Minggu, 31 Agustus 2014

Nyi Gowok Kini Telah Tiada


 Judul        : Nyi Gowok
Penulis     :  Budi Sarjono
Penerbit    :  Diva Pres.
Terbitan I  :  2014
Sudah lama sekali saya tak membeli novel, kali ini saya tertarik mencarti novel di Swalayan PTC Palembang karena saya masih harus menginap di Palembang untuk berapa lama lagi. semula perusahaan menghabarkan bahwa intermetten akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Agustus 2014. Dan saya hanya membawa satu celana jean, satu celana dasar,  dua kemeja tangan pendek, dan empat potong baju kaos, serta sebuah jaket yang setia menemaniku kemana pergi. Jaket pemberian perusahaan itu mampu menyimngkirkan jaket jaketku lainnya.
Intermitten ditunda sekitar dua minggu lagi, tentu saja aku harus membeli pakaian tambahan agar nampak oleh teman teman aku sering berganti pakaian seperti layaknya seseorang yang sudah mengantongi kepala enam seperti usiaku sekarang ini,
Setelah merasa cukup dengan apa yang kucari, dan menyesuaikan dengan isi kantongku tentunya, iseng iseng aku ke toko buku, dan kubelilah novel tulisan Budi sarjono ini, aku mengharap novel ini banyak cerita tentang kehidupan desa, yang sejatinya aku sendiri telah mengalaminya sewaktu kecil. Tetapi alamaak .... setelah ku baca, isinya diluar dugaan. Hanya satu pesanku, jika bisa novel ini jangan dibaca oleh para remaja seusia Bagus Sasongko sebagai tokoh penting dalam novel ini, selain Nyi Lindri sebagai tokoh utamanya,

Dengan embel-embel ‘novel kamasutra dari Jawa’ di cover novel ini, sudah barang tentu
membawakan rasa penasaran dan ketertarikan para calon pembaca untuk mengambilnya dari rak-rak toko buku untuk membelinya. Novel berjudul Nyai Gowok ini menceritakan pengalaman seorang remaja laki-laki yang bernama Bagus Sasongko yang baru saja disunat yang ‘diserahkan’ kepada Nyai Lindri, seorang perempuan dewasa nan cantik yang bertugas sebagai seorang gowok, untuk dididik menjadi seorang lelaki dewasa. Dalam tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, seorang remaja lelaki yang sudah disunat akan menjalani beragam fase prosesi, salah satunya ia harus belajar atau nyantrik pada seorang gowok. Tentu saja, istilah dididik dan belajar (atau nyantrik dalam bahasa Jawa) di sini merujuk kepada pelajaran seksual dan semua yang berhubungan dengan tubuh wanita, bagaimana memperlakukannya agar mencapai kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis kelak di masa depan sang remaja laki-laki tersebut. Untuk itulah frasa ‘novel kamasutra dari Jawa’ tersebut diletakkan di cover depan.

Tema yang provokatif dan sepertinya merujuk ke arah tabu ini jelas sangat menarik untuk disimak. Segala hal yang berbau tabu meski selalu kontroversial juga sama menggodanya. Sayangnya, hal ini tidak didapatkan dalam novel ini.
Budi Sardjono sang penulis memang sepertinya memiliki kepiawaian dalam menceritakan detil menarik dalam cerita yang berlatar belakang tahun 1950-an. Bukan tidak mungkin, penceritaan ini didasarkan pada pengalamannya sendiri, apalagi ketika kita dapat membaca ia menjadi cameo yang muncul dalam cerita. Kepiawaiannya dalam menceritakan keadaan pulau Jawa pada masa itu, secara sosial maupun budaya, serta beragam istilah dalam bahasa Jawa lancar saja mengalir dari tulisannya, meski ini tidak lantas mendukung hasil akhir penciptaan karya sastranya ini.
Bisa dikatakan terlalu banyak hal yang ‘mengganggu’ dalam novel ini, sehingga setiap saya membaca lembar demi lembar otak saya terus merasa terganjal dan tidak lancar menikmatinya. Hal-hal yang mengganggu itu beragam mulai dari segi fisik atau unsur-unsur intrinsik, sampai pada hal filosofisnya.
Dilihat dari penokohan saja, sang Nyai Lindri sulit memiliki penggambaran yang tepat. Budi Sardjono gagal menjelaskan pesona fisik sang protagonis dan bisa dikatakan salah satu tokoh utama (selain Bagus Sasongko tentunya). Dalam dialog yang dibuat, semua tokoh sama rata. Kerap mengumbar tawa aneh seperti ‘hehe’ atau ‘hihi’. Kadang ada yang lebih panjang, misalnya ‘hihihi’. Nyai Lindri yang dalam penceritaannya merupakan tokoh wanita yang dewasa dan ‘berwibawa’ terlalu kerap tertawa aneh seperti ini, bahkan hampir tiap ucapan. Jangan tanya dengan tokoh yang lain.
Selain dialog tawa yang mengganggu tersebut, ada pula ‘akh’, ‘hemm’. ‘hooo’ yang juga bertaburan secara membabi buta. Semua tokoh berhak menggunakan partikel ini. Tidak salah memang, tetapi sangat mengganggu. Pengulangan pun menjadi ciri kuat Budi Sardjono. Beragam dialog dan penjelasan terus diulang sepanjang novel. Mantra-mantra, tembang, bunyi kereta api, dan sebagainya. Tembang dan macapat Jawa yang panjang-panjang bahkan ‘tega’ untuk di copy-paste pada halaman-halaman berikutnya.
Inilah mengapa saya menyebutnya ‘novel yang mengganggu’. Mungkin bukan karena sama sekali buruk, namun sekali lagi, sangat mengganggu. Istilah-istilah Jawa bertaburan. Banyak yang diberikan penjelasan (ini juga mengganggu, karena pembaca non suku Jawa akan bolak-balik membaca petunjuknya), namun banyak pula yang dibiarkan menggantung seakan pembaca sudah paham dengan istilah-istilah tersebut. Saya sebagai orang Jawa sama sekali tidak merasa kesulitan, namun rasa prihatin saya berikan pada para calon pembaca yang tidak memahami bahasa Jawa. Kata-kata seperti dolan atau Ndoro belum tentu dipahami begitu saja. Setiap lembar bisa saja menjadi siksaaan bagi pembaca umum.
Penokohan di Nyai Gowok ini cukup ganjil. Kemampuan sejarah para tokoh, misalnya Nyai Lindri sendiri, ketika ditanya mengenai masa lalu sangat baik, terlalu bagus malahan. Agak ganjil ketika Nyai Lindri menjelaskan kepada Bagus Sasongko mengenai beragam sejarah yang telah terjadi dengan menjelaskan dengan detil, sampai pada tahunnya. Saya rasa hanya sejarawan atau guru ilmu sejarah lah yang menghapal tahun-tahun penting tersebut.
Alur mudah ditebak. Antagonis sepertinya tidak disukai sang penulis, sehingga ia ‘melindungi’ sang protagonis dengan berdarah-darah. Kesialan dan kemalangan hampir tidak berhasil menyentuh Nyai Lindri dan Bagus Sasongko.
Mengenai tema, yang seharusnya bisa saya katakan cukup brilian, kurang terekspos, bahkan menjadi sebuah tanda tanya besar. Pertama, walau sepertinya menyakinkan, profesi gowok ini kurang dikuatkan. Apakah memang merupakan bagian dari tradisi kuno bangsa Jawa, atau fiski belaka? Disebutkan bahwasanya gowok sendiri sebenarnya merupakan tradisi dari istana di Tiongkok. Dari China, ia dibawa oleh seorang perempuan bernama Goo Wook Niang (konon ia datang bersama Laksamana Cheng Ho ke Semarang) yang kemudian memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Lidah Jawa kesulitan mengejanya dan menciptakan istilah gowok yang sesuai dengan pelafalan bahasa Jawa. Hanya saja, bahkan kedua tokoh utama dalam cerita ini kemudian menyangsikan (dengan tiba-tiba) mengenai kevalidan informasi sejarah yang telah mereka dengar. Membuat saya secara pribadi menjadi ragu, apakah gowok ini hanya murni sebuah karya fiksi, apalagi sulit mencari informasi mengenainya.
Tema yang begitu brilian bagi saya ini seharusnya didukung dengan kekuatan penceritaan, penokohan, alur, dialog dan pandangan flasafahnya. Misalnya saja, Budi Sardjono hampir berhasil menjelaskan ‘jenis pekerjaan’ ini dengan nilai filosofinya. Bagi masyarakat Indonesia, apalagi masa kini, sangat mudah untuk langsung menuduh gowok sebagai seorang perempuan yang tak ubahnya (maaf) seorang pelacur. Menggunakan badannya untuk dinikmati seorang laki-laki secara seksual. Bahkan dalam banyak hal, istilah pedofil atau mother complex (oedipus complex) dapat digunakan dalam hubungan Nyai Lindri dan Bagus Sasongko. Bagaimanapun juga, Nyai Lindri menyediakan badannya untuk disetubuhi laki-laki yang bukan suaminya bukan?
Sekali lagi, sang penulis novel ‘hampir’ berhasil menjelaskan ‘keluhuran’ pekerjaan seorang gowok ini dan membedakannya dengan tegas dengan pekerjaan sebagai seorang PSK atau prostitute. Dengan menggunakan analogi Kama Sutra (bahasa Sansekerta: कामसूत्र), pendidikan seks disini bukan sekedar menuruti hawa nafsu, namun sebaliknya, menahan dan mengontrolnya, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak untuk mencapai harmonisasi kehidupan berumah tangga. Sang cantrik (pelajar), akan diajari cara menghormati tubuh perempuan, diajari bagaimana melayani dan memuaskan perempuan untuk mencapai kebahagiaan.
Kama Sutra, sebuah teks Hindu India kuno yang berisi ‘saran’ hubungan seksual dengan beragam posisi, kerap sekali digambarkan sebagai sebuah teks ‘porno’ dan melulu hanya berisi teknik senggama. Padalah teks yang ditulis oleh Vatsyayana ini sebenarnya lebih berisi panduan kehidupan yang bahagia dan harmonis dengan membahas sifat alami cinta, kehidupan keluarga dan beragam aspek lain yang berhubungan dengan kenikmatan kehidupan manusia. Jadi, Kama Sutra bukan sebuah buku manual mengenai melulu seks. Filosofi semacam ini tidak langsung gampang diterima para pembaca, apalagi usaha membandingkan falsafah pengajaran kehidupan seks seorang gowok kepada cantriknya dengan Kama Sutra bisa-bisa gagal karena seorang calon pembaca belum tentu memahami Kama Sutra dari sisi filosofinya.
Pembelaan sang penulis pada Nyai Lindri agar tidak disamakan dengan seorang pelacur juga sangat tidak meyakinkan. Selain karena masyarakat secara awam menganggap semua yang berhubungan dengan seks dalah tabu untuk dibicarakan, kekuatan filosofinya tidak mampu menyokongnya. Ini sangat berbeda dengan Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden, yang walau sang penulis bukanlah orang asli Jepang, ia mampu menjelaskan seluk beluk kehidupan dan profesi seorang geisha, dimana telah la di dunia barat dan hampir di seluruh dunia geisha kerap dikonotasikan dengan seorang pelacur. Golden mampu menjelaskan usaha yang berat untuk mejadi geisha, kehebatan-kehebatan seorang geisha, ketrampilan seni yang membuatnya menjadi wanita seutuhnya, serta derita seorang geisha pula yang sangat berbeda dengan seorang pelacur. Walau pada akhirnya kita tahu bahwa geisha toh bukan seorang yang ‘suci’ dalam penilaian pikiran budaya Nusantara (Indonesia) atau mungkin dunia secara umum, geisha telah berhasil menunjukkan keagungannya, atau paling tidak penggambarannya sebenar-benarnya.
Penolakan Nyai Lindri untuk dianggap sebagai seorang pelacur tidak sekuat geisha, meski gowok dan geisha dalam beberapa hal dapat dibandingkan (terutama karena kedua ‘profesi’ ini memiliki falsafah tinggi dan tanggung jawab besar dan menolak disamakan dengan pelacur). Inilah puncak hal yang mengganggu dalam novel Nyai Gowok ini. Karakter gowok menjadi defenseless, atau tidak memiliki amunisi yang cukup untuk berperang dengan pikiran pembaca atau cibiran masyarakat atau suatu saat tuduhan ‘novel porno’ yang bisa saja disematkan pada karya sastra ini. Apalagi ternyata, sang pembela Nyai Gowok pun harus dibuat kecewa karena pada akhirnya, meski Nyai Lindri tidak mau disamakan dengan seorang pelacur, ia toh memberikan rasa simpati dan ‘pembenaran’ atas ‘profesi’ pelacur itu sendiri. Pembelaan gugur sudah.
Bila sedikit ulet, saya rasa tidak sulit untuk membuatnya menjadi novel yang sangat bagus. Budi Sardjono telah menempatkan dasar yang sangat baik. Kemampuannya menggambarkan semua elemen dan aspek ke-Jawa-annya patut diacungi jempol. Saya merasa dilempar jauh ke masa tahun 50-an, dimana Indonesia belum terlalu lama merdeka. Semua istilah Jawa dari makanan, tempat, istilah pemerintahan, terutama juga penggambaran Joga tempo dulu membuat saya kangen ke Jogja lagi. Bahkan saya sempat menanyakan kepada ayah saya yang lahir pada tahun 1952 (setahun lebih tua dibanding sang penulis) mengenai kondisi pulau Jawa, terutama Jogja, pada masa tahun tersebut. Tak pelak, saya seperti menonton film dokumenter. Membaca novel dan mendengarkan cerita ayah saya. Dengan novel inipun saya semakin penasaran dengan gowok. Kebudayaan distinctive yang tabu sekaligus menggoda ini menjadi semakin menggoda untuk dianalisis seperti keinginan bagus Sasongko sendiri.
Hal lain yang ternyata tidak mengganggu adalah kehebatan sang novelis menjelaskan dan menggambarkan peran orang-orang Tionghoa pada masa itu dalam pembangunan, serta asimiliasi kebudayaan Tinghoa/China-Jawa tanpa menunjukkan permusuhan atau persaingan, sebaliknya menyadarkan akan rasa persatuan dan budaya yang sama, yaitu budaya Indonesia yang telah terbentuk dari masa dahulu.
Akhir kata, meski novel ini memiliki banyak hal yang mengganggu, tidak lantas membuatnya tidak layak baca. Bila boleh saya gambarkan, ia seperti jarik (kain) batik yang memiliki lubang di beberapa tempat, sehingga ketika dipakai, lubang-lubang tersebut harus pandai-panda disembunyikan atau ditutupi agar tidak mengganggu.

Tidak ada komentar: