Selasa, 17 Januari 2012

Tentang Syair dan Penyair

Hary B Kori’un



SUATU hari, sebuah surat masuk ke alamat e-mail redaktur. Seorang penyair muda –dia mengatakan dirinya baru belajar menulis sajak— mengirim beberapa sajak ke tubuh e-mail, tidak melalui file lampiran. Ada 4 sajak dan temanya seragam, tentang cinta yang kandas. Yang membedakan hanya kata dan bahasanya. Terjadi diskusi antara penyair kawan kita ini dengan redaktur. Dia bilang, sajak-sajak yang ditulisnya itu adalah ungkapan perasaannya yang sedang karam karena jalinan kisah cintanya kandas. Ketika ditanya mengapa mengirimkannya tidak pakai file lampiran dan sepertinya dia menulis keempat sajak itu hampir dalam waktu bersamaan, dia bilang, ketika membuka internet, pikirannya sudah penuh dengan sajak dan harus dituangkan dalam tulisan, untuk itu dia langsung menulis dan setelah selesai langsung mengirimkannya.

Beberapa hari kemudian, dia bertanya, apakah empat sajak yang dibuat dan dikirimnya layak untuk dimuat. Ketika dijawab belum layak, dia bertanya mengapa? Kemudian dijelaskan bahwa pilihan-pilihan katanya masih amat verbal, khas orang sedang patah hati. Dijelaskan juga bahwa dia harus banyak lagi belajar bagaimana menggunakan bahasa tulis yang benar. Kemudian dia mengatakan, bukankah sajak tak terbatas oleh aturan apapun? Dia bicara tentang licencia poetica. Dia menjelaskan bahwa dia sudah membaca banyak buku teori tentang menulis sajak, membaca karya-karya Sutardji Calzoum Bachri hingga Octavio Paz, dari Joko Pinurbo hingga Emily Dickinson, dan sebagainya.

“Mengapa Sutardji boleh menulis kata-kata apa saja dengan tata bahasa yang kadang kacau dan kadang ngawur tanpa makna, mengapa saya tidak boleh? Bukankah bahasa sajak yang dibuat oleh Joko Pinurbo, Octavio Paz atau Emily Dikcinson amatlah sederhana dan mudah dipahami? Mengapa itu disebut sajak, dan punya saya tidak?” kata penyair muda kawan kita ini panjang-lebar.

Ketika dijelaskan bahwa para penyair yang dia sebutkan itu sudah melalui proses panjang dalam melahirkan sajaknya, dan tak serta-merta menulis sajak dengan bahasa “ngawur” –istilah penyair muda kawan kita itu— itu, teman penyair muda kita ini tetap tak terima. Katanya, dunia sastra tak adil bagi para pemula. Kalau para maestro dengan gampang menulis karya dan dapat tempat untuk publikasi, sementara yang masih muda masih disuruh belajar, padahal bobot karyanya tak jauh berbeda.

Dijelaskan, bahwa seorang pelukis aliran surealis yang sudah terkenal pun harus melalui tahapan melukis realis di awal karirnya, tak serta-merta atau sekonyong-konyong langsung dia melemparkan cat warna-warni ke kanvas, kemudian bergulung-gulung di sana –sekadar contoh— dan kemudian lahir karya avan-garde seperti Affandi dan yang lainnya. Di sekolah seni lukis, diajarkan dasar melukis: mulai dari sketsa wajah, ditail wajah –mulai dari bibir, telinga, hidung, mata, alis mata, dagu, dan sebagainya— hingga lahir karya lukis potret misalnya. Selanjutnya, adalah pilihan dia untuk tetap menjadi pelukis realis atau yang lainnya. Bayangkan kalau seorang pelukis surealis tak bisa melukis potret yang ditail, misalnya.

Pelan tapi pasti, penyair muda kita ini berusaha memahami. Sebulan kemudian, dia mengirimkan satu sajaknya. Dia mengatakan, “Saya sudah berusaha menulis dengan baik: menulis apa yang ada dalam pikiran saya, membaca ulang, memperbaiki bahasanya, menuliskannya lagi, dan setelah sekian hari saya baca lagi, dan benar kata Anda, saya menemukan hal-hal baru baik dari sisi kata atau maknanya...”

Dan, setahun kemudian, penyair muda teman kita ini berhasil mempublikasikan sajak-sajaknya bukan hanya di media tempat dia bermastautin, tetapi juga di media yang terbit di provinsi tetangga, bahkan di beberapa media nasional. Dari waktu ke waktu, ada pehaman yang semakin baik pada sajak-sajaknya –pemahaman ini amat sangat relatif dan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam e-mail terakhirnya, dia tak mengirimkan sajak. Dia hanya menulis beberapa kalimat: “Sajak telah menyadarkan saya, bahwa kata-kata tak bisa dibeli dengan publikasi apapun dan dengan honor berapapun. Kata-kata selalu mencari makna, dan mencari makna itu yang sesungguhnya paling penting...”
***

Sajak adalah bahasa metafor yang lahir dari pencarian yang tak bisa dihitung batasan waktunya. Seorang penyair bisa membuat sebuah sajak dalam hitungan menit atau jam, tetapi ada yang memerlukan waktu berbulan hingga bertahun untuk melahirkan sebuah sajak. Ada sajak yang ditulis setelah sekian waktu ada dalam pikiran sang penyair. Ada sajak yang ditulis, sekian hari, sekian bulan, atau sekian tahun kemudian baru dibaca lagi oleh sang penyair, dan setelah itu baru dipublikasikan. Alhasil, ada seorang penyair yang dalam sebulan bisa menulis 100 sajak, tetapi di tempat lain ada yang hanya menulis satu sajak dalam sebulan.

Pengalaman “religus” dalam bersajak yang dialami kawan kita penyair muda itu adalah gambaran bahwa dunia sajak (puisi/syair, dll) bukanlah dunia yang asal jadi: bahwa asal menulis baris-baris kata “indah”, kemudian menjadi sebuah sajak. Proses hingga menjadi sebuah sajak, mestinya dipahami oleh para penyair sebagai sebuah tahapan paling penting, sehingga karya yang lahir itu bukan karya gampangan dan sembarangan.
***

ADA 19 penyair yang karyanya masuk dalam antalogi ini. Ada beberapa nama yang secara usia maupun proses berkarya sudah dianggap senior. Mereka antara lain Rida K Liamsi, Taufik Effendi Aria, Isbedy Stiawan ZS, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, atau Yoserizal Zen. Di barisan kedua ada nama Sobirin Zaini, Benny Arnas, Jefri al Malay, Riki Utomi, Alvi Puspita, Arif Rizki, Esha Tegar Putra, Budy Utamy, Cahaya Buah Hati. Sedangkan nama-nama yang barangkali masih “asing” bagi kita ada Guri Ridola, Said Mustafa Husin, Sumiati, dan Afrianti. Khusus Said Mustafa Husin, melihat usianya, nampaknya sudah tak muda lagi. Dan ketika ditelusuri, ternyata sudah berkarya sejak lama, namun amat sangat jarang dipublikasikan.

“Perkawinan” antara generasi senior dan junior ini memperlihatkan ada proses regenerasi yang baik dalam dunia kepenyairan, khususnya di Riau, ada garansi bahwa sajak akan terus lahir dan mengalir di sini. Untuk itu, buku kumpulan sajak yang rutin diterbitkan oleh Riau Pos melalui Yayasan Sagang ini, semestinya bisa menjadi penanda dan jejak bahwa generasi penyair di Riau tak pernah mati, dan karya mereka terus terdokumentasi dengan baik, meski tak semua karya yang dimuat di Riau Pos selama setahun, masuk dalam buku Riwayat Tanah ini.

Meminjam Milan Kundera, semoga terbitnya buku ini bisa menjadi kitab melawan lupa...


Hary B Kori’un, Wartawan Riau Pos dan editor buku di Yayasan Sagang Pekanbaru

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 Januari 2012

Tidak ada komentar: