Kamis, 24 Oktober 2013

Revitalisasi Bahasa Lampung.




  • UNDANGAN TERBUKA

    Yth. Bapak/Ibu/minak muari sunyinni,

    Tabik,

    Tanpa perlu banyak pengantar (apalagi pidato sambutan hehee...) karena banyak pihak sudah mafhum tentang kondisi kekinian bahasa Lampung; Harian Umum Lampung Post mengharapkan kedatangan Bapak/Ibu/minak muari sunyinni menghadiri Seri Diskusi Lampung Bangkit III. Tema kali ini -- terkait dengan Bulan Bahasa Oktober ini -- adalah Revitalisasi Bahasa Lampung.

    Narasumber:
    1. Iqbal Hilal, Kepala Pusat Studi Kebudayaan Lampung Universitas Lampung
    2. Muhammad Muis, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung*
    3. Asaroeddin Malik Zulqornain, sastrawan, penghayat kebudayaan Lampung
    4. Arman Az, sastrawan, peneliti/pembuat film tentang H.N. van der Tuuk

    Semoga Allah swt. meringankan langkah kita semua untuk memeriahkan acara ini. Sumbang pikir Bapak/Ibu/minak muari seunyinni besar artinya bagi eksistensi tamaddun Lampung ke depan. Amien.

    Terima kasih.


    Udo Z Karzi
    Koord.

    * dalam konfirmasi

Bahasa Lampung, Nasibmu Kini



Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3—4 generasi atau 75—100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.

Dian Wahyu Kusuma
----------------

KELUH-KESAH, curahan hati, rasa tak percaya diri, dan sikap saling curiga antara pihak satu dan lainnya. Begitu yang mengemuka dari Seri Diskusi Lampung Bangkit III dengan tema Revitalisasi bahasa Lampung di Lampung Post, Selasa (22/10).

Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."

Namun, dosen FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, mengartikan revitalisasi bahasa Lampung sebagai upaya untuk menjadikan bahasa Lampung hidup dalam kegiatan berbahasa penuturnya sehari-hari. "Belajar bahasa Lampung dengan demikian adalah mempraktikkan bahasa Lampung dalam berbagai kesempatan," ujarnya.

Masalahnya, kata dia, bagaimana menghidupkan praktik berbahasa Lampung secara lisan dalam kehidupan sehari-hari. "Ini yang tidak kelihatan. Seharusnya setelah siswa belajar di sekolah, upaya selanjutnya adalah menciptakan komunitasnya, menciptakan kantong-kantong berbahasa Lampung," kata dia.

Menurut Kahfie, pengajaran bahasa Lampung itu harus diorientasikan kepada komunikasi dan jangan berorientasi pada tata bahasa. Sebab, kalau tata bahasa yang ditekankan, orang semakin jauh dari bahasa Lampung.

Gerakan Kultural

Dari sisi lain, sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. mengakui rasa terbuka orang Lampung. Saat mengobrol dengan orang yang bukan suku asli Lampung, orang Lampung memilih bahasa yang digunakan lawan bicara. “Kami (orang Lampung) cuek dengan bahasa sendiri, dari dulu bahasa Lampung terpinggirkan bahkan sebelum NKRI,” ujarnya.

Transmigran dari Jawa, Bali, dan lain-lain ke Lampung diterima dengan baik di Lampung, bahkan identitas kultural dan bahasa yang datang tetap dipakai di Lampung, sampai nama-nama tempat pun dibawa.

Bukan hanya itu, masyarakat Lampung dinilainya tidak kompak. “Pejabat yang memakai jas dan rapi itu tidak ada jiwa Lampungnya. Kalau saya jadi penguasa, saya ganti nama provinsi ini menjadi Provinsi Krakatau. Biar dikenal luas, daerah yang paling unik, dan antik, inilah Lampung,” kata lelaki yang mendirikan Sanggar Sastra Cakrawala Ide Anakmuda (CIA) 1985 ini.

Namun, staf pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Jauhari Zailani melihat tidak pada tempatnya orang Lampung menyalahkan pendatang yang tidak bisa berbahasa Lampung. "Saya ingin belajar bahasa Lampung, tetapi saya jarang sekali mendengar orang berbicara bahasa Lampung. Orang kayak saya ini kan serbasalah karena tidak jelas identitas kulturalnya," ujarnya.

Untuk menghidupkan bahasa Lampung yang dibutuhkan adalah gerakan kultural, bukan gerakan struktural. "Bahasa itu kan budaya. Sebab itu, gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan-gerakan kultural yang tidak boleh berhenti karena ada hambatan birokrasi," kata dia.

Senada dengan itu, sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan bahasa Lampung tidak menjadi bahasa keseharian masyarakat bukan disebabkan kompromis, demokratis, dan keterbukaan orang Lampung. "Pernyataan ini klasikal alias ketidakmampuan orang Lampung menjaga bahasanya. Perbedaan dengan masyarakat Betawi, manusia Betawi benar tersingkir tapi budaya Betawi tetap lestari," ujarnya.

Lembaga yang memiliki kebijakan pertama yang mesti bertanggung jawab dalam pembudayaan bahasa Lampung adalah sekolah dan perguruan tinggi.
"Perlu juga dipertanyakan peran MPAL (Majelis Penyimbang Adat) dalam menjaga/menghidupkan bahasa Lampung sebagai bagian dari adat dan kebudayaan. MPAL jangan hanya mengurus pemberian gelar (adok), sedang adat lainnya, seperti bahasa, tak dipedulikan," kata Paus Sastra Lampung ini.

Dia pun mengusulkan agar muatan lokal bahasa Lampung di sekolah kembali dihidupkan. Begitu pula Unila kembali membuka program studi Bahasa Lampung, bila perlu strata satu. Dan Pemprov memberi ruang kerja bagi lulusan prodi ini.

Pengajaran Bahasa Lampung

Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung Warsiem mengemukakan kesulitan dalam belajar bahasa Lampung di sekolah. "Saat masuk Program Studi D-3 Bahasa Lampung hanya ada tiga orang yang bukan suku Lampung. Tapi saya termasuk haus dengan kosakata bahasa Lampung sehingga tidak sampai tiga tahun kuliah saya bisa berbahasa Lampung," ujarnya.

Pada saat yang sama, kata Warsiem, justru orang bersuku Lampung yang malu berbahasa Lampung. "Ada 13 subdialek bahasa Lampung. Ini kesulitan tersendiri. Tapi saya terus saja belajar berbahasa Lampung sembari mengajarkan kepada siswa," kata guru Bahasa Lampung SMA Alkautsar, Bandar Lampung, ini.

Warsiem mengeluhkan nasib guru bahasa Lampung yang tidak dipedulikan. Beberapa di antaranya berpindah ke guru kelas atau guru Bahasa Indonesia. "Bahasa Lampung terombang-ambing, terkubur di daerahnya sendiri," ujarnya.

Ketika ada poin peraturan Mendikbud 2011 yang menyebutkan pelajaran Bahasa Lampung bisa diintegrasikan dengan seni budaya atau terpisah sesuai kebijakan Pemerintah Pusat atau daerah, terjadi perdebatan.
Menurut dia, peraturan itu tidak sepenuhnya disampaikan saat itu dan nyaris Bahasa Lampung tidak masuk kurikulum. Ia dan guru bahasa Lampung lain terus berjuang untuk Bahasa Lampung ada di kurikulum sekolah.

Ade Siska, guru Bahasa Lampung, mengatakan guru di sekolah yang terjun langsung dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Lampung harus diperhatikan. Ia kesulitan untuk melakukan sertifikasi guru bidang Bahasa Lampung.

Kode 062 Bahasa Daerah Lampung tidak ada di daftar sertifikasi. “Banyak yang beralih ke sertifikasi guru kelas dan Bahasa Indonesia, akan hilang, punah nanti guru bahasa Lampung ini,” kata pengajar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung ini. (UZK/P1)

dianwahyu@lampungpost@co.id

Tulisan 2

>> Apa pun, Hidupkan Bahasa Lampung!


SEKECIL apa pun, upaya untuk mendekatkan bahasa Lampung ke masyarakat Lampung sangat penting dilakukan. Ketua MGMP Bahasa Lampung Warsiem menawarkan kursus bahasa Lampung. Lalu Tri Sujarwo Songha dari Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung menyatakan siap membantu dan ingin menjadi siswa pertamanya.

Hal lain, kata Warsiem, mutlak perlu dibukanya program S-1 pendidikan bahasa dan sastra lampung. "Ini perlu. Apalagi persyarakatan guru dan untuk mengikuti sertifikasi kan harus sarjana. Selain itu, untuk menghindari kehilangan dan kekosongan guru Bahasa Lampung," ujarnya.
Pembukaan program studi bahasa Lampung, kata Warsiem, sangat berguna untuk meregenerasi guru Bahasa Lampung.

Pengamat sosial budaya, Karina Lin, bahkan mengusulkan Unila membuka fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya yang di dalamnya ada jurusan sastra. "Revitalisasi bahasa Lampung tidak bisa berjalan sendiri tanpa melibatkan ilmu-ilmu humaniora lain, seperti antropologi, sejarah, dan sastra. Inilah urgennnya fakultas ilmu budaya itu," ujarnya.

Pemberdayaan bahasa Lampung itu, tidak bisa hanya melulu memperhatikan pengajarannya saja. "Perlu juga diperhatikan seniman, sastrawan, dan sektor-sektor ekonomi kreatif lain yang menggunakan bahasa Lampung sebagai alat kreatifnya," kata alumnus Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unila ini.

Pemimpin Redaksi Siger TV Rahmad Sudirman pernah mengatakan hendaknya stakeholder di Lampung melobi pengajar di jurusan antropologi untuk menjadikan bahasa dan budaya Lampung sebagai bahan ajar mata kuliah antropologi sebagai awalannya.

Staf pengajar FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, menyambut baik ide pendirian fakultas ilmu budaya. "Akan bagus sekali dan bisa membantu pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Lampung," katanya.

Sastrawan Alexander G.B. mengusulkan agar pemakaian bahasa Lampung dalam bentuk teks perlu diperbanyak. Upaya-upaya menerbitkan menulis dan membukukan sastra berbahasa Lampung misalnya, telah dilakukan Udo Z. Karzi, Asarpin, dan lain-lain. Dewan Kesenian Lampung (DKL) sempat pula menerbitkan karya klasik Lampung Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu. Bila perlu menerjemahkan karya-karya asing ke bahasa Lampung.

Upaya sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. yang mengambil sumber-sumber lokal Lampung ke dalam karya-karyanya juga perlu diapresiasi. Terakhir, ia menerbitkan kitab cerpen berjudul Perempuan di Rumah Panggung sangat menarik untuk ditelaah dalam kaitannya dengan budaya Lampung.

Cerpenis Yulizar Fadli menambahkan upaya menghidupkan bahasa Lampung bisa juga dengan melibatkan ekonomi kreatif upaya konfeksi, penerbitan, dan lain-lain. "Misalnya, buat kaus bertulis 'Mak Dawah Mak Dibingi' dan dijual. Buat stiker banyak-banyak pakai bahasa Lampung. Dan banyak lagi," ujarnya.

Pada akhirnya, semua itu tidak bisa jika hanya berhenti pada tataran wacana. "Harus dimulai dengan aksi nyata. Apa yang bisa dikerjakan, lakukan," kata Warsiem. Nah, semangat dong! (P1) n Dian Wahyu Kusuma
— bersama Oyos Saroso H N dan 10 lainnya.
Fokus | Lampung Post, Kamis, 24 Oktober 2013 

Tulisan 1
>> Bahasa Lampung, Nasibmu Kini

Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3—4 generasi atau 75—100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.

Dian Wahyu Kusuma
----------------

KELUH-KESAH, curahan hati, rasa tak percaya diri, dan sikap saling curiga antara pihak satu dan lainnya. Begitu yang mengemuka dari Seri Diskusi Lampung Bangkit III dengan tema Revitalisasi bahasa Lampung di Lampung Post, Selasa (22/10).

Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."

Namun, dosen FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, mengartikan revitalisasi bahasa Lampung sebagai upaya untuk menjadikan bahasa Lampung hidup dalam kegiatan berbahasa penuturnya sehari-hari. "Belajar bahasa Lampung dengan demikian adalah mempraktikkan bahasa Lampung dalam berbagai kesempatan," ujarnya.

Masalahnya, kata dia, bagaimana menghidupkan praktik berbahasa Lampung secara lisan dalam kehidupan sehari-hari. "Ini yang tidak kelihatan. Seharusnya setelah siswa belajar di sekolah, upaya selanjutnya adalah menciptakan komunitasnya, menciptakan kantong-kantong berbahasa Lampung," kata dia.

Menurut Kahfie, pengajaran bahasa Lampung itu harus diorientasikan kepada komunikasi dan jangan berorientasi pada tata bahasa. Sebab, kalau tata bahasa yang ditekankan, orang semakin jauh dari bahasa Lampung.

Gerakan Kultural 

Dari sisi lain, sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. mengakui rasa terbuka orang Lampung. Saat mengobrol dengan orang yang bukan suku asli Lampung, orang Lampung memilih bahasa yang digunakan lawan bicara. “Kami (orang Lampung) cuek dengan bahasa sendiri, dari dulu bahasa Lampung terpinggirkan bahkan sebelum NKRI,” ujarnya.

Transmigran dari Jawa, Bali, dan lain-lain ke Lampung diterima dengan baik di Lampung, bahkan identitas kultural dan bahasa yang datang tetap dipakai di Lampung, sampai nama-nama tempat pun dibawa. 

Bukan hanya itu, masyarakat Lampung dinilainya tidak kompak. “Pejabat yang  memakai jas dan rapi itu tidak ada jiwa Lampungnya. Kalau saya jadi penguasa, saya ganti nama provinsi ini menjadi Provinsi Krakatau. Biar dikenal luas, daerah yang paling unik, dan antik, inilah Lampung,” kata lelaki yang mendirikan Sanggar Sastra Cakrawala Ide Anakmuda (CIA) 1985 ini.

Namun, staf pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Jauhari Zailani melihat tidak pada tempatnya orang Lampung menyalahkan pendatang yang tidak bisa berbahasa Lampung. "Saya ingin belajar bahasa Lampung, tetapi saya jarang sekali mendengar orang berbicara bahasa Lampung. Orang kayak saya ini kan serbasalah karena tidak jelas identitas kulturalnya," ujarnya.

Untuk menghidupkan bahasa Lampung yang dibutuhkan adalah gerakan kultural, bukan gerakan struktural. "Bahasa itu kan budaya. Sebab itu, gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan-gerakan kultural yang tidak boleh berhenti karena ada hambatan birokrasi," kata dia. 

Senada dengan itu, sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan bahasa Lampung tidak menjadi bahasa keseharian masyarakat bukan disebabkan kompromis, demokratis, dan keterbukaan orang Lampung. "Pernyataan ini klasikal alias ketidakmampuan orang Lampung menjaga bahasanya. Perbedaan dengan masyarakat Betawi, manusia Betawi benar tersingkir tapi budaya Betawi tetap lestari," ujarnya.  

Lembaga yang memiliki kebijakan pertama yang mesti bertanggung jawab dalam pembudayaan bahasa Lampung adalah sekolah dan perguruan tinggi. 
"Perlu juga dipertanyakan peran MPAL (Majelis Penyimbang Adat) dalam menjaga/menghidupkan bahasa Lampung sebagai bagian dari adat dan kebudayaan. MPAL jangan hanya mengurus pemberian gelar (adok), sedang adat lainnya, seperti bahasa, tak dipedulikan," kata Paus Sastra Lampung ini.

Dia pun mengusulkan agar muatan lokal bahasa Lampung di sekolah  kembali dihidupkan. Begitu pula Unila kembali membuka program studi Bahasa Lampung, bila perlu strata satu. Dan Pemprov memberi ruang kerja bagi lulusan prodi ini.

Pengajaran Bahasa Lampung

Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung Warsiem mengemukakan kesulitan dalam belajar bahasa Lampung di sekolah. "Saat masuk Program Studi D-3 Bahasa Lampung hanya ada tiga orang yang bukan suku Lampung. Tapi saya termasuk haus dengan kosakata bahasa Lampung sehingga tidak sampai tiga tahun kuliah saya bisa berbahasa Lampung," ujarnya.

Pada saat yang sama, kata Warsiem, justru orang bersuku Lampung yang malu berbahasa Lampung. "Ada 13 subdialek bahasa Lampung. Ini kesulitan tersendiri. Tapi saya terus saja belajar berbahasa Lampung sembari mengajarkan kepada siswa," kata guru Bahasa Lampung SMA Alkautsar, Bandar Lampung, ini.  

Warsiem mengeluhkan nasib guru bahasa Lampung yang tidak dipedulikan. Beberapa di antaranya berpindah ke guru kelas atau guru Bahasa Indonesia. "Bahasa Lampung terombang-ambing, terkubur di daerahnya sendiri," ujarnya. 

Ketika ada poin peraturan Mendikbud 2011 yang menyebutkan pelajaran Bahasa Lampung bisa diintegrasikan dengan seni budaya atau terpisah sesuai kebijakan Pemerintah Pusat atau daerah, terjadi perdebatan.
Menurut dia, peraturan itu tidak sepenuhnya disampaikan saat itu dan nyaris Bahasa Lampung tidak masuk kurikulum. Ia dan guru bahasa Lampung lain terus berjuang untuk Bahasa Lampung ada di kurikulum sekolah.

Ade Siska, guru Bahasa Lampung, mengatakan guru di sekolah yang terjun langsung dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Lampung harus diperhatikan. Ia kesulitan untuk melakukan sertifikasi guru bidang Bahasa Lampung. 

Kode 062 Bahasa Daerah Lampung tidak ada di daftar sertifikasi. “Banyak yang beralih ke sertifikasi guru kelas dan Bahasa Indonesia, akan hilang, punah nanti guru bahasa Lampung ini,” kata pengajar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung ini. (UZK/P1)

dianwahyu@lampungpost@co.id




Tulisan 2
>> Apa pun, Hidupkan Bahasa Lampung!

SEKECIL apa pun, upaya untuk mendekatkan bahasa Lampung ke masyarakat Lampung sangat penting dilakukan. Ketua MGMP Bahasa Lampung Warsiem menawarkan kursus bahasa Lampung. Lalu Tri Sujarwo Songha dari Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung menyatakan siap membantu dan ingin menjadi siswa pertamanya.

Hal lain, kata Warsiem, mutlak perlu dibukanya program S-1 pendidikan bahasa dan sastra lampung. "Ini perlu. Apalagi persyarakatan guru dan untuk mengikuti sertifikasi kan harus sarjana. Selain itu, untuk menghindari kehilangan dan kekosongan guru Bahasa Lampung," ujarnya.
Pembukaan program studi bahasa Lampung, kata Warsiem, sangat berguna untuk meregenerasi guru Bahasa Lampung.

Pengamat sosial budaya, Karina Lin, bahkan mengusulkan Unila membuka fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya yang di dalamnya ada jurusan sastra. "Revitalisasi bahasa Lampung tidak bisa berjalan sendiri tanpa melibatkan ilmu-ilmu humaniora lain, seperti antropologi, sejarah, dan sastra. Inilah urgennnya fakultas ilmu budaya itu," ujarnya.

Pemberdayaan bahasa Lampung itu, tidak bisa hanya melulu memperhatikan pengajarannya saja. "Perlu juga diperhatikan seniman, sastrawan, dan sektor-sektor ekonomi kreatif lain yang menggunakan bahasa Lampung sebagai alat kreatifnya," kata alumnus Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unila ini. 

Pemimpin Redaksi Siger TV Rahmad Sudirman pernah mengatakan hendaknya stakeholder di Lampung melobi pengajar di jurusan antropologi untuk menjadikan bahasa dan budaya Lampung sebagai bahan ajar mata kuliah antropologi sebagai awalannya.

Staf pengajar FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, menyambut baik ide pendirian fakultas ilmu budaya. "Akan bagus sekali dan bisa membantu pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Lampung," katanya.

Sastrawan Alexander G.B. mengusulkan agar pemakaian bahasa Lampung dalam bentuk teks perlu diperbanyak. Upaya-upaya menerbitkan menulis dan membukukan sastra berbahasa Lampung misalnya, telah dilakukan Udo Z. Karzi, Asarpin, dan lain-lain. Dewan Kesenian Lampung (DKL) sempat pula menerbitkan karya klasik Lampung Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu. Bila perlu menerjemahkan karya-karya asing ke bahasa Lampung.

Upaya sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. yang mengambil sumber-sumber lokal Lampung ke dalam karya-karyanya juga perlu diapresiasi. Terakhir, ia menerbitkan kitab cerpen berjudul Perempuan di Rumah Panggung sangat menarik untuk ditelaah dalam kaitannya dengan budaya Lampung.

Cerpenis Yulizar Fadli menambahkan upaya menghidupkan bahasa Lampung bisa juga dengan melibatkan ekonomi kreatif upaya konfeksi, penerbitan, dan lain-lain. "Misalnya, buat kaus bertulis 'Mak Dawah Mak Dibingi' dan dijual. Buat stiker banyak-banyak pakai bahasa Lampung. Dan banyak lagi," ujarnya. 

Pada akhirnya, semua itu tidak bisa jika hanya berhenti pada tataran wacana. "Harus dimulai dengan aksi nyata. Apa yang bisa dikerjakan, lakukan," kata Warsiem. Nah, semangat dong! (P1) n Dian Wahyu Kusuma

  • Tri Sujarwo Songha mantap dooo...
  • Destiani Desti artikel yang menarik
  • Zabidi Yakub Jr. mengharukan, sebik lom hati nengis unyin kehaga, kemirakan, rik semangat haga nguyunkon bahasa nyin mak lamput jak lambung bumi.
  • Imelda Matahari Ide2nya sih udah banyak. Tinggal dijalanin aja. Cuma pertanyaannya, ketika dalam kehidupan sehari2 bahasa lampung digunakan dalam ranah domestik dan informal, apakah tindakan yang diambil itu dengan membawa bahasa lampung pada seragam sekolah?
  • Imelda Matahari Sebagaimana asal usul saya dr dunia penelitian, hal paling pertama yg harus dilakukan sebelum melakukan tindakan ialah penelitian untuk mendapatkan strategi revitalisasi yang gak cuma abis2in uang dan jadi tumpukan buku di gudang atau jadi angin wacana semata.
  • M Sidik Mustofa Ycfourts Sebenarnya apa yang dicari dengan bahasa daerah, khususnya di daerah lampung yang penduduknya 75% bukan asli lampung dan penduduk aslinya tidak menggunakan bahasa lampung di keseharian dan beragam bahasa lampung yang membuat sulit untuk mempelajari, cari bahasa lampung yang dapat dijadikan tolak ukur sebagai bahasa lampung, bagaimana bisa dijadikan bahasa lampung, klu hanya kenapa bahasa lampung akan punah, mari berpikirnya sederhanakan saja : "Sederhanakan Bahasa Lampung Dari beragam Bahasa Lampung di Daerah lampung".

Tidak ada komentar: