Selasa, 24 Januari 2012

TAFSIR LIR ILIR

EDY SISWOYO
Penutur Bahasa Ngapak.




EDY SISWOYO

Resah menafsir-nafsir harga cabai kapan turun, turut gumbyuk meremah-remah rambut maklum saudara saya yang buka warteg (warung tegal) , masih ngresula mengupas tanya penasaran “Kapan harga cabai turun…?”, daripada bingung menafsir harga cabai 2 hari kedepan, saya mau nyoba menafsirkan tembang lir-ilir, yang pernah diajarkan waktu nyantren dulu.

Masio, aku sendiri masih awam masalah tafsir menafsir, apalagi tafsir tentang tembang ringkas namun bersahaja dan sarat makna yang tak jelas siapa penggubahnya entah Sunan Kalijaga atau gurunya Sunan Bonang, yang jelas bukan Karya pentolan Soneta “Bang Haji Rhoma Irama” yang sama-sama berdakwah atau melakukan dengan tembang-tembangan.

Yang pasti nyanyian ini sak elingku sering saya nyanyikan pas puji-pujian sebelum melaksanan sholat dulu, disebuah surau kecil disudut kampungku, atau kalo lagi pas katemahan bulan benderang, aku bareng teman=temanku bersila membuat lingkaran, bergandeng rangan, lalu dengan badan terhuyung-huyung kanan kiri, aku bareng-bareng nyanyiin lagu ini :

Ilir-ilir, ilir-ilir

Tandure wus sumilir

Kang ijo royo-royo

Ta’ sengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon

Pene’no blimbing kuwi

Lunyu-lunyu pene’no

Kanggo masuh dodotiro

Dodotiro, dodotiro

Kumitir bedah ing pinggir

Domono dlumatono

Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padang rembulane

Mumpung jembar kalangane…

Yo surako, surak, horeee..

***

Ilir-ilir, ilir-ilir, Tandure wus sumilir, Kang ijo royo-royo,Ta’ sengguh penganten anyarm, Gebyar-gebyar suka cita suasana kelahiran baru, bumi sudah benderang, pohon-pohon dan embun saling melingkup senyuman, awan berarak tak enggan menyungging senyum, dedaunan pun ikut bergembira bersama indahnya sunah pagi hari, aliran darah, degup jantung, detak nadi, senada bergairah bak tepak-tepak gairah pengantin baru.

Cah angon, cah angon, Pene’no blimbing kuwi, Wahai kafilah-kafilah, hai… manusia yang sedang menggembalakan hatinya sendiri diatas padang keimanan, lekas Panjatkanlah do’a Lunyu-lunyu pene’no, Kanggo masuh dodotiro, Meski licin, meski harus bersusah payah, panjatkanlah doa… panjatlah belimbing bersegi lima itu, belimbing keimanan dari keyakinanmu, untuk membasuh pakaian jiwa raga, akidah dan akhlakmu.

Dodotiro, dodotiro, Kumitir bedah ing pinggir, Aduhai… lihatlah wahai kau gembala hatimu sendiri, pakaianmu terseak-seok, mengibar-ngibar lalu terkoyak sobek di tepi-tepinya hampir habis pecah berperca-perca.

Domono dlumatono, Kanggo sebo mengko sore, segeralah, jahitlah, sulamlah, tisiklah, karena itu jamak, itu hayat, seperti membasuh badan (mandi), sudah tahu akan kotor, mandi juga, berdebu lagi, kotor lagi, mandi lagi, menemukan keimanan dari keseharian, tanpa terasa, sucikanlah lagi, setelah kotor, bersucilah lagi…untuk menghadap bertafakur dihadapan senja nanti… (Keimanan dipersiapkan dalam keseharian, dibiasakan, untuk menuju kala senja, kala kita sudah senja, kala maut itu datang/seja : kematian)

Mumpung padang rembulane, Mumpung jembar kalangane…, Lekaslah selagi ruang itu masih ada untukmu, selagi matamu masih nyalang menatap dunia, selagi waktumu masih ada untuk menanam dan menuai amal ibadah di ladang-ladang keimanan , dunia adalah ladang itu, sebelum habis masamu, sebelum senjamu datang, sebelum detik-detik itu datang, detik dimana kau akan susah menghela nafas, detik dimana kau akan dise.

Yo surako, surak, horeee.., Jika kau mengerti wahai aku dan anda para penggembala hati kita masing, BERSORAKLAH….MARI BERSORAKLAH…SORAK HOOREEEE….

Sekian, Semoga bermanfaat. Waa billahi taufiq wal’ hidayah, wa ridho wal innayah.

Selamat melanjutkan weekend yang tinggal 12 jam lagi, bagi yang libur.

Assalamualaikum Ya Akhi… Ya Ukhti… (kOMPASIANA)

Tidak ada komentar: