Rabu, 16 November 2011

NASKAH SYA'IR LAMPUNG KARAM


SYA’IR LAMPUNG KARAM

Orang banyak nyatalah tentu
Bilangan lebih daripada seribu
Mati sekalian orangnya itu
Ditimpa lumpur, api dan abu

Pulau sebuku dikata orang
Ada seribu lebih dan kurang
Orangnya habis nyatalah terang
Tiadalah hidup barang seorang

Rupanya mayat tidak dikatakan
Hamba melihat rasanya pingsan
Apalah lagi yang punya badan
Harapkan rahmat Allah balaskan.

Naskah berjudul Syair Lampung Karam
Karya : Muhammad Saleh.
Latar belakang Tsunami dan meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883
Dicetak dengan menggunakan aksara Jawi (tulisan Arab berbahasa Indonsia / Melayu)

Naskah ini ditemukan oleh seorang ahli filologi Suryadi, seorang dosen Leyden University 127 tahun kemudian. Naskah langka ini telah berserakan halaman halamannya di lima Negara yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia dan Indonesia. Naskah ditulis dengan latar belakang pristiwa tsunami pertama di Indonesia, yaitu tsunami yang muncul akibat meletusnya Krakatau (Krakatoa, Carcata)


Sebagaimana kita ketahui bahwa letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tanggal 26, 27 dan 28 Agustus 1883 itu adalah letusan yang sangat dahsyat, hempasan ombak besar akibat tsunami pada saat itu mencapai hingga dibeberapa Negara di belahan Eropa. Itulah sebabnya serentak masyarakat menulis dan mempublikasikan tulisan itu di media massa selama berhari hari secara berturut turut atau dicetak dalam bentuk buku untuk umum. Tulisan mengenai meletusnya Gunung Krakatau ini dalam berbagai versi diperkirakan mencapai ribuan naskah.

Namun walaupun demikian ada satu naskah yang terlewatkan, yaitu naskah lampung Karam yang ditulis oleh Muhammad Shaleh, naskah ini dicetak di Singapura dalam bentuk buku saku dengan menggunakan Aksara Jawi, Yaitu tulisan Arab dengan bahasa Indonesia/ melayu. Pada saat itu dengan telah masuknya agam Islam di Indonesia maka huruf Jawi sangat lazim digunakan untuk berbagai aktivitas pebulisan dan percetakan serta komunikasi lainnya.


Sebuah besi besar yang oleh masyarakat disebut Bom terhampar didataran Telukbetung Bandar Lampung, benda raksasa ini sebenarnya adalah besi tambatan kapal di pelabuhan, diketemukan di Taman Dipangga depan Kantor Polda Lampung, kini telah dipindahkan di Museum Ruwa Jurai Lampung. Masid Al-Anwar yang terletak di Jl. Malahayati Telukbetung, luluhlantak diterjang Tsunami Krakatau tahun 1883. Mesjid tersebut telah di bangun kembali dan tetap berdiri hingga sekarang.

Banyak saksi bisu pristiwa pristiwa tsunami Karakatau ini, itulah sebabnya karya Muhammad Shaleh dengan judul Lampung Karam tersebut diatas menjadi istimewa karena Muhammad Shaleh adalah saksi mata pristiwa yang menelan kurban nyawa mencapai 30.000-an orang itu. Walaupum yang bersangkutan hanya sempat melihat dan memperkirakan sekitar seribuan orang yang terkubur di pulau Sebuku.

Kita menduga sipenulis melihat langsung pristiwa itu, dan Ia sendiri selamat dari amukan ombak, tetapi Ia pindah ke Bangkahulu Singapura, tulisannya baru dicetak setelah tiga tahun dari pristiwa. Mungkin tidaklah banyak eksemplar yang diterbitkan, sehingga naskah itu tercerai berai hingga ke lima Negara. Tetapi sejauh itu penulis tidak menceritakan berada di posisi mana sebenarnya Ia ketika peristiwa yang mengerikan ini terjadi.

Kalaupun aksara yang digunakan itu aksara Jawi, hal tersebut tidaklah mengherankan karena pada abad ke 18 memang Kitab Kitab yang ditulis oleh para ulama Nusantara sudah banyak beredar, dan walaupun pada umumnya masyarakat masih buta huruf, tetapi mereka tidak buta huruf al-Quran. Itulah sebabnya karya karya besar para ulama Nusantara ditulis dengan menggunakan huruf Jawi ini.

Berdasarkan cerita turun temurun bahwa masyarakat Telukbetung sekitar tahun 1880-an kedatangan seorang ulama bernama Ahmad Shaleh, beliau adalah ahli agama, dia seorang ulama, yang oleh masyarakat sekitar di Telukbetung memanggil beliau sebagai Tuan Penghulu, beliau adalah salah satu plopor pembangunan masjid Al-Anwar tersebut di atas. Tetapi apakah Amad Sholeh yang ini yang menulis naskah lampung karam. Wallohua’lam bishowab.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

sulis

Anonim mengatakan...

sulis

Anonim mengatakan...

subhanallah
membaca naskah lampung karam yang ditulis oleh Muhammad sholeh mengingatkan kembali peristiwa yg dahsyat yang terjadi pd tanggal 26,27,28 agustus 1883 silam. Naskah ini ditemukan oleh seorang ahli filologi Suryadi, seorang dosen Leyden University 127 tahun kemudian dan naskah tersebut berisikan begitu bnyak orang yg habis pd musibah tersebut ditimpa lumpur,api dan abu,tiada barang yang tersisa, yang hanya dilihat hanyalah mayat yang berserakan dimana-mana,yang tidak tau identitasnya,hanyalah pertolongan dari Allah yang diharapkan.

Anonim mengatakan...

Ternyata ada orang lampung asli yang menulis naskah tentang terjadinya tsunami pertama tetapnya di Lampung,yaitu Muhammad Saleh. Naskah tersebut penulisannya menggunakan aksara jawi. Pada saa itu gunung krakatau meletus pada tahun 1883,yang menghasilkan letusan yang sangat luar biasa dan mengguncangkan daerah lain trmasuk Eropa.
Naskah ini sangatlah berarti dalam sejarah Lampung,karena kita dapat mengetahui bagaimana dan apa saja yang terjadi pada saat itu.
Akan tetapi masih ada pertanyaan siapakah yang orng yang benar-benar menulis naskah ini?
Karena pada tahun 1880-an menurut cerita temurun masyarakat ada seorng ulama yang tinggal di Telukbetung,ia yang membangun masjid Al-Anwar,ulama itu bernama Ahmad sholeh,apakah ulama tersebut yang menulis?

Anonim mengatakan...

maaf pak lupa memberi nama,
Munzir AF yang menulis tgl 23 nov 2012(tulisan datas).

Anonim mengatakan...

Santoro AF :Senin 27 Agustus 1883, Selat Sunda mengalami kiamat. Letusan dahsyat gunung api yang berada ditengah-tengah selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra itu telah menggegerkan dunia. Pantai-pantai yang berhadapan, baik di Jawa (Banten), maupun di Sumatra (Lampung), mengalami akibat yang mengerikan akibat tsunami yang ditimbulkan ledakan gunung api itu: Krakatau. Buku tentang ledakan Krakatau yang diresensi di Geomagz No. 3 edisi September 2011 ini bolehlah sebagai peringatan ke-128 tahun letusan Krakatau. Buku pertama adalah Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 ditulis oleh Simon Winchester, dan buku kedua Syair Lampung Karam yang disusun oleh Suryadi dari naskah bahasa Melayu dengan aksara Arab-Melayu (Jawi) yang aslinya ditulis oleh Muhammad Saleh.Membaca buku Simon Winchester yang aslinya berjudul Krakatoa, The Day the World Exploded August 27, 1883 dan terbit pertama pada 2003, sangat mengasyikan. Buku itu telah diterbitkan dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia pertama kali dengan judul Krakatau Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 oleh Serambi (2006). Penerjemahnya, menerjemahkannya dengan bahasa yang enak dibaca. Tulisannya mengalir jernih dan tidak terperangkap dalam terminologi-terminologi akademis geologis. Sekalipun istilah-istilah teknis geologi tetap muncul, tetapi pembaca akan mudah memahami istilah tersebut karena ada penjelasannya pada kalimat berikutnya.Namun demikian, penerjemah terlalu berhati-hati dalam banyak istilah geologi yang kadangkala memang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kehati-hatian penerjemahan disiasati oleh penerjemah dengan tetap mempertahankan beberapa istilah dalam bahasa Inggris, seperti porphyry, rift valley, pyroclastic flows, dan sebagainya. Bahkan kata ridge dari mid-oceanic ridge, tetap dibiarkan dalam bahasa aslinya dan tidak diterjemahkan ke dalam ‘pematang’ atau ‘punggungan’ tengah samudera; hal yang sebenarnya sudah lumrah di Geologi.Isi buku sekitar letusan Krakatau 1883 sangat komprehensif dan lengkap. Mulai dari gunung ini hanya sebagai legenda atau dari catatan-catatan pujangga lama, hingga hasil penelitian yang monumental dari RDM Verbeek, 1886, dan pembahasan buku Simkin & Fiske, 1983, yang sebenarnya kumpulan komprehensif dalam versi Inggris dari Verbeek 1886 dengan banyak ilustrasi yang menarik.Pada bab-bab awal buku ini dengan menarik Winchester bercerita tentang latar belakang Indonesia, diantaranya mengenai Pujangga Surakarta Ranggawarsita yang menulis tentang adanya letusan Gunung Kapi yang diduga Krakatau sebelum letusan dahsyat 1883. Pada bab yang lebih ilmiah tentang Krakatau, ada kemungkinan Gunung Kapi yang dimaksud Ranggawarsita adalah letusan yang tercatat pada tahun 416 atau 535. Pada bab awal ini pula, Winchester memberi gambaran secara ringkas sejarah Indonesia sebagai jajahan Belanda, dan mengapa bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk saling memperebutkan hasil bumi cengkeh, lada, dan pala.

Anonim mengatakan...

FAZRI AL FEZAR (AF).... ya, sebuah naskah yang begitu berharga karena berisikan Tulisan mengenai Sejarah dan Peristiwa besar yang terjadi di Lampung, yaitu meletusnya Gunung Krakataau pada tahun 1883 di selat Sunda,,, letusan tersebut menelan korban jiwa mencapai Lebih dari 36000 Jiwa... saya sebagai orang yang tinggal di Kalianda tentunya dekat dengan Gunung Krakatau itu sering mendengarkan Cerita-cerita yang di sampaikan oleh oarng-orang Tua,, dan Juga dapat di buktikan dengan beberapa peninggalan bekas letusan itu, antara lain di sepanjang bukit di Pesisir pantai itu Ada Bekas-bekas Hempasan Ombak Tsunami dari Letusan Gunung Maut itu. dan terdapat juga Batu-batu besar yang benserakan di Sepanjang pesisir Kalianda,, namun ini adalah Bukti beripa jejek-jejek dan Cerita-cerita yang di sampaikan oleh Para sesepuh yang telah Uzur, sedangkan berita yang tertulis berupa Naskahnya dapat di Baca dengan adanya Naskah yang di tulis oleh Muhammad Saleh, yang berjudul "Syair Lampung Karam"... walaupun perlu di buktikan Kebenaran dari Siapa Naskah ini Sebenarnya di Buat dan dalam Posisi apa dan di Mana Penulis tersebut dalam menuliskannya, Tetapi dengan adanya Naskah ini Sudah dapat memberikan Buntuan Mengenai Gambaran Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau tersebut yang merupakan Sejarah Besar Dunia pada Umumnya dan Lampung Khususnya...