Serat Centhini Jilid
Pengarang : KGPA Anom Amengkunegara III
Pada awal jilid-3, lanjutan kisah perjalanan Mas Cebolang, masih berada di ibukota Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke kearah timur dan berakhir di mesjid Laweyan, disebelah barat kota Solo (sampai saat ini mesjid masih ada).
Setelah meninggalkan ibukota, cerita/legenda, adat-istiadat dan pengetahaun sprituil mulai bergeser lagi ke kisah-kisah pra-Hindu (seperti cerita Bandung Bandawasa dan Roro Jonggrang), pengaruh budaya Jawa asli maupun pengaruh Hindu & Budha. Karena sifat kerajaan di Jawa adalah kerajaan konsentris yang terasa pengaruhnya sangat kuat disekeliling raja dan istana, makin jauh dari istana maupun ibukota kerajaan pengaruhnya makin melemah, menguat kembali di sekitar kabupaten (tempat bupati – perpanjangan tangan kekuasaan raja di daerah).
Masyarakat diluar lingkungan yang jauh dari istana, bebas mengadaptasi budaya-budaya yang berkembang secara lokal disetiap kantong-kantong pedesaan dalam pengaruh para tetua yang dianggap sebagai pemimpin setempat yang mengembangkan budaya sesuai dengan batas pengetahuannya, bisa ada pengaruh Budha, Hindu, Jawa asli, Islam atau bisa juga hasil sinkretisasi dari pengaruh budaya yang pernah ada.
Contohnya Serat Lokapala adalah kisah Ramayana versi cerita pewayangan yang isinya tidak persis sama dengan kisah Ramayana, hanya garis besar ceritanya yang mirip. Karena dalam Serat Lokapala ini ada suatu ajaran yang bernama Jastra Jendra Hayuningrat yang merupakan suatu pengetahuan sprituil yang sampai saat ini masing menjadi pembicaraan sprituil dikalangan masyarakat Jawa yang kemungkinannya adalah pengetahuan sprituil Jawa asli.
Disamping Serat Lokapala, beberapa cerita pra-Islam yang diceritkan adalah: Ki Harda yang cari pesugihan (ilmu hitam cari kekayaan) di hutan Roban; Cerita Prabu Dewanata di Pengging; Cerita Prabu Dipanata di Salembi melawan Prabu Karungkala di Prambanan, Cerita Bandung Bandawasa asal mula Candi Sewu dan Candi Roro Jonggrang; Cerita tentang Ramalan Jayabaya.
Ramalan Jayabaya adalah ramalan yang berasal dari Prabu Jayabaya (1135 - 1157) dari kerajaan Kediri yang belajar dari pendeta dari negeri Rum (Eropa). Ramalannya menggunakan tarih Masehi dengan membagi jaman menjadi 3 X 700 tahun, setiap 700 tahun dibagi lagi jadi 7 jadi 100 tahunan, 100 tahun dibagi 3 jadi 33 tahunan. Dengan pembagian ini seolah-olah Prabu Jayabaya meramalkan bahwa akhir jaman (kiamat) akan terjadi pada akhir abad ke 21 (abad ini). Ramalan Jayabaya masih menjadi pembicaraan masyarakat Jawa sampai dengan saat ini.
Cerita yang bernafas Islam adalah: Cerita penyebaran agama Islam di Jawa dari masa Sunan Ngampel s/d Sultan Agung; Cerita Ke Gedhe Pandanaran dan Seh Domba; Silsilah Sultan Pajang s/d Sultan Agung di Mataram (cerita tentang kesultanan Islam).
Adat-istiadat yang dibicarakan adalah perluasan dari yang pernah dibicarakan di jilid-jilid sebelumnya: lebih jauh perihal perjodohan, sifat-sifat wanita dan olah asmara; delapan hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan pekerjaan; sebelas macam kayu dan masing-masing manfaatnya; berbagai jenis rumah Joglo 7 macam, Limasan 10 macam, Kampung 9 macam, Mesjid 3 macam; empat puluh empat macam gendhing terbangan; penjelasan makna selamatan orang meninggal dari 3 hari s/d 1000 hari; jamu untuk macam-macam penyakit; ura-ura (lagu) tentang sifat-sifat manusia yang kurang baik;
Perlu dikemukakan nasehat dari Kyai Ajar Sutiksna dari pada mencari kekayaan atau pangkat dengan pergi ke dukun atau pesugihan (ilmu hitam agar bisa kaya) lebih baik menjalankan pekerjaan apa saja dengan baik (ini adalah semacam self-improvement model jaman dulu) yaitu dengan cara: Paramasastra – menguasai kesusastraan (baca dan tulis), Paramakawi – menguasai syair (tembang), Mardibasa – percaya diri dalam bicara, Mardaweng-lagu – bisa berbicara yang menyenangkan orang lain, Awicarita – punya banyak cerita, Samantra-guna – punya banyak kepandaian (Note: “multi talent”), Nawungkrida – mengerti perasaan orang lain, Sambegana – punya ingatan yang baik atau tidak mudah lupa.
Sedangkan pengetahuan spirituil yang dibicarakan adalah:
1. Penjelasan bahwa unsur badan manusia yang terdiri dari api, bumi, udara, dan air memberikan pengaruh sifat-sifat manusia sesuai dengan sifat-sifat dari unsur-unsur tersebut. Termasuk pengaruhnya terhadap unsur kelima yaitu keberadaan roh.
2. Sastra Jendra Hayuningrat atau Sastra Cetha, yaitu pengetahuan tentang penjelasan huruf (huruf Jawa dan huruf Arab) yang kalau dijabarkan bisa menjelaskan asal usul kehidupan sehingga bisa menjadikan mardikaning-rat (membebaskan diri dari pengaruh duniawi), salah satu penjelasan tentang huruf Jawa adalah sebagai berikut:
a. Ha-na-ca-ra-ka artinya ada utusan, dijawab dengan ka-ca-ra-na-ha lisan diucapkan
b. Da-ta-sa-wa-la artinya perlambang adanya Dhat, dijawab dengan la-wa-ta-sa-da pertanda salam
c. Pa-dha-ja-ya-nya artinya sama-sama unggulnya, dijawab dengan nya-ya-ja-dha-pa artinya tidak berhenti menghadap
d. Ma-ga-bha-ta-nga bebatangan badan ini jadi kenyataannya, dijawab dengan nga-ta-bha-ga-ma artinya tatanan yang ada, perihal keberadaan Hyang Agung
Interpretasi dari uraian ini yang sampai saat ini masih menjadi perbincangan berbagai makna dan maksudnya salah satunya adalah keberadaan manusia merupakan manifestasi keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Serat Suluk Hartati: menceritakan keadaan manusia dari bayi, dewasa dan cara-cara menuju pada kesempurnaan hidup.
4. Penjabaran Pancadriya dan Pancamaya: Pancadriya terdiri dari karsendriya, antarendriya, mayandriya sedangkan Pancamaya terdiri dari ringgamaya, ciptamaya, wahyamaya. Kiasan tentang tingkah laku dan berbagai suasana bathin dari seseorang.
5. Penjelasan tentang istilah yang ada di agama Islam: fasik, munafik, musrik, maksiat, murtad, kafir, kufur, lalim, batal, haram, makruh, najis, puasa Ramadhan, laelatukadar, zakat fitrah, korban. Pengenalan ini disebabkan pada masa itu adalah taraf penyebaran agama Islam di Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar