Minggu, 17 Juni 2012

Bahasa Daerah Menunggu Mati


ELLY AGUSTINA

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Metro

BAHASA merupakan konektor multidimensi bagi manusia. Kegunaan bahasa yang sangat khas membuatnya mengalami ritme yang juga sangat unik. Keanekaragaman bahasa khususnya di negara kita, Indonesia, dengan masyarakat multibahasa yang berdiglosia membuat bahasa memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kenyataan sosio-linguistik yang demikian berlaku di berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat.

Bahasa daerah yang merupakan satu dari simbol keanekaragaman Indonesia, ranah penggunaannya kini semakin sempit. Dengan kata lain, bahasa daerah kini semakin termarginalkan, baik dari segi penggunaan maupun pemahamannya.

Entitas Organik

Sebagai entitas organik yang dipandang hidup, bahasa dapat diibaratkan sebagai makhluk hidup pula. Makhluk yang dapat bergerak, bergeser, dan senantiasa berubah. Napas kehidupannya pun terbatas.

Berkaitan dengan hal ini, Kloss (1984) mengatakan eksistensi bahasa selalu dalam konteks kebersamaan dengan pemiliknya serta dengan para pengguna bahasa itu sendiri. Secara alami, bahasa yang digunakan dalam komunikasi keseharian selalu mengalami dinamika.

Kloss mengemukakan tiga jenis kematian bahasa. Pertama, kematian bahasa yang tidak disertai pergeseran masyarakat pemakainya. Hal ini mengacu pada bahasa yang tidak lagi digunakan di masyarakat sehingga lambat laun bahasa tersebut akan punah. Kedua, kematian bahasa yang disertai pergeseran masyarakat pemiliknya. Yakni bahasa yang punah karena pengaruh sosial masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Ketiga, kematian yang terjadi karena pergeseran peran dan fungsi bahasa. Sebagai contoh bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan. Sesuai dengan fungsinya, bahasa Indonesia berperan sebagai connecting antarsuku bangsa. Namun, ada dampak negatif lain yang ditimbulkan, yaitu kegunaan bahasa Indonesia disadari atau tidak akan memarginalkan bahasa daerah.

Bahasa Asing

Dewasa ini umumnya orang akan lebih bangga jika mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Korea, dan Arab. Hal itu karena bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa internasional. Namun, sebaliknya, masyarakat kini kurang percaya diri apabila hanya mampu berbahasa daerah, terlebih apabila bahasa daerah yang ia kuasai adalah bahasa daerah dalam tataran rendah.

Sebagai contoh, dahulu orang sudah dikatakan luar biasa (baca: hebat) ketika telah mampu menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dengan baik dan benar. Kemudian hal itu juga tetap dikaitkan dengan kasta dan tingkat pendidikan. Sampai hari ini keadaannya tak jauh berbeda, orang akan dikatakan hebat jika mampu menguasai bahasa asing secara aktif.

Dari aspek pendidikan, jelas perkembangan ini merupakan sebuah kemajuan. Namun, bila dipandang dari sudut linguistik, ada keresahan yang terselip di sana. Bila semakin lama keadaan ini berkembang tanpa penjagaan khusus terhadap eksistensi bahasa daerah, Indonesia harus bersiap membuat kubur kematian bahasa daerah.

Fenomena kebahasaan yang demikian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa, fenomena semacam ini terwakilkan sebuah bahasa yang disebut patois, yakni bahasa yang tidak terpelihara, tidak terolah, dan tidak dikembangkan. Bahasa tersebut hanya digunakan oleh masyarakat kalangan bawah. Sedangkan bahasa Inggris dan beberapa bahasa besar Eropa lainnya digunakan oleh masyarakat kalangan atas sehingga sering disebut sebagai kelompok bahasa dunia pertama.

Perlu Rehabilitasi

Dinamika bahasa daerah yang terus merosot dapat diibaratkan sebagai rumah hunian yang hampir roboh. Situasi ini harus segera diperbaiki dan direhabilitasi. Padahal, seperti yang kita ketahui bahasa daerah merupakan pilar penopang kebudayaan sebuah bangsa. Maka selayaknya kelestarian bahasa daerah harus diperhatikan.

Keberagaman bahasa daerah di Indonesia merupakan potensi unik yang tidak dimiliki bangsa lain. Negeri kepulauan ini memiliki lebih dari 700 bahasa yang tersebar di 33 provinsi. Ragam bahasa dan dialeknya pun berbeda-beda. Keunikan yang tak terbeli, tetapi bisa jadi tergadaikan. Bahkan bisa jadi lambat laun ia akan terkikis dan punah.

Fenomena ini telah terlihat dari banyaknya putra daerah yang tak lagi mampu mewariskan bahasa daerahnya. Jumlah pengguna bahasa daerah di kalangan generasi muda juga mulai berkurang. Kalaupun bisa, hanya sedikit yang mahir menggunakan dalam bahasa daerah tataran tinggi (Jawa: Kromo inggil). Di pihak lain, kita tidak memiliki filter budaya yang baik. Ragam bahasa asing mendesak masuk dan ingin diperhatikan dengan segala keunikan (baca: keanehan) dengan berdalih tren.

Secara sosio-linguistik kreativitas berbahasa selalu melahirkan fenomena kebahasaan baru. Ada fenomena kebahasaan yang wajar, tetapi tak sedikit yang justru aneh. Lazimnya justru pemakaian bentuk kebahasaan yang tidak umum, bahkan terkesan aneh, yang dapat berkembang luas secara cepat.

Seperti contoh bahasa yang sempat beredar di kalangan anak-anak muda. Lihat saja bahasa "dagadu", atau mengucapkan tiap kata dengan sisipan-sisipan baru seperti kata duri menjadi “dugurigi”, bahasa kaum artis dengan segala aksennya, bahkan sampai bahasa kaum waria pun menjadi konsumsi.

Label Indonesia sebagai negara konsumtif mungkin memang sulit untuk dihilangkan. Konsumtif dari berbagai hal termasuk kebahasaan. Begitu mudahnya pengaruh asing masuk dan merangsek keragaman budaya kita, termasuk menggerus kelestarian bahasa daerah. Namun, Indonesia harus optimistis akan potensi uniknya yang tak dimiliki oleh bangsa lain di luar sana.

Suku bangsa, budaya, adat, kuliner, bahasa, semua tertumpah ruah di bumi persada ini. Bila semakin lama keadaan ini berkembang tanpa penjagaan khusus terhadap eksistensi bahasa daerah, sekali lagi, Indonesia harus bersiap membuat kubur kematian bahasa-bahasa tersebut. (n)
Lampost Kamis 14 Juni 2012

Tidak ada komentar: