmen) keramik banyak ditemukan di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Ladangsirap, Karanganyar, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Gedingsuro. Pecahan-pecahan keramik yang ditemukan di tempat-tempat tersebut sebagian besar berasal dari masa Dinasti T-ang (abad ke-8 sampai ke-10 Masehi), kemudian menyusul Dinasti Song (abad ke-10 sampai 13 Masehi) dan Dinasti Yuan (abad ke-12 sampai ke-14 Masehi) dari negeri Cina. Khusus untuk situs Talang Kikim, temuan keramik di rawa-rawa demikan padat. Ini mengindikasikan pemukiman pada masa lampau mengambil tempat di rawa-rawa berupa rumah tinggal yang didirikan di atas air.
Kota Sriwijaya jelas dilengkapi pula dengan bangunan-bangunan keagamaan. Indikator adanya bangunan keagamaaan ditemukan di situs-situs daerah yang letaknya tinggi, yaitu situs Bukit Siguntang, Candi Angsoka, Pagaralam (Jalan Mayor Ruslan), Lemahabang (Sarang Waty), dan Gedingsuro. Dari situs-situs tersebut ditemukan arca-arca dari batu dan logam, stupika tanah liat, dan runtuhan bangunan bata.
Sebagai sebuah kota yang pernah menjadi pusat agama Budha Mahayana, tentu berdiam para pendeta dan wihara-wihara. Situs yang diduga merupakan artefak wihara ditemukan di Lemahabang (Sarangwaty) dan Gedingsuro (pada bukit kecil di sebelah utara kompleks percandian). Stupika-stupika tanah liat dan arca-arca logam yang berukuran kecil (8-15 cm) tersebut, merupakan indikator bahwa stupika dan arca tersebut biasanya ditempatkan di Wihara.
Daerah sebelah barat kota Palembang merupakan daerah penting untuk kajian kota Sriwijaya, karena di daerah ini cukup banyak artefak budaya masa Sriwijaya. Di mulai situs Bukit Siguntang yang merupakan situs keagamaan. Di tempat ini ditemukan sebuah arca Budha yang tingginya hampir 4 meter dan runtuhan bangunan bata yang diduga merupakan sisa bangunan stupa. Agak jauh ke arah utara dari Bukit Siguntang terdapat situs Talang Kikim dan Tanjung Rawah yang merupakan sisa pemukinan kuno; di sebelah selatan Bukit Siguntang terdapat situs Karanganyar, Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Purun, dan Kambang Unglen juga merupakan situs pemukiman.
Situs Karanganyar merupakan bangunan dengan tiga buah kolam dan tujuh batang parit yang saling berhubungan. Areal Karanganyar terdapat Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Unglen, dan Kambang Purun. Situs Kambang Unglen merupakan situs penting karena situs ini ditemukan indikator industri manik-manik kaca yang ditemukan bersama pecahan keramik T’ang (abad ke-8 dan 10 Masehi) dan pecahan-pecahan prasasti abad ke-7 Masehi.
Jadi berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang tersebut, yang dilandasi bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di kawasan Palembang, diduga seluruh Palembang sisi utara sungai Musi merupakan titik awal kota Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13 Masehi.
Para ahli boleh berselisih pendapat. Tetapi para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) yang telah melakukan penelitian di sekitar Palembang sejak 1983, mengungkapkan fakta-fakta peninggalan berupa prasasti yang didukung oleh bukti-bukti artefak peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya, seperti arca, candi, keramik, dan serpihan kapal, umumnya banyak ditemukan di daerah Sumatra Selatan, khususnya Palembang.
Dalam pembuktian bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya secara ilmiah dikemukakan lewat temuan-temuan keramik yang tersebar di berbagai tempat di Palembang. Keramik-keramik yang ditemukan baik di Palembang barat (antara Bukit Siguntang dan Karanganyar) maupun di Palembang Timur (Gede Ing Suro dan sekitarnya), kebanyakan berasal dari abad ke-6 Masehi hingga ke-13 Masehi, pada rentang masa kejayaan Sriwijaya. Ada anggapan bahwa keramik-keramik itu juga berasal dari daerah lain. Tetapi, dengan ditemukannya keramik besar-besaran di berbagai tempat di sekitar Palembang semakin membuktikan bahwa benda-benda itu memang adanya di Palembang.
Dari bukti keramik tersebut, menunjukkan Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Untuk memperkuat asumsi bahwa Sriwijaya memang di Palembang, tahun 1985, peneliti Sriwijaya Manguin membuat foto-foto udara. Dari foto-foto udara itu, terlihat jelas bahwa di daerah Bukit Siguntang, Karang Anyar, Palembang ditemukan bangunan air yang menyerupai kanal sepanjang 3.300 meter. Bangunan itu, tampak berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan garis-garis yang membujur dari utara ke selatan. Setelah diteliti, bentuk persegi panjang dan bujur sangkar yang tampak itu memperlihatkan bahwa di daerah tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan besar, karena telah memiliki tatakota yang baik dan terencana.
Berdasarkan telaah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya yang keberadaannya dimulai abad ke-7 Masehi, banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa Palembang merupakan pusat ibukota Sriwijaya, dengan alasan, pertama, prasasti Sriwijaya paling banyak ditemukan di daerah Palembang. Kedua, prasasti tertua Sriwijaya (Prasasti Kedukan Bukit) ditemukan di Palembang. Ketiga, posisi Palembang berada di sebelah Selatan negeri Melayu (Jambi), sesuai catatan perjalanan pendeta I-tsing. Dan keempat, berdasarkan hasil pemotretan udara (penelitian geomorfologi), keberadaan pantai timur Sumatra pada sekitar abad ke-10 Masehi, ternyata saat itu, Palembang dan Jambi masih terletak di tepi pantai. Fakta ini kian memperkuat pendapat bahwasanya Sriwijaya adalah kerajaan maritim.
Merujuk pada potensi alam dan temuan sisa-sisa hunian kuno serta kesinambungannya dengan keberadaan rumah panggung dan rumah rakit di Sumatra Selatan hingga sekarang, dapat diprediksi istana kerajaan Sriwijaya juga kemungkinan besar terbuat dari konstruksi kayu.
Perkembangan Wilayah Kekuasaan
Ketika kerajaan Sriwijaya mulai berdiri, wilayah kekuasaannya masih terbatas pada sekitar Palembang sekarang. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, letak Palembang pada abad ke-7 Masehi kurang menguntungkan jika ditinjau dari lalu-lintas pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan yang letaknya strategis adalah pelabuhan Melayu di Jambi. I-tsing mengatakan bahwa kapal-kapal yang berlayar ke negeri Cina, umumnya melalui pelabuhan Kedah dan Melayu. Dari Melayu kapal-kapal itu berlayar ke utara menuju Kanton (Cina). Namun, berdasarkan catatan I-tsing pula, ketika ia datang untuk yang kedua kalinya, kerajaan Melayu sudah dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya.
Awalnya Sriwijaya hanya disinggahi oleh para pendeta Cina untuk urusan keagamaan, karena Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai pusat kegiatan agama Budha. Pendeta-pendeta Cina berziarah ke Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta atau menerjemahkan naskah-naskah Budha. Menurut I-tsing, di Sriwijaya berdiam seorang guru agama Budha yang termasyur, ia bernama Syakyakirti. Dikatakan juga bahwa di Sriwijaya terdapat lebih dari 1.000 pendeta agama Budha yang rajin mempelajari dan meneliti ajaran Budha. Para pendeta tersebut mempelajari seluruh masalah secara nyata seperti di India. Oleh karena itu, pendeta I-tsing yang ingin pergi ke India, belajar di Sriwijaya dulu baru pergi ke India.
Pada awalnya, perkembangan bidang keagamaan di Sriwijaya, lebih maju dibandingkan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan. Sedangkan di Melayu dan Kedah, perkembangan ekonomi dan perdagangan lebih menonjol, dibandingkan dengan perkembangan agama, karena memang Melayu dan Kedah memiliki pelabuhan yang lebih strategis di Selat Malaka. Maka, satu jalan untuk mengembangkan negerinya, Sriwijaya mau tidak mau harus menguasai atau menaklukan Melayu dan Kedah. Tetapi sebelum menaklukkan Melayu dan Kedah, strategi kerajaan Sriwijaya adalah menguasai daerah di sekitarnya terlebih dahulu seperti Bangka, Tulang Bawang, baru Melayu, dan Kedah, sampai ke Kepulauan Riau dan Lingga. Bahkan sampai ke pulau Jawa, seperti yang tercantum dalam Prasasti Kota Kapur.
Penaklukkan atau ekspansi awal yang dilakukan Sriwijaya adalah terhadap negeri-negeri yang terdekat dengan Sriwijaya. Setelah menundukkan Bangka, Lampung juga dapat dikuasai. Bukti Bangka dan Lampung pernah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya ditemukannya prasasti-prasasti persumpahan di daerah tersebut, yaitu Prasasti Kota Kapur di Bangka dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Setelah Bangka dan Lampung takluk, maka Sriwijaya terus memperluas ruang lingkup wilayah ekspansinya atas daerah-daerah sekitar dengan menguasai Melayu, penaklukkan ini bertujuan untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan Melayu di Selat Malaka yang saat itu memang mempunyai fungsi yang sangat strategis untuk mengembangkan perekonomian Sriwijaya.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, penaklukkan kerajaan Melayu oleh Sriwijaya diperkirakan terjadi sebelum tahun 682 M, sebab pada tahun 682 M tentara Sriwijaya sudah menguasai Minanga (Binanga), sebagaimana tercantum dalam Prasasti Kedukan Bukit. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan diikuti 20.000 balatentara. Dengan penguasaan negeri Melayu dan Minanga, maka daerah pantai timur Sumatra praktis telah berada dalam pengawasan kerajaan Sriwijaya.
Bahwa negeri Melayu sudah benar-benar ditaklukkan oleh Sriwijaya, terbukti dengan ditemukannya prasasti persumpahan, yaitu Prasasti Karang Berahi di Jambi, serta pernyataan I-tsing, ketika pulang dari India tahun 685, negeri Melayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.
Kedah menjadi korban berikutnya, setelah menaklukkan Melayu, Sriwijaya menyeberang dari Selat Malaka untuk menduduki Semenanjung Malaka. Sasaran utamanya adalah negeri Kedah yang cukup ramai disinggahi oleh para pedagang asing. I-tsing mengatakan ketika ia pulang dari India tahun 685, Kedah sudah menjadi kekuasaanya kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya juga menguasai daerah Muangthai Selatan (775 M). Hal ini dibuktikan dari keterangan Prasasti Ligor yang ditemukan di Tanah Semenanjung Melayu (Thailand Selatan). Dalam Prasasti tersebut disebutkan seorang raja Sriwijaya memerintahkan pembuatan bangunan-bangunan Budha.
Tahun 686 M, tentara Sriwijaya berangkat menyerang pulau Jawa. Pada waktu itu, kerajaan Taruma di Jawa Barat masih berdiri, sebab masih mengirimkan utusan ke negeri Cina pada tahun 669 M. Setelah ada penyerangan pasukan Sriwijaya tahun 686 M, nama Taruma juga menghilang dari catatan kronik Cina. Diperkirakan kerajaan Taruma juga menjadi korban ekspansi Sriwijaya. Setelah kerajaan Taruma sebagai pintu masuk ke pulau Jawa dikuasai, Sriwijaya juga dapat menaklukkan kerajaan di Jawa Tengah.
Dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Sriwijaya mulai mendominasi jalur pelayaran dan perdagangan internasional saat itu. Setiap pelayaran dari Asia Barat dan Asia Timur atau sebaliknya. Mau tidak mau harus melewati teritorial kerajaan Sriwijaya.
Penguasaan Sriwijaya atas jalur pelayaran strategis selama berabad-abad tentu harus didukung dan dilindungi oleh pasukan armada yang kuat. Pasti, Sriwijaya harus menguasai teknologi perkapalan dan ilmu navigasi.
Dengan penguasaan jalur pelayaran strategis dan mendominasi perdagangan, jelas menguntungkan kerajaan Sriwijaya untuk menarik pajak-pajak dari kapal yang masuk di wilayahnya. Pundi-pundi yang mengisi kas kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan kaya. Dampaknya, rakyat Sriwijaya dibebaskan dari segala macam pajak kepada negara.
Apalagi sejak bertahtanya Raja Balaputra Dewa, bidang sosial budaya, politik, agama di kerajaan Sriwijaya berkembang sangat pesat. Balaputra Dewa menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan besar seperti kekaisaran Cina, dan India. Hubungan itu bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu, Balaputra Dewa berusaha meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya melalui pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Nalanda di India Selatan yang menyebutkan terdapat pelajar dan mahasiswa dari kerajaan Sriwijaya yang belajar berbagai ilmu pengetahuan di Nalanda. Juga, adanya seorang guru besar agama Budha di kerajaan Sriwijaya yang bernama Dharmakirti. Dengan pengembangan pengetahuan itu secara jelas membuktikan bahwa tingkat kehidupan sosial ini pun akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan kerajaan Sriwijaya.
Pemerintahan, Militer, dan Sosial
Secara teritorial, wilayah kekuasan Sriwijaya dibagi menjadi kedatuan dan perdatuan. Daerah-daerah inti milik raja (samaryyada) sendiri terletak di sekitar ibukota disebut kedatuan yang diperintah oleh datu yang bergelar nisamwardhiku. Datu yang berasal dari lingkungan keluarga raja sendiri ini kedudukan mereka langsung di bawah raja. Mereka ini dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kelanggengan kekuasaan raja, karena mereka mempunyai hak warisan yang sah dari raja yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alasan untuk merebut mahkota kerajaan.
Sedangkan daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh raja disebut perdatuan. Perdatuan ini diperintah juga oleh seorang datu dengan gelar nilagalarku. Datu yang bergelar nilagalarku bukan anggota keluarga raja. Namun, mereka diberi otonomi untuk menjalankan basis kekuasaannya sendiri di wilayah perdatuan tersebut. Ia tidak di bawah perintah seorang pejabat dari pusat yang menduduki daerahnya dengan kekuatan senjata (militer), namun diberi ancaman kutukan yang mengerikan bagi mereka yang tidak setia kepada raja Sriwijaya, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Secara teritorial, wilayah laut tempat kelompok-kelompok bajak laut (nomad laut) yang otonom juga dimasukkan dalam sistem perdagangan kerajaan Sriwijaya. Para kepala bajak laut itu mendapat bagian yang ditentukan raja dari hasil transaksi perdagangan maritim yang diadakan. Agar kepentingan kerajaan jangan dirugikan, kelompok bajak laut yang menjadi unsur perdagangan inilah yang digunakan oleh raja untuk mengamankan lalu-lintas perdagangan laut. Secara tidak langsung, para bajak laut ini juga merupakan bagian dari sistem pertahanan kerajaan Sriwijaya.
Kronik Chao-ju-kua menceritakan hal ini, Sriwijaya menguasai laut dan mengawasi lalu-lintas perahu-perahu dagang orang asing di Selat Malaka. Jika ada kapal dagang melalui selat ini tanpa singgah, para pedagang asing tersebut acapkali diserang dan dikuasai. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan negeri ini menjadi pusat pelayaran dan perdagangan besar. Diduga penyerangan terhadap kapal dagang asing ini dilakukan oleh bajak laut.
Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di zaman kuno atau klasik Indonesia, Sriwijaya menunjukkan kekhasanya. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang berasal dari abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya yang muncul sebagai satu kekuatan baru. Sebagian dari prasasti-prasasti tersebut mengandung ancaman kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja sendiri. Hal diperkirakan karena keluarga yang diancam itu memang berada di luar pengawasan langsung. Mereka adalah anak-anak raja yang diberi kekuasaan di daerah-daerah (datu). Keadaan itu jika benar, menunjukkan satu sikap keras dari raja yang sedang berkuasa. Suatu sikap yang selain keras juga tegas kepada penguasa daerah. Sikap demikian tidak mengherankan untuk suatu negara yang hidup dari perdagangan.
Dari Prasasti Telaga Batu yang diterjemahkan oleh J.G. de Casparis, seorang epigrafer, mencatat adanya suatu struktur pemerintahan, birokrasi, dan stratifikasi sosial pada masa Sriwijaya. Interpretasi dari terjemahan tersebut adalah raja sebagai pemimpin dan penguasa tunggal kerajaan, pemimpin daerah (datu-datu) adalah putra mahkota dan para pangeran, sedangkan pelaksana pemerintahan atau birokrasi adalah hakim, bupati, senapati, mandor, dan juru tulis kerajaan. Sedangkan stratifikasi sosial di kerajaan Sriwijaya, di antaranya, adalah nakhoda, saudagar atau pedagang, pandai logam, tukang cuci raja, budak, nelayan, dan petani di daerah pedalaman yang dikuasai kerajaan.
Menurut P.J. Suwarno, dalam sistem kekuasan kerajaan Sriwijaya, raja tetap memegang otoritas tertinggi. Raja dikelilingi oleh keluarganya sebagai bawahan dan stafnya. Mereka itu adalah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra raja kedua), rajakumara (putra raja ketiga), dan rajaputra (putra raja keempat). Kedudukan putra mahkota dipisahkan dari para pangeran yang berasal dari istri raja (selir) yang lebih rendah derajatnya dan para pangeran tersebut tidak berhak atas tahta kerajaan. Namun pangeran-pangeran Sriwijaya ini tetap diberi daerah-daerah kekuasaan milik raja. Secara hirarkis, mereka diperintah dan menjadi bawahan langsung dari raja.
Sedangkan di lingkungan pusat kerajaan dibentuk administrasi pusat yang terdiri kalangan birokrasi sebagai pelaksana kerajaan. Mereka itu adalah dandanayaka, (hakim raja yang melaksanakan kekuasaan raja untuk mengadili), bhupati (bupati), nayaka (pejabat pemungut pajak), dan prataya (pengurus harta benda milik keluarga raja). Prataya merupakan staf pribadi raja yang penting, sebab dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan istilah haji-prataya (prataya raja). Raja memiliki wilayah pribadi di sekitar ibukota yang merupakan basis kehidupan ekonomi keluarga raja. Di antara penghuni ibukota kerajaan adalah para hulun haji (budak raja) yang di bawah pimpinan murdhaka. Penjelasan mengenai jabatan bhupati dalam struktur kerajaan Sriwijaya, tidak dijelaskan, apakah sama fungsinya dengan bupati sekarang.
Pejabat-pejabat lain di pusat kerajaan adalah kumaratya (para menteri yang tidak berdarah bangsawan alias bukan keturunan raja), kayastha (juru tulis kerajaan), sthapaka (elite religius yang menjadi pengawas teknis pembangunan patung-patung dan bangunan suci), tuha an watakwuruh (pengawas perdagangan), dan puhawang (jawatan angkutan).
Pedagang dan pengrajin merupakan pengelompokkan profesi. Mereka dimasukkan dalam organisasi pemerintah yang diawasi oleh tuha an watakwuruh. Mereka mempunyai organisasi yang juga otonom dalam batas-batas pengawasan pemerintah pusat. Mereka mengumpulkan barang dagangan dari hasil kerajinannya yang diawasi dan dikontrol oleh tuha an watakwurah ini dan kemudian baru disalurkan keluar, sehingga para pedagang dan pengrajin mudah memasarkan barang dagangannya. Jabatan tuha wakwurah dan puhawang merupakan salah satu konsekuensi dari sifat komersial kerajaan Sriwijaya.
Di bidang militer, untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Sriwijaya membentuk pasukan militer yang digunakan sebagai alat penunjang kewibawaan yang ditegakkan dengan perjanjian-perjanjian dan kutukan-kutukan.
Dalam struktur militer di kerajaan Sriwijaya, komando tertinggi di tangan raja, kemudian pejabat militer di bawah raja adalah parwanda yang tinggal di ibukota kerajaan, pratisara, dan senapati. Walaupun pejabat militer tinggi dalam sistem pertahanan kerajaan, parwanda ini tidak memimpin langsung para tentara, tetapi bertanggung jawab langsung kepada raja. Kalau sekarang, parwanda ini, diperkirakan, fungsinya setingkat dengan menteri pertahanan. Selain jabatan parwanda, pemimpin militer lainya adalah pratisara yang langsung menguasai atau memimpin pasukan atau tentara yang dikerahkan dari hulun-haji (budak). Daerah kekuasaan pratisara ini di kawasan kedatuan yang dipimpim oleh kalangan keluarga raja, sedangkan pemimpin tentara di daerah-daerah taklukan (perdatuan) dipimpin oleh senapati. Baik pratisara maupun senapati ini di bawah pimpinan parwanda.
Integrasi Birokrasi Pemerintahan Pusat-Daerah
Kebijakan birokrasi pemerintah dalam sistem penyaluran komoditas perdagangan menarik rakyat pedalaman untuk mengumpulkan barang dagangannya untuk ditampung di pasar-pasar lokal, kemudian dipasarkan lebih lanjut ke daerah pelabuhan-pelabuhan.
Dari pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra, barang-barang dagangan itu diteruskan ke pasar internasional lewat laut. Maka bagi Sriwijaya, keamanan laut merupakan hal yang penting, dan pelaksanannya diserahkan kepada kelompok-kelompok nomad-laut yang ketua-ketuanya dimasukkan dalam organisasi dagang Sriwijaya. Dengan demikian timbullah jaringan saling ketergantungan antara rakyat di pedalaman dengan pedagang-pedagang di pelabuhan-pelabuhan serta di laut wilayah kekuasan Sriwijaya. Tidak mengherankan kalau hubungan dagang dengan luar negeri berkembang pesat, sebab kebutuhan pokok para pedagang dipenuhi, yaitu keluar masuk komoditas perdagangan dan keamanan pelayaran lancar dan terjaga.
Integrasi itu semuanya terikat pada raja, selain memiliki kekuatan militer yang handal baik di darat maupun di laut, juga memiliki kewibawaan mistis, yang ditegakkan dengan kultus individu sebagai raja, pahlawan militer, kepala suku, dan sebagai sang pemberi kemakmuran kepada rakyat. Untuk keperluan ini; raja antara lain mengadakan pesta yang dihadiri kepala-kepala suku taklukan dan menyembelih seekor lembu untuk memperkokoh ikatan mereka.
Jadi meskipun sudah ada pembagian tugas dalam birokrasi pemerintahan, semuanya masih berpusat pada wibawa raja baik yang bersifat militer, maupun yang bersifat mistis. Semua sistem birokrasi pemerintahan yang ada itu merupakan kepanjangan dari rumah tangga istana raja, bahkan birokrasi pemerintah daerah sebenarnya juga merupakan perpanjangan tangan raja untuk menguasai rakyat. Meskipun rakyat dimasukkan dalam jaringan perdagangan internasional, keuntungan pada dasarnya untuk raja, sedangkan bawahan dan rakyat mendapat bagian dari raja, maka raja juga disebut “bank umum”.
Pola birokrasi pemerintah Sriwijaya ini mungkin dapat disebut sebagai pola birokrasi pemerintah komersial tradisional, sedangkan hubungan daerah-pusat diatur secara otonom seperti yang dikenakan pada perdatuan dan kelompok pedagang serta pengrajin, yang masing-masing mempunyai organisasi otonom dengan pengawasan dari pusat secara magis (kutukan) dan kelembagaan (tuha an watakwurah); dan dekonsentris seperti yang dikenakan pada kedatuan dan kelompok nomad-laut, keduanya tidak mempunyai otonomi, sebab organisasinya digabung dengan organisasi pusat yang langsung di bawah raja.
Raja-raja Sriwijaya
Raja-raja yang pernah berkuasa dan memerintah Sriwijaya sampai saat ini masih menyimpan teka-teki besar. Walaupun begitu, dari hasil interpretasi para peneliti terhadap prasasti-prasasti Sriwijaya, berita-berita Cina, serta catatan-perjalanan orang-orang Arab-Persia telah memberikan sedikit gambaran ihwal para penguasa atau raja-raja yang memerintah kerajaan ini. Paling tidak, sejak tahun 683 Masehi disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit sampai tahun 1044 Masehi yang tertera pada Prasasti Chola.
Penyebutan tahun yang sama (1044 Masehi) pada tabel di atas, adalah tahun pembuatan Prasasti Leiden dan Chola yang menyebutkan adanya raja-raja Sriwijaya; Sri Sudamaniwarmadewa, Marawiyayatunggawarman, dan Sri Sanggaramawijayatunggawarman, bukan masa kekuasaan ketiga raja Sriwijaya tersebut. Sedangkan berdasarkan naskah kuno Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Naskah ini merupakan naskah kontroversi karena dianggap tidak otentik sebagai sebuah sumber sejarah, karena naskah ini terkesan telah maju dalam metodologi penulisan suatu karya tulisan sejarah, padahal kebanyakan naskah yang dibuat pada masa itu masih didominasi oleh hal-hal yang berbau mitos, sage, legenda, irasional yang dicampurkan dengan realitas sejarah yang ditulis tahun 1675 Masehi yang dikodifikasi oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat yang ditemukan oleh peneliti naskah kuno Atja. Naskah ini kemudian diteliti ulang oleh epilog Edi S Ekadjati dari Universitas Padjadjaran Bandung yang dimuat dalam majalah Analisa Kebudayaan, 1982/1983. Th.III.No.2.
Sayangnya, naskah ini tidak mencantumkan peristiwa yang terjadi (kronologi) serta angka tahun raja-raja Sriwjaya yang berkuasa.
Perekonomian
Salah seorang peneliti perkembangan sejarah Sriwijaya dari segi ekonomi dan perdagangan adalah W. Wolters, seorang guru besar sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dalam bukunya Early Indonesian Commerce, ia menerangkan bahwa meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang penduduknya relatif sedikit, negeri ini mampu mengerahkan sumberdaya manusia dari pemukiman-pemukiman yang tersebar di selatan Selat Malaka. Ia mengatakan, Palembang hanyalah pusat. Tujuan ekspedisi angkatan laut Sriwijaya dengan menaklukkan Kedah dan pelabuhan-pelabuhan vital lainnya bukan sekedar meluaskan teritorial, tetapi untuk menduduki tempat-tempat strategis dalam jalur perdagangan utama. Penguasa-penguasa lokal dibiarkan terus berkuasa sebagai bawahan Sriwijaya.
Penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari sektor perdagangan, seperti komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor tersebut, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Sedangkan ke negeri Cina, Sriwijaya mengekspor gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, kapas, cula badak, wangi-wangian, bumbu masak, dan obat-obatan. Barang-barang tersebut bukan produksi Sriwijaya dalam negeri Sriwijaya seluruhnya. Tapi, mungkin ada yang berasal dari pertukaran barang dengan negara lain yang punya hubungan degang dengan Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarah Dinasti Sung), menyebutkan bahwa Sriwijaya kala itu sudah mempunyai 14 kota dagang.
Menurut berita Cina dan berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya adalah cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra.
Dari penelitian arkeologi di wilayah Palembang, ditemukan bukti-bukti yang menunjang data sumber tertulis mengenai komoditas perdagangan masa Sriwijaya seperti di atas. Temuan yang berkaitan dengan sarana perdagangan dan pelayaran berupa pecahan (fragmen) perahu dan mata uang Cina. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis komoditas, misalnya gerabah, keramik, manik-manik, dan damar.
F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh, menyatakan ada dua faktor yang menyebabkan Sriwijaya mampu menjaga kelestarian dominasinya atas Selat Malaka yang strategis tersebut. Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai sebagai daerah bawahannya. Faktor kedua adalah adanya hubungan penguasa Sriwijaya dengan negara-negara besar lainnya (Cina dan India).
Hubungan Sriwijaya dengan negara Cina, India, dan Arab terjalin dengan baik. Catatan Hsin-tang-shu dan Sung-shih, banyak mencatat kedatangan utusan dari Sriwijaya. Utusan Sriwijaya pertama kali datang ke negeri Cina tercatat dalam kronik Cina pada tahun 670 M, dan sejak tahun 1178 M, utusan Sriwijaya tidak pernah datang lagi ke negeri tirai bambu ini. Juga tercatat bahwa kapal-kapal Ta-shih (negeri Arab dalam penyebutan orang Cina), banyak berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, dan bahkan di setiap kota dagang yang di bawah kekuasaan Sriwijaya telah ada pemukiman pedagang-pedagang Islam.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, sangat menguntungkan kedudukan Sriwijaya. Oleh karena itu, pada masa kekuasaan raja Balaputra Dewa, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu kota Ligor (Prasasti Ligor tahun 775 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota Sriwijaya di Sumatra Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra (daerah perbatasan Thailand dan Malaysia).
Ibnu Faqih, dari negeri Arab, yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 M, menyebutkan bahwa kota Sribuza (Sriwijaya) sudah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Di pelabuhan Sribuza terdapat segala macam bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, selain bahasa penduduk aslinya sendiri. Dalam catatan Abu Hasan Ali Al-Mas’udi (dari Arab) yang berjudul Muruju’z-Zahab Wa Ma-Adinu’l-Jauhar tahun 943 M, tercantum keterangan mengenai kerajaan sangmaharaja yang meliputi Sribuza (Sriwijaya), Qalah, dan pulau-pulau lain di Laut Cina. Tentaranya tak terhitung banyaknya. Dibutuhkan waktu dua tahun jika kita akan mengelilingi kerajaan Sribuza. Kerajaan itu banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi, seperti kapur barus, cendana, cengkeh, lada, dan minyak kestruri.
Kekuatan Maritim
Ketika berbicara mengenai Sriwijaya, pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang kemaritiman. Tak pelak lagi berdasarkan kisah sejarahnya, Sriwijaya telah malang-melintang di perairan Asia Tenggara sampai ke daerah Madagaskar di selatan benua Afrika. Sebuah kajian masa lampau, memperoleh bukti bahwa banyak nama-nama tempat di pantai Campa dan Annam (Vietnam sekarang) berasal dari bahasa Melayu. Hal ini mendukung pendapat pelayaran orang-orang Melayu ke negeri Cina memang dilakukan oleh pelaut-pelaut Melayu dengan menggunakan perahu sendiri.
Hegemoni Sriwijaya atas Selat Malaka dan Laut Jawa selama berabad-abad sudah tentu harus ditopang oleh armada laut yang kuat. Untuk mendukung kekuatan ini, teknologi perkapalan dan ilmu navigasi harus ada. Salah seorang peneliti Sriwijaya berkebangsaan Perancis, Pierre Yves Manguin, mengatakan Sriwijaya sudah menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.
Provinsi Sumatra Selatan menyimpan banyak potensi situs artefak perahu. Hal ini dibuktikan dari 12 situs perahu kuno di Indonesia 5 di antaranya berada di Sumatra Selatan, yakni situs Tanjung Jambu. Samirejo, Kolam Pinisi, Tulung Selapan, dan Karanganyar,
Pada sekitar tahun 1980-an, di satu bagian tebing sungai Lematang di dusun Tanjung Jambu, Kecamatan Merapi Lahat, ditemukan papan perahu kuno yang panjangnya berkisar 3,75 cm, lebar 21 cm, dan tebal 2,4-2,6 cm. Lalu tahun 1987, di Samirejo, di desa Mariana-Musi Banyuasin ditemukan bangkai perahu kuno Pada saat ditemukan kondisi bangkai perahu terletak pada dasar sungai tua yang dahulunya merupakan anak sungai Musi. Ukuran terpanjang papan 10,93 meter dan terpendek 3,5 meter dengan ketebalan 3,5 cm dan lebar 23 cm. Di situs Kolam Pinisi yang terletak di kaki Bukit Siguntang ditemukan juga bekas struktur bangunan perahu yang panjangnya sekitar 2,5 meter dengan ketebalan papan 5 cm dan lebar 20-30 cm. Pada tahun 1992, ditemukan bangkai perahu kuno di dusun Tulung Selapan, OKI. Diduga perahu itu berasal dari abad ke-5 dan ke-8 Masehi. Kemudian di situs Karanganyar (sekarang TPKS) ditemukan potongan papan berukuran panjang 60 cm dengan ketebalan 3 cm.
Mengenai bentuk dan konstruksi kapal pada era Sriwijaya terlihat pada relief-relief (lukisan yang dipahatkan) di dinding Candi Borobudur yang terletak di pulau Jawa. Di antara 11 relief tersebut, menurut pengamatan peneliti van Erp (1923), ada tiga jenis, yakni perahu lesung yang sangat sederhana, perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik. Sedangkan van der Heide membuat tipologi berdasarkan jumlah tiang yang dipakai, yakni perahu dayung tanpa tiang, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan tiang yang terdiri dari dua buah kaki, perahu bertiang tunggal dengan cadik, dan perahu bertiang ganda dengan cadik. Relief kapal-kapal besar tersebut memperlihatkan variasi dalam bentuk, nampak sekali teknologi pembuatan kapal-kapal Sriwijaya tersebut sudah maju.
Bobot kapal Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang sekitar 40 meter. Kapasitas kapal itu mampu menampung penumpang sampai 1000 orang, belum termasuk muatan barang. Kapal jung Cina yang berlayar pada abad ke-16, ketika kerajaan Sriwijaya sudah punah, diduga merupakan tiruan bentuk kapal Sriwijaya. Karena, sebelum abad ke-9 Masehi, negeri Cina tak pernah punya kapal-kapal antarsamudra seperti yang dimiliki armada kerajaan Sriwijaya.
I-tsing yang mencatat perkembangan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi mengatakan, pelayaran orang-orang Melayu di Sumatra ke negeri Cina memang dilakukan pelaut-pelaut Melayu menggunakan perahu sendiri. Kajian Wolters, dari Cornell University, mengenai abad-abad pra-Sriwijaya pun membawa pada kesimpulan yang dimaksud dengan The Shippers of the “Persian’ trade” adalah orang-orang Melayu. Orang Melayu memang pelaut ulung, sehingga orang Portugis membuat buku panduan laut (roteiros) berdasarkan petunjuk-petunjuk dari pelaut Melayu. Ketangkasan bangsa Melayu sebagai pelaut ulung hingga sekarang masih tersisa, misalnya seperti yang masih dapat disaksikan pada kepiawaian sukubangsa Melayu di masyarakat Palembang yang masih bergelut dengan sungai Musi dan di daerah Kepulauan Riau.
Bukti tertulis mengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Sriwijaya disebutkan dalam prasasti Sriwijaya, berita Cina, dan berita Arab. Prasasti dari zaman Sriwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu sebagai alat transportasi utama adalah Prasasti Kedukan Bukit. Dalam Prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 balatentara dan 200 peti perbekalan (logistik) yang diangkut dengan perahu-perahu. Apabila dibandingkan dengan perahu pinisi yang dapat mengangkut 500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hyang dalam ekspedisinya tersebut, sekurang-kurangnya dibutuhkan 40 perahu yang seukuran dengan perahu pinisi.
Tidak ada satupun sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa “orang laut”. Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur pulau Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai Selatan. Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka orang laut dalam arti yang sesungguhnya. Berita Cina yang berasal dari tahun 1225 M menguraikan tentang kehidupan rakyat di kerajaan Swarnabhumi (Sriwijaya). Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Ketika akan perang dengan kerajaan lain, mereka berkumpul dan memilih sendiri panglima dan pemimpinnya. Walaupun keperluan mereka dipenuhi, semua persenjataan dan perbekalan ditanggung mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain, mereka sulit dicari tandingannya. Mungkinkah “orang laut” yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu?
Sebagai “orang laut”, masyarakat maritim Sriwijaya bergaul dan berdagang dengan berbagai bangsa di Asia Tenggara. Dampak, adanya hubungan dengan daratan Asia Tenggara, membawa suatu kemajuan dalam teknologi pembuatan perahu mereka. Berabad-abad setelah keruntuhan Srwijaya, di seluruh perairan Indonesia sekarang ini, banyak ditemukan reruntuhan perahu atau kapal yang tenggelam atau kandas. Dari reruntuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu wilayah budaya Asia Tenggara dan wilayah budaya Cina.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung kapal) perahu berbentuk seperti huruf V, sehingga bagian lunas-nya (bentuk bagian dasar yang membulat) berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk ukuran masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, teknik menyambung antarpapan mengikatnya dengan tali ijuk. Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini, diberi 4 lubang, menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang itu, tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak dari kayu atau bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique).
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo, Mariana, dan Kolam Pinisi di kawasan Palembang, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Indonesia, dan negara jiran (Malaysia), ada kesamaan yang dapat kita cermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu atau kapal yang ditemukan itu, antara lain; teknik ikat, teknik pasak dari kayu atau bambu, teknik gabungan ikat dan pasak dari kayu atau bambu, dan perpaduan teknik pasak dari kayu dan dari paku besi. Melihat teknologi rancangbangun perahu atau kapal tersebut, dapat diketahui tanggal pembuatannya.
Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak dari kayu atau bambu dalam pembuatan perahu atau kapal di Nusantara berasal dari sumber sejarah bangsa Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut jung (berkapasitas lebih dari 600 ton) dibuat tanpa sepotong besi pun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak dari kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut, sampai sekarang masih tetap ditemukan di Indonesia, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi negeri Cina mempunyai ciri-ciri khas, antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu atau kapal dibuat berpetak-petak dan dipasang sekat-sekat yang struktural, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, serta mempunyai kemudi sentra tunggal. Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Varian dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal pinisi dan beberapa perahu tradisional di berbagai daerah di Indonesia. Pada perahu pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara. Akan tetapi, jangan dilupakan perahu tradisional yang pernah berlalu-lalang di sungai Musi, yaitu perahu kajang.
Perahu kajang adalah jenis perahu sungai yang dibuat dari kayu dengan ukuran yang terpanjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 3 meter. Sampai sekitar tahun 1980-an, jenis perahu kajang yang berukuran besar masih dimanfaatkan penduduk di daerah hulu Sumatra Selatan, yakni daerah Kayuagung, untuk mengangkut tembikar produk Kayuagung yang dipasarkan di Palembang. Sejalan dengan kurangnya minat masyarakat memakai barang-barang tembikar, kian lama perahu kajang jenis yang besar berkurang jumlahnya, bahkan sekarang dapat dikatakan sudah punah. Data runtuhan perahu Sriwijaya yang ditemukan di situs Samirejo, boleh jadi merupakan jenis perahu kajang yang berukuran besar. Demikian juga yang ditemukan di situs Tulung Selapan, Sungai Buah, dan Kolam Pinisi yang semuanya terletak di kawasan Palembang.
Agama dan Budaya
Sumber pengetahuan tentang agama Budha di Sriwijaya, juga diketahui dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negeri, yaitu dari orang Cina, Arab, dan India yang mengunjungi kawasan Nusantara dulu. Namun, prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa yang berasal dari abad ke-4 Masehi hingga pra-abad ke-7 Masehi tidak terlalu banyak memberikan informasi. Dari prasasti itu, hanya diketahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India (indienized), seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Diperkirakan raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu, tetapi berdasarkan penemuan patung-patung Budha periode tersebut, dapat disimpulkan pemeluk agama Budha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Daerah Sumatra Selatan, terutama Palembang, selama ini dikenal dengan peninggalan arkeologis dari masa Sriwijaya. Tinggalan arkeologis dan artefak yang bersifat keagamaan sebagian besar berasal dari agama Budha, sedangkan dari agama Hindu relatif tidak banyak. Bukti-bukti arkelogis pada masa sekitar abad ke-7 dan ke-9 Masehi, di Sumatra Selatan menunjukkan hadirnya dan perkembangan agama Budha lebih pesat.
Informasi paling tua tentang keberadaan agama Budha di Jawa dan Sumatra didapat dari catatan pendeta Cina bernama Fah-Hien, yang melakukan perjalanan dari Ceylon (Srilanka) ke Cina pada tahun 414 M, karena kapalnya rusak, ia terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye-Po-Ti. Sampai sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu pulau Jawa atau pulau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah pulau Jawa (Jawadwipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Budha di negeri Ye-Po-Ti itu, walaupun cuma sedikit. Sesudah abad ke-7 Masehi, sejarah perkembangan agama Budha di di kawasan wilayah Asia Tenggara mulai jelas.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-7 Masehi, I-tsing mencatat dengan lengkap perkembangan ajaran agama Budha di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya pada ‘”rumah agama Budha” di India utara, tempat I-tsing tinggal dan belajar selama lebih dari sepuluh tahun. Selama menetap di Sriwijaya, I-tsing menerjemahkan naskah agama Budha, antara lain, 500.000 stanza kitab Tripitaka berbahasa Sanskerta ke bahasa Cina.
Dari catatan I-tsing diketahui, selain menemukan perbedaan, ia juga menemukan banyak kesamaan antara agama Budha di India dan di Sriwijaya. I-tsing menghabiskan hidupnya, sebagai pendeta, untuk mempelajari agama Budha dan keadan biarawan di India dan Sriwijaya. Tentang kehidupan biarawan ini tercatat di dua karya bukunya, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Tatang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng Chuan. Bila dibandingkan catatan Fah-Hien, catatan I-tsing lebih lengkap mengemukakan perkembangan agama Budha yang telah dibangun dengan sangat cepat di pulau Jawa dan pulau Sumatra.
Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama Budha terkenal yang pergi ke negeri di sebelah barat (Sriwijaya). Diceritakannya, kehidupan biarawan Budha pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Ia mengatakan pendeta dari Jawa dan Sumatra adalah cendikiawan bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah pendeta Janabhadra dari Jawa yang tinggal di Sriwijaya. Ia merupakan guru bagi pendeta Cina dan membantu menerjemahkan ajaran Budha ke dalam bahasa Cina. Bahasa yang digunakan oleh pendeta Budha di Sriwijaya adalah bahasa Sanskerta. Bahasa Pali (bahasa yang menurunkan bahasa Sanskerta) tidak digunakan. I-tsing menjelaskan, agama Budha yang dipeluk di seluruh Sriwijaya, kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di negeri Melayu ada sedikit umat Budha yang mengadopsi Mahayana.
Aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana mencapai kepulauan di “Laut Selatan” (istlah I-tsing untuk menyebutkan kawasan kepulauan di Sumatra dan Jawa). I-tsing mengatakan, di kawasan ini hampir secara universal aliran Hinayana dan Mahayana diadaptasi. Ia tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut keduanya. Dari telaah dua bukunya, I-tsing nampaknya tidak terlalu dalam mempelajari masalah filosofi buddhis, melainkan lebih tertarik pada kehidupan dan tugas-tugas yang diemban oleh para biarawan. I-tsing mengatakan, bahwa Hinayana lebih berkembang di Sumatra dan Jawa. Sedangkan di negeri Melayu yang terletak di tengah-tengah pesisir timur Sumatra, ada pula penganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang pendeta dari India yang bernama Dharmapala ke negeri Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana.
Pada awal abad ke-20 Masehi, ditemukan dua prasasti di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang ditemukan di Viengsa, Semenanjung Melayu, berangka tahun tahun 775 M, memuat keterangan salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha, yakni Bodhisatwa, Avalokitesvara, dan Vajrapani. Selain itu, ditemukan plat emas bertuliskan beberapa nama Dyani Budha yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing tersebut, jelas kala itu Sriwijaya menjadi pusat agama Budha. Di Sriwijaya terdapat sebuah lembaga perguruan tinggi Budha yang tidak kalah besar dengan perguruan tinggi di Nalanda, India. Lebih dari 1000 pendeta belajar ajaran Budha. Tata upacara ajaran Budha sama dengan di India, kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar di Sriwijaya. Dari berita itu, jelas Sriwijaya adalah pusat agama Budha Mahayana yang terbuka dan menerima gagasan baru. Oleh karena itu, ketika musafir-musafir Cina yang ingin belajar di India, pasti singgah dulu di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan (belajar) seperti yang dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, Budha Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat di sekitar Palembang yang menyebutkan Dapunta Hyang berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib (sidhayatra) guna keselamatan dan kemajuan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, prosesi ritual semacam itu merupakan upacara bangsa Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita lain, Mahayana yang berkembang kala itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ke-7 Masehi juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari keterangan, salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi dalam ajaran Budha adalah wajrasarira; tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana. Semua ini menunjukkan, pada tahap permulaan, masih ada hubungan yang erat antara ajaran Budha Sriwijaya dan India. Hubungan ini makin lama makin mengurang.
Hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf internasional. Raja Sriwijaya saat itu bernama Sri Sudamaniwarman yang mengaku berasal dari Dinasti Syailendra. Pada saat Sriwijaya mendapat ancaman dari penguasa Jawa, politik Sudamaniwarman adalah mengadakan persahabatan dengan dua negara sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara, yaitu kekaisaran Cina dan Chola di India.
Selain elite religius pendeta agung Syakyakirti, pada masa pemerintahan raja Sudamaniwarman, salah seorang pendeta tinggi dan tergolong ahli di Sriwijaya bernama Dharmakirti pernah mengeritik kitab tafsir Budha yang bejudul Abhisamayalandra. Kekritisan seorang Dharmakirti ini pernah menarik seorang pendeta dari negeri Tibet bernama Atisha datang ke Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar Budha dengan intelektual satu ini. Selain itu, dari berita Cina, Sri Sudamaniwarman pernah mengirim utusan membawa berita bahwa Sriwijaya telah mendirikan bangunan suci Budha untuk memuja agar kaisar Cina panjang umur. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-tien-wa-shou oleh kaisar Cina tersebut.
Dari sumber-sumber arkeologis yang didapat diketahui bahwa pengaruh budaya Hindu-Budha di Sriwijaya tidak hanya berkembang agama Budha saja, tetapi juga agama Hindu. Menilik gaya seni budaya dan agama Hindu yang berkembang di Sumatra pada masa klasik diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 dan ke-15 Masehi. Dapat diduga agama Hindu telah berkembang juga di Sumatra Selatan, sejak sebelum Sriwijaya melebarkan hegemoni pemerintahannya pada akhir abad ke-7 Masehi.
Keberadaan agama ini dibuktikan dengan ditemukan arca Wisnu yang berasal dari abad ke-7 Masehi di situs Kota Kapur, Bangka. Pada abad ke-10 Masehi, agama ini masih menampakkan keberadaaanya, terlihat dari temuan candi Angsoka dan yoni di daerah Palembang. Pada abad ke- 10 sampai ke-12 Masehi, agama Hindu rupanya mencapai puncak perkembangannya. Hal ini terbukti dengan ditemukannya arca-arca dan kompleks bangunan candi luar kawasan Palembang, yakni di situs Tanah Abang, Muaraenim, Sumatra Selatan.
Jadi, banyaknya akumulasi artefak-artefak bersifat Budha di Palembang sekitar abad ke-7-ke-9 Masehi tidak berarti menghambat perkembangan agama Hindu. Walaupun penganut agama Hindu menjadi minoritas pada Sriwijaya, keberadaannya tetap diakui oleh penguasa Sriwijaya.
KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Serangan dari Jawa
Dunia perdagangan dan pelayaran internasional kerajaan Sriwijaya yang maju pesat dikarenakan kerajaan ini menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis yang terletak di sepanjang Selat Malaka disertai kekuatan armada laut yang kuat. Sriwijaya menjalankan politik bersahabat dengan negara-negara tetangganya, walaupun seringkali pula terjadi perperangan yang tidak terelakkan. Misalnya hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan penguasa Jawa telah terjalin sejak zaman raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Tetapi ada kalanya terjadi pertentangan di antara kedua negara tersebut.
Peristiwa pertikaian tersebut diberitakan oleh utusan dari Jawa yang sedang berada di negeri Cina yang mengatakan bahwa negerinya sedang berperang dengan kerajaan Sriwijaya, sedangkan pada saat yang sama (988 M), utusan dari Sriwijaya yang tengah berada di Kanton (Cina) tetap bertahan di kota ini, karena mendengar berita bahwa penguasa Jawa (raja Dharmawangsa) dengan Sriwijaya tengah berperang. Penyebab peperangan tersebut karena memperebutkan kawasan lalu-lintas perdagangan di sekitar Selat Malaka yang memang strategis.
Pada waktu wilayah kekuasan Sriwijaya mendapat serangan dari penguasa Jawa, Sriwijaya pernah meminta bantuan pasukan dari kerajaan Chola (Colomandala) di India. Sriwijaya dapat memulihkan kewibawaannya setelah mendapat serangan dari Jawa tersebut serta dapat mengembalikan wilayah kekuasaannya di kawasan Semenanjung Melayu.
Serangan Kerajaan Chola
Pada saat pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaan Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya membangun candi Budha di Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina raja Sriwijaya, Sri Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama. Karena politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan kerajaan-kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai untuk mempertahankan monopoli perdagangan mereka.
Tahun 1007 M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun 1014, sang putra kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan Sriwijaya dan bahkan memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara Negapatam yang dibangun oleh Sriwijaya.
Pada awal abad ke-11 Masehi, peta politik di sekitar Selat Malaka mulai berubah, persahabatan antara Sriwijaya dan Chola berubah menjadi permusuhan. Tahun 1023 M, raja Rajendra menyerang kedudukan Sriwijaya di Kadaram dan Kataha. Pada abad ke-11 Masehi itu, tercatat tiga kali serangan Chola kepada Sriwijaya.
Dalam serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan kepada daerah Semenanjung Malaka. Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan sama sekali kejayaan Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang terdiri dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di wilayahnya.
Tahun 1025 M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan kedudukan Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau Semenanjung Melayu, tetapi beberapa nama-nama itu belum dapat diidentifikasikan. Tempat yang dapat diidentifikasi dengan pasti adalah Palembang, Melayu (Jambi), dan Pane (pantai timur Sumatra), Langkasuka (Ligor), Takola dan Kedah di daratan Melayu; Tumasik, (sekarang Singapura), Aceh di ujung utara Sumatra, dan kepulauan Nikobar. Namun, serangan dahsyat tersebut, tetap tidak meruntuhkan Sriwijaya, hanya memperkecil daerah kekuasaannya.
Setelah serangan Chola, Sriwijaya kembali dapat membangun menjadi negeri yang besar. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi berupa sisa-sisa bangunan suci; sebuah stupa dan beberapa makara. Salah satu dari makara tersebut berangka tahun 1064 M. Bukti lain berupa kronik Sung-shih tetap mencatat adanya utusan-utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina pada tahun 1028 M, 1067 M, dan 1080 M.
Jadi, serangan Chola yang dahsyat itu tidak membuat kerajaan Sriwijaya lemah. Namun akibat serangan Chola itu cukup fatal terhadap kekuasaan kerajaan Sriwijaya; kekuatan kerajaan maritim ini mulai menurun dan dominasi kerajaan Sriwijaya atas lalu-lintas perdagangan di selat Malaka lambat laun makin pudar. Sriwijaya sudah tidak mampu lagi mengawasi negeri-negeri bawahannya. Dalam situasi demikian, negeri Melayu yang terletak di Jambi, yang sejak abad ke-7 Masehi menjadi bawahan kerajaan Sriwijaya, menggunakan kesempatan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Lemahnya kedudukan Sriwijaya setelah serangan Chola tersebut, juga memungkinkan penguasa Airlangga di Jawa Timur (1019 M-1042 M) untuk merebut kembali daerah yang hilang (1006 M) pada era kekuasaan ayahnya, raja Dharmawangsa. Kebijakan politik Airlangga adalah kerjasama dengan penguasa Sriwijaya dalam menghadapi ancaman dan membendung serangan Chola. Penguasa Sriwijaya dan penguasa Airlangga tersebut sepakat mengadakan perdamaian. Tahun 1030 Airlangga kawin dengan puteri Sanggrama Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Dari tahun 1030 M sampai 1064 M tak ada yang diketahui tentang sejarah Sriwijaya. Tahun 1064, sebuah prasasti berbentuk patung makara, ditemukan di Solok, Sumatra Barat yang berbatasan dengan Jambi, menyebut seorang Dharmavira, tetapi tidak ada yang diketahui tentangnya. Patung itu mengandung bukti-bukti seni Jawa. Rupanya setelah itu upaya Sriwijaya menegakkan kembali kekuasaannya atas Sumatra, tetapi tidak pernah mencapai kekuasaannya yang seperti era sebelumya. Yang jelas, penguasa Sriwijaya dengan Airlangga mencapai suatu kesepakatan untuk membiarkan wilayah kekuasaan Airlangga di bagian barat Nusantara dan Jawa ke timur.
Kebangkitan Kerajaan Melayu
Pertengahan abad ke-11 Masehi, kekuasaan dan kekuatan kerajaan Sriwijaya mulai melemah, negeri Melayu yang selama ini dikuasai Sriwijaya memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka menyebutkan, bahwa pada zaman pemerintahan Vijayabahu di Srilangka tahun 1055 M-1100 M, Pangeran Suryanayana di Malayapura (Melayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnadwipa (Sumatra). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-11 Masehi, negeri Melayu telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Dengan bangkitnya kembali kerajaan Melayu, maka hilanglah kekuasaan kerajaan Sriwijaya atas Selat Malaka, Sriwijaya semakin mundur. Hubungannya dengan negeri Cina pun makin berkurang. Selama abad ke-12 Masehi, Sriwijaya hanya dua kali mengirim utusan ke negeri Cina, yaitu tahun 1156 dan 1178, setelah itu tidak tercatat lagi ada utusan dari Sriwijaya ke negeri tirai bambu ini.
Pemberontakan Candrabhanu dan Faktor lain
Setelah kerajaan Sriwijaya sudah mulai melemah sejak serangan kerajaan Chola, selain bangkitnya kerajaan Melayu, memberi kesempatan kepada tokoh lain untuk muncul, yakni Candrabhanu.
Wilayah kekuasaan Sriwijaya terlalu luas, sehingga pengawasannya tidak mudah. Sebagian ditempatkan di Kedah sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaka, sebagian lagi di pusat pemerintahan Sriwijaya di Sumatra. Kekuasaan dan kebesaran Sriwijaya setelah berkuasa selama beberapa ratus tahun mulai melemah, tidak mampu menghadapi semangat Candrabhanu yang tengah berkobar. Candrabhanu berasal dari wilayah Tambralingga yang termasuk daerah makmur. Kemakmuran Tambralingga ini merupakan modal Candrabhanu untuk mengejar kebebasan dan kejayaannya. Kemenangan pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya menobatkan dirinya sebagai raja Tambralingga. Kemenangan terhadap Sriwijaya tersebut, mendorongnya lagi untuk merebut Grahi, suatu tempat di ujung barat Semenanjung yang paling dekat dengan Kedah.
Semangat Candrabhanu untuk mengejar kejayaan dan kebesaran, setelah 17 tahun menguasai Grahi, tetap berlanjut. Tahun 1247 M, ia melakukan ekspedisi militer ke Srilangka. Hasilnya, Candrabhanu berhasil menguasai sebagian negeri Srilangka. Tahun 1258 dan 1263, terjadi serbuan dari pihak bangsa Pandya, Candrabhanu kalah dan mengakui kekuasaan bangsa ini.
Sebelum adanya pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya itu, pada tahun 1183 dikenal nama Mahasenapati Galanai sebagai raja bawahan Sriwijaya, maka 50 tahun kemudian, yakni pada tahun Kaliyuga 4332 (1230 M), di tempat yang sama muncul nama Candrabhanu Sri Dharmmaraja (Sandrabanu Sri Dharmaraja). Nama ini tercatat pada Prasasti Ch’ai-ya yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Pada tahun 1230 M, Candrabhanu mengeluarkan piagam di Grahi dan menyebut dirinya Tambralinggesywara, maka boleh dipastikan bahwa Candrabhanu memberontak terhadap kekuasaan Sriwijaya. Setelah membebaskan Tambralingga dari kekuasaan Sriwijaya, Candrabhanu mengangkat dirinya sebagai raja Tambralingga dan bergelar Candrabhanu Sri Dharmaraja, kemudian memperluas daerahnya sampai di Grahi. Candrabhanu mengumumkan bahwa ia menjalankan politik-politik Dharmasoka, yakni politik raja Asoka di India. Ia akan berusaha mengembangkan agama Budha. Dengan tegas dinyatakan namanya adalah lambang jasanya kepada segenap manusia. Piagam itu boleh ditafsirkan sebagai proklamasi kemerdekaan negara-negara di pantai-pantai timur Melayu dari kekuasaan Sriwijaya. Timbulnya Candrabhanu berarti patahnya kekuasaan Sriwijaya di Melayu dan juga berakhirnya pemerintahan Dinasti Syailendra di daerah tersebut.
Pemberontakan Candrabhanu terhadap kekuasaan Sriwijaya terjadi antara tahun 1225 M dan 1230 M. Untuk menghindari balas dendam Sriwijaya, politik Candrabhanu adalah memperluas wilayah pemberontakan ke seluruh Semenanjung, dan menikam pusat kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung yang terletak di Kedah.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga berkepentingan terhadap jalur-jalur perdagangan maritim, seperti kerajaan Siam (Burma) yang terletak di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas wilayah kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaya, termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya daerah ini mengakibatkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di kerajaan Sriwijaya makin berkurang.
Sedangkan dari arah timur juga muncul kekuatan baru, yaitu kerajaan Singasari dari pulau Jawa yang diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mengirim ekspedisi militernya tahun 1275 M ke arah barat yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini, mereka dapat menguasai kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga kedudukan kerajaan Sriwijaya semakin melemah.
Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di kerajaan Sriwijaya kian berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasainya jatuh ke dalam wilayah kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau melakukan kegiatan perdagangan sampai ke daerah Melayu yang sudah dikuasai Singasari, tidak dapat lagi melewati daerah perdagangan di wilayah kekuasaan Sriwijaya yang makin sempit. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya sumber penghasilan kerajaan Sriwijaya.
Munculnya kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit di bumi Jawa sebagai kekuatan besar baru di Nusantara, telah menggantikan kebesaran dan kedigjayaan Sriwijaya yang sebelumnya berkuasa di wilayah Nusantara selama berabad-abad.
Menurut babad Mon, serangan dari kerajaan T’ai, di Sukot’ai-Kamboja, merupakan pukulan yang menentukan terhadap wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti yang didirikan oleh Rama Khamheng di Sukot’ai tahun 1292 M menyebut bahwa kerajaan Ligor telah berada di bawah pemerintahannya.
Selain serangan-serangan dari negara tetangga dan timbulnya pemberontakan, menurut Budenani di antara, faktor yang mempercepat keruntuhan Sriwijaya adalah serangan para bajak laut (nomad laut) yang selama ini “bekerja sama” dengan penguasa Sriwijaya berbalik arah menyerang sampai masuk ke wilayah inti kekuasan kerajssn Sriwijaya.
Selain faktor politik dan ekonomi yang telah disebutkan, sebagian para ahli ada yang berpendapat lain, penyebab melemahnya kerajaan Sriwijaya adalah faktor alam, yakni terjadinya sedimentasi (pengedapan lumpur pada garis pantai) di muara sungai Musi dan pantai timur Sumatra menyebabkan makin jauhnya ibukota kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan. Sehingga kontrol penguasa Sriwijaya terhadap pusat-pusat aktivitas perdagangan di daerah pelabuhan-pelabuhan semakin melemah.
Penutup
Kebesaran masa lalu kerajaan Sriwijaya bukanlah hanya sekedar romantisme bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Sumatra Bagian Selatan (Sumatra Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Bangka-Belitung) terhadap eksistensi leluhurnya. Berdasarkan kajian dari peninggalan-peninggalan Sriwijaya yang bersifat artefaktual, maupun sajian dalam berbagai literatur yang membicarakan hal-ikhwal Sriwijaya, tidaklah terbantahkan bahwa pada masanya Sriwijaya memang adalah sebuah kerajaan yang besar.
Keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan maritim, termasuk salah satu dari kerajaan-kerajaan besar dunia yang jumlahnya memang tidak banyak, memiliki masa rentang kekuasaan panjang yang berkisar tujuh abad lamanya, yakni ± abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi. Sriwijaya selain diakui sebagai sebuah kerajaan terbesar pada masa atau babakan awal penerapan sistem kerajaan (masa klasik) di Nusantara, juga merupakan kerajaan pertama yang mengilhami akan semangat kenusantaraan.
Berdasarkan penelusuran sejarah kebudayaan di bumi Nusantara, sangat logis bila dikatakan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar di masa itu, karena cikal-bakal kebesaran atau tingginya peradaban manusia di bumi Sriwijaya, memang telah ada, dirintis, dan berlangsung sejak masa Nirleka Indonesia (2000-1000 SM = tradisi Megalitik Pasemah). Kala itu masyarakat di wilayah Dataran Tinggi Pasemah telah memiliki budaya tinggi, kemudian Sriwijaya melanjutkannya.
Jadi, semangat otonomi dan benih-benih demokrasi yang telah diklaim, seolah menjadi ciri kekinian masyarakat dunia saat ini, ternyata telah ada dan dihayati jauh sebelumnya oleh masyarakat di wilayah Sumatra Bagian Selatan, tepatnya sejak masa Pasemah purba dengan tradisi megalitiknya dan pada masa kerajaan Sriwijaya dengan kebudayaan Budha dan Hindu.
Kebesaran Sriwijaya sampai saat ini masih terus bergema. Namun sayang sekali, sampai saat ini, dapat dikatakan sumber-sumber sejarah Sriwijaya masih sangat sedikit yang ditemukan. Bukti-bukti arkeologis, epigrafis, palaeografis, dan referensi tetulis tentang Sriwijaya masih sangat langka dan terbatas, bahkan sebagian besar manuskrip mengenai kajian tentang Sriwjaya justru terdapat di luar negeri. Akumulasi penggalian dan kajian ilmiah yang pernah dilakukan oleh peneliti asing maupun lokal belum bisa mengungkap semua fakta sejarah Sriwijaya. Akibat keterbatasan ini, rekonstruksi sejarah Sriwijaya mengalami banyak kesulitan.
Polemik yang muncul mengenai Minanga, Mukha Upang, nama raja-raja Sriwijaya yang pernah berkuasa, periodesasi, bahkan lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya sampai saat ini masih terus bergulir. Namun bagi ilmu sejarah, interpretasi dan teori yang berbeda dalam suatu studi sejarah adalah suatu berkah dan anugrah, karena perspektif sejarah sebagai ilmu, di antaranya, bersifat dinamis dan penuh keterbukaan. Asalkan multipendapat tersebut tetap berlandaskan dan didukung oleh data, fakta, teori, dan interpretasi yang objektif, ilmiah, dan rasional sehingga kian mendekati kebenaran sejarah, terutama sejarah Sriwijaya.
Tahun 1988, daerah sekitar Palembang mendapat sorotan tajam dari pakar sejarah Indonesia yang terdiri Dr Hasan Muarif Ambary dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang didampingi ahli purbakala Hindu-Budha Soejatmi Sutari, arkeolog Bambang Budi Utomo, arkeolog yang dikirim dari Usaid MI Dr E Edwards Mc Kinnon, dan peneliti perahu kuno Perancis Piere Yves Manguin. Kelima peneliti sejarah dengan disiplin ilmu masing-masing mengadakan ceramah di Palembang pada tahun 1988. Kesimpulan mereka, nilai ilmiah kepurbakalan dari sejarah Sriwijaya, yang berkepentingan terhadap sejarah Sriwijaya bukanlah hanya orang Indonesia pada umumnya dan orang Palembang atau Sumatra Selatan khususnya. Namun lebih dari itu, kedudukan Sriwijaya pada masa lampau abad ke-7 sampai ke-13 Masehi adalah sama pentingnya seperti kerajaan Islam yang berpusat di Baghdad, Asia Barat, ketika dipimpin oleh Harun Al Rasyid.
Apapun pendapat para peneliti mengenai Sriwijaya, yang jelas sampai saat ini, fakta arkeologis dan artefaktual kerajaan Sriwijaya paling banyak ditemukan di wilayah Palembang, sehingga interpretasi dan teori para peneliti mayoritas bertendensi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya diduga kuat memang berada di Palembang saat ini. [*]
Sumber : Dapunta. com
Langganan:
Postingan (Atom)